.

14/11/11 WARUNG KOPI DAN MELAYU

Posted By: Abdullah Chek Sahamat - November 28, 2011

Share

& Comment


Maaf. Tidak menghina. Apa lagi mahu ngoprat-ngapret: gosip. Sekadar catatan sebuah pemerhatian. Benar atau betul, apa ada bedanya? Cuma mungkin , tepat atau keliru, itu mungkin persisnya. Namun, sebegitulah hakikatnya. Warung Kopi dan bangsa Melayu, terpisahnya tiada. Pastinya. Sebegitulah. Jalan saja ke mana-mana. Ke Lawas, ke Sematan, ke Sandakan, ya di Sandakan jadi lebih hebat kerena di sana ada Warung Kopi Korek. Kalau mahu tahu, ya cari sendiri. Di Kelantan, di mana-mana. Di Wakaf, di Pasar Besar, di pinggir jalan di bawah pohon asam jawa. Warung kopi ada di mana-mana. Di Jakarta, di Surabaya, di Yodjakarta, di mana-mana, jalan bilang, di segenap lorong dan kampung ada saja Warung Kopi. Di Pattani, di Cota Batu, di General De' Santos, asal saja ada Melayu, past ada saja warung kopi. Di Camphong Nam, di tanah Champa, sama saja. warung kopi selebaran: merata-rata, biar banyak antaranya sangat sepi.

(2) Kopi. Enak. Seger. Apa lagi kopi tubruk: kopi kampung. Di minum di petang hari. Di hirup dengan gorengan ubi kuning jawa. Kalau mahu merasa, ayuh munjung: datanglah ke Kampung saya! Aduh, pasti, senyuman sang teman jadi tambah manis. Kopi jawa. Kopi arab. Bedanya, besar dan kecil. Bedanya, unahnya, bisa dan perisanya. Kopi jawa, kecil, kecil-kecil jawa, namun perisanya, wah, bisa terilham sebuah bahasa program yang namanya Java. Pasti dari dua nama ini, kita sudah bisa mengira dari mana asalnya kopi. Dari Jawa, Belanda mendagang kopi ke seluruh dunia. Dari Yaman, Inggeris menghantar kopi ke mana-mana. Lalu Jawa kahwin Arab, bisa lahir kopi pelbagai jenama: Nescafe, Starbuck, Blue Mountain, Columbia High, Ceylon Rich, Brazlian Black, segalanya Cuma bedanya, kopi ngak kahwain dipohon, cuma kahwin di cangkir. Lain bukan. Istimewanya kopi.

(3) Hebat bukan. Kopi. Pernah kita tanyai. Saat Hang Tuah dan teman-teman saat penat bertikam keris, ke mana mereka akhirnya. Ke Warung Kopi. datuk Perdana Menteri Melaka juga sering ke Warung Kopi, pasang telingga tentang cerita rakyatnya. Pun begitu, bukankah di Warung Kopi Pahlawan Majapahit akhirnya tergadai Taming Sarinya ke tangan Tuah. Ngak percaya. Begini ceritanya, saat Panglima Majapahit, leka menghirup kopi, Tuah menepuk-nepuk bahunya tanda sahabat. Saat tangan Tuah melorot: turun, lantas terus ke pinggang Panglima, lalu mencabut Taming Sari dari sarungnya. Terlepas, Taming Sari dari Majapahit, lalu kembanglah Melaka kerananya. Begitulah hebatnya, Warung Kopi dalam sejarah pembinaan Kerajaan Melayu Melaka, lantas, Sang Raja, Wazir Perdana dan Panglima memalu gong agar warung-warung kopi di bina di seluruh pelusuk negara. Menjadikan Melayu dan Warung Kopi adalah medan yang sukar terpisah.

(4) Di Jawa, kerana kehancuran Majapahit itu hanya kerana Warung Kopi, maka seharusnya kemerdekaan Jawa dari Hindu itu perlu diperingati. Maka seluruh Jawa yang sudah merdeka itu harus mendirikan Warung Kopi di mana-mana. Di Seram, di Kendari, di Lombok, di rantau pulau-pulau, enak sekali ngopi di Tebing Tinggi, sambil digembur angin laut dan deru ombak. Tahu kenapa orang Jawa kulitnya sawo mateng, seperti kulit buah ciku. Tidak lain, keran mereka terlalu banyak minum kopi. Di tambah lagi keretek cengkeh. Begitulah hebatnya kopi di Tanah Jawa.

(5) Benarkah itu. Ya segalanya harus ada mitos. Mitos Warung Kopi. Namun itu dulu, saya imbau juga prihal kini. Pada Warung Kopi, saya mengenali bangsa saya sendiri, Melayu (gi mana ya, sesekali saya bilang saya Jawa, sesekali Melayu....ngak apa-apa, mungkin terkurang ngombeh kopi). Di Warung Kopi, Melayu ngobrol: sembangnya panjang-panjang. Secawan kopi 50 sen, bisa makan seharian. Bicaranya, naik haji, bukan ke Mekah, cuma di atas papan dam. Bicaranya, juga pasal sawah di serang belalang. Pasal laut dan ikan yang sudah tiada. Bicaranya, hari-hari hujan ngak bisa menoreh. Bicaranya jalan-jalan becak ngak bisa manen: tuai sawit. Bicaranya air sungai sudah meluap, besar menjadi bah. Bicaranya, puteri Shio sudah dewasa, semakin gebu dan menliurkan. Bicaranya, Jijah si janda kian bergaya, berlenggang lenggok mahu saja diterkam. Bicaranya Kiai Nordin berbini empat. Bicaranya, politik kosong. Ngoprat-ngapret pemerintah. Tiada suatu yang betul. Tiada satu yang benar. Segala prihal Melayu terbongkar di Warung Kopi.

(6) Di Warung Kopi, sepertinya Melayu bersatu dalam segala bicara kepincangan. Petani, penternak, pesawah, nelayan, tukang beca, pemandu teksi, kelindan lori, pemandu bas, pegawai negeri, karywan pubrik, tukang gunting rambut, broker, politikus, penyair, penulis, pelacur, bapa-ibu ayam, kiai, bapa-ibu guru, pedagang buah, semua lakunan hidup Melayu semuanya pernah ke Warung Kopi dan suka ke warung Kopi. Melayu bersatu di Warung Kopi.

(7) Hebatnya kopi, kini menjalar jadi Kopi Ali, Kopi Fatimah, Kopi Kulat Merah, Kopi Misai Kucing, Kopi Katil Patah, Kopi Pinggang Kuat, Kopi Air Bah, Kopi...segala macam, sal saja boleh mengeliurkan siapa saja melihatnya.

(8) Lantas, Inggeris, Belanda, Portugis, Jerman, Sepanyol melihat dan berfikir tentang Warung Kopi, a small place in a Malay Village that able to unite them and giving birth to their creative thinkings, maka terbuka ladang kopi, lalu Melayu jadi kuli. Melayu dijajah kerana mereka mahu kopi yang banyak. Kini, dari Warung Kopi, di mana-mana, di New York, Washington, Armsterdam, London, Paris, Lisbon, Montreal, Moscow, Canberaa, di mana-mana sudah terbangun Warung Kopi cuma namanya aja berbeda menjadi: Starbuck, Carlifornia Cafe, Mountain High Corner, dsb sedang Melayu terus saja bertenggek di Pasar Besar dan pinggir jalanan di Warung Kopi. Yah, benar, jika tidak begitu, pastinya bukan Warung Kopi.

(9) Warung Kopi, saya mengenali bangsa ini. Tetap mahunya Kopi O, sehingga semuanya dia beroleh banyak difigatl 0 dari digital 1. Melayu dan Warung Kopi. Sebegitukah seterusnya.

Matang Jaya, Kuching
28 Nov., 2011

#Abdullah Chek Sahamat

Writing that complies Bizarre, Odd, Strange, Out of box facts about the stuff going around my world which you may find hard to believe and understand

0 comments:

Copyright © 2010 abc sadong™ is a registered trademark.

Designed by Access. Hosted on Blogger Platform.