12/7/11 BILA HATI TERUS DIAM (tajuk asal: lagu untuk sebuah nama)
Posted By: Abdullah Chek Sahamat - August 26, 2011Persimpangan Hidup Ini:
Akhir-akhir ini, aku sering kering yang parah. Di dada ada rasa yang ngak aku mengerti. Ada tusukan tajam yang perih. Aku sekeras mahu berdiri, saban waktu datang tikanya aku rebah lalu basah hangat dalam sungai keharuan. "Apakah aku sedang rindu? Atau ada yang merinduiku? Atau masih banyakkah cebis-cebis duka menumpuk pada dinding jantungku? Atau apa aku sedang amarah yang ngak bisa kulepaskan? Atau ada rasa kecewa yang tidak bisa aku perjelaskan?", banyak soal untuk diriku sendiri. Segalanya berbaur. Bersimpang siur. Fikiran dan rasa hatiku berkemelut tidak sudah. Antara bungkah otak kanan yang analisis dan bungkah kiri yang tega:kegampangan, sedang berperang hangat. Kemelut antara mereka menjadikan tubuhku kian longlai. Hari-hari aku kian malas berdiri dan berjalan tegak.
(2) Hari ini, di sini, di desa ini, aku seperti binggung, kusam, penuh kesamaran, ngak bagai selalu hadirku menambah hijau dan segar suasana. Hari ini aku hanya mahu sepi sendiri.
(3) Inilah desa yang dulu hutan berhantu. Desa yang tidak ramah dalam kehidupan selesa warga. Desa yang menguji akan ketegara hidup. Desa yang moyangku datangkan seluruh keluarganya lantaran angkara kerakusan menindas Belanda, Portugis, Inggeris lalu Jepun. Mereka ke sini memburu dan kepingin membina kemerdekaan. Di desa inilah, dulu ibuku membesar. Aku seperti bisa melihat dia belarian berkejaran bersama adik-adiknya, keliling sumur: telaga, riuh rendah bagai itik serati berebut panganan: makanan layaknya. Dia menyeri kehijauan keluarga. Wajah-wajah girang itu datang dan pergi dari lamunanku, bagai pari-pari melayang-layang berpantulan di atas daun-daun kembang kemboja mewangi.
(4) Ya Rabbi, mungkinkah aku sedang rindu pada kasih yang tidak sempat aku nikmati sepuasnya. Atau juga aku kesal kerana tidak bisa mencium puas tangan yang membandul: buai saat keanak-anakanku. "Mungkinkah aku sedang rindu yang terlalu dalam? Atau rinduku membuak mengasak menjadi resah yang tidak aku mengerti, kerana ada kekecewaan yang sangat aku sesali? Aku mungkin merindu mencari sandar atas segala kemelut yang sedang aku hadapi?, terus saja aku bertanya sendiri.
(5) KepadaNya, aku mengadah memohon pertunjuk: “Ya Rahman Ya Rahim, tunjuklah aku sedikit lowongan nursinaMu. Bantulah aku, jangan aku terus resah dan lemah sebegini. Kepingin aku habiskan waktuku untukMu, atas jalan yang Engkau mahu, sekuatnya. Tidak terhambat oleh resah sebegini.”
(6) Aku cuba menghilang rasa sayu yang teramat sangat dengan mengayun tubuh di kerusi roda, di Dangau Pengajian. Aku kepingin cecair otakku bergoncang kuat, lalu memaksa hadir kedamaian yang sangat aku dambakan. Aku kepingin alir darahku kembali panas, agar tubuhku kembali segar. Aku kepingi semangat wajaku kembali hadir, untuk aku terus bisa berdiri, lalu melangkah dan belari segagah selalunya.
(7) Namun, aku terpana oleh pukulan Abiet. Suaranya telah lama tidak aku pedulikan. Nyanyian Abiet G Ade:Lagu Untuk Sebuah Nama, memukul kuat dadaku. Aku benar-benar terkesima: nanar. Angin sore terasa berpusar mahu menelanku. Hawa dingin hembusannya terus menambah berat jiwa kelamku. Aku benar-benar tengelam. Aku benar-benar sudah bukannnya aku spertinya selalu.
mengapa jiwaku mesti bergetar
sedang muzikpun manis kudengar
mungkin kerana kulihat lagi
lentik bulu matamu
di bibirmu dan rambutmu yang kau biarkan
jatuh berderai di keningmu
makin mengajakku terpana
kau goreskan gitar cinta
mengapa aku mesti duduk di sini
sedang engkau tepat di depanku
mestinya aku berdiri berjalan ke depanmu
kusapa, dan kunikmati wajahmu
atau kuisyaratkan cinta
tapi semua tak kulakukan
kata orang cinta mesti berkorban
mengapa dadaku mesti berguncang
bila kusebutkan namamu
sedang kau diciptakan bukan untukku
itu past, tapi aku tak mahu perduli
sebab cinta bukan mesti bersatu
biarku cumbui bayangmu
dan aku sandarkan harapanku
(8) Senandung itu, pada setiap bait-baitnya, menjelmakan wajah sang puteri, hadir samar-samar dalam bayanganku. Puteri Magdeleina yang aku panggil Eina duduk tersimpuh menjamah air batu-batu hutan di depanku. Rambutnya terurai. Keemasan panjang berjuntai, lembut bagai kuakan kupu-kupu melayang-layang menari-nari dalam hembusan manja sore. Wajahnya manis, putih keanak-anakan, melembutkan mataku yang sering saja tajam melepas lewat pandang tanpa simpati. Aku terpaku. Aku jadi tergetar. Terasa wajah itu seperti menghembus kelembutan pada hatiku yang telah keras. Hatiku telah lama keras merekah-rekah bagai bungkah batu gunung yang telah terlalu lama dimamah mentari dan pukulan hujan yang engan simpati. Wajahnya bagai mengalirkan limpahan zaitun lalu menutup semua rekahan hatiku nan parah lalu kembali berdenyut kuat dan memerah membara. Hatiku jadi membara. Membara, namun rasa tersumbat ketat. Aku terasa memberat. Sangat berat.
(9) Kilau anak matanya cuba kutanggkap, namun bagai kepiting: ketam sering saja menghindar sembunyi di kelopak bagai tulip jingga yang tumbuh segar di musim semi: bunga. Aku tambah terkesima. Ingin rasanya kuteriakan: “Lihatlah aku. Biar kutahu cahaya apa di balik anak matamu. Biar aku tatap sepuas cahaya itu, biarpun hanya sekilas!”, namun dia seperti tidak perduli. Sifat puterinya dia tunduk saja yang menjadikan aku banyak tanya: “Eina, apakah kamu yang sedang menyumbat salur nafasku, maka dadaku jadi seperit ini? Apa ini? Sedang gilakah aku kepadamu? Atau ada apa denganku?”. Tanpa sedar, aku menghentak genggamku pada lelengan kerusi roda. Sakit rasanya bukan kepalang. Tulang-tulang jariku terasa patah. Aku tersentap:” Astaghfirullah hal'azim. Aku tersadar. Lamunan apa sedang menghantui aku?”
(10) Bagai selalu, biar seribu sebak dan rasa kecewa melandaku, aku suka diam dan mencari jalan pulang sendiri. Tanpa disadari, aku menyusup ke kamar tidur lalu bersalin, dan segera memutar pickup dan berlalu mengundur diri pulang ke Kota. Ponakkanku yang selalunya adalah teman sepiku, hanya sempat tercegat di depan pintu dan melambai-lambai aku dari kejauhan. Selalunya dia akan berjabat dan mencium tanganku, namun kini dia kehairanan, kenapa aku berundur tanpa pamita: bersalaman. Pembantu rumah juga seperti kebingungan kerana biasanya aku akan menghabiskan teh 'o' ais sajiannya sebelum aku berangkat pergi. Pacuanku kemudiannya sangat deras. Aku sedang mengasak fikiran dan rasa hati agar membuah jawaban akan sebab resah yang memuncak dalam dadaku. Denyut sakit rasanya semakin kuat. Padanganku menghampir kabur. Fikiranku kosong. Pipiku membasah panas dari limpahan sungai air mata. Resahku sudah memuncak. Aku bertanya:”Rindu apakah yang sedang terbeban di jantungku?”
Di Mana Siti Khadijah?
Pohon-pohon hijau di pinggir jalanan, melambai-lambai. Berkipas-kipas sepertinya. Semakin deras aku memacu, semakin galak rupa lambaian mereka. Dalam hayunan nafas sore sebegini, biar sepatutnya kuhargai keenakannya, namun hatiku jadi berprasangka, betapa angin dan pepohonan sedang sepakat bercerita tentang aku. Lalu aku bertanya: "Pohon-pohon, adakah kamu sedang mengucap Selamat Jalan atau sedang melambai agar aku segera hadir Pulang?" Pertanyaan gila dan sesat seperti kian melanda dadaku. Bertalu-talu mengasak menderu bersama nafas sore. Pedal minyak kutekan tanpa sedar. Pickup memacu bagai kuda putih ditutup mata. Meluru, terus meluru, kencang.
(2) Di suatu selekoh, hadir seorang petani tua. Terbongkok-bongkok mendorong: nyorong beban dari kebunan. Hadirnya tiba-tiba, sedang selaput tipis air mataku menutup kejelasan langkah-langkahnya. Hampir dia kupepes: langgar mati. Ya Rahman Ya Rahimm, sememangnya Engkau Maha Pemurah dan Penyayang, nyawanya ditanganMu. Dalam tingkah pantas tanpa sedar, aku menekan brek, lalu pickupku sedikit terbabas meninggalkan garis hitam pekat beberapa pulohan meter di jalanan. Aku terdiam. Terdiam panjang. Darahku memuncak meluru otak. Nafasku jadi pantas.
(3) Si tua lewat, menjengah merenungku, lalu mengeleng-geleng kepala. Aku ngak pasti apa dia marah atau sedang fikir apa. Aku memerhati dia melewat lalu. Di kereta sorongnya ada pisang, kelapa, nenas, tebu, jantung pisang, pakis dan pucuk ubi. Semua itu, aku berkira pasti rezekinya hasil keringat lelah dan payah. Kereta sorongnya seperti unta tua, jalan berhenjut-henjut, pekang-pengkong: melengok-lengok ke kiri ke kanan bergoyang-goyang. Tubuhnya kurus. Kulit wajahnya kering. Sinar matanya tajam jauh. Dia terbatuk-batuk. Payah juga tampak hidupnya.
(4) Tubuhku kusandarkan lebih jauh ke belakang. Aku merebah diri. "Ya Allah, janganlah kerana payahnya aku, maka terpalit musibah pada yang tidak terkait", aku mengeluh panjang antara syukur dan menyoal. Aku syukur si petani tua ngak jadi korban resahku. Aku terus saja diam. Aku engan beranjak. Kakiku terasa berat untuk menekan pedal minyak. Aku cuma ingin diam. Kutarik nafas panjang. Banyak kali. Kuhembus nafasku kuat keluar, mendengus bagai sapi jantan hitam dalam kandang tarungan matador siap untuk menerjah siapa saja. Namun, kakiku tetap mahu diam. Lalu kupejamkan mata. Hanya fikiranku berjalan ke mana-mana keluar dari tubuhku yang seperti sudah mati.
(5) Tetiba terasa tangan emak mengusap-ngusap kepala dan pundak: bahuku. Tercabut rasanya segala beban dan kegusaran dari tubuhku. Aku tersenyum. Bapak jalan beriringian. Kami bertiga sama-sama girang, berpegangan tangan. Aku berjalan menyatukan mereka. Kuhayun-hayun girang tangan mereka. Lalu berlari-lari dua anak kecil comel dan montel menerpa. MasyaAllah, anak-anakku rupanya mereka. Embah: nenek dan datuk, mendepa tangan, dan kami berjalan lurus kepada mereka. Kami bersatu jadi sebuah keluarga yang cukup lengkap: emak, bapak, aku, anak-anak dan embah, semuanya hadir.
(6) Sekilas, aku terpanggil menoleh ke belakang. Di kejauhan aku melihat Eina bagai masih terduduk tunduk di kaki air, duduk diam di atas batu-batu hutan. Wajahnya tetap tunduk. Dia tetap enggan melepaskan cahaya matanya padaku. Aku berpaling, terus menghadapnya. Aku menunggu. Aku kepingin menangkap biar hanya sekilas lintasan cahaya matanya. Namun Ena tetap diam tertunduk. Aku enggan melepas pandangku darinya. Kakiku melangkah undur bersama seisi keluargaku. Aku ngak mahu melepas tatapanku daripada Eina. Suara anak-anak semakin menjauh. Tetiba langkahku sumbang, aku jatuh terjerongkok:sungkur, menyembah lumpur yang menyumbat nafasku. Aku jadi sesak. Aku berteriak sekuat nafas memanggil: ”Emak!”. Astaghfirullah hal'azim. Terdidur dan mengigau rupanya aku. Ternyata, udara dalam pickupku sudah kehabisan oksijen. Nafasku sedikit sesak, mencunggap-cunggap, lalu segera aku menurunkan tingkap bagi mendapat udara segar angin sore: senja.
(6) Aku menyedut nafas panjang. Berulang-ulang. Sesak di dada sedikit menjauh. Namun aku masih tetap mahu terus diam. Fikiranku terus ingin berkelana. Aku biarkan. Mungkin sebentar lagi aku temui jalan pulang. Fikiranku akan pulang bersatu diri dalam tubuhku kembali dengan jawaban pasti, kenapa aku jadi begini?
(7) Aku meniti kembali jalanan hidupku. Miniti pantas, berlari-lari atas sebab hari kian hilang cahayanya. Angin sore kian mendingin dan melaju. Aku berhitung atas segala kegagalanku. Kegagalan menikmati kasih sepenuhnya, kegagalan cinta, kegagalan tanggunggan, dan kegagalan cita dan perjuangan. Semuanya aku kumpul dan timbang atas neraca fikiran. Semuanya, dapat kuperhitungkan. Segalanya seperti sedang bersatu, menjadikan jiwaku bergetaran. Aku jadi takut. Aku takut untuk berjalan. Aku takut untuk ke depan. Aku seperti sedang kalah. Saat sebegini, ingin rasanya aku berlari menghempap sepenuh wajahku di dada siapa? Menangis dan sembunyi diri sepuasnya, atas dada siapa? Aku mencari-cari. Betapa beruntungnya Muhammad SAW di saat resah, takut, tercabar ada rengkuhan Khadijah mententeram segala. Aku mencari di mana Khadijah?
(8) Khadijah? Ya, Khadijah rupanya yang aku sedang cari. MasyaAllah, betapa Engkau sememangnya sukar aku mengerti. Fikiranku telah pulang. Fikiranku sudah kembali jauh ke dalam tubuhku. Aku sudah mengerti. Sebak ini. Sakit ini. Resah ini. Rasa berat membatu ini. Semuanya kerana aku belum ketemu Khadijah yang mengerti akan beban yang terpikul di bahuku. Khadijah yang akan menyelimut saat aku sedang takut. Khadijah yang mendamaikan aku saat aku sedang resah. Khadijah yang merengkuh aku kuat saat aku sedang goyah. Khadijah yang akan terus hadir dalam segala hidup dan perjuanganku.
(9) Namun, saat otak kananku begitu yakin akan perlu hadirnya Khadijah, otak kiriku sudah berdolak-dalik. Banyak polimik tersembul: “Apa beban sebenar yang kau tanggung, maka Khadijah harus jadi tempat melepas segala? Apa mungkin Khadijah bisa menanggungnya? Apa mungkin akan hadir seorang Khadijah? Apakah kau selayaknya pada dia?” Otak kiriku, sebegitulah selalu, banyak soal, banyak ceritanya, maka kaki, tangan, dan bibirku jadi terus diam.
(10) Tambah mengusarkan, otak kiriku terus saja mengasak. Mengasak tentang Eina. Eina, yang hadir di saat aku sebegini, apakah ada Khadijah pada dia? Adakah hadir sirna kuat cahaya mata Khadijah pada bening matanya yang enggan aku tantang tepat? Apa tidak mungkin di matanya tiada bercahaya? Apa tidak mungkin dia juga sedang memikul duka kecewa? Apa mungkin dua duka melahirkan cahaya Khadijah? Sedetak sangsi kian menimbul. Aku diam. Dua tetanga, biar serumpun, otak kiri dan kanan, mereka enggan aku tenang.
Apa Ada Denganmu?:
Segalanya tentang kehidupan, manusia sandarkan pada takdir. Gagal, kerana takdirnya sudah sebegitu. Berjaya kerana takdir rezekinya begitu. Kelewatan, pasti ada yang berkata, takdir rezekinya belum datang. Apa benarkahr, Tuhan yang menentukan takdir? Tidakkah kita yang perlu menghambat: mengejarnya? Apakah pada kita ini, telah ada takdir yang bukan pada mahunya kita? Bagaimana pula kita akan mengerti, jalan takdir yang menyebelahi kita? Juga, apa pula jalan takdir yang bukannya menyebelahi kita? Semua soal itu menjadikan aku tertunduk, membongkar akal sekuatnya. Aku kepingin jawaban atas tanya yang begitu durhaka layaknya.
(2) Di sudut sofa rumah kecil aku menghempas diri. Pertanyaan derhakaku belum mati. Memuncak, dan mengasak terus:Di manakah tertulisnya segala kegagalan yang bakal aku jalani? Yang pasti, sememangnya kedua ibu bapaku sudah pergi. Apakah perginya mereka atas takdir betapa aku sememangnya ngak punya kesempatan membalas tumpah darahnya ibu dan keringat bapa dengan air madu Yaman? Tega benar rasanya Dia, menjadikan aku atas ketiadaan kedua orang tuaku? Apakah benar takdirnya aku sebegitu?
(3) Aku berkira, kedua ibu bapaku pergi tidak semata-mata atasnya takdir mereka harus pergi saat aku paling perlukan mereka. Keduanya pergi sebelum waktunya, atas peringatan buatku, betapa bila terjajah, bila kita tidak kuat, bila kita menjadi hamba di bumi sendiri, celaka pasti menerpa datang. Ibu pergi kerana aku bukan doktor. Bapa pergi seawalnya, sebegitulah juga sebabnya. Aku bukan doktor yang bias menghulur tangan menyambut sakitnya mereka. Mereka pergi, atas aturan Ilahi, jika sakit, tiada ubat, tiada siapa yang boleh mengubat, maka maut adalah jalan tujunya. Itu hukum azali ilahi. Law of the Nature bilang orang Belanda, Portugis, Inggeris dan bahkan Jepun. Takdirnya adalah bila sakit, tidak diubati, mautlah jalan pasti. Itulah hukum takdir. Itulah hukum azali. Takdir tidak tertulis semudah sebagai kita faham. Kefahaman kita tentang takdir sebetulnya adalah sempit dan kaku. Takdir adalah akibat. Setiap akibat ada penyebab. Selagi penyebab tidak datang, takdir pasti juga tidak datang. Sebab dulu, takdir kemudian. Bukan takdir dulu, sebab kemudian. Kita tidak mati sebab kita mati. Kita mati atas sebab yang pelbagai. Umur kita, panjang pendek atas pelbagai asasnya. Asas-asas itulah yang menyebabkan kita mati. Tiada kematian tanpa penyebab. Sebegitulah pengertianku.
(4) Kedua ibu bapaku pergi, bukan tertakdir atas mereka harus sakit. Kejamkah Ilahi, menjadikan mereka berdua sakit, sedang aku masih baru mengerti berjalan, mentakdirkan mereka mati. Mereka sakit, atas kehidupan mereka yang payah. Mereka payah atas khilafnya mereka menyerah kalah. Berbeda dengan moyangku, berani menyeberang lautan, begitu berani memperjuangkan kemerdekaan. Biar payah, biar susah, mereka sanggup mati kerana perjuangan. Namun mereka tidak mati kerana perjuangan. Saat kemerdekaan sudah datang, mereka pergi meninggalkan ibu dan bapa. Setidaknya, moyangku tidak mati kerana gagal dalam perjuangan. Bukan takdir mereka mati kerana perjuangan. Biar perjuangan bisa menuntut nyawa.
(5) Kedua ibu bapaku, mereka, payah dalam merdeka. Mereka payah mengisi kemerdekaan. Apa mungkin lebih payah memerdekan bangsa dan diri dari mengisi kemerdekaan? Tidak mungkin lebih mudah untuk mencapai pre-condition dari mengecapi akhirnya matlamat. Itu pasti. Itu aku yakin.
(6) Merenung hidup diriku ini, atas kehancuran mahligai keluarganya aku, apakah itu takdir yang harus aku pikul? Jika benar itu takdir, maka kenapa harus aku binggung atau ada yang ribut-ribut? Hancurnya kasih sayangku pada anak-anak, adakah telah tertulis takdir sebegitunya? Aku mengeleng-geleng. Tidak. Dia tidak sekejam itu. Kehancuran itu adalah pilihanku. Aku memilih jalannya sebegitu. Bukan Dia yang memuktamatkan sebegitu. Segalanya adalah pada pilihanku. Dia tidak menyuruh aku berbuat sebegitu. Dia mengharamkan aku berbuat sebegitu. Jelas, takdir tidak semudah yang semua orang sebutkan. Tidak sesempit kebanyakan orang mengerti. Kebanyakan, mengunakan takdir sebagai jalan pelarian.
(7) Kini, jalanan kerjayaku, sudah banyak galang batu-batu menghalang maju. Apakah itu suatu takdir? Tidakkah mungkin segalanya kerana aku telah tidak berubah? Tidakkah mungkin, aku yang telah menjadi batu, kaku dan keras? Jika aku sudah tidak kenalnya aku, kenapa takdir menjadi alasan segala kepayahan yang sedang aku hadapi? Manusia, saat gagal, ada saja galas alasannya. Biarpun Allah jadi taruhannya. Apakah aku juga harusnya sebegitu?
(8) Kini, jelas bungkah otak kiriku sudah mengembang lalu menyempitkan gengsi: ego otak kananku. Analisis kritisku mulai menjalar meresap ke seluruh tubuhku. Aku berdiri, aku berjalan, aku menghirup green tea panas. Mataku tajam. Jiwaku sudah basah. Keringnya rasa sudah pudar. Aku kembali pulang. Aku menghadap Tuhan dengan pasti. Aku pasti dengan jalan yang aku pilih. Aku pasti dalam mempersembahkan jalan yang aku pilih. Aku pasti, tentang apa yang aku mahu, sejujurnya, seiklhasnya semahunya aku, aku persembahkan dengan pasti. Aku yakin, Dia mengerti. Aku yakin, Dia maha mengerti.
(9) Kini aku pasti, sudah jelas betapa aku harus mencari dada Khadijah buat aku sandarkan harapan. Dada Khadijah yang harus aku basahi. Juga tangan Khadijah yang harus merengkuh kuat tubuhku saat aku kegetiran. Aku kepingin adanya Khadijah hadir saat aku sedang resah, menangis, diam, takut dan payah. Senyum tawaku, banyak orang yang mahu. Terlalu banyak yang mengutip ceriaku. Deritaku, hanya Khadijah yang pasti mahu mengerti. Kenapa begitu hukumnya alam?
(10) Hawa terbangun dari rusuknya Adam. Keduannya bagai magnet, saling melengkapi khutub-khutubnya. Saat Adam terhukum tercampak keluar dari syurga, Hawa tetap ikut memikul sama payahnya Adam. Tidak Hawa betah meninggalkan Adam derita payah sendiri hidup di dunia yang jauh serba payah dan kekurangan. Hawa sanggup terkorban bersama Adam. Begitulah hukum alam sejak azalinya. Begitulah hakikatnya kejadian hubungan Khadijah-Muhammad. Khadijah adalah rusuk kiri Muhammad. Pengorbanan berat Khadijah adalah kerana dia terbina dari rusuk kirinya Muhammad. Dia adalah pelengkap Muhammad, di samping Muhammad.
(11) Pada Eina, kukira adanya Khadijah. Aku mesti pastikan apa benar telahanku itu. Selagi itu belum kupasti, selagi itu, Eina pasti menjadi bungkah batu di dadaku, menyumbat salur-salur darahku, menyekat mudah aliran nafasku. Aku pasti, Eina, yang memberatkan dadaku, maka Eina mesti kuhambat hebat. Wajahnya yang tunduk mesti kuangkat tepat. Matanya yang sentiasa melari, mesti aku buka dan tikam tajam. Bibirnya yang bungkam, mesti aku buka biar lidahnya bergetar. Jantungnya yang beku, mesti aku isi darah merah. Biar seluruh tubuhnya kali ini bersama aku. Aku tekad. Aku mesti bebaskan dadaku dari memikul batu beban yang mengusarkan. Dadaku harus tidak terbeban. Aku harus memerdekakan diri. Eina, padanya Khadijah, mesti kutangkap ikat.
(12) Talipon bimbit kucapai. Deringan panjang. Deringan putus. Berkali-kali sebegitu. Aku tetap kental. Dering lagi. Putus lagi. "Syabar" kata hatiku. "Tenang" kata otakku. Aku tahu dia ada di hujung sana. Akhirnya, "Hellow” sambut suara halus di kejauhan. Aku berbicara: “Eina, Munsyi ni. Boleh kita bercakap biar hanya sebentar?” Tiada jawaban. Diam panjang. "Hellow. Eina, you masih di sana?", tanyaku penuh getar. "Ya", singkat dan mematikan rasa jawabannya.
(13) "Besok, kita sarapan sama. Kita ketemu di Coffee Corner. Jam 0700, boleh?", aku memecah jalan memberani diri. Aku heran. Kenapa Eina, menjadi beban kebaculan bagiku? Sedang telah banyak yang hebat-hebat, di mana juga, kecil, besar, tinggi, rendah, semuannya aku hadapi dengan gagah. Tanpa gentar, tanpa prasangka. Eina menjadikan aku kecut. Eina menjadikan aku was-was. Inikah di namakan api rasa, jika terbakar, parahnya, bisanya, pedihnya, tikamannya tidak serupa belahan pisau yang paling tajam? Kami diam panjang. "Hellow, are you still there?", telahku bagai hilang sabar. "Ya, InsyaAllah", lagi-lagi jawab ringkas mematikan. Aku enggan menyalakan api, aku enggap membakar diri:"Baiklah. Kita ketemu esok. Good night"
Menghadap Takdir Eina:
Malam tidur yang resah. Bintik-bintik keringat berminyak tumbuh di dahi. Pendinginpun ngak bias mematikan kepanasan. Melathonin tiada terkesan. Berputar-putar, berpusing-pusing. Resahnya bukan kepalang. Bangkit berjalan. Menatap pekat malam. Sepi segala. Bintang-bintangpun sudah tidur. Semua sudah lena. Penggap, hanya aku melayang-layang. Awam hitam tebal terasa mengawang di dadaku.
(2) Pagi dijanjikan, dalam hangat tubuh yang masih resah, memacu saja ke tempat perjanjian, Cofee Corner. Banyak meja masih kosong. Beberapa pelayan tersentyum-senyum melihat aku hadir begitu awal. Aku sengaja memilih suatu sudut agak jauh dan terselindung. Kukira ini agak sesuai untuk pertemuan dijanjikan. Aku ingin biar bicara kami nantinya tidak mudah dikupingi: curi dengar sesiapapun. Aku ingin benar-benar privacy.
(3) "Hey Munsyi, tak sangka jumpa kau di sini", tiba-tiba sapa Busman. "Wah bukan main engkau. Lupa terus kau dengan aku ya? Lama benar kita tak jumpa. Apa khabar?", tanya Busman, teman zaman kecil yang kini sering saja tengelam timbul. "Sorang saja ke? Atau kau sedang tunggu sesiapa? Lain macam cara kau pilih tempat duduk. Selalunya, pasti kau pilih yang di tengah atau paling tidak terbuka. Mesti ada apa-apa ni? Aku 'join' engkau. Akupun tak ada teman", terus saja leternya sambil melabuh diri menarik kerusi duduk di sampingku.
(4) Wajah Busman tidak secerah suaranya. Ada garis-garis kurang tidur terlukis hebat di wajahnya. Rambutnya sedikit masai. Sesekali dia tersedut-sedut seakan-akan selsema. Namun aku kurang peduli itu semua. Fikiranku sedang mengharap hebat kehadiran Eina.
(5) Masa berlalu, tiga puloh minit bagai seharian rasanya. Jam di tangan entah berapa puloh kali sudah kukerling. Eina belum datang juga. Busman, yang sememangnya nakal dan pemerhati sejak kami sama-sama kecil dan mendewasa sangat perasan akan resah tingkahku. Dia menepuk-nepuk bahu dan mengusap-ngusap belakangku. Aku diam. Aku tunduk. Sejam berlalu, tiada bayang Eina. "Begini sajalah, ayuh kita 'drive' saja ke tempat selalunya", usul Busman. Sebuah batu hampar, di Tebing Tinggi Pantai Damai adalah tempat selalunya aku mencari ketenangan saat resah membantai aku. Busman maksudkan tempat itu. Aku hanya merenung matanya tajam. Aku masih diam. Dadaku sebak. "Kita tunggu lagi tiga puloh minit", usulnya bagai mengerti apa yang sedang aku harapkan.
(6) "Eina, I tunggu you hampir satu jam setengah sebagaimana janji kita malam tadi. Jika you dalam perjalanan ke mari, sila SMS, I jalan-jalan sebentar", kukirimkan teks buatnya, antara yakin dan ragu. Aku dan Busman memacu terus. "Engkau tak sibuk? Kita ke Sematan", usulku. Busman mengangguk. Dia lemparkan senyuman hambar yang payah untuk aku balas. "Apa sebenarnya? Ini pasti soal hati lagi. Tak serik-serik. Hidup merdeka lagi baiklah", asak Busman. "Siapa kali ini? Boleh aku tahu? Macamana mulanya?" terus saja soal dari mulutnya yang ngak pernah mahu diam. Dia tersenyum sinis. Dia memandangku tepat.
(7) "Kira-kira dua tahun dulu, aku bersiar-siar enak. Sambil bernyanyi-nyanyi semasa memandu, aku tidak sadar terlanggar seorang gadis yang berdiri di bahu jalan. Di pendekan cerita, dia terjatuh dan cedera. Aku uruskan rawatannya di Normah Medical Center. Nasib baik, tiada yang membahayakan. Segalanya habis di situ" ceritaku pada Busman. "Tiada apa-apa yang berlaku. Cuma sesekali, wajahnya seperti hadir dalam bayanganku. Suatu hari, entah takdir entah apa, semasa minum di Starbuck Spring, tiba-tiba aku perasan seperti dia duduk di depanku. Aku terus menyapa, dan sememangnya benar adalah dia. Kami sedikit berbicara tentang tabrakanku dulu. Namanya Magdeleina Ikka" sambungku. "Orangnya putih, 'slim', molek, berambut panjang sedikit ikal. Tinggal, kalau tak silap di Taman Tun Jugah. Baru habis membuat PhDnya kalau tak silap? Betul?" soal Busman tepat padaku. "Hey lanun, kau kenal dia dari mana? Bila?", balasku hairan. "Aku jumpa dia dalam perjalanan dari Los Angeles ke Kuala Lumpur kira-kira lima bulan lepas. Kami duduk bersebelahan. Kami bercerita panjang, yalah engkaupun tahu, tujuh belas jam penerbangan, banyak masa. Banyak cerita yang aku tahu tentang dia. Semasa di Kuala Lumpur, kami bersama lebih kurang tiga hari sebelum dia kembali ke Kuching", jelas Busman. Aku sangat kagum dengan temanku ini. Dia bagai selalunya pasti akan muncul di saat tepat aku perlukan kehadirannya.
(8) "Memang patut engkau tertarik padanya. Dia gadis manis. Lembut dan sopan. Namun di sebalik itu, terlalu banyak rasanya prilakunya yang tidak mungkin dapat engkau terima", jelas Busman terus. "Engkau seperti mengenali dia sangat dalam, bagaimana itu?", soalku kehairanan. "Pertamanya, dia punya dendam yang sukar dibendung. Dendamnya pada ayahnya, menjadikan dia sukar percaya kepada lelaki. Ayahnya dulu berlaku onar dan hampir-hampir memporak perandakan keluarga. Ibunya menanggung segalanya untuk sekian lama sehingga ayahnya kembali ke jalan asal. Dia sendiri menanggung pelbagai kepayahan untuk meneruskan pengajian. Namun, katanya, nasibnya agak baik kerana berada di luar negara. Atas sokongan seorang teman, dia dapat mengharungi segalanya", sambung Busman bagai kitab sejarah yang kutatap lembar demi lembar. Ada nada tergetar pada suaranya. Aku cuba menduga-duga.
(9) "Habis, bagaimana pula soal itu terkait dengan ketaksesuaiannya dengan aku?", soalku tegas. "Engkau ni, dah semakin berumur, semakin lembablah", jawapnya sambil melempar senyum sinis. "Keonaran bapanya, keperitan ibunya dalam menanggung adik-adiknya, serta payahnya dia, menjadikan dia gadis keras. Jiwanya keras. Biar orang kata dia tabah, namun hakikatnya, dia mengeras. Lantaran kerasnya itu menjadikan dia berjaya mendapatkan PhDnya dengan baik. Itu juga turut menumbuhkan rasa mandirinya, mungkin juga egonya. Dia merasakan dia merdeka. Kasih sayang bukan jadi buruannya. Kini dia mahu merdeka dari belenggu kehidupan yang dulu menyulitkan hidupnya. Soal berkeluarga telah menjadi suatu kepantangan baginya, taboo hidupnya. Kini dia sedang menghambat kerjaya. Menghambat keperluan hidupnya yang menjamin kemerdekaannya. Sukar untuk dia percaya tentang hidup berkeluarga," jelas Busman terus-terusan. Getar suaranya semakin jelas. Dia sesekali mengeluh.
(10) "Saat dia tengah merasa merdeka, engkau hadir, dan watakmu, sangat lain. Engkau perlukan dia untuk langkah selanjutnya. Sedang dia ada sejarah, sejarahnya, saat dia payah, kasih yang didambakan hanyut dan hilang. Sekarang dia telah berjaya, maka, kenapa harus dia membeban diri menjayakan engkau? Dia ingin menikmati sepuasnya kemerdekaannya. Lain saat dia perlukan engkau, maka engkau hadir!" Busman menerus bicara.
(11) "Beginilah. Aku sudah tercium langkah selanjutnya engkau. Engkau bercadang untuk meninggalkan jawatan yang engkau pegang. Aku tahu betapa engkau gagal menghambat cita-citamu lewat jawatan kini. Terlalu banyak kekecewaan yang engkau sedang pikul. Banyak perkara tidak berjalan sebagai yang engkau rencana dan inginkan. Paling parah aku dengar, bila engkau sudah sekian lama mulai merasa sendiri dalam banyak perkara yang mencakup kepentingan Syarikat. Engkau hakikatnya sudah mengaku kalah. Engkau melihat perletakkan jawatanmu sebagai pengorbanan, namun dia lain pandangnya. Engkau akan terkapai-kapai mencari jalan baru. Semua itu, kau telah ceritakan pada Eina. Dia melihat semua itu sebagai bebanan. Dia tidak mahu terbeban lagi", hujah Busman. "Paling sulit, aku berkira, kalian tidak cocok. Jiwa kau pada rakyat. Jiwanya hanya pada dirinya. Jika kau teruskan, pasti kalian suatu hari nanti berantakan. Lebur. Hancur, terkecundang. Sia-sia" leter terus Busman.
(12) Aku memandang Busman tepat. Dia merenung aku sinis. Hatiku berkata:"Bagaimana syaitan gondol ini tahu semua ini?. Sambil menepuk-nepuk bahuku, Busman tertawa terbahak-bahak. Namun ada bening-bening kaca di selaput matanya. Tetiba dia diam. Aku jadi semakin heran. Dah gilakah dia ini. "Beginilah Munsyi, kita sebetulnya telah jatuh cinta pada gadis yang sama. Sejak bertembung mata di angkasa Los Angeles lagi aku sudah jatuh hati padanya. Kami sering berhubungan. Kami amat terbuka dalam perhubungan. Aku tahu tentang usahamu untuk memikat dia. Dia jadi serba salah bila dia tahu kita berdua adalah sahabat akrab. Dia tidak mahu mengecewakan dua sahabat sepertinya kita ini. Malam tadi, saat engkau berutusan dengannya, dia bersama aku untuk kali terakhirnya. Dia yang meminta aku datang menemui engkau di sini untuk meminta agar dia kau lupakan. Aku juga mesti berkorban sama melupakan dia. Pendeknya, biar keras, dia cuba berlembut hati untuk kita, namun memilih satu antara dua adalah sulit buatnya. Maka jalan terbaik buatnya adalah kehilangan keduanya. Itu lebih mudah baginya!", dengan wajah pucat, air mata berlinangan, Busman menyampaikan takdir sebenar. MasyaAllah.
(13) Aku melopong. Aku tidak percaya. Pertamanya, Busman bisa jatuh cinta sedang dia adalah belut yang paling licik yang aku kenal jika berhubung dengan perempuan. Dia paling engan jatuh cinta. Baginya cinta hanya mahukan korban hati. Keduannya, bagaimana takdirnya, kami berdua bercinta pada satu tubuh yang sama, dan menerima takdir yang sama. Namun adakah itu takdir? Apa mungkin Eina terjadi dari dua rusuk yang berlaian? Atau kerana keserasian Busman dan aku, maka sebegitu jadinya?
(14) Kami benar-benar diam. Sepi. Hanya degupan jantung yang kuat dan keras kedengaran. Kami sama mengeluh. "Di mana silapnya kita Man?" tiba-tiba soal itu terpancul dari penggapku. Busman menoleh. Dia tersenyum lalu tertawa. "Syaitan punya kawan. Kenapa tak kau ceritakan padaku yang kau temui dia? Jahat sungguh. Rasakan. Nak makan sembunyi-sembunyi. Padan muka", tempelakku pada Busman.
(15) "Hey kali ini aku benar-benar jatuh cinta tahu. Aku benar-benar jujur hendak membina sebuah keluarga bahagia bersama dia. Seruan seperti sudah singgah di hatiku. Tetapi, kenapa pula wujudnya kawan melaun seperti engkau. Hadir saat aku tengah menjala dia. Kenapalah tidak engkau temui yang lain? Ya jujurnya cinta kita tampaknya jatuh di kolah sampah, tiada ertinya!" balas Busman separuh berseloroh. Suaranya sebetulnya masih terketar-ketar. Aku berkira, dadanya juga masih sebak. Dadanya juga masih perit. Cuma kerana kami sudah sebati tentang hidup masing-masing, maka kami masih boleh bertahan dari meraung menangis bagai srigala menggonggong rembulan. Dua sahabat mengejar satu hati!
(16) "Engkau perasan tak, dalam wajah Eina macam tersembunyi seribu kedukaan? Wajahnya, bagiku adalah iras duka. Aku sebetulnya ingin sekali mengurai kedukaan itu dan menyambut luruh dukanya dalam mangkuk air madu untuk kuhirup rakus", soalku pada Busman. "Hey sudahlah. Dia tidak mahu dibantu. Aku tahu cerita dukanya. Soal keluarga satu darinya. Soal hidup juga terkumpul sama. Pokoknya, dia merasakan dia merdeka dan ingin bebas". Nada suara Busman meninggi antara marah dan kesal mungkinnya.
(17) "Kita dulu anak-anak zaman payah. Naiknya kita tanpa ada orang tua bersama kita. Juga tiada siapa mengurusi kita. Namun, kita membesar dan mendewasa dalam masyrakat yang akrab dan peduli. Eina, jiwanya, generasinya lain. Tidak dapat kita bersatu dalam zaman mereka. Hanya masa yang akan mendidik dan menyedarkan mereka", sambung Busman bersungguh-sungguh. "Tinggalkan dia di mana seharusnya dia. Jika kita masih ada, waktu akan mempersaksi segalanya" lemparnya terus dan memandang tepat mukaku. Ada nada kesal dan dendam dalam suaranya.
(18) Aku pasti ada banyak lagi yang menjadi rahsia hati Eina yang pastinya belum Busman selongkari. Aku ingin menyelidik terus. Aku menduga, pasti aku akan mendapat nur di penghujung terowong. Cuma, jika aku terus merapat Eina, pasti akan timbul kemelut antara aku dan Busman. Bagaimana akhirnya akan terjadi pada perhubungan kami? Adakah Eina bakal menjadi peledak: pencetus sengketa atau akan jadi bidukkah dia lalu menaup kuat kesetiaan kami? Aku berfikir dan berkira-kira sendiri tentang langkah seterusnya. Eina akan kuhambat juga. Aku tidak akan menyerah kalah. Biar kumengerti siapa dia, dari kulit sampai ke hati dan fikiran sebenarnya.
Perpisahan Juga Dituntut:
Bercahayakan lilin. Dalam alunan piono lembut romantis San Francisco Grill. Busman menatap tepat Eina. Matanya meniti dari dahi, ke kening, ke mata, ke bibir, dan merayap ke jari-jari lembut Eina yang bagai separuh sudi menghiris Lamb Shank. Ingin rasanya Busman membantu, setidak-tidak menyuap cebisan-cebisan irisan daging yang mengiurkan bagai tanda kasihnya pada Eina. Namun keinginan itu mati atas hukum sangsi.
(2) Namun semua seperti serba ketaktentuan. Dalam fikiran Eina, perhubungan dengan Busman mesti dimatikan. Pada Busman, Eina mesti dia dapatkan. Satu mengharap, satu menolak. Satu mendamba, satu menidak. Urusan give and take terbentur: tersekat kaku. Mereka jadi bisu. Hanya nyanyian sudu dan kunyahan perlahan malas makanan yang mengiringi alunan piano rasa hati Richard Claderman. Segalanya tidak seirama. Lagu dan irama kian tidak serasi.
(3) “I tak boleh menerima you. Pertamanya, I belum besedia. I masih mentah. I masih serba kekurangan. Keduanya, usia kita sangat jauh berbeda. Dua kali lipat berbeda. Terlalu jauh. Rentak hati dan fikiran kita pasti terlalu jauh berbeda”, perlahan-lahan Eina memecah bicara. “Lagipun, I ingin tumpukan dulu untuk mengembalikan keutuhan keluarga kami. Kami telah melalui tempoh payah yang menyayatkan. I perlukan banyak masa. I tak fikir you harus menunggu. You jangan buang masa. Tidak mungkin hati I akan singgah ke hati you. Tidak mungkin dan tidak akan”, sambung Eina, antara geram dan sepertinya marah. Gemes sebetulnya dia.
(4) Busman jadi pengap. Dia kaku. Dia kelu. Kepalanya polos. Dadanya gementar bagai mahu meledak: pecah. Busman benar-benar terpukul. Harapannya yang mengunung berkecai. Perasaannya benar-benar tertekan. Tanpa segan, air matanya bertitisan, banjir memasinkan Fish & Chips yang tak terjamah. Seleranya padam. Mati sebetulnya. Einapun jadi diam, tunduk tidak berani menatap Busman. Jari-jarinya berusaha menghiris Lamb Shank, namun sepotongpun tidak kejadian. Terasa otot-otot lengannya lemah.
(5) Irama sebak dan tega sedang berantakkan. Busman padam dalam sebak. Eina tega mahu melolos: melepas diri. Busman bermati-matian mahu mengikat dia. Sedang Eina sudah tekad tidak mahu peduli. Hatinya berkata keras:” Persetan, aku ingin bebas. I’m not here to be with you. You are blocking me of my destiny.Man made my life miserable!”. Api asmara yang marak, tersimbah air lemas mematikan.
(6) “Kalau belum bersedia, bersedia bagaimana jika usia sudah mencecah 27 tahun. Tidakkah dia mengerti, itulah usia paling pantes: tepat untuk membuahkan zuriat yang segar. Soal beban keluarga, tidak mungkin akan aku biarkan mereka tidak kubantu. Pastinya, kapanpun, bisa aku bantu. Soal nafkah, keperluan hidup, bahkan jika mahu, soal pembiayaan lainnya pasti tidak menyulitkan aku”, Busman berfikir dalam. Ada kesangsiannya pada hujah Eina. Dia menahan nafas. Dia melawan lirihnya.
(7) “Tidakkah mungkin, apa yang you katakan hanya separuh benar? Tidakkah usia kita yang sangat berbeda menjadi hambatan sebenar? I berkira, pada tanggapan you, perbedaan itu akan menyekat you dari menikmati masa muda you. You sebetulnya, lebih takut untuk tidak punya kesempatan menikmati masa muda you, dari segala alasan yang lainnya. Atau you mungkin sekadar ingin menebus masa muda you yang telah tersia-sia akibat keributan keluarga terdahulunya?” sanggah Busman. Nada tegas dia lepaskan. Matanya menikam tajam anak mata Eina yang bertantangan.
(8) Dua pasang mata. Dua pasang hati. Bertikaman. Berantakan. Dingin dan bercahaya sudah kian pergi. Yang muncul bara, api kemarahan. Api sengketa. Hanya kerana cinta yang kian meluncur pergi. Tiada sisa indah yang terbekas. Yang ada pasti luka dan turihan parut tipis, dalam, menyakitkan. Busman terasa terhina. Maruahnya tercabar. Hatinya pedih.
(9) Pada Eina, lain di hati, lain di bibir sebetulnya, ada rasa takut untuk berterus terang. Hatinya sebetulnya sudah dimiliki yang lain. Terdahulu. Cuma, sedikit kegetiran menjadikan dia sangsi lalu terjebak dalam kancah cinta Busman dan Munsyi. Dia masih takut untuk bersikap pasti, takut menjadi: burung terbang di pipiskan lada melanda diri, seperti silapnya anak dikendung dilupakan, kera di hutan disusukan atau mendengar guruh di langit, air di tempayan dicurahkan. Eina sebetulnya dalam dilemma cinta yang sukar dia sendiri jelaskan. Dia serba salah, diluah mati emak, ditelan mati bapak, layaknya.
(10) Sejurus selepas meninggalkan San Francisco Grill, Eina terus ke rumah teman akrabnya, Kamaliah. Pada Kamaliah dia mencurah segala rasa binggungnya. Begini sajalah, sekarang hubungan engkau dengan Haekal sudah goyah. Pokoknya, kau berdua bercinta saat di bilik kuliah. Cinta anak-anak muda. Cinta persinggahan buat melampias kekosongan. Cinta sekadar ingin dicintai. Tidak bercinta atas perlunya bercinta. Saat di mana engkau sedang menghadapi banyak tekanan perasaan. Wajarlah saat itu engkau perlukan seseorang untuk melempiaskan segala rasa hati. Kebetulan Haekal ada di situ. Dia simpati. Kamu berdua akhirnya saling mengambil berat antara satu sama lain. Sebetulnya, cinta kalian adalah cinta persinggahan. Tidak cinta sebetulnya. Kini Haekal sudah berada di dunia sebenar. Maka aku tidak hairan dia telah merenung kembali tentang hubungan kalian. Dunia di luar sini, sangat berbeda dengan dunia kampus, juga dunia remaja. Haekal menemui kebebasannya. Maka engkau kian dia pinggirkan. Sedang Busman, cinta sejujurnya adalah pada engkau. He need you. Haekal just want you. Now he don’t need you.”, hujah Kamliah panjang bila Eina mencurah segala kecelaruan yang sedang dia hadapi.
(11) “Tapi Lia, kami sudah berjanji sehidup semati” balas Eina ingin simpati. ”Ya sehidup semati, seorang hidup seorang mati. Sudahlah. Dunia sudah berubah. Ambil dari yang memberi, beri pada yang menerima” balas Kamaliah. “Tapi dia telah banyak membantu aku. Pengorbanannya dia padaku sangat besar saat aku memerlukannya” celah Eina. ”Makanya, kini dia menuntut korban dari engkau. Perpisahan. Lupakan dia” jawap Kamilah pendek dan tegas. Eina tertunduk seperti separuh percaya.
(12) Cinta, sebegitulah hakikatnya, jika dihambat kuat, larilah dia. Jika rindu tak karuan, pasti lowongan: kekosongan meresahkan mendatang. Akhirnya akan ada saja persinggahan. Namun, jika tidak dipedulikan, juga kabur : melepas akhirnya. Tuntutan pelayanan cinta adalah mistri yang sukar dimengerti jalan memenuhinya. Mistri cinta, sebegitulah selalunya. Sering menuntut ketabahan dan korban.
Kembali Menghidupkan:
Deburan ombak mengaum di pantai. Angin Laut China Selatan memukul keras setiap laluannya. Deruan pepohon ru bergemuruh bagai hujan melanda keras. Busman dan aku terus jalan bersandingan, di gigi pantai. Kami hanya diam. Sesekali kami mendongak langit. Sesekali mencapai angin. Sesekali melepar anak-anak batu ke laut. Semua kami lakukan seperti sedang melepaskan buku terpendam di hati masing-masing. Mengosong segalanya. Terasa hadir hina yang sukar diterima. Parah, perit, bisa menusuk-nusuk.
(2) "Apa kata kita merantau?" aku mengusul memecah kesepian. Busman enggan melihatku. Wajahnya dia lemparkan ke laut luas. Dia mendengus. Aku berlari mendapatkan wajahnya. Dia berpaling. Dia tunduk. Titis-titis air matanya membasah bumi. Aku tergetar. "Kita pergi jauh-jauh. Ke mana saja, setahun dua baru kita pulang. Kita merantau keliling dunia, ke Asia Tengah, Afrika dan Latin Amerika. Mungkin di sana akan kita temui sejuta Eina", usulku keras dan jelas cuba mencari jalan pelarian.
(3) Busman mengeluh. Dia mengengam tumbuknya. "Aku rasa akan bersara dari dunia perniagaanku. Aku sedang usruskan penyerahan segalanya kepada dua anak buahku. Aku berfikir untuk ikut engkau diam di kampung" balasnya dalam nada sayu. Aku kaget mendengar langkah keras Busman. Setahu aku, kampung tidak pernah hadir lama dalam dirinya. Buang tabiat agaknya dia.
(4) Dengan cepat fikiranku mengimbau: “Lelaki, sejak Adam, mahunya pada jenis Hawa, bisa memabukkan. Fikirkan saja, jika Allah menafikan kehendak Adam pada Hawa, pasti durhaka jadinya dia. Namun begitu, bersama Hawa tetap Adam melangkau batas, sehingga bumi penuh cabaran jadi taruhan syurga yang serba enak dan lengkap”. Kini, Eina, aku dan Busman, sama saja lakunannya. Kerana Eina, aku dan Busman pasti mabuk dan penasaran. Kami seperti sanggup saja mengorbankan segala yang indah yang telah kami miliki. Kedudukan, kewangan, kesenangan dan penghormatan: “Inilah akibatnya mungkin zat buah khuldi yang terlarang buat Adam dan Hawa. Atau mungkin juga, Eina terbina dari rusuknya kami berdua, sehingga kami jadi terikat kuat untuk mengembalikan dia di samping kami bersama. Aku kepingin jawaban pasti dari mistri ciptaan ini”.
(5) "Di kampung, perlunya lain. Di sana, biar hidup tampak sepi, sebetulnya tidak pernah sepi. Manusia kampung mereka sepi, bukan kerana mereka diam. Mereka hanya ingin merukun damai suasana. Sepi, diam, itulah indahnya kampung" jelasku pada Busman. Dia memerhatiku penuh tajam. Terasa jiwa ingin tahunya membakar. "Ya, engkau boleh beli tanah di sebelah aku, kau bina rumah dan taman sendiri. Kita sama-sama bina keluarga di kampung. Kita cari saja anak kampung atau siapa saja yang jiwanya kampung tetapi wibawanya kota. Kita jadikan kampung, syurga buat kita, syurga buat anak cucu kita, syurga buat mereka di sekeliling kita. Mahu?" celahku.
(5) "Ayuh kita jangan cakap saja. Kita berdiri dan berjalan sekarang juga. Kita sama-sama berhenti. Kita bersara. Kita kembali jadi anak kampung, tertawa, tiada duka seperti dulu-dulu. Aku berkira pasti umur kita akan panjang, dan kita dapat nanti saksikan segala pentas yang melakunkan segala hidup ini", balas Busman penuh semangat. Matanya bercahaya. Namun aku kurang pasti apakah itu cahaya gembira atau dendam membara.
(6) "Man, aku bercadang akan ke Pedalaman Bandung, Indonesia",...hah, engkau hendak memburu gadis Sunda? Khabarnya isteri Sunda paling setia pada sang suami?, sampuk Busman sebelum sempat aku jelas panjang. "Ah engkau, kita sama-sama ke sana nanti. Kita mondok di Pesantren di Pergunungan. Kita istirehat. Kita dalami segala kekurangan yang ada. Kita putihkan jiwa kita. Mungkin dengan cara itu, kita akan lebih redha dalam banyak perkara. Jiwa kita mungkin akan lebih damai. Kita persiapkan diri untuk jadi orang kampung yang lain. Kita mesti menjadi anak kampung kota yang kembali mengkotakan kampung. Hujung minggu ini aku ke sana dulu untuk menyelidik keadaan. Siap semua, nanti di bulan Oktober, kita ke sana. Mungkin lebih nyaman, kerana lebih dingin" lanjutku cepat sebelum Busman punya seribu satu kesangsian. "Pendeknya, kita harungi hari-hari dewasa dan memperkasa diri di kampung. Untuk itu, kita mesti mempersiapkan ilmu yang orang kampung hargai", terusku.
(7) "Pas, kita segerakan. Aku setuju. Bulan depan, aku akan ke kampung dan pujuk Wak Safiee untuk jual tanahnya yang bersandingan dengan tanah engkau kepadaku. Aku tak kira berapa harganya. Kita bina taman berjiran. Kita bimbing masyarakt desa kita" ujar Busman penuh girang. Terasa nafas panasnya sudah bangkit segar. Wajahnya memerah. Matanya bersinar terang. Jalannya tegak. Dia tidak tunduk. Dia terhanggut-hanggut. Fikirannya jelas, sepertinya. Dia tampak yakin dan utuh.
(8) "Man, biar apapun, yang kita perbuat ini, bukan atas dendam. Jika kita dendam, sakit kita sendiri. Eina atau sesiapa juga, tertawa sinis mereka nantinya. Aku berharap, biar ini terlahir dari keikhlasan kita. Kita ingin kembali sebagaimana kitanya dulu" pintaku pada Busman. "Kalau luka, biar sekilas, pasti ada parutnya. Parut itu tidak akan boleh melupakan kita pada sejarah lukanya. Aku tidak mungkin dapat melupakan sepenuhnya, namun, aku biarkan itu bersama masa menentukannya nanti. Untuk ketika ini dan esok, kita harus berjalan biar sedalam mana luka dan bekas-bekas parutnya", balas Busman. Dengan jawaban itu, kini aku pasti tetap ada dendam dalam diri Busman. Juga, pasti prilakunya selepas ini, jika tidak membalas dendam, pasti dia akan melewati suatu jalan pelarian. Mudah-mudahan dugaanku akan tergelincir tentang temanku ini.
(9) Busman sebagai selalunya, dia pasti tidak melupakan apa yang terjadi pada dirinya. Kerana sifatnya itu, jarang dia punya teman, kerana dia sangat takut untuk dikecewakan dan disakiti. Inilah kesakitan yang benar-benar merubah hidupnya. Aku merasa menjadi tanggungjawabku untuk meringankannya. Tentang dia ingin meninggalkan dunia perniagaannya, pasti ada sebab lain yang lebih berat dari kecundang cintanya. Aku belum pasti.
Menelanjangi Inti Cinta:
Kota Bandung, kota dingin. Biar di tengahari terasa dingin segar udaranya. Ke pedalaman Jawa Barat, di pergunungan sederhana tinggi. Sekitaran yang sememangnya hijau dan segar. Angin gunung saban waktunya berhembus nyaman. Inilah Ibu Kota Jawa Barat yang terkenal dengan pengaruh Belanda yang sangat meluas. Sisa darah dan benih Belanda, seperti banyak berhamburan di Kota ini. Di Kota ini terlahir banyak pemimpin besar bangsa Indonesia saat kerakusan Belanda menjarah serakah alam mashul pribumi. Shahrir, Hatta, Sukarno, dan berbagai lagi sering menjadikan Bandung, sebagai kota bagi melancarkan perjuangan mereka. Bandung sangat besar ertinya buat bangsa Indonesia.
(2) Aku bersama Mas Kris dan Jajang mengetir: memandu ke Cijililin, sebuah perkampungan jauh ke barat Bandung. Mas Kris teman sekuliahku dulu di Amerika, berasal dari Jakarta, kini dosen: pensyarah. Mas Jajang adalah dosen bebas di Jakarta, asalnya anak Cijililin, Bandung. Mas Jajang adalah bekas santri: pelajar di Pesantren Cijililin. Sejak sekian lama, hajatku bersama Mas Kris mahu mondok di sana. Kami ingin menyelidik dulu segala kemudahan di sana.
(3) Jalannya berliku-liku. Berlobang-lobang, rosak di sana sini. Sempit. Simpang siur antara mobil dan speda motor meributkan lagi. Di kiri kanan, tiada henti, bersambung-sambung rumah-rumah Sunda yang begitu indah seni binanya. Atap genting, menguning, dari tanah bakar yang baik. Punya kecondongan atap 45 darjah menjadikan suasana rumah yang redup, dingin, enak dan menarik. Mobil, speda motor, kereta kuda, manusia berjalan kaki saling berebut ruang di sepanjang jalanan berliku dan berputar-putar. Biar lambat dan payah, aku leka menikmati indahnya seni bina Sunda-Jawa.
(4) Di sepanjang jalanan, sering saja ketemu watak-watak manusia yang menyakitkan buat Mas Jajang. "Mas lihatlah inilah wajah-wajah Indonesia. Kami belum merdeka. Kami masih kesempitan. Pemerintah kami hanya leka di Jakarta. Rakyat susah melata tidak siapa pedulikan" adalah hamburan kata-kata biasa Mas Jajang bila saja ada pengamen menghulur tangan ke tingkap kereta, juga bila pembonceng speda menderu tidak karuan tanpa amaran.
(5) Di pinggir jalan, bertaburan para penjaja, merebut rezeki. Apa saja dijual, dari itik panggang, ke patung-patungan terbuat dari segala sisa buangan. Saban waktu ke bumi Indonesia, pasti kerajinan anak-anak bumi ini mengkagumkan aku. Biar kepepet: himpit kemiskinan, namun jiwa cipta mereka tidak mati. Kemiskinan rasanya menjadikan mereka ulet/i>: teguh untuk terus hidup berdikari.
(6) Biar angin gunung berhembus nyaman, namun pancaran terik mentari tetap membahang juga rasanya. Saat leka menikmati wajah-wajah Indonesia di sepanjang jalanan, tetiba kelihatan sekelompok pejalan kaki yang sengoyoran: terhuyung hayang: ”Ada apa Mas? Sepertinya, ada orang sakit sedang dipikul?”, tanyaku pada Mas Jajang yang mengetir berpulas-pulas mengelak segala lubang dan speda yang menderu entah dari mana-mana. Mas Kris, terbangun dari lenanya, lalu melongok: menjengah muka di celah kerusi depan tempat duduku dan Mas Jajang. ”Orang sakit Mas. Alah kasian. Lihat pakaian mereka, mungkin anak-anaknya, pontang panting, compang camping. Kok begitu. Ngak pakai sepatu lagi. Kasian Mas” , sambung Mas Kris
(7) Perlahan-lahan mobil kami mendekati kelompok itu. Seorang lelaki sedang memikul anak kecil. Di belakangnya tiga anak perempuan berpakaian comot dan koyak rabak. Saat mereka benar-benar berada di samping kami, alang kepalang terpana, tertegunnya kami. ”Mas, masyaAllah, dua anak terpikul di pundak lelaki ini. Kenapa? Kasian Mas, ditumpuk bagai bangkai bernyawa lagaknya. Ohhh…anak-anak itu sedang tidur. MasyaAllah Mas, kok ngak pakai celana. Separuh bogel anak itu. Hanya pakai baju yang robak robek. Apa si ayah ngak punya rasa malu menayang anak-anak itu sebegitu?”, lempar rasa kehairananku.
(8) ”Itulah wajah-wajah Indonesia. Itulah sakitnya bangsa ini”, tegas Mas Jajang. ”Sekarang Mas Munsyi tahu, Bandung itu bukanlah pasal dingin indah nuangsanya, bukan indah cantik segala pakaian yang terjual, bukan indah dan enaknya padang Golofnya, bukan indah, manis, putih gadis-gadisnya, semua itu bukan aslinya Bandung. Apa yang sebentar tadi Mas lihat, apa yang sedang kita lewati dan nanti di Kampung saya, akan Mas lihat, itulah wajah-wajah Bandung yang asli, murni. Wajah-wajah parah, wajah-wajah susah, wajah-wajah sengsara dalam kemerdekaan yang kita belum mengerti apa bedanya dengan terjajah. Rasanya Mas, wajar bangsa ini terus saja terjajah dari merdeka yang ngak karuan hidupnya” rintih Mas Jajang. Aku dan Mas Kris terdiam. Terdiam mendengar rintih yang begitu pedih dari Mas Jajang. Kami terpana, kami tergamam, kami benar-benar hilang kewarasan dari luahan jeritan batin Mas Jajang, sehingga setelah menjauh, jauh meninggalkan si ayah yang lelah menidurkan anak-anaknya, tidur di pundak di pikul di pamer telanjang di khalayak ramai. Si bapa sedang mempamerkan terang-terangan akan derita yang sedang dia hadapi. Aku, Mas Kris hanya bungkam. Diam.
(9) ”Mas ada ngambil fotonya tadi?” Tanya Mas Kris menepuk bahuku. ”Ngak. Saya ngak tahu kenapa saya ngak kesampaian untuk merakam foto mereka. Tangan saya kaku untuk ngecepret”, balasku. ”Kok kita ngak berhenti membantu tadi? Kenapa tidak kita belikan mereka panganan atau minuman? Paling ngak, kenapa kita tidak sekadar bertanya khabar akan mereka itu. Anih. Kok kita jadi kaku sedang kita semua paling simpatis pada mereka? Kita kok hanya tega melihat, tanpa membantu?”, sambungku. ”Mas, di bumi ini, kita sudah terbiasa dengan wajah-wajah sebegitu. Semua orang sudah ngak peduli. Tiada yang ingin peduli kerana masing-masing juga sedang payah dan perit berebut hidup”, sampuk Mas Jajang, masih dalam nada lirih dan jengkel: marah terpendam.
(10) ”Lihat jalan ini. Sejak dari saya masih anak-anak, sehingga seumur 47 tahun ini, masih serupa. Kecil. Bengkang bengkong. Berlobang-lobang. Sama saja. Di Kampung saya, nanti Mas bisa lihat, masih jalan tanah. Kalau hujan, lunyu:licin, semua macet:terhenti. Ada kelurahan:pegawai daerah diam di sini. Ya, cuma makan gaji. Hidupnya kecukupan. Rumah, mobil dan belanja hidup di kasi pemerentah. Tetap dia ngak peduli sama rakyat. Kerjanya untuk terus mengaut bagi kehidupan sendiri dan keluarga. Dia ngak pernah mahu bersuara, menjadi juara rakyat. Dia khuatir hidupnya akan terancam. Namun dia seperti tidak peduli, apa rezekinya itu halal atau ngak?” terus saja Mas Jajang meluahkan kekecewaannya.
(11) Mendengar itu, fikiranku melayang pulang. Betapa, bila kita punya penjawat awam, yang sekadar makan gaji, tidak peduli akan keberkatan perolehan gajinya, pastinya beginilah akan jadi keluh kesah rakyat. Pasti segalanya ada cabaran, namun keupayaan dan kekentalan kita untuk memecah segala cabaran biar betapa kerasnya, pasti membedakan antara yang dinamakan berbakti dan yang mementingkan diri. Berakah pasti bagi mereka yang sanggup berkorban demi bakti untuk tugas berat yang terpikul di pundak masing-masing. Sepertinya sakit hatinya Mas Jajang, dia seperti rela kembali terjajah lantaran anak pribumi sendiri sudah tidak peduli sesama sendiri. Kekecewaan rakyat pasti mengakibatkan Negara dan bangsa tergadai kembali. Aku berkira, perlahan-lahan kita sedang menuju ke arah yang sama. Ketenangan fikiran yang bakal kucari dalam jalanan ini menjadi resah yang sangat menghantui.
(12) Hari sudah merendah. Dingin angin Bandung kian menikam. Terasa menusuk ke tulang sum-sumku. Baju tipisku tidak dapat menahan dari serangan dingin sore. Jalan mulai kegelapan. ”Ngak ada lampu jalan ya Mas?” tanyaku pada Mas Jajang. ”Wajah Indonesia masih kelam Mas. Gelap sebetulnya” jawap Mas Jajang, seperti menyindir rasanya.
(13) Sekitar jam 2000, saat azan Insya sedang berkumandang bersahut-sahutan dari pelbagai mushala di daerah pergunungan Cijililin, kami menapak menuruni curaman lereng bukit dalam kelam malam ke rumah Mas Jajang. Ibu mertuanya datang menyambut kami penuh hormat. ”Ini ikan mas, ibu bikin lauh, kami belum berbuka puasa selengkapnya lagi”, ujar Mas Jajang kepada ibu mertuanya. Hari ini, sebetulnya adalah hari pertama bulan Ramadhan. Hari Isnin. Sengaja aku memilih hari ini untuk ke sini, mudah-mudahan dengan berkat hari pertama puasa difardhukan buat umat Islam, aku akan mendapat iktibar terbaik dari jalananku ini.
(14) Kerana terlalu lapar dan dahaga di hari pertama ibadat puasa, sambil terus saja berjalan dari jam 0400 pagi tadinya, sehingga kini sudah menyebarang lautan, membelah awan, dan merentas gunung, dari Kota Kuching ke Cijililin, Bandung, rasa seganku hilang.”Mas, apa bisa minta air kopi tubruk. Kopi hitam panas mungkin bisa membantu saya untuk menghangatkan tubuh dari dingin sebegini” pintaku pada Mas Jajang. ”Bagus itu Mas”, sampuk Mas Kris.
(15) Sebentar kemudian bapa mertua Mas Jajang ikut sama di ruang tamu. ”Baru pulang sholat” kata mertua mas Jajang, Pak Solihin, sambil kami terus berjabat dan duduk santai menikmati kopi hitam panas. Terasa besar nikmat Ilahi saat paling dahaga dan lapar sebegini dapat menikmati hidangan kopi panas dan keropok nasi kering.
(16) ”Maaf Pak. Bapak di sini kerjanya apa?” tanyaku buat pembuka bicara. ”Biasa aja. Bertani toh. Tanam padi”, jawapnya ringkas sambil menyedut lalu melepas panjang asap rokoknya. ”Berapa luas sawahnya”, tanyaku kepingin tahu secara mendalam. ”Kecil aja. Cuma sepuloh gawang, ya kalau dikumpul jadi satu ekar” jawabnya. ”Hasilnya di jual ya?” soalku lagi bagai anak kecil yang terus saja ingin tahu. ”Simpan buat makan saja. Ngak cukup makan kalau dijual”, balasnya dengan wajahnya menatap ke lelangit dengan rasa kosong. Jelas polos bagai kepulan asap-asap rokok dari mulutnya yag terus bersambungan. Mungkin di fikirannya, aku tidak mengerti kehidupan payah desa.
(17) Kemudian isteri dan anak gadis bongsunya ikut sama bertamu. ”Ini anak kami, kami panggil dia Neng. Masih sekolah SMA”, tuding Pak Solihin pada anaknya. Anak gadis seumur 16 tahun. ”Di kampung ini, tradisinya di sini, kerana payah untuk cari wang buat biaya sekolah, anak-anak seumur ini, jika ada yang mahu meminang, kami biasanya nikahkan saja mereka” sambungnya terus. Pak Solihin kukira berbicara dalam dua bahasa. Satu menjelaskan takdir anak-anak gadis keluarga susah, dan keduanya dia seperti mahu menyerahkan anaknya. Aku merenung wajah anak itu. Dia hanya tunduk diam. Matanya tiada cahaya. Kerdipan matanya pun malas perlahan. Aku cuba menyelam getar hatinya. Rasanya, dia juga sedang menyerah takdir dirinya di tangan kedua orang tuanya dan sesiapa saja yang asalnya sanggup memberi dia makan, pakai dan kediaman seadanya. Selebihnya, rasanya dia tidak punya pilihan. Segalanya, seperti asap dan udara dalam botol yang tertutup rapat. Penggap. Diam. Mematikan. Aku mengeluh di dalam sendiri. Aku memancing:”Neng cita-citanya apa?”. Sebagai terduga, jawabnya cukup ikhlas dan naïve: ”Belum tahu pak!”.
(18) Anak desa. Kemiskinan. Kesempitan. Kepayahan. Kegetiran. Apa saja Knya, menjadikan mereka percaya itulah kudrat mereka. Mereka benar-benar menyerah pada alam. Mereka manut pada tuntutan alam dan henyakan alam. Mereka tidak melawan. Mereka menurut saja.
(19) Sesungguhnya, perjalanan ini, antara melarikan diri dari terkecundang dari cinta rasa hati pada Eina, kepingin untuk mencintai yang azali Ilahi, mengabdi diri dan lari mutlak padaNya, kutemui betapa sebetulnya cintaku mesti kuhadiahkan dan hamburkan di sepanjang jalan hidup in selagi terdaya. Cintaku harus kekal pada yang mendambakan, bukan sekadar terkurung pada rasa cinta mawar merahnya seorang perempuan. Allah juga tidak memerlukan cinta abdiku padaNya. Aku harus kekal segar mencintai mereka yang susah, yang payah. Hari ini, Allah tunjukkan itu maksudnya aku temui Anak-anak ketiduran di pundak keras lelah bapanya di jalanan terik panas berliku, bukan di tilam empuk serta Keluarga kecil terasing Pak Solihin. MasyaAllah Engkau Maha Kaya, Maha Berkuasa.
(20) Aku harus kembali pulang mendepani Busman dan Eina dengan cara lain. Aku juga mesti keluar dari jalananku ini, mencari jalan lain agar cintaku tertunai penuh sebagai Allah telah suluhkan. Aku perlu kembali segar berbakti biar terpaksa aku korbankan apa adanya pada diriku.
Kugulati Eina:
Pagi itu, subuh terasa damai. Azan menyeru kebangkitan segar menerawang setiap hati yang sadar. Bayu Laut China Selatan masih menghembus kencang. Pohon-pohon bergoyang melambai tanda kegirangan. Seluruh alam menyambut pagi datang. Keriangan ini harus aku menafaatkan sepenuhnya.
(2) Aku mengenakan sepatu. Track suit dan T-shirt putih. Meminum beberapa gelas air putih lalu segelas air madu hangat. Aku memacu pickup menuju Reservoir Park lalu bersama-sama yang datang satu-satu bergiliran, tua, muda, dan anak-anak, memanas badan, menitik peluh, mencari kesegaran kecergasan. Saat peluh kian menghujan, aku berdiri pada tebing paling tinggi dan terbuka. Aku mendepa tangan, menghirup nafas pagi sedalam sepuasnya. Pancaran mataku, kutikam paling jauh: “Eina, aku tidak akan menyerah kalah. Demi hajat suci, demi keikhlasan ini, aku akan bergulat dengan takdirku. Kau akan aku miliki. Aku akan berusaha seikhlas sebersihnya. Itu tugasku. Keputusannya, aku serah pada Dia. Pokoknya aku tidak menyerah kalah!”, itu kata hatiku yang dalam.
(3) Sore itu, aku berbuka puasa di Magharetta. Di satu sudut, Eina dan teman sekerjanya, yang kebetulan aku kenali juga hadir. Usai, berbuka, saat dia sedang enak menjamu kopi, aku menghampiri. ”Hai Eina, Kamaliah. Maaf, kalau menganggu. Mohon sedikit masa. Apa boleh saya berbicara sebentar?” pintaku penuh hormat sambil menunduk diri bagai pelayan hotel. ”Silakan, mahu bicara sama kami berdua atau sekadar Eina?”, balas Kamaliah temannya Eina yang mungkin tidak terfikir apanya. ”Kalau tidak keberatan. Saya mahu bicara sama Eina”, balasku lembut.
(4) Saat Kamaliah mahu mengundur diri, Eina memberi isyarat agar dia terus menemaninya. Ini menjadikan karangan fikiranku sudah sedikit bercelaru. Aku menarik nafas panjang perlahan. Aku lemparkan senyuman. Eina hanya tertunduk. Dia enggan menantang mataku. Hanya Kamaliah yang peduli dan senyum kembali. Ada kehairannya pada pancaran matanya ”Begini Eina, saya sudah fikirkan sedalamnya. Rasa cinta yang terbit dalam hati ini pada Eina bukan mainan. Ianya terlalu halus, terlalu dalam. Biarlah saya katakan, ianya ibarat benzen dan kereta. Tanpa benzen, kereta pasti tidak bergerak, mati. Benzen itu menghidupkan kereta. Maksudnya, saya sangat memerlukan cinta dan kasih sayang Eina untuk terus melangkah, bukan untuk melangkah pendek tetapi deras dan jauh. Cinta dan kasih sayang Eina adalah benzen itu dan saya adalah kereta. Memang benar, tanpa benzen dari hati Eina, kereta saya tetap maju, namun majunya adalah sekadar maju tanpa tujuan pasti. Saya menagih cinta Eina, agar jalanan saya adalah pasti” tabor rasa hatiku padanya yang terus saja tunduk diam. Kamaliah menatapku keras. Dia mengikuti setiap getar bibirku. Aku berbicara dari kepala dan dasar hati.
(5) Aku sudah tekad untuk benar-benar menikam jantungnya. Aku benar-benar tekad untuk menyatakan rasa hati ini secara terus dan terbuka. Aku sudah menghitung, tidak mungkin Allah akan mengkesampingkan usaha bersungguh serta ikhlasku. Aku melihat, hambatanku untuk memenangi hati Eina adalah sama darjatnya dengan hambatanku untuk terus berbakti setingginya.
(6) Anih, Kamaliah melopong hairan. Dia merenung aku dan Eina silih berganti. Aku kurang mengerti. Dia seperti sangat kaget:”Are you guys in love. Wah, Eina, berapa segi ini? Empat penjuru alam. Kau hebat. Aku kagum dan iri!” luahnya dengan suara perlahan tapi keras.
(7) Tnpa peduli apa maksudnya Kamaliah aku menyambung terus: ”Cita-cita saya adalah untuk berbakti sepuasnya, seluasnya buat bangsa kita. Saya kepingin menjadi pejuang bangsa pada jalan yang saya fikir paling memerlukan. Saya akan bekerja keras untuk itu. Itulah jalan pasti yang hendak saya tuju dan capai. Saya, perlukan cinta dan kasih sayang Eina untuk itu. Dengan jirusan cinta Eina, jiwa saya akan lebih terpusat cepat mencapainnya. Nan pasti, setitik cinta yang Eina berikan, sekolah kasih akan saya balas. Saya tidak berjanji tentang bulan dan bintang, namun itulah pengorbanan yang akan saya berikan buat Eina atas dokongan perjuangan yang saya perlukan. Saya ingin berkongsi hidup dan meraikan jalanan hidup bersama Eina”, sambungku terus. Aku lemparkan pandangan tepatku padanya. Eina hanya mengerling diam. Jelas belum ada sirna di anak matanya. Senyuman juga seperti payah dia tawarkan. Namun, Kamaliah mengangguk jelas serta tersenyum manis. Biar kurang pasti apa yang tersirat, aku menduga Kamaliah mengerti akan maksudku.
(8) ”Terima kasih kerana memberikan saya kesempatan untuk berbicara. Saya tidak perlukan jawaban segera. Saya akan terus bersabar dan menanti. Saya minta mengundur diri”, perlahan-lahan aku bangkit, lalu menghulur jabat dan berlalu pergi. Aku ingin membiarkan Eina dan Kamaliah untuk terus menjamu selera.
Perpisahan Abadi:
Di kantor, aku memutar-mutar kerusi dudukku. Hatiku tiba-tiba terasa kurang enak. Aku menghubungi Busman. Teleponnya tidak berjawab. Beberapa kali aku hubungi, tetap juga tidak berjawab. Ini bukan caranya Busman. Belum pernah dia berprilaku seperti ini. “Mungkin dia sedang bermesyuarat”, fikirku. Sekitar jam 1200, sekali lagi aku menghubungi Busman. Taliponnya tetap tidak diangkat. Aku jadi resah. Ada kelainan kali ini. Ini bukan caranya Busman. Lantas aku bergegas ke apartmentnya.
(2) Keretanya ada tersimpan rapi di tempat letaknya. Aku menghampiri dan meletakkan tangan di bonet depan. Sejuk. Pasti dia tidak kemana-mana.
(3) Butang loceng biliknya kutekan beberapa kali. Ada suara terbatuk-batuk. Langkah kaki yang payah dan lemah dapat aku rasakan sedang menuju pintu. Busman membuka pintu. Dia Nampak pucat. Dia Nampak goyah. Dia berbicara, tetapi tidak jelas apa bicaranya. ”Ya Allah. Kenapa dengan engkau ini? Apa sudah jadi?”, terpaku padanya. Dia kubopong: bimbing lalu kusandarkan pada sofa. Terasa panas tubuhnya. Aku ke dapur membuat sedikit air madu hangat lalu minta dia minum dengan segera. Muka dan badannya kemudian kulap basahan anduk: tuala air suam.
(4) Aku menalipon Dr. Lim di Normah Medical Center. Kebetulan dia ada bertugas. Aku bergegas membawa Busman menemuinya. Busman terpaksa di tahan. Darahnya diperiksa rapi. Tubuhnya di x-ray. Aku minta Dr. Lim meneliti dia dengan rapi.
(5) ”En. Munsyi, nampaknya dari lapuran awal klinikal, darah Busman ada mengandungi dadah. Agak berat juga kandungannya. Cuma kami belum pasti dadah jenis apa yang diambilnya”, suara perlahan Dr. Lim melapur padaku keesokan paginya. ”Biar diperiksa betul-betul Dr. Tidak pernah dia ada perangai sebegitu. Saya kurang yakin”, balasku. Sememangnya benar, Busman sudah berlebihan dalam mengambil anti-depression drug. Tekanan apa yang sedang melanda dia? Apakah Eina hadir dalam semua ini. Bukankah dia sudah mahu melupakan Eina. Bukankan dia sudah punya jalan damai, kembali ke kampung dan berkampung.
(6) Aku menyiasat sendiri. Setiausaha Syarikatnya kuhubungi. Memang. Dia benar-benar telah nekad. Syarikatnya telah dia serahkan sepenuhnya kepada kedua anak buahnya. Dia melepaskan semua jawatannya. Semua hak pemilikannya sudah dilupuskan.
(7) ”En. Musyi, this is disturbing. Telah berlaku sedikit kerosakan pada panchaerias Busman. Ada jangkitan kuman-kuman yang parah. Paru-parunya juga membengkak. Saya kira dia telah over dose makan anti-depression drug untuk sekian lama, sekurang-kurangnya sudah dua minggu. Badannya terlalu lemah. Dia seperti tidak makan sejak seminggu sudah”, khabar Dr. Lim bila manghubungi aku lewat tengahari. Aku jadi binggung. Masa: mana mungkin Busman begitu lemah. Menyesal aku membiarkan dia sendiri selepas pertemuan kami di Sematan tempoh hari. Pasti selama ketidak kehadiranku menyebabkan dia hanyut sendiri.
(8) Aku bergegas sekali lagi ke apartmentnya. Aku selongkar tempat tidur dan dapurnya. Ternyata, dia telah menghabiskan tiga botol anti-depression drug dalam tempoh dua minggu. Botol-botol kosong dadah itu bergelimpangan di rak mandinya. Di dapurnya, tiada apa-apa makanan. Pengawal keselamatan kemudian aku soal, dan sememangnya, Busman tidak ada meninggalkan apartmentnya sejak dua minggu lepas. Jelas dia bertahan lapar dan duka hanya dengan mengambil anti-depression drug. Semua itu kulapur segera kepada Dr. Lim.
(10) Busman terpaksa menjalani pembedahan segera. Aku mengizinkan segalanya. Kedua anak buahnya kupanggil hadir. Segalanya mesti dilakukan dengan segera. Namun keadaan badannya yang terlalu lemah tidak memungkinkan. Aku merayu sekerasnya agar Busman mengambil makanan. Segala jenis makanan yang bisa memulihkan kesegaran tubuhnya aku cari, dari bird nest, sehingga segala macam tonik cina. Dua hari Busman kupaksa minum bird nest ramuan tongkat ali. Akhirnya dia kelihatan agak segar dan boleh menjalani pembedahan. Saat akan memasuki Operation Theater dia berbisik lembut padaku:”Please take care. Warmest regard to Eina”.
(11) Aku mengenggam kuat tangannya. Terasa bagai kami berdua sedang bergenggaman saat kami berlarian di batas-batas padi semasa anak-anak dulu. Kami terpisah. Kami melambai. Aku menangis kuat. Aku luluh melihat satu-satunya temanku yang setia kini jadi korban rasa hati yang tidak kesampaian.
(12) ”Maaf jika menganggu. Busman sedang dibedah akibat jangkitan berat pada hempedu dan paru-parunya. Dia terlebih ambil dadah penenang. Kalau ada masa, datanglah ke Operation Theater NMC”, aku menghantar SMS buat Eina. Aku terus menunggu di luar Bilik Bedah. Aku tafakur sendiri. Beginilah takdirnya cinta, kudratnya terlalu halus dan mistri. Saat terkecundang, badan atau jiwa jadi tuntutan. Mungkin inilah cinta pertama Busman. Cinta setulus hatinya, buat pertama kali dan terakhirnya. Dia enggan berdepan dengan kegagalan.
(13) ”Bagaimana?”, soalan itu menyentap aku dari pananya aku. Eina duduk di sebelahku. Aku renung matanya. Dia juga seperti sayu. ”Belum pasti. Mudah-mudahan dia lepas”, balasku kurang pasti. Apa maksud lepas yang kuucapkan juga aku kurang pasti. Selamat menjalani pembedahan atau lepas bebas dari segala kesengsaraan. Tiga jam kami menunggu penuh diam, penuh getar.
(14) ”Thank God. He made it. But he is too weak. He needs to be confined to Intensive Care Unit. You can visit him in 30 minutes time” jelas Dr. Lim saat dia melangkah keluar dari Operation Theater. Aku, Eina dan dua anak buah Busman kemudian mengiringnya saat dia dibawa ke ICU. Saat kebenaran untuk bertemunya tiba, aku mengiring Eina dan dua anak buahnya merapat. Mata Busman masih layu kesan pelali pembedahan. Dia bernafas secara bantuan. Salur-salur bantuan berseliratan di tubuh dan lengannya. Dia bagai robotik mahu terbang bebas ke angkasa lepas. Kami hanya berhubung dengan bahasa mata.
(15) Busman memaku pandangnya pada Eina. Sesekali dia menatap aku. Dia berusaha senyum. ”Sudahlah. Biar kau berehat dulu. Kami menunggu kau di luar. Esok bila kau sudah agak segar, kami akan datang menemani kau lagi. Jangan khuatir. Kami sedia bersamamu” bisikku di telingganya. Aku melangkah pergi. Sengaja aku biarkan Eina sendiri bersamanya seketika. Namun tiada bicara dari Eina. Hanya dapat kulihat kilas jari-jarinya mengusap dahi dan rambut Busman. Pasti itu bekal semangat hebat buat Busman untuk bertahan.
(16) Dua minggu penuh Busman ditahan di NMC. Dua minggu aku bersama anak buahnya berkampung di sana. Eina datang menjengah sekali sekala. Setiap kali Kamaliah datang bersamanya. Saat dia dibebaskan, aku membawa Busman terus pulang ke kampung. Di sana, dengan hawa yang damai, aku berharap perhatian yang baik dapat kuberikan kepadanya. Sudah kudatangkan seorang pembantu khas untuk mengurus dirinya. Kamar khasku kusediakan untuknya. Aku berharap segala wangian kembang di sekeliling kamarku akan dapat memberikan dia kesegaran. Juga mudah-mudahan, mengikut fahaman masyarakat Tionghua, kamar yang senggaja kukelilingi dengan kolam, air kolamnya akan menyerap segala bad energy dari tubuhnya. Aku berharap, dia mendapat Natural Healing saat dia di sana.
(17) Seminggu di kampung, saban waktu makan sup ayam kampung dan minum bird nest dan ramuan tongkat ali, Busman kelitahan semakin segar. Kebetulan aku punya Bird Farm sendiri yang boleh dituai saban hari. Setidak-tidaknya dia mendapat bekalan Bird Nest tulin. Dia sudah mahu berjalan-jalan di laman rumah. Dia mulai mahu membaca. Kadang-kadang seharian dia membaca, segala jenis buku yang aku bawa pulang. Aku paling merasa lega.
(18) ”Bagaimana dia? Apa boleh I datang melawat?”, aku menerima SMS dari Eina. Aku berfikir panjang. Aku tidak pasti apa jawaban harus kuberi. Aku harus hati-hati. Aku menghampiri Busman. ”You look great friend. Ada apa yang kau ingini. Apa saja, aku akan dapatkan untuk engkau?”, basa basiku dengannya. Namun Busman hanya diam. Dia memberikanku senyuman kecil di sudut bibirnya. Matanya polos. Dia merenung jauh. ”Dia semakin baik. Doakan agar dia berjaya melepasinya. Cuma saya rasa dia belum bersedia untuk bertemu Eina. Sabar dulu”, balasku pada Eina.
(19) Malam itu hujan renyai-renyai. Udaranya nyaman sekali. Aku membawa Busman duduk di Dangau Pengajian. Kami bercerita zaman anak-anak. Dia seperti ingat satu persatu tingkah kami saat nakal. Di batas-batas sawah mengejar dan menjerat wak-wak. Di perparitan menangang keli dan ketam. Di hutan mencari buah-buah hutan. Segala macam kebebasan yang kami lalui dan nikmati. Tiada gundah. Tiada sebak. Pembatu Rumah menghantar secawan demi secawan kopi panas. Kami terus ngobrol, mengimbau saat bahagia zaman anak-anak.
(20) ”Kau beruntung Munsyi. Biar rumah tanggamu pecah belah. Dulu biar celaka cinta sucimu pada Izan seperti mematikan. Kau tetap bertahan dan terus berjalan gagah. Aku baru sekali kecundang sudah rebah dan tidak akan bangkit lagi” hambur katanya dalam mata berkaca-kaca. Suaranya tengelam timbul. Aku merapat diri. Dia terbatuk-batuk. ”Sabarlah. Kita tetap akan bersama. Kita akan berjalan sama, di padang lain dari biasanya. Percayalah” pujukku sambil mengusap-ngusap belakang dan kepalanya. Busman menangis. Dia benar-benar menangis. Kuat bergoncangan, bergetaran. Aku terkesima. Aku terpana. Tidak pernah dia sebegini lemah. Aku hanyut dalam hangat air mata bersama.
(21) Perlahan-lahan dia mengengam jari-jariku. Aku membalas kuat. ”Munsyi, jika kau ada kesempatan, katakan pada Eina, aku tetap rindu akan dia. Aku akan menantinya di Syurga. Aku mahu ke sana duluan. Kau jagalah dia jika kau mampu. Aku rela”, dalam sebak yang dalam dia melepaskan nafas. Aku benar-benar nanar mendengar kata-katanya. ”Tidak Busman. Kita akan tetap bersama. Seperti dulu-dulu. Ini rumah kita. Kita diam bersama di sini dan menghabiskan cerita kita di sini” ujarku tegas. Aku merangkulnya, dan kami terhujan tetes-tetes air mata tanpa penghujung. Terasa mencurah-curah air mata hangat Busman membasahi bahu dan belakangku.
(22) Busman tiba-tiba terdiam. Tiada suara apa darinya. Rangkulannya pada tubuhku sangat kuat. Mencengkam. Aku cuba menolaknya, namun dia kaku. ”Man! Man! Kenapa dengan kau ni Man?” teriakku. Ya Allah, Ya Rabi, inilah tangisan, inilah rangkulan terakhir kami. Yang tadi kusangka hangat airmatanya, adalah darah memuncerat dari mulutnya. Bahuku penuh darahnya. Nafasnya telah terhenti. Dia telah pergi. Pergi selamanya. Dia pergi seperti yang dimahunya. Dia pergi. Kini aku sendiri. Aku kaku. Aku diam. Aku terketar-ketar menghadapi pemergian teman yang begitu setia padaku. Cita-cita kami berkubur. Kini aku benar-benar sendiri. Tuhan, takdirnya aku, tetap sendiri, duka dan gembira. Kenapa? Berontak hatiku.
(23) Eina tiba saat tubuh Busman sudah bersemadi. Aku membawanya ke pusara Busman. Eina menangis sepuasnya. Aku menghampirinya. Mengusap kepala dan belakangnya. ”Eina, ayuh kita pulang. Dia sudah aman. Itu mahunya. Dia berkeras mahukan jalan itu. Allah izinkan apa yang dia mahu dan pilih” aku membujuk Eina lalu memimpin dia pergi meninggalkan Busman dalam tidur panjangnya sampai kami ketemu, insyaAllah di syurga bagai diingininya.
(24) Aku membujuk Eina untuk tidur saja di rumahku. Aku khuatir jika dia memandu sendiri dalam gelap malam, serta mungkin kekusutan hatinya, nanti terjadi musibah lain. Sebelum tidur, aku menyampaikan salam Busman buat Eina. Dia diam panjang tertunduk.
(25) Malam itu, aku baring dan lelap pada kamarku yang selama ini menjadi kamar teman setiaku. Terasa tubuh kami bersatu. Terasa roh kami menjadi satu. Kami menjadi satu. Kami sedang melayang-layang terbang bebas di sebuah taman yang benar-benar indah. Taman yang kami mimpi, taman yang kami bina di kampung, buat lipur semua anak-anak desa. Kami begitu bahagia. Bahagia kerana kami benar-benar dapat melihat anak-anak desa gemibra.
(26) Pagi itu hujan rintik-rintik. Udara sangat nyaman mendingin. Sepoi-sepoi bayu pagi mengumpul lalu menebar haruman mewangi kembang-kembang di laman. Aku mengajak Eina sarapan di Dangau Pengajian. Kami makan nasi goreng kampong, bersama gorengan anak ikan tamban dan air kopi pekat. Enak sekali rasanya. Instrumental Bali dan Angkelong Sunda mengiring masa sarapan kami.
(27) Eina memandangku dengan kesal. Aku tidak pasti apa kesalnya. Kesal tidak menyambut cinta Busman atau kesal ketemu Busman, juga mungkin kesal terjebak dalam kancah cinta tiga segi kami ini. Aku tidak pasti. Aku tidak mahu berbicara apapun dengan dia. Kami diam melayan hati masing-masing, aku tidak mahu membunuh selera laparnya.
(28) Usai sarapan, aku menatapnya tepat. Eina membalas tegas. ”Semuanya telah berlalu. Semuanya akan jadi kenangan. Semuanya tidak lama lagi akan kita lupakan. Masing-masing samada akan terus berjalan lurus atau terus menanggung kepincangan kepedihan. Semuanya tergantung kepada akal dan perasaan masing-masing. Jika kesalpun segalanya sudah berlalu. Tidak mungkin waktu dapat kita patahkan kembali” bicaraku. Eina hanya memandang tepat. Baru kini dapat aku menatap anak-anak matanya yang selalu kucari dan kukejar. Cuma kini, jelas pancaran kesal terkilas dari anak-anak matanya.
(30) ”I cukup kesal dan sedih. Kerana I dia terkorban. I menangung dosa yang tidak mungkin dapat I lupakan” bisik Eina tertunduk lalu meneteskan airmata. Dia benar-benar sebak. ”Sudahlah. Jangan menghakimi diri. Penganugerahan dosa atau pahala, itu hak Allah, bukan tugasnya kita. Kita hanya pelaku. Juga, itu adalah cinta sejati dan abadi yang dia dapat berikan. Jikapun dia masih hidup, cintanya mungkin tidak sehebat itu. Itu cara Allah membuktikan betapa suci dan tulusnya cinta dia. Kita terima sebegitu. Kita harus terus berdiri dan berjalan” jelasku cuba mengamankan Eina, biarpun sebetulnya, aku sendiri belum pasti apa mungkin aku sendiri termampu mengkotakan bicaraku.
(31) Aku tidak ingin menambah duka yang Eina sedang tanggung. Aku berkira biarlah dia mengerti dan menyelami sendiri pengertian dari apa yang terjadi. Mudah-mudahan dengan cara itu, pasti di lain waktu Social Inteligent Quation (SIQ) dan Emotional Quationnya(EQ) akan bertambah matang. Dalam diam aku berkira, betapa dalam hidup ini, sudah seperti menjadi lumrah, sesal itu tidak pernah duluan. Setiap sesal, mahukan korban. Setelah ada korban maka baru sesal itu mendatang. Namun, banyak kali juga sesal itu sekadar sesal, sekadar mainan bibir dan hati, sedang korban terus saja datang silih berganti. Sesal terus saja bermain silih berganti, berputar-putar, tanpa henti selagi hidup dikandung badan.
Jalanan Nan Panjang:
Tujuh hari telah Busman kembali. Aku juga kembali ke Kota. Aku mulai menghitung langkah. Kini Busman sudah tiada. Tiada kini sandaranku yang benar-benar mengerti. Benar-benar sejalan. Benar-benar sehati. Terasa bagai kulit telah bercerai dari tubuhku. Pedih rasanya. Aku pasti kian sendiri. Pasti hari-hari seterusnya aku kian sepi. Segalanya akan terpaksa aku hadapi sendiri. Hari-hari muka yang terpaksa aku garap sendiri. Tanpa dokongan pribadi. Busman, begitulah hidupnya kami berdua. Saling rebah dan bangun bersama, sedari anak-anaknya. Selalunya, kami berkongsi hidup, cerita hidup, jalanan hidup, rebah dan bangun, saling mendokong, bair sekadar mentertawakan sesama sendiri. Semua itu kini telah tiada.
(2) Aku memutuskan untuk mengkotakan janji bersama kami. Kami perlu bersara dan kembali membina kampung. Di sana, sepertinya padang perjuangan sebenar kami. Pagi itu, di Kantor aku meninggalkan sebuah nota untuk Pak Mahmud, Pengerusi Syarikat Bumijaya, bahawa aku ingin kabur libur: pergi bercuti untuk satu waktu yang belum aku pasti berapa lama serta ke mana akan aku talakan. Sebuah nota kaki:”YBhg Pak Mahmud, jika saya tidak kembali bekerja dalam tempoh 10 hari dari surat ini, maka, terimalah perletakkan jawatan saya dari Syarikat Bumijaya. Saya ucapkan setinggi penghargaan di atas kepercayaan YBhg Pak Mahmud berikan ke atas saya selama ini. InsyaAlla kedua-dua anak YBhg Pak Mahmud pasti boleh mengurus Syarikat ini. Berilah mereka kepercayaan dan dokongan sewajarnya”, aku sertakan sekali. Sengaja aku berbuat sebegitu, kerana aku belum pasti apa mungkin aku akan kembali bertugas semula di Syarikat Bumijaya, milik Pak Mahmud. Aku yakin kini, kedua anak-anak Pak Mahmud sudah amat bersedia memimpin Syarikat keluarga mereka. Juga aku mengambil tindakan untuk melepaskan semua jawatanku dalam pelbagai anak Syarikat Bumijaya. Biar tingkahku ini, mungkin mengemparkan Pak Mahmud, namun aku telah cukup menyediakan kedua anaknya untuk bersatu dan memimpin Syarikat Bumijaya.
(3) “Eina, I’m not sure, where I’m heading. The lost of Busman is not that easy for me to take at this moment. He is my only personal friend. A friend whom I shared almost anything, everything, and now, both our dream is shakened. I’ll be leaving the State for sometimes. I just want to travel and truly discover myself. Till we meet, insyaAllah if He permits, I hope you’ll be fine. Let just pray for our good health and greatest strength. Regard. Munsyi”, aku menghantar teks buat Eina saat aku menuruni lift Kantor.
(4) Aku singgah di apartment mengambil kamera, note book, dan sedikit pakaian ringkasku. Aku menuju ke lapangterbang Kuching. Di kaunter MAS aku membeli tiket untuk ke Kuala Lumpur. Sementara menanti di ruang perlepasan, aku sekali lagi menghantar teks buat Eina: “ I really wish, one day, we could share our lives, in rain or shine. I do hope, you will give me a chance to share. Doesn’t matter what black dots or holes that we had experienced, I do believe, we still deserve to serve Allah the best. I really want to share my struggle and what ever outcomes, with you. I want those to be ours. If we are determined and sincere, I do believe, He will always be with us. It is us who determine our destiny, and our sincerity and genuine effort will make Him blesses us to the best. I love to serve Him the best with all your supports, just as Khadijah dedicated her soul for the struggle of Muhammad SAW. I do hope this journey that I will make will take me to my true course. Thanks and take care. Munsyi”.
(5) Di sepanjang penerbangan aku membaca beberapa tulisan berkait dengan Laos dan Kambodia. Dua negera yang terhimpit oleh dua gergasi, Thailand dan Vietnam, yang sebetulnya adalah bayangan Amerika dan China, tercekik dalam kancah yang tidak berkesudahan. Seribu lima ratus tahun dahulu, pergolakkan dalam Kerajaan Buddha telah memaksa kaum Champa terasak ke Persisir Kambodia. Kemudian kerana campur tangan Vietnam, kira-kira 500,000 orang Champa Muslim terpaksa tersisih ke Laos. Kini kaum Champa adalah kaum yang tidak dikehendaki bertebaran di Kambodia, Vietnam. Laos dan Thailand. Cinta mereka terhadap budaya dan Islam kian tercabar kuat. Apakah mereka akan terus tegar?
(6) Di dua negara Laos dan Kambodia, ini pasti banyak derita yang boleh aku rasai, selami. Rasanya aku kepingin merasai derita itu, mudah-mudahan aku akan dapat kembali pulang kembali berlari kencang. Aku memutuskan untuk sendiri menjalari landasan dan jalan dari Kuala Lumpur ke Chiang Rai di utara Thailand, terus memasuki Vientien lalu ke Luang Prabang kemudian mungkin menghilir Sungai Mekong kembali ke Vientien langsung ke Phnom Phen. Kali ini akan aku perkayakan khazanah rakaman kameraku dengan wajah-wajah dunia yang lebih menyentuh. aku kepingin, dalam jiwaku biarlah terisi penuh belas kasih pada yang tiada.
(6) Aku benar-benar ingin mencabar kekuatan fizikal dan mentalku dalam menempuhi perjalanan ini. Berjalan melihat kesengsaraan. Sengsara rakyat akibat kebenturan kerakusan negara-negara tetangga. Siksa rakyat dan ummah bilamana kita leka dengan kehidupan sendiri saat kita punya kuasa untuk melakukan yang terbaik buatNya. Berjalan melewati ketakbiasaan. Melepasi segala sangsi. Menguji suara hati dan pemikiran. Jika segalanya dapat aku lalui dengan baik, aku berkeyakinan segala rintangan lain pasti akan dapat aku tantang.
(7) Jalananku ini, kuibarat sama dengan hijrah moyang-moyangku menyeberangi Selat Melaka dan Lautan Natuna menghambat kemerdekaan kira-kira seratus tahun dahulu. Jika mereka berjaya, biar dalam segala kepayahan, kenapa aku tidak bisa? Yang ada pada moyang-moyangku saat itu hanyalah keyakinan dan azam. Segalanya ditempuhi dalam kesamaran. Aku yakin, sekurang-kurangnya, mungkin dengan jalanan ini, aku bisa melupakan sejenak Eina sebelum aku akan berdepan dengannya lagi dalam suasana yang memungkinkan kami bersatu hati. Aku berharap sebegitulah seharusnya.
(8) Demi Eina, demi cita-citaku untuk bangsa ini, aku seharusnya tegar berkorban. Apa mungkin Allah merestuinya, aku hanya boleh berusaha. Semoga aku tetap memeluk kuat kejujuran dan kesungguhan dalam hambatanku ini. SubhanAllah.
terasi, pendam, simunjan
17 julai-21 Ogos, 2011
#Abdullah Chek Sahamat
Writing that complies Bizarre, Odd, Strange, Out of box facts about the stuff going around my world which you may find hard to believe and understand
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
5 comments:
aku tetap teringat dan rindukan dirimu.... tidak pernah lupakan mu....
yang merindu dihindari, yang berlari dikejari.....apa punya ceritalah lu?
Menarik. Jangan gantung lama sangat. Hilang stim cek baca. Jangan jiwa terus menerus. Buat babak jahat dan ganas juga. Nanti mana tahu ada producer baca, boleh buat filem Malaywood.
Sdra Abdullah
Ceritanya berubah dari rindu , kasih , rindu dendam yang teramat pada ibumu berubah kepada rindu kasihmu terhadap seorang wanita yang tidak bisa sdra miliki? Menarik kisah kehidupan ini...sila panjangkan hingga pengakhiran cerita kerana sewaktu dalam perjalanan saya sebegini yang jauh dari bumi Melayu, saya juga rindu pada segalanya-journey to the silk road.
Pelek tapi menarik cara hang menulis. Ni cerita hang atau hang mereka? Puitis juga hang no. Aku ingat kepala hang yang selalu dok keras tu, tak ada seni. Teruskan. Mu selitlah loghat Kedah dengan budu sikit. Baru sedap. Jangan dok lagu rongeng jawa saja.
Post a Comment