Disepanjang lawatan saya ke Pontianak pada 27 Sept.,- 2 Okt., 2012, Kota itu diselebungi asap kebakaran lahang gambut. Beberapa hari, pesawat tidak dapat mendarat di Pontianak dan ini sangat menganggu beberapa siri temujanji saya dengan beberapa pegawai penting dan para pengusaha yang seharusnya saya temui. Merasakan hawa yang terlalu panas serta jerubu yang menyesakkan dada, saya sering melihat ke langit berdoa agar diturunkan hujan. Alhamdullilah , hujan akhirnya turun pada hari Isnin 1 Okt., 2012. Namun kerana tidak lebat, ianya akhirnya lebih memburukkan. Jerubu asap, adalah api biang rakyat Pontianak membakar kemiskinan. Mereka ingin kemiskinan hangus dan terbakar dari kehidupan mereka. Rakyat Sarawak, pasti menghidu bau terbakarnya kemiskinan jiran mereka!
(2) Kemudian pada hari Khamis 4 Okt., 2012 saya ke Kuala Lumpur untuk mengikuti sebuah seminar pada keesokan harinya, tentang cara dan kerenah Pelaburan Perladangan di Indonesia. Saya bersyukur kerana dapat bertemu dengan mereka yang suatu ketika dahulu bersama saya dalam mengerak pelaburan di Sarawak, kemudian mereka menghilang, dan kini baru saya sedar mereka sudah berselebaran di seluruh Tropika dan tetap dalam bidang kerja yang sama. Biar apapun bahasa dan gerak rupa mereka, suatu yang pasti kini apa yang saya dapati betapa tiori ekonomi the growth is by the corporate sector sedang menjadi singa lapar yang tamak. Tiori ini adalah betul pada ketika abundance of resources, namun payah bila rakyat harus didahulukan. Apa lagi para pengusaha perladangan kini sudah perlu bermain di Padang Rantau Pasifik, Afrika dan Selatan Amerika. Tanah di rantau ini adalah milik rakyat. Cuma Kerajaan yang sepertinya bukan milik rakyat melihat kepemilikan itu sebagai galang pembangunan yang perlu ditangani biar bagaimana sekalipun caranya. Sayang, pengertian Tanah dan Kerajaan adalah milik rakyat belum dapat kita ketemukan di mana keserasiannya! Olah kedua Rakyat dan Kerajaan akhirnya, menjadikan keduanya mengelupur tak ketentuan, apa lagi adanya sebatan tangan luar yang sememangnya milik setan gondol.
(3) Sebelumnya, setelah mendarat di KLIA, saya terus ke Glenmarie untuk bersama seorang teman untuk ke Kelang. Tujuannya adalah untuk menjemput kedua anaknya seumuran lima dan tiga tahun untuk turut serta kami bersama menginap di Sunway Hotel, di Kuala Lumpur. Glenmarie, USJ, Shah Alam, Subang adalah lambang kemegahan kemajuan negara. Di sana sini kediaman, pejabat, hotel,dsb mencakar langit. Memuncak, bergemerlapan indah. Jalan simpang siur melebar. Kereta namakan apa saja, pasti semuanya ada menjalar. Hati saya terhibur dan tersenyum puas, dan perlahan-lahan seperti bersyukur, inilah hadiah kemerdekaan dan kerja keras.
(4) Teman ini sudah ceraian dari pasangannya, dan sedang terkial-kial memelihara kedua anaknya. Saya tidak benyak berbicara, cuma ingin untuk merasa. Bila sampai ke Kelang, dalam samar-samar senja saya cuba mengamati kehidupan Melayu di sana. Biar mereka adalah masyarakat Kota, namun, rasanya kehidupan mereka jauh lebih parah dari kehidupan di desa yang dilihat mundur dan miskin. Mereka tampak bahagia namun, jika didasari secara mendalam ada keperitan yang terpaksa mereka sembunyikan. Semua seperti terlalu sibuk dengan kehidupan dalam batas pagar rumah masing-masing. Kehidupan mereka terpagar terpenjara.
(5) Teman ini, kehidupan silamnya boleh dikatakan berjaya. Apa lagi yang harus disoalkan, isteri cantik, suami tampan. Kedua-dua pasangan berkerjaya baik. Kedua saling mencintai dan menyayangi dalam bayangan keindahan. Namun masa akhirnya membuktikan segalanya adalah semu sandiwara. Dulu sandiwaranya adalah bahagia pura-pura dan kini sandiwaranya tetap sama, cuma berbeda thema iaitu bahagia terpaksa. Maka benarlah kehidupan di Kota harus dibayangi kepura-puraan. Dulu, di depan teman-teman, harus bahagia. Kini, di depan anak-anak terpaksa senyum dan bahagia, biar di dalam hati sebetulnya bagai badai Bermuda Triangle. Apa yang menyentuh saya adalah, keadaan rumah teman ini, sepi dan mengalah. Ayahnya sedang sakit buah pinggang. Dia kelelahan dan mengundur. Ibunya seperti sudah menerima takdir, kehidupan sendiri bersama suami yang kian uzur, sedang kehidupan cucu-cucu bagai monyet bergayutan di pohon tanpa dahan. Hati nenek, hati datuk, dua insan yang pernah menyaksikan dan melewati kepayahan 60-70 tahun terdahulu, namun tetap bahagia, tetapi kini, dalam segala yang ada, perit tidak kewalang kehidupan mereka. Rasanya apakah doa mereka?. Ini adalah satu dari anak bangsa seagama, namun saya yakin akan kembang biak mereka akhirnya menjadi bangsa yang putus asa, melainkan ada hati dan tangan halus mengapai segera.
(6) Najib dan Taib Mahmud sememangnya telah dan sedang bekerja keras merobah latarbelakang sosio-ekonomi bangsa negara. Mereka mengasak bagai dalam acara sukan polo. Cuma, saat kita memacu kencang, banyak kuda-kuda tonggangan kecundang dan rebah dalam sakit yang berbagai-bagai. Namun, kerana acara sukan masih panas, seringnya, kita hanya bertukar kuda lalu terus memacu menghambat apa yang harus dihambat. Kita juga sering terpukul sesama sendiri.
(7) Teringat saya kepada seorang Pak Tua, Tok Guru gelar mereka disekelilingnya. Cita-citanya juga ingin membina bangsa negara. Dia bertepik. Dia membangkitkan. Dia berkejaran ke sana sini. Dia bingkas bagai kuda binang dalam perjuangannya. Sesungguhnya, masa yang sering Allah janjikan, dia semakin lemah dan lemas. Dia seperti kian sadar, betapa kebangkitan bangsa lewat ketidak seimbangan kemewahan duniawi dan syurgawi, akhirnya mengundang kecelakaan sosial yang sukar terurus. Dia, Pak Tua, Tok Guru, kalah lewat batas usia. Dia sudah menua. Dia sekadar guru yang boleh bercerita dan mending. Dia tidak mampu berbuat. Kekacauan sudah mendekati biar di halaman rumah sendiri. Kini, dia menyepi sendiri sembunyi khalwat berdoa, yang juga entah apa doanya? Sepi itu indah baginya. Airmatanya adalah wudhu pembersih segala sebel dan kesal tentang masa depan kehidupan bangsanya. Dia sepi mencari kebahagiaan sendiri.
(8) Sesungguhnya, bangsa kita bukan bangsa pelari pecut. Juga bukan bangsa pelari marathon. Kita kalah dalam sepak bola. Biar ada futsal, tetap kita kalah juga. Kita kalah dalam bulu tangkis. Kita kalah dalam segala apa juga yang menuntut kecepatan. Namun, bermain Catur Hajilah, pasti dari subuh ke maghrib, banyak yang akan bertahan biar hanya berbekal secawan kopi. Bangsa kita adalah bangsa duduk-duduk bersembang. Bangsa kita adalah bangsa ngumpul obrol-obrolan. Bangsa kita adalah bangsa bertengek goisp-gosipan. Bangsa kita bangsa pejalan kaki. Kasih orang tuan kita, tergambar lewat sebuah potret si tua membimbing sang anak di batas padi. Bangsa kita, kita belum mengerti seutuhnya tetapi kita bertepik membangkitkan mereka. Akhirnya, mereka kekagetan lalu berlarian entah kemana pengakhirannya?
(9) Saya khuatir, biar Najib, biar Taib, biar saya sendiri, kita semua yang terbata-taba mengasak kesejahteraan bangsa akhirnya menjadikan semua hanya ingin sendiri dan menyepi. Namun nan pasti, sepi Muhammad di jabal Nur hanya sebegitu adanya, dan tidak mungkin terulang pada zaman kita ini. Pak Tua, Tok Guru, sampai kapanpun, lantaran tiada keseimbangan dalam hidup ini, lautan api sebetulnya sedang marak mengejar kita. Muhyidin, jika bukan Najib harus sedar akan hal-hal ini. Mudah-mudahan. InsyaAllah.
Kuching, Sarawak
7 Okt., 2012
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comments:
Post a Comment