(Dia mungkin sebahagiannya kita lihat sebagai, sememang nasibnya sebegitu. Ada juga di antara kita, meminggirkan tugas kita kerana percaya, membela dia bukan tugas kita, tugas yang berwajib. Semua ini, tidakkah mungkin kita hanya sekadar untuk menghibur-melepas diri (self pleasing). Namun, jika kita peduli, tidakkah ini jelas menandakan kepincangan pengurusan kita! Juga tidakkah terdetik, bukankah kita yang sedikit berupaya juga ada tanggungjawapnya?)
Lanjutan kepada rencana saya yang terdahulu: Jangan Kita Menjadi Penjajah Bangsa Sendiri, di bawah ini saya sisipkan dari tulisan M. Natsir dalam Capita Selecta, hasil himpunan D.P Sati Alimin. M. Natsir sebenarnya adalah ketua sebuah parti politik yang cenderung kepada keIslaman di zaman mula gerakkan kemerdekaan Indonesia di akhir tahun 1940an. Beliau adalah Ketua Umum Parti Masjumi, yang kemudian membentuk Front Nationalist dalam kabinet Soekarno. Sedang Alimin merupakan seorang dari pengerak kuat Parti Komunis Indonesia (PKI) juga penyumbang besar dalam gerakkan memerdekakan rakyat yang dalam belenggu kepayahan.
(2) Sengaja saya menyisipkan rencana beliau dengan tajuk seperti tertera sebagai mengambarkan bagaimana, sebetulnya bila kita yang memimpin, tanpa kira di mana kedudukan kita, jika telah mulai senggang dengan rakyat pimpinan kita, sehingga kita tidak dapat merasai keresahan rakyat yang akhirnya mengakibatkan kepunahan segalanya. Segalanya sebenarnya bermula bila mana keresahan rakyat sudah tidak diperdulikan atau paling tidak dikesan secara awalan dan jitu. Ikutilah sisipan ini seterusnya:
Satu Bangsa Yang Berbahagia:
(1) Hampir semua surat2 kabar-putih mengisahkan satu kedjadian jang baru2 ini berlaku di Negeri Belanda pada saat benua Eropah mulai ditimpa peperangan dunia jang kedua ini, jakni satu kedjadian jang sangat dalam ertinya.
(2) Pada hari yang amat penting dan genting itu, Princes Juliana dan Prins Bernhard pergi mendapatkan Ratu Wilhelmina. Sebagaimana biasa, amat ramai orang didepan istana melihat penjambutan jang berlaku antara Keluarga Radja itu. Akan tetapi sekali ini terdjadi satu hal jang luar biasa.
(3) Sebelum Keluarga Radja hendak masuk istana, Prins Bernhard serta Prinsces Beatrix turun dari tingkat kehalaman, menudju kearah orang banjak. Tiba2 Radja berseru dengan suara jang njaring dan tegap: “ Leve het Vaderland! Hoezee! Hoezee!”, sambil me-lambai2kan tangan beliau keatas. Orang ramai terus membalas dengan tampik sorak jang gegap gempita mengulangi seruan Radja ditambah dengan seruan jang keluar dari sanubari jang ichlas: “ Leve de Koningin! Hoezee! Hoezee! Hoezee!”
(4) Lalu mereka semua menjanjikan dengan kepala terbuka akan lagu Wilhelmus, lagu kebangsaan jang mereka tjintai, jang mengandung segenap kenang2-an jang sutji murni berhubung dengan perjuangan bangsa Belanda untuk mentjapai kemerdekaan dan kedjajaan bangsa sampai kepada Zaman Keemasan mereka!
(5) Kedjadian ini satu kedjadian jang sederhana sadja, tidak pakai pidato jang panjang2, jang diutjapkan dengan opisil, jang telah disusun beberapa hari sebelum diutjapkan, apa pula akan menjusun pidato jang akan pendjawabnja, supaja sesuai gajung (gayung) dengan sambut; jakni seperti jang seringkali terdengar oleh kita dalam resepi2 dan uptjara dinegeri kita ini. Akan tetapi kedjadian itu menundjukkan satu perhubungan jang rapat dan sutji antara Radja dengan rakjat, satu perhubungan ruhani jang teguh dan ichlas, jang terbit dari tjita2 hendak ber-sama2 dalam kegembiraan dan kedudukan, hendak sesakit dan sesenang, hendak sehidup dan semati.
(6) Berbahgialah seorang radja jang mempunjai perhubungan batin jang seperti itu dengan rakjat jang diperintah dan ditjintainja. Beruntunglah pula salah satu bangsa jang mempunjai seorang Kepala Negara jang mereka tjintai, tempat mengarahkan perasaan suka di-waktu senang, menudjukkan perasaan duka dizaman susah, sebagaimana keadaanja Bangsa Belanda sekarang itu. Alangkah lazatnja perhubungan ruhani jang sematjam itu, perhubungan ruhani jang terbit dari tjita2 hendah sehidup-semati-bersama, “ le desir d’etre ensemble”
(7) Perhubungna batin jang sematjam itu bertambah dalam ertinja dan tidak kurang kekuatanja bila datang marabahja jang menimpa bangsa. Sebab dalam kenang2-an kebangsaan itu, kesusahan jang sama diderita lebih dalam bekasja dari pada kesenangan jang sama2 dirasai. (nota: Perhatikan ini dalam prihal Negeri Kelantan (susah) dan Selangor (senang lenang))
(8) Pertalian ruhani jang seperti itu terbit dari satu perhubungan jang rapat berdasar kepada sama harga-menghargai. Timbul dari nasib jang satu, kepentingan jang tunggal, dari kebudajaan jang satu, jang telah terdjalin dan berlapih dalam sedjarah bangsa sampai mendjadi satu pusaka lama harta bersama(l'heritage qu'on a apercu indivis) jang sama2 hendak diperlindungi dan dipertahankan.
(9) Apabila tjita2 hendak sehidup-semati-bersama itu sudah mendjadi ikatan jang berat, jang tak mungkin terpikul, tak ada kurban jang besar jang tak mungkin direlakan oleh semua jang dalam ikatan, untuk memlihara keselamatan bersama dan untuk mentjapai kedjajaan bersama.
(10) Sungguh lazat perhubungan batin jang seperti itu!
(11) Akan tetapi kelazatannja tidak mungkin diketjap oleh radja mana atau rakjat manapun djuga, selama belum lengkap sjarat dan rukun-nya jang perlu lebih dulu dalam perhubungan antara radja dengan jang diradjai. Sebab jang demikian itu tidak dapat di-bikin2. Tak mungkin ditjiptakan dengan chobah2 opisil dalam resepsi2. Tak mempan disorongkan dengan dengan perintah-halus atau jang sematjam itu. Ia murah, tapi tak dapat dibeli. Ia dekat, tapi tak mungkin ditjapai sebelum terpenuhi bahan dan ramuanja.
Sikap "Masa-Bodoh" Jang Mentjemaskan
(1)Bahaja jang sedang mengantjam Negeri Belanda sekarang itu, pun djuga mengantjam negeri kita. Malah boleh djadi lebih hebat dari itu, mengingat kepada persediaan jang serba kurang. Tidak dapat dimungkiri lagi bahwa rayjat kita disini jang berpuluh miliun (juta) itu berada dalam antjaman jang amat ngeri pula. Keselamatan terantjam, kehidupan terantjam, milkik jang berupa harta benda terantjam, kekajaan jang berudjud peradaban dan kebudajaan terantjam, semua dalam terantjam.
(2) Akan tetapi, manakah semangat jang ber-api2 jang menundjukkan keteguhan hati hendak menolak bala jang akan datang itu? Manakah kegembiraan jang menggelora dengan gertaman gigi, bulatan tindju, hendak melindungi kampung halaman dari bahaja menimpa?! Kenapakah semua se-olah2 tak mahu tahu?!
(3) Setelah mengakui bahwa Pemerintah dinegeri kita ini telah membuat persediaan jang besar dalam urusan perlindungan negeri dengan menambah kekuatan balatentera dan tjara menggelapkan kota dll., dalam Pemandangan Umum di Dewan Rakjat, Wiwoho mengemukakan kekuatirannja berhubung dengan semangat jang amat dingin sekali dalam kalangan rakjat kita bangsa Indonesia dalam waktu2 achir2 ini, diwaktu amat perlu kepada kekuatan bersama dari segenap pihak. Katanja antara lain:
" Pemerintah hendaklah insaf bahwa sikap-menonton dan melihat dari jauh sadja dari pihak rakjat jang banjak itu selagi orang memperkuat alat2 pembelaan negeri, adalah satu hal jang tidak mungkin memuaskannja, sebab sikap-menonton itu munngkin pula berangsur menjadi sikap-masa-bodoh (bermaksud: peduli apa atau tak kisah), dan saja tidak pertjaja bahwa salah satu pemerintah boleh tidak menghargakan semangat rakjat terhadap kepada urusan pembelaan Negeri" (Sten versl: 222).
(4) Tegasnja Wiwoho meminta supaja Pemerintah disini djangan lupa, bahwa perlengkapan meriam dan kapal perang itu sadja tidak tjukup mempertahankan negeri jang kaja raja (kaya raya) dan amat luas ini, kalau tidak dengan bantuan semangat jang ichlas dari penduduk negeri ini sendiri.
(5) Kira2 satu abad jang silam, diwaktu di Surabaja (Surabaya) diadakan upatjara menaiki beberapa benteng jang akan memperlindunngi pantai2 daerah Djawa Timur dari serangan musuh dari luar, sudah pernah seorang Bupati (Pegawai Daearh) Tua mengutjapkan perkataan jang maksudnja hampir serupa dengan peringatan Wiwoho dalam Dewan Rakjat itu. Bupati Tua tersebut memudji dan menerangkan kekagumanja melihat betapa kuat dan tebalnya dinding2 benteng itu, betapa pula besarnya meriam2 jang mengangakan mulutnja jang dahsjat itu kearah tiap2 musuh jang mungkin menjerang. Akan tetapi diachirnja beliau berkata:
"Semua benteng dan meriam2 itu akan tidak ada artinja sama sekali, djikalau sekiranja Pemerintah tidak sanggup mendirikan benteng dalam hati rakjat sendiri!"
Begini kata Bupati Tua itu:
" Benteng dihati rakjat inilah amat perlu dalam usaha mempertahankan dan pembelaan negeri. Inilah pula jang dikuatirkan a.l oleh Wiwoho itu, lantaran bahwa benteng jang begitu sifatnya tidak kelihatan sedikit djuga dalam masa jang amat genting sekarang ini. Beliau mengakui, bahwa untuk memasukkan ruh dan semangat pembelaan negeri kedalam majarakat rakjat jang miliunan dabn masih buta-huruf itu, amat susahnja. Tidak dapat dengan sekedjap mata." Seterusnja, kata Wiwoho pula"
"...akan tetapi, patut diperingatkan kepada Pemerintah bahwa pun dalam kalangan anak Indonesia jang terpeladjar, perhatian (terhadap pembelaan negeri) itu amat djauh dari pada sedang adanja"
(6) Kalau dikalangan pemimpin, semangatnja dan minatnja sudah dingin terhadap masalah ini, bagaimanakah lagi dalam kalangan rakjat jang banjak? Se-olah2 mereka semua bersikap-sebagaimana kata H.A Salim (nota Haji Agoes Salim adalah juga seorang aktivis Islam yang hebat di zaman tuntutan kemerdekaan)- seperti sikap sorang gadis pingitan jang menjerahkan untungnja ketangan wali2-nja jang menanggung djawap. kepada siapakah dia nanti hendak dikahwinkan oleh wali2nja, ia tidak hendak dan memang tidak bisa turu mentjampuri perhitungan...!
(7) Sikap jang matjam ini adalah satu sikap jang mentjemaskan. Sikap ini tidak mungkin diubah dengan lekas. Tidak dapat dengan satu-dua manifes dari P.B perkumpulan2 politik. Tidak mungkin dengan satu atau dua rapat Gapi di Gang Kenari (Balairaya Kenari)......
(8) Pokoknya, kenapa rakyat boleh menjadi bersifat Tak Kisah (masa-bodoh) dan begitu juga kalangan terpelajar. Saya yakin ini semua ada kaitan dengan bilamana kita yang memimpin, dalam kedudukan apa sekalipun, sudah tidak peka dengan keresahan rakyat.
(9) Yang menderita merasa tak terbela, maka mereka menjadi 'hopeless' dan sifat 'hopeless' itu tumbuh menjadi 'masa-bodoh!, dan sedang yang mendapat manafaat terutama golongan terpelajar, kerana melihat bahawa yang memimpin itu adalah 'hopeless' maka mereka juga mengambil sikap 'masa-bodoh'. Begitulah, bila segalanya sudah diluar kawalan, maka berlaku rusuhan akibat adanya golongan tamak. Akhirnya, semuanya terbakar-hangus!
(10) Mahukan kita menjadi sebahagian dari mereka yang akan berpegang kepada sikap 'masa bodoh!'.
Kuching, Sarawak
2 June, 2010
Kuching, Sarawak
2 June, 2010
0 comments:
Post a Comment