1/12/11 PULANG, PERGI DAN KEMBALI (intro 1/12/11)
Posted By: Abdullah Chek Sahamat - December 01, 2011(Segalas beban inginku lepaskan. Biarlah aku pulang, berjalan dan kembali melewati lembah, bukit dan curam biarpun akan melelah dan mematikan)
Sebagai biasa, pagi ini, mentari meremang hangatnya. Perlahan-lahan kilau perak menyinar semesta alam. Bersama seisi alam dia bertafakur. "Tuhan, syukur, atas kesempatan ini. Aku masih tetap di sini. Hangat cahayaMu, adalah penyinar jalanan seterusnya aku". Dia berdiri tegak di bibir jendela Concorde menghadap Bukit Nenas, yang di atasnya terpacak Menara Kuala Lumpur dengan sang jalur Merah Putih bekibar lebar dalam hembusan nafas awal pagi. "Alangkah indah, jika aku terus berkibar sepertimu" lampias senyum Munsyi pada sang Jalur Gemilang. Pandangannya dilemparkan kekejauhan melewati segala gedung-gedung mercu kejayaan Negara. Dia menarik nafas-nafas panjang. Bola matanya dimain-mainkan ke kiri, ke kanan, ke bawah, ke atas, berkali-kali, dipusar-pusar berkali-kali, atas amalannya agar matanya terus tajam melihat seterangnya. Di main-main bagai mata sang mengkarung si gok-gok lapar melotot: terbonjol terbeliak mengawasi segala serangga melintas terbang.
Tetiba rasa pedih menjalar di kalbunya. Perlahan-lahan, matanya berkaca, hatinya berdetak sayu. "Tuhan, izinkan aku diam. Izinkan aku pulang. Izinkan aku berjalan pergi dulu. Selamatkanlah aku atas jalananku ini. Kembalilah aku nanti selepas pulangnya aku. Bantulah aku kali ini, dalam jalanan pulang, pergi dan kembali. SubhanaAllah, MahaBerkuasanya Engkau!", dia menadah dalam-dalam, menyerah sembah Duha, kepada Allah.
Kemelut Pulang
Di celah-celah tirai, dia melihat bayang-bayang kehidupan. Kehidupan bangsanya. Pada gedung-gedung melata di depannya, dia melihat bangsanya sedang terbungkuk-bungkuk membanting fikiran mencari kehidupan. Yang didapati, dalam firasat Munsyi pastinya hanyalah secebis kehidupan. Nan pasti belum bisa membahagiakan. Adakah berpada?, tanyai dia sendiri. Bagai kerbau di sawah, terbungkuk-bungkuk menarik tegala, betapa kuat sekalipun ia bekerja, upah dan rezekinya tetap sama. Rehatnya tetap petani yang menentukan. Padang kerjaannya tetap sawah nan berlumpur becak. Alam tidak akan senang simpati padanya. Mentari pasti membakar. Sehingga tubuhnya ngak pernah cerah. Hujan tetap menikam, sehingga kulitnya ngak pernah mulus. Penyakit kesinting: kegilaan nombor 1 mungkin telah menlanda, jika mengharapkan kerbau berkulit lembut dan gebu. Mana mungkin! Agas, lalat dan nyamuk terus saja merobek-robek kedamaiannya.Panganannya: makannya tetap rumput-rumput di pinggir batas, tidak termimpi lebih dari itu biar selonggok mana hasil panenan: tuaian sang empunya sawah. Kasihan sang kerbau, dungunya tidak pernah berubah biar kapanpun. Taatnya mengalah Tuah kepada Sang Rajanya. Lebih kasihan, hadirnya kerbau di mata anak-anak bangsanya, hanyalah tontonan kebodohan sebuah ciptaan Ilahi, tanpa banyak yang mengerti betapa Allah itu MahaBijaksana sedang menyindir mereka halus dan tajam.
(2)"Apakah harus kukarang sebuah nyanyian Kerbau dan Bangsaku?" bentak hatinya. "Jangan, janganlah sampai ke situ fikiranmu" sanggahnya sendiri.
(3) Di dasar gedung-gedung itu, pandangan Munsyi menjalar dan merayap. Di sana, dia pasti, dulunya, segala moyang bangsanya berkejaran menjerat pelanduk untuk kehidupan ringkas mereka. Di sana, segala moyang bangsanya pasti hidup penuh kedamaian meniti hari demi hari dengan sangat tidak berubah-ubah. Mungkin juga bagai kerbau, tahunya, bila siang mengendala sahaja. Tanpa sadar, kian hari sawahnya kian menyempit, lalu hilang. Usailah tugas kekerbauannya lalu menjadi dia seekor binatang yang siap untuk disembelih dan dilupakan akan segala jasanya. "Kelampuan: melampau aku, masa mungkin kerbau dan moyangku sama. Tidak mungkin. Darwin saja yang bertanggapan manusia asalnya dari monyet yang seiras manusia tetap juga tidak betul, mana mungkin kerbau yang tiada langsung pertalian evolusinya sama saja dengan para moyangnya. Benar-benar kelampuan", bentak hatinya melawan fikirannya. Kerbau, lambang hadiah sebuah ketaatan yang bodoh, tambah kata hati Munsyi.
(4) Namun rasa kesalnya terus mengalir. Dulu-dulu, dia pasti, anak-anak bangsanya, pada dasar gedung-gedung itu, membanting tulang menghambat kebahagian. Di situlah, mulanya mereka berperang bermandi air mata, keringat dan darah memerdekakan diri. Mereka sekuat membanting tenaga. Namun saat kemerdekaan sudah terhampar, fikiran mereka tidak melangkah ke luar dari gejolak: teruja kegembiraan merdeka. Tanpa sedar mereka masih tetap tidak merdeka. Padang tumpah keringat, air mata dan darah mereka, perlahan-lahan sudah tidak menjadi milik mereka. banyak kian terlepas. Perih hatinya melihat dan merasa tingkah alam ini. Bangsanya, Melayu, tidak mengerti bagaimana, bersatu teguh bercerai roboh itu, adalah pesanan betapa dalam kehidupan demokrasi dan kapitalis ini, kata-kata sebegitu adalah mukzizat yang harus dipandu rapat. Bangsanya kian rebah dalam rempohan ombak demokrasi dan kapitalis. Banyak anak-anak, bahkan bapa-bapa, ibu-ibu, nenek-nenek bangsanya terjengkang: mengangkang mati katak bagai dilindes: giling steam roller atau terpinggir bagai anjing kurap ke sisi jalan, sekadar sesekali menoleh lalu kus kus melengos kesurupan: berdesing, merembes malu terhuyung-hayang. Semuanya gara-gara mengejar kehidupan yang kian menjajah.
(5) Hari ini, usai sudah segala beban tertanggung di pundak rasminya. Sudah dua puloh enam tahun dia mengalas beban kebaktian yang dituntut ke atas dirinya, sebagai penjawat awam. Hari ini dia seperti terlepas dari tugasannya memomong dan mendukong adik bungsunya Fatimah saat anak itu masih kecil. Bayangkan tubuhnya yang kurus dan kecil, tertanggung untuk mendokong adiknya yang sering menangis dan sering saja minta didokong. Hari-hari dia mengajar anak itu mengira, mengeja, dan menghafal: "1,2,3...A,B,C....Alif, Ba, Ta...." Harapannya, biarlah suatu hari nanti adiknya itu, akan sekolahannya jadi baik, kepinterannya jadi sempurna.
(6) Dia merasa dirinya seakan seekor kerbau yang terpaksa mengendala sawah seluas mata memandang. Tanpa henti, saban hari. Mengabdi diri sesucinya. Dua puloh enam tahun, dia meniti jalan-jalan membina bangsa pada kuasanya, atas janjinya pada si ibu tercinta, saat bocahan: anakan dulu. Hitungan dua puloh enam tahun, adalah seumuran Eina, Magdeliena Ai Ling, gadis Tionghua yang cuba dijinaknya. Dilihat pada fizik seorang manusia, sebegitulah jasadnya, satu generasi telah dia lewati. Dari sebutir cinta, tumbuh subur kasih-sayang, menjadi janin, terus kembang embriogenesis menjadi bayi montel, lalu kini subur menjadi perawan menawan, putih mulus, comel, mengetarkan. Lalu dikejarnya. Ingin dijinaknya buat menabur harapan yang lama tersimpan dan terabai. "Eina, seumur dirimu, aku melupakan diriku, untuk mereka, di antaranya adalah kamu. Izinkan aku bersamamu. Bersama kita membina bangsa ini, memerdekakan mereka sekali lagi. Bantulah aku", terhambur di hatinya, saat payah untuk dia memilih mahu undur merdekakan dirinya atau terus saja bertahan mengayut kegemilangan yang telah dicapainya.Terlalu tinggi harapannya pada Eina si anak Tionghua itu.
(7) Dua puloh enam tahun dia terbungkuk-bungkuk memerah otak mencari jalan mengusai janjinya pada ibunya, Belalah bangsamu. Oyot: moyangmu dulu, tidak kesampaian untuk dia berbuat sebegitu, maka itulah tugasmu. Sambunglah cita-citanya. Jangan sekali-kali lupa akan sengsara dan payahnya bangsamu. Itulah pesan ibunya saat dia saban malam terbata-bata mengaji Muqadam. Begitulah, hari-hari dilewatinya, tanpa sadar, tanpa rasa. Waktu berlalu dan pergi. Tidak menanti.
(8) Waktu, jika ada yang mahu didengkikannya, dicemburuinya, satu-satunya, pastinya adalah pada waktu. Waktu tidak pernah setia. Cinta waktu hanya sehangat kilat. Lap-lap dan terus hilang. Waktu tidak pernah ada rasa sabar dan belas. Waktu meninggalkan sesiapa, secepatnya. Datangnya. Perginya. Semahunya. Tidak pernah tunduk pada perintah sesiapa. Tidak pernah peduli sesiapa. Tahu-tahu, sudah dua puloh enam tahun dalam tanggungan tugas beban. Sudah lima puloh satu tahun dia menghirup nafas alam. Maka tepatlah kesedarannya untuk pulang, berjalan dan kembali. Fikiran dan gayanya tersendirinya harus dia cari untuk mendepani cita-cita barunya yang anih dan lain: Aku bercita-cita dan berusaha untuk hidup sehingga umur 125 tahun Anih bukan. Inilah pertama kalinya, ada manusia bercita-cita hidup 125 tahun. Semua orang bercita-cita jadi doktor, jurutera, Menteri, apa saja, yang boleh mendatangkan kekayaan dan kesenangan hidup, namun dia hanya bercita-cita mahu hidup 125 tahun.
(9) Saat cita-cita anih itu tumbuh di kepalanya, kembang di hatinya, meresap dalam salur darahnya, Munsyi berkira, dia masih punya waktu untuk kehidupan barunnya untuk 74 tahun di depan. Waktu itu dia akan perhitungkan dengan teliti. Waktu itu menjadikannya ingin pulang, pergi dan kembali. Dia sedang mencari jalan pulang, pergi dan kembali yang pasti. Inilah sinting: kegilaan barunya nombor 2. Dia manusia yang ingin kekal lain dan terus lain dari yang lain.
(10) Hari ini, Munsyi akan memulai langkah kemerdekaannya. Dia memulai langkah merdekanya di sini, di gedung Concorde, yang dulunya dinamakan Hilton. Allah itu MahaBesar, bisik hatinya. Dulu, tiga puloh tahun dahulu, sering dia ke sini, bersama teman-teman kuliahnya untuk menikmati teh tarik dan nasi lemak. Di sini di bawah pohon acasia yang rindang, Hilton Drive namanya. Sambil mendongak, melihat kamar-kamar sepertinya terlalu indah, kepingin sekali rasanya dia melabuh tubuh dalam kamar-kamar sebuah hotel yang gah ini. Itulah mimpi indahnya untuk dia bisa baring, tafakur dan melihat dari jendela-jendela itu, melayang pandang ke kejauhan. Itulah mimpinya saat dia bergelar siswa. Saat lalu sakunya bocor. Saat lalu dengkol katok: lutut seluarnya bolong bertampung-tampung: koyak bertampal-tampal. Saat lalau sepatunya adalah getah tipis yang sudah juga bolong-bolong: selipar tinggalan Jepun. Saat lalau dia perih dalam payah mengejar ilmu. Allah MahaPemurah, di saat ini, hajatnya itu kesampaian saat hari-hari sebegini. Pada saat dia memulai langkah merdekanya.
(11) Bening-bening kaca airmatanya menetes tanpa diundang. Sayu hatinya, bukan kerana resah rasa terpaksa meninggal yang akan ditinggalkan, resah hatinya memuncak, mengingat hari-hari depan bangsanya yang dia tidak pasti bagaimana rupa sirnannya. Dia menghela nafas panjang. Dia mengengam seluruh jari-jarinya sekuatnya. Mengepal. Menumbuk-numbuk tangan kanan ke tangan kirinya. Mengengam erat paduan jari-jarinya. Perlahan-lahan dia mengucup kepalan lalu melepas dan mendepa tangan seluasnya. Dia ingin menjamah seluruh alam, sepertinya. Merangkul alam. "Yah, aku sudah merdeka! Ibu, usai rasanya tanggunganku. Puas sudah rasanya kuabaikan apa seharusnya jadi milikku. Kini biarlah aku memulai langkah pulangku, biarlah aku berpergian, aku akan kembali! Aku Hijrah!", teriak hatinya, melegakan fikiran dan melapangkan dada yang nan kian mengusut.
(12) Munsyi sudah sekian lama memperhitung. Segala tenaga dan fikiran yang dia hambur dan hempaskan selama ini, menjadi kian payah untuk dia merasakan apa lagi menikmati keberhasilannya pada kemahuannnya. Ada saja galang penghalang. Bagai ombak membanting karang rasanya. Semakin kuat membadai, semakin robek berderai. Bangsanya sudah jadi lain. Teman-temannya juga sudah lain. Watak-watak, pendirian, dan jalanan hidup mereka juga sudah jadi lain. Pada bangsa ini, suara gendang sudah berganti Rap&Blues. Kenduri sudah serba berjela jadi Big Celebration Fiesta. Barkah doa dan zikir kian padam ditelan Karaoke dan lingguk tari mengasyikkan. Akrab kerabat sanak saudara, jadi kelam dilingkungi sahabat setaraf dan segaya. Bicara mereka sudah berpindah dari budaya dan adap sopan, menjalar-jalar pada segala kemegahan yang mesti dipertandingkan, dipertontonkan: kereta, rumah, libur di luar negara, anak belajar di mana, I-pod, segala. Senyum dan salam hormat, sudah silih terhakis oleh perhiasan tanda persaingan membusung mendada. Ungkaian demi Bangsa, Agama dan Negara sudah terukir lalu tersemat berganti demi aku, untuk aku dan hanya aku. Penuh keakuan. Wa peduli apa sama lu? Tiada kekitaan. Budaya mereka sudah lain. Lain benar. Cuma sering Munsyi bertanya: "Akhirnya ke mana?"
(13) Suara pembelaannya seperti kian disepikan, terpadam perlahan-lahan. Dia merasa, seluruh gerak hati dan fikirannnya sudah tidak dapat serasi dengan masa, dengan zaman. Dia mulai merasa, kemunduran kian menerpa, bukan kemajuan yang menghampiri. Dia merasa segalanya kian tengelam. Cuma yang ada, saban waktu dia mengadu padaNya, agar terus saja dia diberikan kekuatan untuk terus berjalan dan berfikir: "Ya Allah, Engkau mengerti akan hidupku, jalanan hidupku, maka berikan aku segalanya, agar aku terus berdiri, berjalan dan berbakti sepuasnya untuk ummahMu dan IslamMu", sebegitu lama, itulah sahaja permintaannya. Mungkin itulah sahaja sisa harapan yang masih ada padanya, dan akan terus dia tuntut.
(14) Dia seperti sudah kesasar: sesat di pertengahan jalan. Terus melangkah ke depan, akan hadirkah kemajuan seperti yang dihambat: dikejarnya? Mundur, ke mana harus dia halakan langkah-langkah pulangnya. Munsyi, merenung pada kata-kata neneknya: Jika sesat, kembalilah ke pangkal jalan. Pangkal jalannya di mana? Apa ada di pangkal jalan? Pastikah di sana akan ada kekuatan sebagai yang selalu dia pinta, doakan? Pesan ibunya: "Njelo orep, yo selalu wae ngalah kambek ngaleh. Ojok teros-teros nabrak wae: dalam hidup, biarlah kita selalu mengalah dan undur. Jangan terus-terus mengasak". Dia menangis mengingat semua itu. Dia sebak tidak karuan. Kini dia merdeka, namun ke mana kemerdekaannya akan dia bawakan?
(15) "Hadapkan segalanya kepada Allah. DariNya engkau bermula, kepadaNya engkau mesti kembali" hadir dalam benak hatinya. "Apa yang mesti aku hadapkan? Hari-hari berdoa kepadaNya, meminta kepadanya? Menangis, meraung sesal di sejadah? Kenapa? Kotorkah aku? Jijikkah aku? Sememangnya sudah kalahkah aku? Ah, bodoh itu, mengemis namanya. Apakah aku sudah mati?" Munsyi berdebat sendiri. "Fikir dan teruslah berfikir", cabar dirinya buat dirinya. "Kenapa tidak saja pulang ke Tanah Tumpah Darahmu?, hadir satu lagi saran. "Tanah Tumpah Darah? Di mana? Kampung? Kampung yang mana?", segalanya kian bergulat: berkecamuk dalam kepalanya. Dia termanggu: menumpang dagu pada meja hias di kamar itu. "Pulang ke Belitong, Rhiau? Tidak mungkin. Siapa harus aku temui. Ke Palembang saja. Lagi berat. Nama Kampung moyangku pun sudah tidak kutahu apa lagi keluarganya? Ke Batawi saja. Bukankah Betawi sudah hanya tinggal nama? Embah: nenek ngak pernah cerita di mana Kampungnya" satu persatu asal usul nenek-moyangnya menjelma di kepalanya. "Pulang saja ke rumahmu di Kampungmu, Terasi. Bukankah engkau membinanya untuk bersara, istirehat saat engkau sudah bersara? Enak dalam kehijaun alam serta semerbak kembangan di laman dan kocakan ikan-ikan bekerjaran dalam kolam-kolam. Sungguh damai. Menyegarkan. Ke sanalah engkau pulang" asak hatinya terus. Munsyi mengukir senyum. "Hai rasa dan fikiran, janganlah tubuhku kalian ajar jadi malas dan kalah. Aku bisa 'ngalah dan ngalih' namun aku tidak mengalah dan lari. Kalbuku masih ada nafas Tuhan. Aku akan hargai itu, aku mesti hargai itu, bentak Munsyi meyakinkan diri. "Ah masa bodoh lu: suka hati engkaulah", sanggah hatinya.
(16) SubhanaAllah, selagi mahu berfikir dan jujur, pasti Allah tetap ada di samping: sisi. "Aku akan pulang dulu ke Kelantan. Di sana, aku telah melewati saat bocahanku. Di sana aku mengenali hidup kental solitare. Di sana akan aku carikan satu pegangan yang bakal kusimpan dan kubawa pergi. Inilah kampung yang telah menyadarkan betapa kemiskinan, kepayahan, kesengsaraan telah menyubur segalanya dari rasa persahabatan kepada kebencian, dari rasa mewah kepada rasa putus asa, dari rasa kalah kepada berjuang tanpa takut apa juga galangnya. Kelantan, inilah kampung yang telah membangkitkan jiwaku, dan aku akan bangkit kembali pada jiwa itu, cuma, aku akan meniti batas-batas yang lain, yang dapat menjadikan aku kembali dengan cara lainnya. SubhanaAllah, selamatkanlah jalanan pulangku ini, seketika ini" Munsyi berbicara sendiri, bagai menemui jalan pulangnya.
(17) 1 Disembar 2011 adalah pemula jalan pulang bagi Munsyi. Munsyi menghempas tubuhnya di katil perbaringan. Dia mendepa tangannya seluasnya. Dia memejam matanya. Dia hanyut dalam fikiran silammnya. Berjalan meniti buih-buih awan mengimbau jalanan keremajaannya, zaman kemerdekaannya. Dia ingin mengembalikan zaman itu. Dia ingin merenung zaman itu. Dia ingin belajar dari zaman itu. Dia memulai jalanan pulangnya.
Luka Pemula dan Kebangkitan
Cicak di langit-langit pun pasti kaget dan kehairanan. Mujur kamar sebegini putih dan indah, tertutup rapat segalanya, maka sang cicak pun ngak ada. Jika tidak pasti akan bermesyuarah segala mereka berbicara tentang kesintingan nombor 3 yang sedang mereka ikuti. Munsyi tersenyum sendiri. Tersenyum dalam pejam. Tersenyum dalam diam. Tersenyum tidak ada pada siapa dilemparkan. Senyum pada dinding? Senyum pada kamar? Senyum pada apa? Para cicak pasti kehairanan melihat kesintingan nombor 3 ini, sinting senyum sendirian.
(2) Dalam awan kepala Munsyi, hadir Mei Ling. Mei Ling anak Tionghua yang satu ketika dulu saat remajanya, dia terjatuh cinta. Dia terjatuh cinta. Dia ter. Penambah kata ter itu menjadikan dia mendapat kesakitan sinting nombor 3. Sinting senyum sendiri-sendiri. Dia tersenyum sendiri mengimbau saat manis-manis manggis itu. Manggis, manisnya adalah masam-masam manis. Salah-salah, lebih masam dari manisnya. Maka senyumnya, adalah rasa kesintingan nombor 3 yang harus dia tanggung. Dia tersenyum-senyum mengenang cinta monyet yang dialaminya pada umurnya 24 tahun. Lelaki, pada umur 24 tahun, masih umbelan:hingusan jika dibanding dengan perempuan seukur sama. Maka mungkin sebegitulah, maka dia mengkelompokan cintanya, setaraf cinta monyet, atas sifat umbelannya. Anak-anak yan g belum dewasa-matang. masih ingin terkinja-kinja mencoba hidup bagai sang monyet melompat dari dahan ke dahan.
(3)Mei Ling adalah antara gadis-gadis yang begitu patuh membantunya saat dia sedang mengalami sakit kesintingan nombor 4. Sakit ini adalah lumrah pada siswa-siswi yang digelar tidak tahu diuntung. Mendapat biasiswa, mendapat tempat di Menara Gading, yang tugasnya adalah untuk mengejar ilmu, mendapat ijazah secepatnya, lalu mesti berkhidmat untuk Negara, malah bila mendapat kesintingan nombor 4, mereka leka berpersatuan. Mereka gila ponteng kelas. Mereka gila mahu jadi pemimpin sebelum pada saatnya. Mereka gila ke hulu-ke hilir berlagak jadi Wakil Rakyat. Mereka gila mempersoal apa yang belum masanya mereka menyoal. Kesintingan nombor 4 ini, adalah kesintingan jiwa yang menggelegak mahu mendapat hormat sebelum waktunya. Munsyi, memimpin kumpulan siswa-siswa sinting antaranya Engku Husein Engku Hazmi, Muhammad Husein, Halim Hamid, Nazir Jiwa, Abdul Razak, Azmi Razik, dan banyak lagi.
(4) Mei Ling, saban waktu selepas kuliah pasti akan berkumpul bersama rakan-rakan lainnya membantu Munsyi dan rakan-rakan sintingnya. Mei Ling, Norzalin, Norlin, Hashimah, Endun, dan banyak lagi, itulah kumpulan pendokong kumpulan pimpinan Munsyi. Tidak kira kapan waktunya. Siang malam. Pagi Petang. Pasti dengan taat setia sedia dipinta membantu apa saja kerjaan yang diperlukan. Mencetak poster. Mengetik: menaip rencana. Membuat surat. Menyusun risalah-risalah. Namun, selalunya, sekadar menambah riuh rendah tanda setiakawan yang sangat akrab dan menyeronokan.
(5) Hari-hari berlalu. Teman-teman ini akhirnya saling melekat mendapat penyakit kesintingan nombor 4. Sakit cinta. Cinta monyet. Bergayut. Norazlin-Nazer, Norlin-Husein, Norhashimah-Razak, Endun-Azmi, dan banyak lagi. Kini, sepertinya, Munsyi sudah memimpin kelompok sinting nombor 4, dan bukan lagi gerakan persatuan pelajar pembela bangsa. Satu-satu, sudah bergayut. Namun, setia mereka tetap utuh. Malah bertambah kuat. Munsyi sudah terkenal jadi tukang padu. Match maker. Gelaran itu Munsyi terima dengan senang hati, malah dengan ketokohan sebagai match maker dia kian diburu banyak teman-teman untuk berdampingan dengannya. Baginya, itulah jalan baginya mendapat dokongan lebih banyak siswa-siswi dalam langkah-langkah bertatih politik kampusnya.
(6) Hari-hari, Munsyi mengamati Mei Ling. Anak gadis angkat keluarga Jawa lalu menjadi Maz. Gadis genit. Lampai. Tertib. Sopan. Rajin. Yakin. Mudah tersenyum. Perlahan-lahan hatinya bergetar. Bergetar menjadi gugup tidak karuan saat menatap mata Maz. Hari-hari dia jadi resah. Hari-hari rasa goyah menguncang jantungnya. Apa lagi jika Maz si Mei Ling lambat kunjung tiba. Dia kian sedar. Penyakit kesintingan nombor 4 kini sudah merempoh dirinya. Dia harus mencari obat paling mujarab untuk penyakit ini. Obatnya hanya satu. Berani. Gentleman. Dia mesti berani dan gentleman untuk mengusul rasa hatinya. Dia pasti. Dia telah terjebak dalam alam percinta. Dia sudah masuk ke alam mahu bergayut. Namun apapun, dia mesti menyatakannya.
(7) Lewat selembar kertas putih dia menulis satu warkah tekad, menyatakan:
"Maz, telah lama saya berfikir. Telah lama saya perhatikan. Telah lama saya putuskan. Telah lama saya tahan. Biarlah saya nyatakan, I believe I love U". Mohon terima. ABC
(8) Itulah ungkaian kata-kata yang dikarangnya, berkali-kali. Berlembar-lembar kertas telah dibakul sampahkan olehnya. Namun, keyakinan dirinya seperti tidak ada. Namun akhirnya, dia memutuskan, itulah yang terbaik yang dia rasakan perlu dia nyatakan. Ringkas. Mudah. Terus terang. Warkah itu dikirim lewat pos. Dia tidak ada keberanian untuk menyampainya secara berdepan. Munsyi, dalam hal sebegini, benar-benar anak umbelan. Dia tidak gentar untuk berbicara bersama Menteri, Ketua Kantor, bahkan berdebat dengan siapa saja dalam soal-soal sosial. Dalam soal sebegini, jiwanya benar-benar kerdil. Hairan. Kenapa? Inikah yang dimaksudkan, hati menguasai segala? Saat jiwa dirempoh rasa cinta, lidah menjadi kelu, aliran arus gelombang sarafpun teputus-putus, lalu kata-kata menjadi terbata-bata.
(9) 15 March, 1984, saat sama-sama mentelaah di Pustaka Tun Sri Lanang, Maz tiba-tiba membuka sampul berisi warkah yang ditulisnya. Olahnya selamba. Sampul diangkat tinggi. Mereka duduk bertantangan. Munsyi menjadi sangat gugup melihat jari-jari halusnya perlahan-lahan membuka warkah itu. Maz, yang kenal benar akan cara Munsyi menandatangani apa-apa juga dokumen dengan singkatan ABC, dengan gaya besar dan jelas, lantas memandangnya tepat: "Surat dari you? Apa you tulis ni?" soal Maz masih dalam suara selamba, bersahaja. "Ya ampun, kenapalah dia buka surat itu di sini? Kalau dia tak terima, ke mana hendak aku sorokan mukaku? Ya Allah, matilah aku". Dia meneliti tepat anak-anak mata Maz saat dia menatap kata-kata yang ditulisnya. Maz mengetap bibir. Dia mengukir senyum, tetap selamba, tenang. Maz mendongak dan menatapnya tepat. You betul-betul ke ni? Tak main-main? soal Maz tegas. Ya. Betul, jawapnya ringkas tersekat-sekat. Maz tetap tersenyum. Tertawa kecil. Teasing: menduga betul gayanya. Tak romantik langsung. Serious sangat cara you. Too formal, sambungnya. Munsyi jadi kian gemetar. Peluh pelik mengalir ditubuhnya. Dia terasa hendak demam. Rasanya berbaur sesal, malu, tak pasti. Ingin rasanya dia angkat kaki dan sembunyi diri.
(10) Maz menumpang dagu. Munsyi tertunduk diam. Dia tidak berani menatap wajah Maz. "Kalau you serious, kena jumpa mak. Berani? tanya Maz dengan tegas. OK. Bila? jawap Munsyi ringkas dan tepat. Apa ni? Tensionlah. Tanya satu jawap satu. You tak macam you. Sifat riang, kelakar, talkative, semuanya hilang. Confidentlah!, asak Maz. Sorry. I tak sangka benda macam ni berlaku di sini, di saat sebegini, balas Munsyi dengan penuh sipu-sipu. OK. Minggu depan, kita balik Kampung, Perserai, Batu Pahat. You jelaskan pada emak dan ayah. Boleh? usul Maz. OK. No problem jawap Munsyi penuh gentleman.
(11) Cinta berbalas. Kedua orang tua Maz mengizinkan perhubungan. Terasa barakah. Terasa terhormat. Restu keluarga mendatang semua. Lalu janji terungkapkan. Disembar, 1984 pasti datang kembali untuk menyarung ikatan di jari manis. Hari-hari selanjutnya, jiwa Munsyi terasa kukuh. Terasa damai. Terasa ada yang dipegang. Inilah kudrat cinta. Inilah kudrat kasih sayang. Hari-hari adalah bahagia syurga buatnya. Fikirannya, mahu secepat mendapat segulong ijazah dan kembali pulang mengumpul kekuatan, agar Maz akan jadi miliknya, abadi. Usai peperiksaan akhir semester, 15 Jun, 1984, Munsyi terbang pulang meninggalkan jalinan kasih pada gadis Tionghua Mei Ling alias Maz. Lantas, Laut China Selatan menjadi batas sempadan kasih sayang. Posman menjadi penghubung kerinduan. Hari berganti pekan. Pekan berganti purnama. Disembar menyembah diri. Laut bergelora. Monsoon mendatang kencang. Badai melanda. Munsyi terbang mendatang. Namun saat janji ditagih, kekasih sudah diikat orang. Burung sudah masuk sangkar. Apa mahu dikata? KFC Kajang jadi saksi perpisahan. Menjadi saksi kemungkaran janji. Munsyi tetap sabar. Munsyi hanya diam. Munsyi menghulur salam: Semoga Maz akan berbahagia. Dia gagah menahan rasa. Biar hatinya berkecai bersama hempasan ombak monsoon di batu karang. Darah pedih menitis disepanjang jalan. Munsyi berjalan pulang. Keringat membasah tubuh tidak terasa. Hatinya terasa luluh kehancuran. Terbanglah kembali Munsyi ke tanah permaianannya. Membawa jiwa polos tak ketentuan.
(12) Di Kampung dia mendiam diri. Dia berputar-putar dalam kepayahan. Jiwanya seperti mahu terbang. Fikirannya seperti mahu mati. Benar-benar dia terasa hancur dan musnah. Sebutir cinta yang dia dambakan, buat azimat, untuk melangkah gagah, hancur sebelum sempat berputih mekar. Bagai ombak monsoon berkecai di batu karang sebelum sempat mencecah gigi pantai. Ya Allah kenapa begini? Apa maksudnya ini? menengadah ke langit dia berseru sekuatnya kepada MahaPencipta, Maha Pelindungnya.
(13) Hari-hari dilaluinya dengan diam. Girangnya kian hilang. Wajah tegas kian menjelma mendatang. Roman senyumnya kian kurang. Wajahnya, kian hari kian keras. Hari hari dia merenung diri. Hari-hari dia bertanya-tanya sendiri. Mencari jawaban. Mencari jalan untuk mengerti. "Ya Allah. Apakah maksudMu dengan kegagalan ini? Betapa aku jangan lari dari kaumku? Betapa aku mesti terus di sini? Terus berdiri di sini? Berjalan di sini? Bertepik di sini? Berkeringat dan menangis di sini? Apakah itu mahuMu padaku? Baik. Jika itu mahuMu, aku tetaplah di sini"
(14) Itulah titik waktu Munsyi melupakan rasa dirinya. Dia akur atas perintah membela bangsanya. Saban hari dia kian sibuk mengejar masa. Meniti kantor berbicara dengan sesiapa. Keliling Kampung mengusul dan mengerak pelbagai apa saja, membebas kaumnya dari belenggu kolot yang menjajah kehidupan mereka. Merombak segala yang ada di Kampungnya. Rumah Ketua Kampung, pamannya menjadi medan dia bertarung fikiran. Surau kian dihidupkan. Padang taqraw jadi keriuhan di setiap petang. Sepak bola mulai terolah tanpa bantuan. Yang tua dan muda disatukan dalam pelbagai gerak gotong royong. Kebunan embahnya bertukar dari sarang munsang dan ular sawa menjadi kebunan koko pengerak revolusi ekonomi desanya. Perlahan-lahan semua menuruti keras usahanya. Masyarakat Kampung mulai mengerti betapa mereka adalah kaya dalam kemiskinan. Munsyi mengerak jalan menukar segala menjadi rezeki membahagiakan masyarakatnya. Perlahan-lahan segala bentuk rahmat pembangunan berkunjung datang. Satu-satu. Tanpa henti dia ke hulu ke hilir mencari dan bersatu berusaha membangun segala. Dia benar-benar melarikan diri dari hatinya yang luka dan berdarah bernanah. Mengabdi diri, menumpah cinta dan kasih sayangnya, pada Kampung dan penduduknya, masyarakatnya.
(15) Hari-hari tanpa mengenal lelah dan imbuhan buat dirinya. Dia bekerja terus tanpa upah, tanpa ganjaran. Perlahan-lahan darah dagang yang mengalir dalam tubuhnya muncul kembali. Nenek-moyangnya dulu, adalah pedagang yang merantau dari Rhiau dan Palembang, sehingga akhirnya singgah dan membina perkampungan di Sadong. Dia mengorak langkah sama, apa saja hasil dari para petani mulai dikumpul dan didagangnya. Sehingga akhirnya dia dapat mengerakkan penubuhan sebuah Kooperasi Desa yang dapat memberikan laba seimbangnya bagi semua hasil jualan penduduk setempat. Orang tengah yang selama ini bagai lintah darat mulai merasa kepepet: tersepit. Terjadi kelompok yang mendokong perjuangannya dan mereka yang tradisi tidak pernah yakin akan kemampuan bangsa sendiri untuk berdagang. Munsyi hanya yakin pada kerja keras dan keuletan: keteguhanh hati. Segalanya dia hadapi dengan berani dan tegas.
(16) Hari demi hari. Semakin kuat dia menjerit, semakin kuat pantulan kembali suaranya. Semakin kuat dia melawan, semakin tegap dinding pemisah. Namun cekalnya tidak pernah patah. Jika asmara adalah cinta pribadi, perjuangan menegakkan hak masyarakat adalah cinta suci yang kalahnya tidak boleh diterima. Segalanya mengasaknya. Adat desa, yang muda, usah terlalu cepat didengar ikuti kata-kata mereka. Inilah norma sebenar yang menduganya. Semuanya dia lalui, menjadikan jiwanya kian menebal kental, lalu keras. Dia benar-benar ingin lekas membangkit bangsanya agar berdiri dan berjalan sendiri tegap.
(17) Dia mulai mengambil sikap keras. Dia memulai langkah keras. Pengamatannya: " Di pinggir jalan, banyak lalang yang lemah gemalai. Ke barat angin bertiup, ke Baratlah condoongnya, Ke Timur deru angin, ke Timurlah doyongnya. Ke mana juga angin menghala, ke sanalah sujud mereka. Saat musim kering mendatang, lalu habis hangus terbakar, membahayakan. Di pinggir jalan, banyak bambu tumbuh segar. Meliuk lintuk, banyak rebah menghadang jalan. Di pinggir jalan, banyak pohon-pohon pisang indah segar. Saat ribut mendatang, banyak yang tumbang dan merugikan. Di pinggir jalan, banyak juga pepohon sawit berderet-deret. Keras dan tegar. Hasilnya, kemiskinan dan kepayahan bangsa terobat perlahan-lahan. Segala tupai, tikus, ular sawa, ayam hutan, bahkan keli di perparitan juga bersenandung kenyang. Begitulah, Allah, menjadikan contoh pada yang lebut dan keras pada alam, jika banyak mahu mengerti" Munsyi membina falsafah juang sendiri, saat banyak suara-suara menentang cara keras dan tegarnya.
(18) "Sampan, tidak maju deras jika dikayuh dengan lidi lembut. Pundak, tidak bisa memikul beban berat, jika tulang selangka terbuat dari rawan lembik. Pedang Samurai, tidak tajam membunuh tanpa sedar, jika terbuat dari keluli loyang" bicara Munsyi terus-terus meyakin diri betapa dalam usahanya untuk cepat menyedarkan bangsa, sikapnya harus berani dan keras. Paling mendokong, bila dia ketemui sebuah tulisan tentang penjelasan Muhammad SAW dan Ali Abi Thalib ra tentangnya Abu Bakar Al Siddique dan Umar Ibnu Al Khatab. Betapa suatu hari bila Muhammad SAW di soal tentang Abu Bakar dan Umar, lalu baginda bercerita: "Suatu malam saya tertidur, lalu bermimpi. Sampai di sebuah perigi. Di sana sekelompok pengembala mahu memberi minum ternakan mereka. Di perigi itu ada seorang tua yang lemah longlai menimba perigi mencedok air. Lalu datang seorang lelaki, gagah, membantu menimba air sekuat dan sebanyaknya sehingga semua ternakan minum puas. Itulah ibaratnya Abu Bakar dan Umar" ujar Muhammad SAW. Semua itu meyakinkan Munsyi tentang sikap yang harus ada padanya dalam mendepani jalanan perjuangannya.
(19) Pergaulannya kian meluas. Ada suara saran agar dia perlu duduk di bangku pejawat awam dengan segera. Teman-teman dan sanak saudara di desa-desa memerhati hebat kewibawaannya. Dia tidak pangtas: sesuai hanya jadi juara kampung. Dia harus duduk pada kerusi yang lebih besar dan luas kuasanya. Hanya dengan cara itu suara dan gerak pembelaannya mampu dikembang dan lebih mengesankan. Inget si pesen mamak ea. Jadi DO: Ingatlah pesanan ibumu, kau harus jadi DO, peringat embah Khartewi, neneknya dari sebelah ibunya. Munsyi berfikir panjang. Usaha dagangnya kian membuah hasil lumayan. Pendapatannya kian lumayan. Jauh lebih lumayan dari gajian Pegawai Negeri Siswazah bernilai RM1,200.00 sebulan. Dia bisa dapat lima kali lipat dari itu. Antara wang dan pembelaan, yang mana harus dia pilih.
(20) Akhirnya, Munsyi menyerah kalah pada tuntutan masyarakat. Dia melamar sebuah pekerjaan. Menjadi seorang Pegawai Negeri, dan syukur niat dan hasratnya termakbul, bila 1 Okt., 1986 dia memulakan duduk di sebuah kerusi yang terus mengasaknya untuk berfikir dan bergelumang dengan persoalan kehidupan desa yang payah dan susah. Munsyi lewat kedudukannya sebagai Penolong Setiausaha di Unit Perancang Negeri memacu teguh pada wasiat ibunya.
(21) Hari-hari tanpa mengenal lelah. Hari-hari tanpa ada sesal. Hari-hari tanpa jemu menghambat segala ilmu. Sendiri, mengkaji, berbicara, mengumpul apa juga yang seharusnya dia miliki agar suara dan fikirannya dimengertikan. Dia mensujud sepenuh hati dan jiwanya pada tuntutan yang seperti telah Allah patrikan dalam jiwa dan benak fikirannya.
(22) Hari-hari dalam hidupnya tiada lain dalam fikirannya. Perjuangan dan pengejaran mencari ilmu. Dia kian hanyut dalam cinta kasih penghambatan ilmu dan lautan bakti buat masyarakatnya. "Ya Allah. Syukur, Kau galang bunga cinta Mei Ling-aku, Kau kembalikan aku pada cinta-kasih azaliku, aku akan subur dalam rahmat keredhaanMu dalam rempohan menghambat kesejahteraan ummahMu. Bantulah aku" dia menadah tangan di belakang Paman-Imam di surau bobrok: usang di Kampungnya, saban waktu bila dia punya kesempatan berada di situ. Penyakit kesintingan nombor 5 mulai menguasainya. Dia kegilaan pada pembelaan nasib bangsa dan lupa akan hak dirinya. Ya, kegilaan nombor 5 ini, seperti membahagiakannya. Inilah kesintingan nombor wahid yang akan melonjaknya jauh ke tengah samudera gelora nan pasti tidak henti-henti mengempor dan bisa melemaskan. Namun dia yakin nombor wahid 5 adalah nombor kegemaran Allah. Islam, 5 rukunya. Jumaat adalah hari mulia nombor 5. Sembahyang, tiang Islam adalah 5 waktu. Jari-jari kaki dan tangannya 5 setiap sebelahnya. Banyak lagi yang ngak usah diperhitung segalanya adalah berasaskan angka 5.
(23) Munsyi menengkurep:bertelangkup. Bagai sebuah bahtera karam dihempas badai. Tubuhnya lemah. Dia tidak peduli. Dia ingin melayan rasa malas yang kian menjalar dalam dirinya. Dia mahu melayari terus masa lalunya.
Rebah dan Bangkit Kedua Kalinya
Imbauan masa lalunya terus menekan. Satu persatu kegagalan dan kebangkitan dia perhitungkan. Tubuhnya berpusar-pusar. Sesekali bertelangkup. Sesekali terlentang. Sesekali miring. Sesekali dia terduduk. Resah atau apa? Aku mesti lihat semua itu. Aku mesti layari semua itu. Aku mesti teliti semua itu. Itulah jalanan pulang dan pergi yang mesti aku mengerti. Semoga segalanya akan mengembalikan aku tegar dan berkibar.
(2)Dia ingat kuat, dalam hambatannya menguasai beban tugas nan kian mengunung, kian waktu berlalu, embahnya mengusul resah. Paman-paman dan bibik-bibik: bapa dan emak saudara, kian hiruk pikuk. Teman-teman menyindir kuat. Kenalan tersenyum sipu-sipu mengusul acara. Munsyi, layar ada tiangnya. Sampan ada pengayuhnya. Pohon ada dahannya. Basikal ada rodanya. Masjid ada Imamnya. Gendang ada palunya. Merpati ceria berkawan. Segalanya ada teman. Carilah satu. Zuriat yang baik, kembangkan. Itu pertintah Muhammad. Jangan sia-siakan. Jadilah umatnya yang membiak kata embah suatu hari saat dia bertinggung di anak tangga rumahnya di kampung.
(2)Munsyi merenung panjang. Kesintingan nombor 5 dan kegagalannya dalam kesintingan nombor 4 mungkin telah menghanyutkan dirinya. Dia lupa akan tanggungannya pada dirinya. Mujur, dia kembali sedar, betapa nasihat semua para kerabat dan rakan-rakannya harus tidak disingkirkan sebegitu saja. Di balik kepalanya terngiang-ngiang kata-kata: Di balik kejayaan setiap lelaki, pasti ada sri kandi penyuluhnya. Siapakah sri kandi itu dalam kehidupan Munsyi? Dia berfikir. Tidak mungkin embah akan terus-terus hadir. Tidak mungkin para bibik akan terus prihatin padanya. Tidak mungkin teman-teman. Siapa seharusnya? Munsyi mencari-cari. Munsyi terlalu banyak berhitung akhirnya. Lalu sebuah kata-kata dari dukun-bidannya kembali menerpa pada dirinya: Selalune, njelo orep, anak-anak iku akan ngowo rezeki. Nek iso, nek wes gedi, yo lekas-lekaslah ngolek kancane. Mudah-mudahan yo okeh anak, okeh rezeki: Selalunya, dalam hidup, anak-anak akan mendatangkan rezeki. Rezeki anak namanya. Kalau sudah cukup dewasa, cepat-cepatlah berumah tangga. Mudahan-mudahan dapat banyak anak, dan banyak rezeki. Itulah kata-kata dukunnya yang selalu di dengari saat dukun itu sering dikunjungi sanak saudara dan sahabat taulannya. Dia sering menasihati semua, siapa saja sebegitu. Mungkin itulah naluri seorang dukun-bidan. Mungkin, itulah juga nasihatnya agar semua akan membawa kebahagian yang jauh lebih dalam, dalam kehidupan seorang insan.
(3) Seperti di kampus, dalam soal rasa hati, Munsyi pasti agak bacul. Namun, takdir mungkinnya, kebetulan dia menyewa rumah bersama seorang teman semasa anak-anak sehinggalah mendewasanya. Teman ini, Haisron, nama samarannya sedang di serang kesintingan nombor 4, mabuk cinta. Paling menarik, cintanya melekat pada gadis secara kebetulan adalah kenalan dekatnnya di kampus dulu; Ana. Namun, Haisron, tidak punya keberanian untuk menyatakan rasa hatinya secara terang-terangan. Inilah akibatnya bila kesintingan nombor 4 melanda sesiapa. Kewarasan sepertinya tidak hadir. Hati lebih kuat mengawal fikiran. Sehingga mulutpun jadi kaku ngak bisa bicara jelas. Sinting. Benar-benar sinting. Lantas saban kali mahu bertemu, pasti Munsyi diajak bersama. Hormat-sopannya, mereka hanya sering bertemu di rumah si Ana. Munsyi merasa agak pelik: "Kau ajaklah si Ana itu keluar. Janganlah asyik 'dating' di rumah sahaja" usul Munsyi suatu hari. "Inilah masalahnya. Dia tak mahu. Dia ni lain dari yang lain" jelas Haisron seakan-akan kecewa. "OKlah, demi kawan. Aku temankan. Biar roboh tangga rumahnya nanti akibat kita sering saja ke sana. Lagipun elok juga, tak perlu keluar belanja. Makan dan minum percuma. Bagus lakunan cinta kau orang ini", Munsyi bagai mendorong.
(4) Waktu berdetak berlalu tanpa menoleh. Haisron kian kegelisahan. Burung terbang sukar hinggap. Jinak-jinak merpati. Makan di tangan, ditangkap payah. Saban hujung minggu mendatang, pasti resah si Haisron memuncak. Duduknya tak renah. Berdirinya, goyah. Mundar-mandir keluar masuk kamar bagai sang kucing hendak beranak. Sedang, si Munsyi, saban hujung minggu mahu pulang saja ke Kampung. Dia harus selalu berada di Kampung untuk memastikan segala kerja yang telah diusahakannya dulu berjalan baik. Kesintingan nombor 4 Munsyi telah beralih kepada Kampungnya, msayarakatnya. Dia telah meninggalkan penyakit sinting nombor 4 nya jauh-jauh. Namun dia mengerti keruwetan: keresahan si Haisron. "Begini sajalah. Kenapa tidak saja kau masuk meminang. Aku nampak bapa si Ana, baik saja" usul Munsyi pada Haisron pada suatu petang saat mereka sama-sama menikmati minum petang. "Masalah. Aku tak tahu samada Ana tu, suka atau tidak dekat aku. Dia tak pernah beritahu aku, sama cinta yang aku hulurkan itu dia terima atau tidak. Selalunya bila ditanya, sering saja dia berkata, entah dan sukahati" balas Hairon. "Lembablah engkau ni. Dia setujulah itu. Masuk meminang sajalah. Mudah" desak Munsyi. "Boleh ke tanpa ada rasa cinta berbalas?" sanggah Haisron. "Ala, pokoknya, kau cintakan dia. Kau sayangkan dia. Besok bila sudah jadi tunang dan bini engkau, kau curahkan sebaiknya cinta dan kasih sayang engkau itu. Batu pun boleh merekah akibat tetes-tetes air yang berterusan pujuk Munsyi. Kau cakap mudah. Aku menanggung payah! desis Haisron. Aku rasa kau ni pengecutlah! cabar Munsyi.
(5) Mungkin kerana terlalu tertekan atau marah, Haisron bingkas dan berlalu pergi. Dia menghilang diri tidak kembali ke rumah sewaan untuk dua hari. Bila kembali, Munsyi hanya diam dan pura-pura tekun membaca. "Beginilah Munsyi. Aku give up. Aku rasa dia lebih sukakan engkau. Bapa dan emak diapun lebih mesra bila berbual dengan engkau. Kau sajalah ambil dia" tiba-tiba dia mengusul terketar-ketar sambil melabuh diri duduk di sebelah Munsyi. "Apalah engkau ni. Kau bersabarlah. Cuba lagi. Aku belum berfikir semua soal cinta-cintan ini" balas Munsyi kehairanan.
(6) Namun atas`simpati kepada seorang teman, apa lagi teman yang telah bersamanya dalam merempoh banyak kepayahan dan kesendirian dari semasa mereka sama-sama seangkatan di Kelantan, ke Menara Gading , dan kini dalam alam pekerjaan, Munsyi cuba membantu dengan suatu hari dia menalipon si Ana untuk mengetahui duduk perkara sebenar. "Payahnya, bila dia datang ke rumah, dia jadi pendiam. You yang selalu bersembang dengan emak dan ayah. Dia diam saja. Ayah dengan emakpun jadi pelek. Dia kena menangi hati kedua orang tua I. Sebenarnya, emak dan ayah lebih sukakan you dari dia jelas Ana. Ini sudah kacau. Tidak semena-mena Munsyi telah menjadi galang dalam hubungan mereka ini. "Tetapi, feeling you dengan dia macamana?" soal Munsyi. "Biasa saja. Macam kita dulu-dulu di kampus. Kawan. Kenalan biasa" balas Ana. Benar-benar kacau ini. Haisron hanya bertepuk sebelah tangan. Kini Munsyi terasa dirinya sudah menjadi pagar membawa rebah. Dilema. Kedua-duanya adalah sahabat. Kedua-duannya harus dihormati.
(7) Mulai saat itu Haisron sudah tidak lagi mahu berbicara soal Ana. Dia langsung tidak mahu menyebut nama Ana. Juga, Munsyi sudah beberapa kali berhubungan talipon dengan Ana, dan mereka saling ingin mengenali dengan lebih dekat. Akhirnya, Munsyi sering berkunjung ke rumah Ana untuk makan tengahari atau minum petang. Perhubungan mereka lebih bersifat kekeluargaan dan amat jarang sekali mereka berdua keluar ke mana-mana. Jika ada, mereka pasti akan ditemani oleh salah seorang dari adik-adik perempuan Ana. Cara mereka bercinta, rasanya seperti di tahun 60an. Lima tahun mereka sebegitu cara perhubungan mereka, dan akhirnya mereka bersatu pada 1992.
(8) Gelombangan dugaan merentas samudera, hari-hari membanting pantai meruntuh tebing. Bungkah batu hamparpun berderai. Cobaan demi cobaan melanda ikatan kekeluargaan. Munsyi sedang menghambat kerjaya. Hari-hari dibeban tugas bertumpuk mengunung. Perhubungan akrab kekeluargaan kian dipandang ringan. Pembicaraan kian mengundur. Kebisuan menjadi-jadi. Segala terserah hanya pada firasat. Sekali benar, banyak tidaknya. Lalu sepoi angin menjadi badai. Ribut taufan merebah rumah berteduh. Munsyi menyerah. Perkahwinan Munsyi-Ana hanya bertahan selama sembilan tahun. Pentas keserasian menutup tirai. Perpisahan menjadi jalan pilihan. Munsyi berdepan dengan ketiadaan hilai riuh rendah suara tawa dan gurau anak-anaknya. Sarapan paginya sudah tidak karuan. Makan malamnya sendiri-sendiri dan banyak ditinggalkan. Pulangnya dari kerja sudah dibuai sepi yang sangat dalam. Juga tidur malamnya sudah tidak lagi dengan hangat kasih-sayang memeluk kedua anak-anaknya. Lafas Kursi sudah ngak bisa ditiup di cuping telinga anak-anaknya yang ketiduran, sebagai saban malamnya. Segala doa dan harapannya untuk kebahagian anak-anaknya sudah hanya terlepas di angin lalu. Dahi kedua-duanya sudah tidak bisa lagi dikucupnya selalu. Dia menahan pedih hati yang sangat parah. Mimpinya, untuk membangun kedua anaknya menjadi pembela bangsa berkecai. Tafsirannya: "Apakah ini, yang sering ditangisi Haqim dan Dewi dalam banyak tidur-tidur malam mereka?", dia mengimbau kembali akan mimpi-mpimpi dirinya semasa kecil-kecil dulu, betapa dia sering menangis dan meraung di dalam tidur kerana sering bermimpi ditinggal ayahnya sendiri. Kini, ianya seperti badi yang melekat pada dirinya, yang terturun kepada kedua anak-anaknya. Mimpi-mimpi itu, adalah sepertti amaran betapa dia akan ditinggalkan oleh kedua orang tuannya. Itulah natijah kehidupan keanak-anakan Munsyi. Kedua-dua orang tuannya pergi saat dia tersangat memerlukan cinta kasih sayang melimpah. Kini, anak-anaknya juga terpaksa melalui jalanan hidup sebegitu: "Adakah ini suatu takdir, atau kekhilafan diriku tidak mengindahkan amaran sebegitu? Kenapalah, aku telah tidak bijak membaca firasat kiriman Allah lewat igauan anak-anakku?" dia bertanya kepada dirinya. Dia terpisah dari kedua orang tuanya lewat perpisahan mati. Anak-anaknya terpisah dari dirinya, lewat perpisahan hidup.
(9) Mujurnya, biar betapa kepedihan itu menghantui dan mengoncang dirinya, namun hatinya tetap keras mahu berjalan terus. Kegoyahan jiwanya tidak terlahir pada fizik pengamatan sesiapa. Munsyi berjalan terus lurus dalam ketimpangan yang terpaksa disembunyikan dalam dan jauh. Dia membenam segalanya ke dalam dasar hatinya. Dia terus mengabdi diri pada tugas dan kerjanya. Dia kembali kepada penyakit lamanya kesintingan nombor 5, melupa diri, mengabai diri dan bermati demi kerja. Terus-terusan dia sebegitu, tanpa ada lelah, tanpa ada bosan. Hari-hari dalam hidup kerjayanya adalah permainan yang menyeronokan dan membahagiakan. Dia benar-benar lupa akan kebajikan dirinya. Dia melupakan dirinya.
(10) Kegigihan dan keazamannya untuk membela bangsanya membakar dan subur kembang. Saban waktu dia memerah fikiran. Saban waktu dia membakar jiwanya. Saban waktu dia memperingati dirinya: "Apa lagi yang ada padaku, jika tidak kebaktian yang harus aku tinggalkan. Sesungguhnya, Allah itu sengaja mencabut segalanya dariku, sesungguhnya Dia mengasak semuanya padaku, tidak lain, agar aku terus berdiri dan berjalan, demi bangsa ini. Aku mesti berdiri di tengah-tengah bangsa ini. Tidak di pinggir. Harus di tengah-tengahnya. Berjalan dan mengasak", Munsyi meyakin diri, membenteng dirinya dari roboh oleh gempuran tsunami kekeciwaan yang melanda dirinya.
(11) Hari-hari sebegitulah dia. Hari berganti bulan. Bulan berganti tahun. Dia terus berjalan. Dia terus terkasak terkusuk: terhuyung-hayang bersama kesintingan nombor 5 yang semakin memuncak. Munsyi dengan penyakit sinting tidak pedulikan dirinya itu, tahunya, segalanya biarlah demi bangsanya, demi Ummah, demi Islam yang ingin dia berbakti terbaiknya. Dia membelah samudera Bermuda ganas sendiri dan dalam sepi. Betapa terpaksa dia berpusar-pusar sekuatnya, namun dia tidak gentar. Biar layar sudah robek, berbekal dayung patah sekalipun, dia akan terus bertahan. Itulah sumpah janjinya kepada dirinya. Dia tekad mendepani apa saja.
Muzik dan Pena
Allah itu MahaPengasih. Allah itu MahaBijaksana. Allah itu MahaPenghibur. Saat remajanya, Munsyi amat tertarik kepada musik. Jiwanya tenang bernyanyi-nyanyi di kamar hostel bahkan di kamar kecil. Penyapu menjadi gitar, baldi menjadi gendang, dan pintalan tuala jadi mikrofon. "Kenapa aku tidak kembali pada zaman remajaku. Kenapa aku tidak melahir saja jalan fikiranku lewat muzik dan suara nyanyian", Munsyi berfikir sendiri, mencari jalan mengisi kesepian yang bergelora dan mematikan kesan kehilangan kedua-dua anak comelnya.
(2)
...........to be continue....
Kelantan. Nik Aziz, Ustaz Drahman....Ustaz Ya, Mak Limah.....damai, tenang, sabar, lembut....miskin, miskin, miskin, melarat, ketinggalan.
Concorde, Kuala Lumpur
1 Dec., 2011
#Abdullah Chek Sahamat
Writing that complies Bizarre, Odd, Strange, Out of box facts about the stuff going around my world which you may find hard to believe and understand
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
3 comments:
Sadra
Ayuh saja kita ke Riau, Palembang, Siam dan serantaunya. Saya juga kepingin bepergian ke Siam dan negara matahari terbit, menjejak kasih, belum tau apa yang akan ditemui kerana semuanya sudah kabur.
biar betul
Kenapa tidak Munsyi kembali kepada Ana agar kasih saying keluarga kembali bertaut. Pastinya Dewi dan Hakim akan gembira.
Post a Comment