Omnya Evi, Gina, aku, Evi, Tante Evi, Rumah Seni Ropih, Jalan Braga Bandung. Foto oleh Audri
Aku menjangka, hari ini adalah yang keakhirnya. Esok aku akan terbang pulang. Aku melangkah ke pelataran lobi Hotel. Mas Ujang, supir khas yang kudatangkan dari CiJinjing untuk terus bersamaku sewaktu-waktu aku berada di Kota bersejarah ini, Bandung, sudah siap bersedia. Angin memukul deras mukaku. Dingin sekali. Tadi malamnya hujan turun dengan lebat. Jalan menjalar masih basah. Deruan angin meresap menikam ke seluruh tubuhku, terasa bagai di Rocky Mountain di Musim Salju Dingin. Kami nyetir memandu ke pergunungan di CiHideung, Lembang dan Subang. Saat keliling berputar-putar di pergunungan, aku tersadar betapa aku hanya akan berangkat pulang dalam dua hari lagi. Apa harus kuperbuat untuk mengisi masa lapangku? Alam fikiranku sepertinya sudah ngak bersamaku. Aku khilaf atau sedang kerinduan?
(2) Bandung, adalah Kota Cinta dan Pengorbanan. Jika aku punya kesempatan dan upaya, itulah nama yang pasti kupahatkan di dada dunia, bagi Bandung. Di pintu gerbang menyambut tamu di Bandara Husein Sasteranegara pasti terukir: Selamat Datang Ke Kota Cinta dan Pengorbanan. Rakyat Indonesia, tidak menamakan Kota ini sebegitu. Sayang sekali. Di sebuah pintu gerbang menyambut kedatangan siapapun ke sini tercatat sebuah seruan, dalam dialek Sunda: Silih Asah, Silih Asih, Silih Asuh yang erti mudahnya adalah saling mencintai dan berkasih sayang. Inilah perlambangan yang mungkin warga Kota ini secara tidak langsung sadar betapa cinta dan pengorbanan telah sebati dengan Kota ini.
(3) Bagiku, pada dingin azali nuansanya, pada kehijauan gunung dan lembahnya, hembusan lembut nafas alam bersama kabut dingin nyaman di pagi dan sore harinya, azalinya kembangan dalam semerbak indah warna dan rupa segar dan indah menghias Kota dan desanya, warganya yang lembut mulus berbahasa biar terkadang adalah ular yang licik adalah syurga keindahan cinta dan pengorbanan. Kini, liuk menggoda gadis-gadisnya, keindahan reka fesyennya, mengguncang kalbu irama tarinya, gemersik lagu kecipir dan musik angklongnya, segalanya itu adalah bunga-bunga anugerah Ilahi yang melakar garis-garis cinta dan pengorbanan yang sukar dan belum tertangkap jelas. Dengarlah nyanyian Sunda Hetty Koes Endang. Tidak lari dia dari alunan cinta dan pengorbanan. Warga Kota Bandung, sepertinya masih belum mengerti jelas tentang anugerah unggul Ilahi ke atas khazanah azali Kota ini.
(4) Suaminya Inggit, H. Sanusi, disebut Kang Uci oleh Inggit, melepasnya buat Sukarno, atas cinta dan pengorbanannya dia kepada Sukarno. Bukan kerana apa, hanya kerana Kang Uci lebih mencintai sebuah Indonesia merdeka dari segalanya. Dia cintakan Indonesia dan sanggup berkorban demi Sukarno untuk jadi wira Pejuang Kemerdekaan. Dia sadar, Sukarno, anak muda ganteng biar tampak bersemangat, namun jiwanya sedang ribut resah, kosong, plong perlukan kepedulian. Dia mengorbankan cintanya, seikhlas, biar pahit di mata siapapun juga: ”Kok isterinya di kasi: serahkan ke orang?”. Dia pekakkan telingganya kepada sindiran itu. Dia tulikan dirinya pada sapaan sinis sebegitu. Inggit diserah jadi pendokong ulung Sukarno, sebagai isteri dan teman sejalan perjuangan. Inilah Kota yang menyaksikan saat mula pengorbanan dan cucuran airmata cinta itu.
(5) Inilah pengorbanan cinta dan kasih sayang maha agung. Kang Uci bukan menyerahkan Inggit, tetapi dia menyerahkan dirinya atas cinta dan kasih sayangnya yang lagi besar, demi Bangsa, Negara dan Agama. Ismail Ibn Ibrahim menyerahkan lehernya untuk dililit darah atas sujud penuhnya pada kehendak Ilahi.Nyawa dan jasadnya sanggup dia korbankan. Suatu pengorbanan total: abadi!. Begitulah jejak panutan ikutan sang suami si Inggit.
(6) Kota Bandung, terlalu banyak menumpahkan keringat dan airmata Inggit untuk menjadikan Sukarno seorang insinur jurutera. Kota ini juga telah memenjarakan Sukarno lalu membina jiwa cintanya kepada leluhurnya, Allah dan seruNya, Islam. Begitu juga dengan Mohammad Hatta, mereka berdua akhirnya menitis air mata dalam berkarya cuba mengukir ungkaian kata-kata hikmah-pedoman yang boleh membangkitkan jiwa kecintaan rakyat kepada kebebasan bangsa. Di sinilah Indonesia mulai bangkit berdiri membakar dan berlumur darah membebaskan diri dari durjana serakah Belanda-Jepun dan golongan Feudal sebangsa. Terlalu banyak orang melupakan ini.
(7) Saat ini, biar saja aku telusuri Kota ini dan isinya sepuasnya. Biar kujejaki tetes-tetes keringat, darah dan nanah yang telah menghadirkan Kota ini.
Lorong Sempit
Jiwaku sebetulnya sudah teramat goyah. Terombang ambing kepinginnya jadinya aku. Mahu sengoyoran mundar mandir bagai pengamen: penyanyi jalanankah jadinya aku? Kenapa sebegini, tiba-tiba, jiwaku seperti mahu runtuh? Kuterasa, seperti pedih-perihnya Jebat saat lok 11 Taming Sari menusuk menembusi dadanya. Bukan kerana tikaman keris, namun, pedih-lirih merasa betapa sang sobat: sahabat, Tuah, yang dicintai, dikasih-sayangi, sanggup membunuhnya hanya kerana tidak mengerti akan pengorbanan buat sobat yang dia junjung tinggi. Raja, darjat jadi hitungan Tuah. Cinta-kasih-sayang jadi pertaruhan Jebat. Ternyata, darjat lebih berharga dari sobat. Aku benar-benar bungkam. Kaca-kaca terlerai di mata, membuat jalananku kabur dan memilukan.
(2) Cuma sedikit aku kembali sadar, saat laungan "Allahuakbar... Allahuakbar.." berkumandang. Aku singgah ke pondokNya, untuk sebentar menghadiri diriku kepadaNya.
(3) Ilahi, Alhamdullillah, saat Dia mahu memberi kekuatan bagiku untuk terus berdiri dan berjalan, ada saja caraNya. Misteri bener caranya Dia. JanjiNya: ”….pintalah apa saja padaKu, namun harus engkau penuh yakin tentang kudratKu,…..dan Aku tahu apa yang di belakang dan di depanmu….”, aku berkira sebegitulah beberapa Surah yang Dia telah turunkan buat peringatan tetapku. Aku sebentar bertafakur. Hujan air mata membasahi sujudku. Kemudian aku bangkit, lalu berjalan dan berjalan. Biar baru saja pulang dari daerah pergunungan Lembang dan Subang, kakiku terus saja mahu melangkah. Penatku buang ke samping: pinggirkan. Capek penat fizik tidak kurasakan, sedih batinku, kuturuti. Kakiku membawa aku terus pergi.
(4) Langkah-langkahku panjang dan cepat. Tubuhku heret teter menuruti longlai langkah-langkah kakiku. Kepalaku tunduk. Jalanku runduk. Tertunduk-tunduk, terbungkuk-bungkuk. Namun kakiku tetap menerjang-nerjang, seperti menendang-nendang bola-bola kedukaan yang sedang memukul. Sedang hatiku bergumpal dengan kehampaan. Hatiku sebetulnya berderai, dan aku bagai obor-obor berkecai terhempas, terpukul di batu karang, biar dalam keadaan tubuhnya yang carit seribu tetap juga mahu kembali ke laut dan bersatu kembali berbahagia bersama seluruh alam. Perasaan dan fikiranku benar-benar tidak bersama tubuhku. Yang berbicara dalam diriku, bukanlah hati atau fikiranku. Tubuhku telah mengendali sendiri arah sesatnya, bagai Airbus 747 terkendali sendiri, saat pilotnya sedang cekelakaan. Tidak mengapa, biar hati dan fikiran sedang goyah, tetap kakiku akan terus melangkah agar mata, telinga, hidung dan kulit tubuhku terus tetap merasa. Biar seluruh tubuhku merasai seisi alam ini, agar nantinya fikiran dan hatiku akan lebih insaf dan mengerti.
(5) Allah sebagai selalunya, aku pasti Engkau akan tetap hadir bersama seluruhnya aku. Akan kuhambat obat sakitku ini.
(6) ”Maaf mbak: saudari, saya udah nyasar: sesat ini. Ke mana arah ke jalan gedik: besar?” sapaku pada seorang perempuan yang sedang menyediakan masakannya. Dia menoleh dengan wajah kehairanan padaku. ”Bapak: saudara dari mana? Bukan orang sini ya? Dari Jakarta. Photographer ya? Jangan saya dipotret sih balasnya seperti ragu-ragu. Lalu hadir berapa anak-anak kecil terlongok-longok tercengang bagai memerang memanggil-manggil kerabatnya, saat menemui lopak penuh ikan. Comel dan lincah seperti anak-anak dalam Laskar Pelangi. Salah seorang darinya menuding-nuding, kusebut saja sebagai Sang Ketuanya mereka: Om jalan aja terus, nanti belok kiri, lantas naik tangga, turun lagi, belok kanan…..turun, belok, naik, belok…. Kepala kugeleng-geleng, sambil mengaru-garu sudut bibirku, lalu melempar senyum pada perempuan tadi. Dia juga tersenyum membalas. Malah semangkin melompong tercengang anak-anak Laskar Pelangi melihat telatahku. Meringis nyengir tersengeh-sengeh lalunya mereka. Sesekali mereka saling berpandangan sesama sendiri. Ada yang membetulkan kancing baju yang sememangnya tidak cukup. Ada yang menarik-narik katok kolor seluar jerut yang longgar mahu melepas. Ada yang mengaru-garu perut terbonjol gendut membulat. Lucu. Benar-benar melucukan. Semuanya membuat fikiranku kembali sadar. Hatiku hilang sedikit resahnya. Fikiran, hati dan tubuhku mulai kembali bersatu. Perilaku lucu dan ingin tahu mereka kian membujuk jiwa dan fikiranku.
(7) ”Gini aja Pak, Bapak ikut aja lorong sempit di depan. Biar belok ke manapun, turun naik tangga biar berapapun, ke mana juga Bapak akan ketemu Jalan Gedik. Hati-hati Bapak, ada bahagiannya lunyu: licin dan peteng: gelap. Nanti terus aja tanyain: tanyakan siapa aja yang di temui di jalanan” saran perempuan itu. ”Om, biar kami tunjukkin, asal Om bisa nanti kasih sedikit buat jajan: belanja. Om potret kami ya. Masukkin: paparkan kami dalam koran: akhbar nanti ya”! sampuk Sang Ketua seperti merayu. ”Yok to: marilah” balasku, sambil mengusap-ngusap kepala Sang Ketua. Kami berjejer: berbaris melewati lorong-lorong sempit. Seperti seorang Lt. Muda mengiring Platoonnya menyerbu dari satu lorong ke satu lorong rasanya dalam perang gerila Kota, aku mengepalai mereka.
(8) Saat mahu melangkah, aku sempat melempar perhati pada dapur terbukanya perempuan tadi. Ianya hanyalah sebuah meja panjang sempit di pinggir lorong dengan segala perkakasannya berasak-asak di bawahnya. Kelihatan sangat serabut dan tidak sihat.
(9) Aku terus melangkah, dan terkadangnya melewati jemuran kain berjejeran di tembok rumah-rumah yang menjadikan lorong sempit itu. Ada juga keranjang: katil dengan kasur: tilam lusuh berhempetan di pinggirnya. Sepertinya, penghuni rumah sudah melimpah ke jalan. Syurga sepertinya sudah tidak mampu menampung manusia-manusia luhur. Pada pintu-pintu yang terbuka, aku mencuri padang ke dalam. Amat menyentuh. Anak-anak pada ketiduran di lantai tanpa alas. Gadis-gadis dan perempuan-perempuan duduk-duduk bercerita berhimpitan pada ruang yang sempit sesak. Para lelaki, mencangkung terus merokok meruap bagai asap-asap Merapi tanpa henti. Segalanya, seperti tidak keurusan. Segalanya seperti berantakan tidak teratur. Aku jadi tidak pasti. Apakah ini rumah? Kediaman? Stor? Atau sekadar gubuk pondok untuk beteduh sementara hari matinya belum tiba?
(10) ”Ya Allah, siksa apakah sedang Engkau himpunkan pada manusia-manusia ini. Apakah mereka bisa menjadi insani jika terus Engkau asak seperti ini?” sedikit jiwaku beralih mempersoal Tuhan akan keperitan yang sedang aku saksi.
(11) Kini fikiran dan hatiku sudah tidak perih dan resah atas musibah sendiri yang sedang kualami. Hati dan fikiranku sedang melayang merasakan apa yang Sukarno dan Mohammad Hatta rasakan saat mereka terkurung terpenjara di Penjara Digul di saat Indonesia sedang terjajah kuat. Di kamar kecil, lembab, tanpa cukup pakaian dan makanan, apa bedanya dengan kehidupan yang sedang dinikmati oleh anak-anak bangsa yang telah mereka merdekakan ini? Jika Karno-Hatta masih hadir, apakah mungkin laungan dan jeritan mereka?. Bergelegak mungkin kalinya Tan Melaka? Mengaum ganas mungkinnya Chairil Anwar? Mengelupur mungkinnya Hamzah Fansuri, menyembah sujud pada Ilahi?
(12) Sekali pandang kehidupan di sini pasti mengemeskan: merimaskan. Namun jika difikir dalam, inilah sebenarnya hukum perkotaan: 'urbanization'. Saat tanah menjadi terlalu mahal, rakyat beranak terus, pendapatan ngak kembang setimbal: setimpal keperluan hidup, maka kehidupan jadi korban peredaran zaman. Sebetulnya, inilah ertinya kemerdekaan bagi bangsa ini. Terlepas dari Belanda-Jepun, kini terpenjara dalam kapitalisma dan feudal-demokrasi baru.
(13) Tiada bedanya, di saat terjajah, rakyat dipinggirkan ke desa, untuk sekadar petani cukup makan. Keringat mereka dirampok: rompak lewat pajak: cukai namun kesejahteraan mereka terabai. Kini selepas merdeka, pemimpin mereka sendiri jadi lupa, sama juga sifat penjajahan-penjarahan mereka: ”biarkan terus rakyat berusaha sendiri, biarkan mereka bebas hidup dan mencari kehidupan sendiri, di manapun, di desa, di kota. "Mandiri kita!", laung mereka. Rakyat sengsara, mereka seenaknya selingkuh: subahat merampok hak rakyat dalam apa juga cara dan kapannya.
(14) Para pemimpin dan Pegawai Negerinya, banyak yang sudah ke Singapura, New York, Armsterdam, Berlin, Moskow, London, Hong Kong, Shanghai, Sydney, sebut saja, bahkan banyak rakyat pertengahan bawahnya telah ke Kuala Lumpur, namun dalam jiwa mereka hanyalah wisata libur berhibur. Banyak yang telah ke Mekah ke Madinah, yang mereka perlakukan hanyalah menekan-nekan dahi ke simen agar ada bekas ziarah jadi penyuluh jalan ke syurga nantinya. Kasihan. Apakah itu saja maksud segalanya? Tuhan, apakah pelajaran yang telah mereka timba untuk anak bangsa mereka?
(15) "Bangsa ini, mereka merdeka, mereka bebas. Gusdur telah membebaskan mereka. Namun adakah mereka telah berdaulat? Merdeka, bebas, namun tidak berdaulat!" itulah sindir hatiku buat mereka.
(16) Di sebuah Mushola, Pondok Ilahi aku berhenti sekali lagi. Kulambai pergi Anak-anak Laskar.Kuhadiahkan mereka setiap seorangnya sekeping bendera biru, masyaAllah, kegirangan mereka meluap bagai SiGalungung menerjah memuntah digelap malam. Aku ingin khlawat sendiri. Aku tafakur diam. Aku sujud berdoa kepada Ilahi, biarlah disuatu hari nanti, di tapak-tapak jalananku ini akan hadir sebuah tangan besar yang bisa mengheret rakyat perih sebegini keluar dari kepompong kepayahan yang maha dahsat ini.
(17) ”Ya Allah, Ya Rahman, Ya Rahim. Dari ArasyMu, limpahkanlah rahmatMu, selamatkan mereka ini, hamba-hambaMu yang susah dan payah ini, aku pohon, janganlah mereka terus Kau himpit. Aku telah menyaksikan terlalu banyak mereka yang kebentur dan kalah!” pintaku, doaku pada leluhurKu, Allah Yang Maha Besar.
Pemuzik Terperah
Aku singgah di Braga City Walk. Aku terasa lapar dan cukup dahaga. "Mbak Gina, saya ada di City Walk. Punya kelapangan, ayuh ikut ngopi! sebuah pesanan ringkas kukirim pada Gina. Bisa saja bang. Tapi saya masih di luar Kota. Kira-kira sejaman baru saya bisa nyampe: sampai. Biar saya ajak tante Widya untuk ikut sama", kuterima balas dari Gina.
(2) Gina adalah anak Pak Ropih Amantubillah dan Ibu Maimunah Yaman, Sunda asli, pengusaha bersama Rumah Seni Ropih sebuah galeri lukisan terbesar di Kota Bandung, di Jalan Braga. Seorang wanita yang gigih. Punya sifat business minded and sale persuasive sehebat ibunya. Professionnya adalah menjual lukisan. Darah seni tidak tampak pada dirinya. Cuma suaminya saja adalah pelukis. Widya adalah tante: emak saudaranya. Widya dan suaminya adalah pelukis. Juga punya galeri bersama kaum keluargnya yang lain. Wataknya jauh lebih reserve berbanding Gina, mungkin kerana jiwa seninya yang jelas lebih suka memerhati dan menyelami sendiri-sendiri lalu melahirkannya lewat seni yang dia miliki.
(3) Saat menanti, aku didatangi ketua Live Band City Walk Kiosk. "Saya Hana, bapak yang kelmarin malam duduk sendiri di sini, lalu ngasih: memberi kartu nama: business card, minta saya hubungi bapak ya?" , dia mengulur jabat, memperkenalkan diri lalu duduk di sebelahku. Teman-temannya sedang sibuk mengatur persiapan untuk pertunjukkan. Mereka berlima.
(4) ”Ya. Saya kepingin tau lo. Kalian nyanyi di sini gi: bagaimana lo? Punya kontrak atau gi mana?” balasku sambil menawarkan apa dia mahu ikut minum sama. ”Kami nyanyi di sini gratis: percuma aja Pak. Nyanyi dari jam empat sore sampe jam sepuluh malam. Income kami, ya dari partisipasi: sumbangan customer aja” jawapnya seperti sangat sugul. ”Maaf ya. Kalau dikira, hari-hari bisa dapat berapa?” tanyaku ingin penjelasan lanjut. ”Malu rasanya mau ngomong: hendak beritahu. Ngak cukup buat makan Pak. Ya. Untung-untung dapat sekitar Rp60,000-80,000/malam. Itu di kongsi berlima. Bapak fikir ajalah gi mana hidup kami!” jawapnya sambil matanya meliar memerhati keliling. Sebentar kemudian, dia berlalu pergi untuk bergabung kembali bersama rakan-rakan yang lain.
(5) Sekilas pandang, sememangnya anak-anak ini tiada kelas, namun jika difikir dalam, bagaimana mungkin mereka akan punya kelas, jika apa yang mereka dapat tidakpun cukup untuk makan. Mana mungkin mereka bisa meningkatkan keupayaan dan kewibawaan sedang perutpun tidak mampu mereka amankan. Inilah zaman bila yang berbakat, bila miskin, cicakpun tidak peduli. Semua seperti mahu memeras terus. Penguasa toko makanan memeras. Yang mendengar nyanyian merekapun memeras. Inilah yang dikatakan merdeka, bebas, namun tidak berdaulat. Harga diri tergadai merata tempat. Sikap insani mati sebelum ajal.
(6) Seketika aku duduk sendiri menikmati mainan mereka. Lalu kemudian Gina dan Widya hadir. Kami mengundur ke D’Cost. Restauran Keluarga di lantai dua Braga City Walk. ”Nanti malam apa bisa kita makan sama. Besokkan anak-anak ngak sekolah. Bawa si Evi dan Audri, kalau mama Bu Maimunah dan pappy Pak Ropih mau ikut, saya seneng sekali” usulku pada Gina dan Widya. Mereka setuju.
(7) Sebetulnya, dua hari yang lalu, saat makan siang tengahari di Braga Permai, Evi ikut sama. Dalam pertemuan ringkas itu, Gina ibunya bercerita serba sedikit tentang cita-cita si anak SMP tahun dua ini. Cuma dia agak khuatir kerana Evi selalu saja diam enggan berbicara dengannya, sukanya sering menyendiri. Sang ibu tetaplah sang ibu, resahnya selalu ngak karuan. Bagiku, sifat sang ibu Gina, adalah keterbiasaan seorang perempuan yang semakin mendewasa. Saat umur kian meningkat, saat anak perawan kian mengembang, pedulinya beralih deras ke rasa cemburu mencuriga. Kata mereka itulah sifat kasih-sayang, tanpa sedar itu semua boleh terbaca sebagai kecurigaan mengemeskan meresahkan. Namun, itu tidaklah menghairankan, dari Sarah isterinya Ibrahim sampailah ke Aishah isterinya Muhammad, sebegitulah sifat rusuk kiri Adam. Mungkin kerana perempuan adalah dari tulang rusuk kiri, maka ke kiri sering arah mereka.
(8) Semasa menunggu makanan dihidang, Gina secara bijak mencungkil gaya hidupku. Aku bercerita serba sedikit tentang pertualangan perjalanan yang pernah aku lalui. Berjalan, melawat ke banyak negara. Melihat, berfikir lalu kembali mengusahakan apa yang sepatutnya pada kedudukanku buat kesejahteraan rakyat. Aku juga sempat sedikit sebanyak cuba menyedarkan betapa telah dan sedang kuperhatikan betapa masyarakat kebanyakan Indonesia sedang melewati jalan sukar di depan mereka. Aku bercerita tentang kepayahan yang sedang dihadapi oleh kaum petani dan nelayan di desa-desa. Aku juga cuba mengusul semua ini pasti bisa dikurangi jika cara pemikiran dan kerja para pemimpin Indonesia dari pemimpin masyarakat, penjawat awam dan politik dapat berubah cepat dan mengambil sikap lebih pedulikan kesejahteraan umum dari tembolok diri sendiri.
(9) Di sepanjang penceritaan ini, aku dapat rasakan Evi menaruh minat yang sangat tinggi. Dia diam namun fokus. Aku memerhatikan wajah dan airmuka Evi. Anak ini, punya kedewasaan yang sukar orang tuannya mengerti. Ibunya lebih banyak menduga dari menyuburkan facilate. Pappynya lebih banyak mendengar dari memberikan. Semuanya aku baca, kerana mereka adalah keluarga Kelas`Menengah yang terpaksa berhempas pulas untuk menghambat kehidupan. Kesibukan mengejar kehidupan telah menterasingkan mereka. Di Kota Bandung ini, Kota macet, segalanya seperti berasak-asak. Mencari kehidupanpun terus berasak-asak. Apa lagi bila sumber rezeki adalah lukisan. Pappynya perlukan khalwat untuk dapat menlukis rasa. Sedang si ibu, terpaksa mengilhamkan sesiapa untuk menjiwai segala lukisan yang dia ada. Inilah dunia perniagaan seni. Sangat sedikit orang mengerti akan nilai seni. Membeli lukisan buat mereka, jika boleh biarlah sama saja dengan membeli apanya di Pasar Baru, Bandung atau Tanah Abang Jakarta. Enak kalau boleh bertawaran bagai di Pasar Borong Selayang, Kuala Lumpur atau Pasar Satok, Kuching. Jika dapat hiruk pikuk bagai di Pasar Siti Khadijah, Kota Bharu mungkin lagi mengasyikan.
(10) Dalam makan siang yang sekejap itu, aku dapat menyakinkan kebenaran ibu dan pappynya buat Evi, juga kebenaran Evi buat ibunya. Kepedulian ibu-pappynya adalah atas rasa kasih sayang dan kemahuan mereka agar Evi menjadi anak yang berjaya dan berbudi. Sedang diamnya Evi, kerana dia belum menemukan dirinya. Juga aku dapat merasa, pada anak ini, jika dia dibimbing dengan baik, pasti akan menjadi seorang anak yang akan berjaya. Aku melihat ada kesungguhan pada anak ini. Dia kelihatan mempunyai daya pemusatan tinggi. Aku juga pasti dia sedang mencari-cari dirinya yang sebenar. Dia belum menemuinya. Maka payah baginya untuk bercerita kepada kedua orang tuanya.
Bayangan Kaca
Menyadari betapa aku sangat menyukai seni musik dan nyanyian, Widya menyarankan aku menonton teman-temannya beraksi di Hotel Horizon. Mereka adalah kumpulan empat lelaki unpluq. Malamnya seisi dua keluarga ikut ke sana. Hotel Horizon adalah hotel kedua terbesar di Kota Bandung. Suasana malam itu agak sepi. Mungkin kerana semua orang harus tidur awal setelah libur panjang hujung minggu.
(2) Semasa sedang sibuk makan sambil mendengar alunan nyanyian serta petikan gitar dan gesekkan biola, aku mengajar kedua Evi dan Audri cara-cara mengambil foto dengan kameraku. Audri adalah anak sulung Widya. Dia sudah dalam SMA tahun dua. Anak-anak seumur ini, awal belasan, otak mereka bagai chip komputer. Mudah saja menerima apa saja dengan secepatnya. Saat punya kesempatan, mereka cukup berani mencuba apa saja. Tanpa henti keduanya terus mengetik kamera, menangkap apa saja khususnya aksi kemesraan kekeluargaan yang mengkagumkan aku.
(3) Tanggapanku, betapa Evi dan Audri sedang mencari diri mereka terpampang jelas. Kedua mereka sangat gemar mengambil foto secara reflection. Saat ketemu cermin besar, mereka akan berfoto bersama atau sendiri-sendiri, lewat bias kaca tersebut. Selalunya, kita orang dewasa, bila melihat anak-anak kecil sangat gemar mencermin diri maka banyak antara kita hanya senang melihat telatah itu sebagai sikap meniru. Sangat sedikit cuba mengerti betapa kegemaran bercermin diri pada anak-anak mempunyai pengertian yang jauh lebih hebat. Tanggapanku, sikap itu, pastinya salah satunya dia sedang meniru-niru telatah orang dewasa saat berdandan. Keduanya, dia sebetulnya sedang menilai diri, menemukan diri, dengan mengambil watak-watak orang dewasa sebagai kayu ukurannya atau model dan idolanya. Ketiganya, dia sedang membina keyakinan diri. Pastinya, keempatnya, yang banyak, hanyalah keperluan biasa seorang perempuan biar berapa usia mereka, melainkan sebilangan besar embah dan oyot, mahu berhias dan menyemak keayuan sendiri.
(4)Buat Evi dan Audri, mereka, aku kira kepingin lari dari kebiasaan keluarga besar seni ini. Pengamatanku, keluarga seni ini tidak ubah sang petani di Kacamatan Gununghalu. Mereka bersawah. Mereka berhempas pulas. Berkeringat. Menumpah sepenuh hati pada sawah dan hasil sawah. Saat padi sudah dituai, tahu mereka samada menyimpan untuk makan sendiri atau menjual sekadar untuk cukup belanja. Selain dari itu, sukar untuk mereka mengerti. Usai musim tuaian, diulang kembali pembajakan, penamanan dan seterusnya semua kerjaan sehingga musim panenan kembali datang. Hidup mereka, bagai roda muter terus pada paksi yang sama. Saban hari, sewaktu-waktunya sebegitu. Mereka melukis, bila semuanya siap, menjual karya mereka, dan begitulah berputar-putar sejak dari moyang mereka.
(5) Evi dan Audri, sebagai anak sulung dari kedua keluarga dengan diam mengamati kepayahan kedua orang tua mereka. Sudah menjadi kebiasaan di mana-mana, saat kedua orang tua sibuk mengejar kehidupan, pasti jiwa kasih sayang anak-anak jadi korban. Semuanya kerana masalah ketidak cukupan untuk hidup seneng dan agak mewah. Kerana darjat anak sulung, keduanya juga seperti sebuah kebunan yang dipaksakan segalanya pada tanah sebidang untuk tumbuh subur segalanya. Pada keduannyalah tumpah segala harapan dan impian kedua orang tua untuk melepasi keperluan hidup bagai diidamkan. Inilah tekanan diam yang sedang melanda Evi, Audri dan keluarga ini. Juga keluarga bawahan dan pertengahan di mana-mana.
(6) Audri, cita-citanya mahu jadi juru foto. Rasanya, dia kepingin merakam dan akhirnya bercerita tentang jalanan kehidupan. Segala yang terpandang pasti ingin dia potretkan dan ceritakan. "Dari membuang waktu melukis, bukankah lebih baik dipotret saja?", begitulah jalanan singkat yang sedang dia mantapkan, agar dengan cara itu dia mendapat lebih dari apa yang kedua orang tuanya bisa dapatkan. Juga yang menarik, Audri suka bermain gitar dan bernyanyi. Inilah pilihan buatnya menyatakan rasa hatinya lewat jari dan suara. Potret, musik, dan nyanyian adalah jalan yang Audri ingin lalui buat menghibur seisi keluarga. Aku bersangka, semua ini pasti ada kepolosan yang sedang dihadapi oleh anak ini yang aku kurang jelas dan tidak punya waktu untuk menelitinya. Cuma, semoga Audri akan tabah dan terus berani untuk menjadi yang terbaik. Widya, si ibunya Audri aku berharap mengurangi sedikit sikap menekannya pada Audri. Kenakalan pada seorang anak, tidak perlu dicurigai dengan keterlaluan. Itu adalah sikap azali seorang anak yang sedang mendewasa. Sekadar mencuba dan ingin tahu. Dia hanya perlu disadarkan tentang erti menjaga kedaulatan pribadi, keluarga dan bangsanya dalam kemerdekaan dan kebebasan kehidupan Kota seperti yang sedang dia lalui ini. Jangan sekali-kali dia tertekan hanya kerana pemasalahan orang dewasa yang belum dia mengerti. Mungkin lewat photography, musik dan nyanyian Audri bisa memperolehi kebagahian bersama seisi keluarga dalam hari-hari panas atau hujannya yang teduhnya tidak ketahuan.
(7)Evi, mahunya jadi doktor atau pengusaha. Di sinilah apa yang aku katakan betapa Evi punya kedewasaan yang tidak kelihatan oleh kedua orang tuannya. Doktor, professionnya, adalah untuk menanggani kesakitan pada sesiapapun yang datang kepadanya. Evi sedang memerhatikan kesakitan dalam lingkungannya. Satunya, pasti dia mulai sadar, betapa di Pejalan Braga, saban malam ada saja keluarga yang tidur dalam keadaan yang sangat menyakitkan. Ibu-ibu dan anak-anak yang masih kecil, bergelimpangan tidur berlapik koran dan berselimut karung-karung buangan. Bangsanya sedang sakit. Masyarakat kelilingnya sedang sakit. Dia melihat dan mulai merasa kesakitan. Maka, itulah pengaruh yang sedang subur dalam dirinya, mahu mengobat kesakitan yang sedang dia saksikan. Dalam kacamata mudah, hanyalah seorang doktor yang bisa mengobat segala kesakitan. Namun, cita-cita kedoktorannya itu seperti terbatas akibat sedikit kelemahannya dalam bidang fizik dan kimia. Jika punya kesempatan, insyaAllah aku akan memberikan jalan ringkas bagi dia menguasai mata pelajaran itu.
(8) Pilihannya untuk menjadi pengusaha juga adalah pilihan yang amat tepat. Aku menduga, dia melihat pappy dan kakeknya melukis. Evi, membaca, betapa fikiran mereka hanya berputar pada sekeping kanvas. Tidak ke luar dari itu. Itu pengamatan dan fahaman Evi. Maafkan saja dia, kerana jalanan hidupnya masih tidak jauh. Biar tidak sebegitu hakikatnya jiwa dan tanggapan pelukis. Tidak sebagai penyair yang menebar nukilan dan membakar jiwa sesiapapun lewat tulisan dan madah. Apa lagi pemidato, berjalan ke mana-mana, membungkam pendengar lewat tarian lidah yang berputar-putar. Pelukis memerlukan sesiapapun menghayati karyanya lewat pengertian sendiri-sendiri. Pelukis adalah manusia anih. Dia mengerti tentang alam lewat kacamata keanihan. Contohnya, lukisan lanskap sawah yang menghijau adalah lambang kedamaian bagi sebahagian namun boleh juga suatu penghambaan bagi sebahagian. Yang pertama akan damai jiwanya, sedang yang kedua, ingin memberontak dan berdiri bertempik dia tentang ketidakadilan.
(9) Aku menyaran kepada Gina, ibunya si Evi, betapa dia perlu bersama mungkin interior designer untuk melaris serta meningkatkan harga komoditi lukisannya. Interior Designer perlukan kelainan dalam menghidupkan designnya. Lukisan bisa memberikan dia keperluan itu. Gabungan antara keduannya pasti saling membantu serta boleh mengembangkan ruang business Galeri Ropih. Aku yakin, mengenali Evi secara lebih dekat, dia seperti punya firasat, itulah jalan baik untuk dia bisa membantu kaum keluarga seninya untuk tampil maju dengan lebih bergaya. Aku sendiri, sebetulnya sedang mengusaha ke arah ini, lewat minatku pada seni lukis, serta keperluan untuk mencari nafkah tambahan. Lukisan, musik, fotografi, dan menulis adalah minatku yang tumbuh sejak aku masih anak-anak, cuma, aku hanya dapat menyuburkan semua itu saat usia sebegini. Di KampungKu, aku sedang mendidik masyarakat umum tentang indahnya musik, seni lukis dan membaca-menulis. Sebuah Cafe berbentuk galeri dengan suasana Bali sedang kuusahakan. InsyaAllah ianya akan menjadi wadah buatku menyemai sikap suka membaca, melukis, fotografi serta berkarya dalam musik bagi anak-anak muda berbakat dari desa-desa sekitarnya. Aku ingin menghadiahkan kegembiraan dan kesegaran buat sesiapa juga yang mahu bertandang ke KampungKu.
(10) Minat Evi pada seni tetap ada. Dia memilih tarian sebagai wadah seninya. Seni tari, kedoktoran, pengusaha, dan kehidupan harian di dalam dan luar rumah yang dia perhatikan, rasanya dia kepingin menjadi peri-peri menari-manai menghulur obat lantas membantu melorot payah yang lewat di depan matanya. Aku berasa amat beruntung untuk dapat menilai Evi dan Audri saat keduanya sedang subur tumbuh dan mencari-cari. Mudah-mudahan pembacaanku ke atas mereka adalah benar lalu dapat memimpin mereka di jalanan panjang kehidupan mereka.
Langkah Pertama
Ke mana akhirnya harus Evi pergi? Aku bercanda bergurau kepada pappynya, agar dia ke Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) di Jakarta. Sebetulnya aku sangat ingin melihat dia ke DPR Jakarta dalam tempoh 15-20 tahun lagi. Di mana dan kepada siapapun saat aku berada di bumi nenek-moyangku ini, pasti aku sering mengusul agar ada suatu usaha jujur dan berani dibuat dalam merombak kepemimpinan politik dan kemsyarakatan di Ingonesia ini. Rasaku sebegitu, mungkin kerana aku telah menjadi terlalu dekat dengan permasalahan masyarakat umum Indonesia yang merupakan penduduk Islam terbanyak di dunia. Juga, bangsa Indonesia telah menjadikan bahasa Melayu menjadi bahasa Islam yang penting seiringan bahasa Arab dan Farsi. Bahasa Melayu juga sudah menjadi antara bahasa besar yang dituturkan oleh tidak kurang dari 300 juta umat manusia. Pastinya lebih besar dari bangsa yang menuturkan bahasa Belanda, Portugis, Sepanyol, dan Itali. Pengamatanku sejak sering ke serantau Indonesia sejak 1992 telah mengikatku betapa bangsa ini perlu satu revolusi kepemimpinan yang maha hebat untuk menjadikannya bangsa besar bagai diimpikan oleh penegaknya Sukarno-Hatta.
(2) Aku mungkin salah pada telahanku. Namun aku juga harus optimistik, kerana, siapa tahu bagai pepatah Arab: "Generasi depan adalah hasil hayunan generasi kini". Jika aku bisa menguja jiwa dan fikiran Evi untuk ke DPR, membawa bersamanya obat bagi bangsanya yang terlalu banyak sedang payah, insyAllah, sekurang-kurangnya cita-cita para oyot: moyangku untuk hijrah dan kembali berbakti memerdeka dan mendaulatkan bangsanya setidak-tidaknya kuusaikan: zahirkan lewatnya Evi.
(3) Dengan izin ibu dan pappynya, aku membawa Evi ke gedung Buku Gramedia terbesar Bandung. Ternyata anak ini sedang kehausan ilmu. Dia sedang mencari inspirasi untuk masa depannya. Untuk ini, sebagaimana jalan caranya Al Quran, yang cuba mendidik umat Islam lewat cerita, maka aku berusaha menjejak langkah sebegitu. Kugalakkan dia memilih buku-buku cerita yang dia paling suka. Dia lebih mengemari kisah-kisah pertualangan yang sememangnya adalah saikologi bagi anak-anak yang dahagakan pegangan ilmu. Minatnya pada unsur-unsur pertualangan adalah lakaran jiwanya yang kepingin mengembara melihat dan membedakan. Semasa seusia Evi, aku dulu, pasti saat melihat cerita-cerita spy karya Enid Blyton, aku sanggup tidak makan atau ke mana-mana terus membaca buku-buku itu. Aku cuba mendapatkan Hikayat 1001 Malam buat Evi, namun, ternyata di Gramedia Bandung mereka tidak punya stock buku tersebut. Walau bagaimanapun, atas` niatku untuk mengalakkan Evi untuk mengenali negaranya Indonesia dari Rhiau ke Papua, aku cuba memperkenalkan dia kepada cerita-cerita rakyat atau novel-novel berunsur sejarah yang agak mudah. Di situlah aku memperkenalkan dia kepada penulis hebat Indonesia yang telah banyak tersiksa ie Pramoedya Ananta Toer. Kedua-dua di zaman Sukarno dan Suharto, Pramoedya banyak menghabiskan usiannya di penjara, samalah seperti Kassim Ahmad di Malaysia. Pramoedya memperjuang nasib rakyat lewat mata pena novel-novelnya. Tulisan-tulisannya di penjara adalah dalam bentuk corat-coret kertas yang akhirnya dia kumpul dan diolah kembali pada saat usia yang sangat payah menjadi novel-novel yang hebat dan diterjemah ke dalam 15 bahasa dunia. Aku memimilh berberapa novel-novel karya Promoedya yang punya unsur-unsur sejarah bangsa serta derita rakyat serta novel-novel penulis lainnya buat Evi.
(4) Aku agak kesal kerana Audri ngak bisa bersama. Buatnya kubelikan sebuah novel yang aku percaya punya kaitan rapat dengan sifatnya yang sedang mengejar mimpi. Aku kepingin sekali anak-anak ini menjadi lain dari yang lain, anak-anak yang punya ketentuan hidup di saat awal kehidupan mereka. Aku yakin, sebagaimana Muhammad SAW, saat seusia anak-anak, dalam dia bersama Omnya berdagang ke Syam, telah dikhabarkan oleh seorang padri Yahudi, betapa Muhammad adalah rasul terakhir. Aku yakin mulai saat itu, pasti Muhammad sudah seperti tertanam mimpi, inspirasi dalam dirinya, betapa dia harus jadi pemimpin besar seorang nabi, seorang rasul Allah. Kerana adanya mimpi besar itu, maka Muhammad biarpun masih seorang anak, dia punya sifat jujur, amanah, sabar, gigih, dan yakin yang tinggi. Aku kepingin Evi dan Audri punya sifat-sifat sebegitu. Caranya pada firasatku, khusus buat Evi serta cita-citaku kepingin melihat dia ke DPR demi rakyat yang susah dan payah, adalah dengan dia memahami bangsanya lewat cerita dan novel. Aku yakin, bila sudah cukup dewasa, Evi akan bisa menganalisa langkah-langkah selanjutnya.
(5) Kepingin sekali aku menganding lengan mereka berdua ke jalan yang kurasa amat dibutuhkan oleh bangsa besar Indonesia ini. Jika bangsa in jadi gagah dan kuat atas landasan Islamnya, maka ianya pasti akan merobah dunia Muslimin dalam menjadikan Islam sebagai Adeen mereka. Inilah model bangsa yang harus kita bina, bangsa yang mengamalkan Islam lewat tuntutan adeennya.
(6) Sebetulnya, melihat begitu banyak buku-buku yang dibawa oleh Evi, aku menjadi agak ragu-ragu apakah anak ini bisa menerima arah mula yang sedang kupimpin dia. Namun, keyakinanku memuncak, bila usai membeli buku-buku itu, kami menghilang dahaga di Pizza Hut. Saat aku membayar, aku kekurangan wang kecil Rp20,000 atau sekitar RM7.00. Tanpa kusangka, Evi dengan cepat menghulurkan Rp20,000 kepada pelayan Pizza Hut, dan saat aku mahu memulangkan Rp20,000 kepadanya, dia benar-benar menolak. Dari situ, aku semakin yakin betapa Evi sudah punya fikiran yang jauh lebih matang dari usia sebenarnya dia. Kemudian saat kutanyai kenapa mama dan pappynya bilang dia agak suka menyendiri, kurang mahu berbicara bersama keduanya tidak sebagaimana dia mahu berbicara malah bercanda bersamaku, aku bener-bener terkesima, mendapati jawabannya:"Mama sama pappy sering sibuk. Kalau Evi mahu bicara sama mereka, Evi akan berfikir dulu apakah yang ingin Evi bicarakan itu tersangat penting. Jika ngak, Evi diam aja. Kalaupun berat, tetapi ngak perlu, Evi yo diam aja dulu kerana Evi tahu, lama-lama akhirnya kita juga akan lupa akan perihal itu". Bicaranya cukup teratur, dalam nada yang sangat lembut dan perlahan. Aku menjadi sangat pasti, anak ini sering berfikir dulu sebelum ngomong dan berbuat sesuatu. Anak seusia Evi, yang bisa memperhitungkan perlu dan tidak perlu untuk berbicara, adalah sesuatu yang sangat mengkagumkan. Maksudnya, dia memahami kesulitan kedua orang tuannya. Dia seorang anak yang pemerhati. Aku sangat berharap anak ini akan terus jadi begitu, seperti juga pinta mamanya agar dia menjadi anak yang baik serta kenal akan budi orang kepadanya. Aku berkira, Evi sudah mulai membalas budi orang tuanya biar belum sampai saatnya. Inilah yang sukar dimengertikan oleh kedua orang tuannya.
(7) Aku sengaja menyelami watak dan prilaku Evi. Pertamanya, sebagai sering diperkatakan oleh ahli psychoanalyst Sigmund Freud, betapa seseorang dewasa itu adalah dia saat anak-anaknya, maka aku yakin, sifat kepedulian dan humanism keinsanan Evi, jika dapat dibangun dengan segera dan teratur, pasti dia akan menjadi siapa dirinya yang selayaknya saat dewasanya nanti. Keluarga ini, hakikatnya adalah keluarga punya rasa yang sangat dalam. Dari Oyotnya: moyang lelaki-perempuan, membawa kepada embahnya Pak Ropih, serta bapanya, dalam diri Evi sudah ada rasa kepedulian yang sangat dalam dan luas. Rasa inilah yang menjadikan dia dapat membezakan perlu atau ngak perlu. Dan ini, ternyata lebih amat mengkagumkan bila aku menduganya: "Evi sudah punya pacaran di sekolah atau di mana-mana?". Jawabnya cukup matang dan tegas: "Untuk apa Om. Evikan masih anak-anak. Teman itu ya pasti banyak. Pacar, belum masanya. Evi ngak mahu ikut-ikut seperti teman-teman yang lain". Aku bertambah kaget bila dia menyatakan:"Aku sangat seneng sama Om, malah sekalian keluarga Evi suka sama Om! Nanti kalau Om sudah pulang, pasti kami semua akan sangat kangen sama Om". Ternyata ada nada kesal pada dirinya saat meluahkan kata-kata ini. Semuanya, katanya kerana dia telah menemui seseorang yang dapat melorong jalan fikiran buatnya melangkah ke depan dengan lebih yakin. Inilah logika yang paling penting buatku. Setelah bergaul dengan banyak rakan-rakan dari Indonesia, biar miskin biar kaya, biar si buta huruf atau yang cerdik padai, bangsa ini sangat membutuhkan seorang pemimpin yang besar. Aku cuma berharap dapat menemukan jalan ke situ.
Cerita Sang Kiai Daif
Sebetulnya saat menunggu datangnya pesanan Pizza, aku sempat bercerita pengalaman cukup mengusyik jiwaku semasa di Pesantren CiJinjing bersama keluarganya Kiai Nana. Kedua Kiyai Nana dan isterinya Rohiba adalah anak santri Pesantren CiJinjing. Rohiba adalah anak kepada pengasas Pesantren tersebut. Pesantren ini, terbina sepertinya adalah atas prinsip menghidupkan Islam dalam sebuah lingkungan perdesaan yang agak terpencil. Mungkin, pengasasnya berpendirian, di zaman penjajahan dulu, hanya Islam yang akan dapat menyatukan semua dalam mempertahankan bumi mereka. Hanya dengan keyakinan yang dalam terhadap Allah, maka mereka pastinya akan juga kembali merdeka.
(2) Di rumah itu, jika aku tidak campur tangan dalam soal belanja pastinya aku hanya bisa makan nasi dengan ikan asin masin dan keropok. Minum air putih kosong, saban pagi, siang dan malam. Tidurku juga tidak berkasur bertilam. Tidak berselimut untuk menghangat dingin yang membunuh. Semingguan aku menghadapi masalah kesihatan akibat beda cuaca serta cara pemakanan dan istirehat. Kedua-dua Kiyai Nana dan isterinya telah terlahir dan terdidik dalam kemiskinan. Namun hati mereka mulia. Mereka sanggup menempuh terus jalan sulit hanya untuk berbakti melestarikan keberadaan Islam pada masyarakat yang susah ini. Tanpa upah, tanpa ganjaran kerana semuanya tidak mampu. Inilah penyerahan mutlak bakti mereka demi jalannya Allah. Dan sebagai janjiNya, Dia Maha Pengasih dan Penyayang bagi mereka yang redha atas korban mereka, hadirnya aku ke sini sedikit membawa cahaya pada kehidupan mereka. Allah telah melimpahkan rezekiku dan aku bisa berkongsi dengan yang benar-benar perlu dan suci. Aku cukup seneng dan bahagia.
(3) Dua minggu lamanya aku di sana, aku sempat berjalan meredah bukit, sawah, dusun dan perkebunan melewati perkampungan di sekeiling CiJinjing. Aku perhatikan cara kerja, jalan kehidupan, serta berbicara dengan keluarga yang aku lewati. Perjalananku yang sendiri-sendiri di sini, memberikan aku sepuas kebebasan dan kedaulatan untuk mengamat dan berfikir menyelami kehidupan masyarakat yang kukira terpinggir ini.
(4) Saban pagi ibu-ibu bahkan anak-anak yang tidak dapat melanjutkan persekolahan seawal jam 0630 pagi sudah berada di sawah bergelut dengan kedinginan angin gunung berebut rezeki dengan burung-burung pipit yang siap mahu menyerang sawah mereka. Seharian mereka terpaksa berjaga-jaga, jika tidak semua padi di sawah akan gundul. Sawah-sawah mereka tidaklah seluas mana. Setiap keluarga hanya mengusahakan sekitar empat sehingga enam gawang atau 1,600 meter persegi sehingga 2,400 meter persegi. Ini hanyalah sekitar 0.16-0.24 hektar atau 0.40-0.70 ekar. Jarang yang boleh mencapai sehingga satu ekar atau 10 gawang. Cuma mereka boleh menanam sehingga tiga pusingan setahun. Perolehan setahun sekadar benar-benar untuk cukup makan dan membiaya anak-anak kecil agar cepat membesar lalu digusir ke Kota untuk mencari kerjaan seadanya. Orang-orang tua dan anak-anak sehingga SMP banyak di desa sedang yang bertenaga dan berfikiran perkasa semuanya berpetualang meredah Kota yang tidak ramah dan akrab.
(5) Kemiskinan adalah natijah hidup mereka. Kepayahan dan kesulitan hidup adalah darah daging kebiasaan mereka. Bangun pagi, hanya menatap sawah. Saban hari hanya menyembah sawah. Tidur malam, sekadar perut tidak berkeroncong. Sedang kulit tubuh kian kerepot, tulang-tulang meneroboh kulit. Gundah, resahnya terbang dipucuk-pucuk pinus, harapanya hilang digarap pipit, sampai waktunya, saat wang tidak kecukupan atau tiada, serah saja segalanya pada takdir. Takdir orang miskin, amat ringkas dan mudah. Ada makanan mereka makan. Tidak ada makanan, mereka berpuasa. Paling tidak termangu di depan pintu, plong merenung matahari yang melabuhkan malam. Saat waktunya tiba, mereka menghadap dan berdoa kepadaNya. Mereka serah segalanyanya kepadaNya. Tidur mereka tidak pernah bermimpi. Yang ada hanya mainan igauan. Jaga mereka tidak pernah ada terang. Yang ada cuma kesamaran yang cerahnya entah kapan.
(6) Anak-anak, jika perempuan, saat cukup dewasa, jika sudah ngak mampu disekolahkan, carikan saja jodohnya. Jika sudah berumah tangga, pasti mereka boleh hidup. Namun kuperhatikan juga, banyaklah perceraian muda. Suami kabur, isteri kebentur menjinjing anak-anak masih hingusan. Mata jadi plong, jiwapun kosong. Jika lelaki, hijrah saja, ke Saudi, Malaysia atau ke mana-mana mencari wang. Namun wang yang tercari habis pada rokok, pulsa, dan jajan. Yang tinggal di kampung, ah masa bodoh, bukankkah mereka punya sawah?, hanya mengharap biar sampai kucing bertanduk tidak juga kiriman mendatang. Namun semua seperti sudah menerima, ngak usah ribut-ribut, hari-hari begitulah nilai jalanannya. Kemiskinan, kepayahan, ketakberadaan, dan kesulitan sudahpun diterima sebagai isi dan kulit bangsa ini.
(7) Inilah lukisan kehidupan di balik segala lukisan lanskap sawah dan desa yang tergantung di Galeri Ropih yang Evi tidak pernah rasai. Aku menguraikan segalanya, agar dia bisa melihat betapa dalam keindahan desa itu, tersembunyi sejuta kesulitan. Cuma masyarakat desa sangat payah untuk tunjuk rasa berdemonstrasi. Mereka tidak akan menjerit-jerit di jalanan. Mereka hanya lirih dalam sendu air mata bercucuran di sejadah. Kapan dan termakbulkah doa mereka, aku tidak pasti. Cuma mereka tetap teguh, hanya kerana janjiNya, syurga sedang menanti mereka. Cuma, gusar dalam jiwaku, betapa mereka sangat dhaif tentang kehidupan yang sedang ditempuhi oleh anak cucu mereka yang di Kota. Sebilangan mereka telah kebentur dan patah. Kota Bandung dan Jakarta khususnya adalah Kota yang penuh noda dan penjualan murah. Sejak Chairil Anwar dalam tahun 1940an sudah melaungkan kekotoran Jakarta. Bandung adalah Kota Cinta dan Pengorbanan. Cinta terlahir dan kececeran di jalan dan pengorbanan adalah air mata pengharapan di desa-desa.
Pesantren dan Lestari Bangsa
Kini termanggu sendiri aku di sini, di kejauhan ini, betapa yang kutemui dalam pertualanganku ke Tanah Jawa itu telah menyadarkanku betapa hanya kesakitan akan mendekatkan sesiapa pada Tuhan. Betapa juga keberadaan telah menjauhkan banyak pada keinsanan. Biar ada yang sinis berbicara, udah kaplak tua bangka sebegitu baru menyadari itu, maka pastilah itu bukan hajatku. Aku tidak sekadar mencari kesadaran. Aku mencari jalan agar kesadaran bisa menjadi usaha. Semua orang bisa sadar. Cuma berapakah yang sanggup mengorak langkah, menyinsing lengan, bermandi keringat juga darah sekalipun menzahirkan kesadaran mereka? Muhammad SAW pernah berkata: Saat durjana kau saksikan, betulkanlah dengan tanganmu, paling tidak dengan lidahmu, namun paling lemah selemahnya adalah berpaling saja.... Aku yakin, lebih banyak yang mengambil jalan ke tiga dalam apa juga biar dalam bakti atau durjana, dan terlalu sekelumit sanggup berkeras mendepani segalanya bersemuka. Semuanya mungkin kerana tidak banyak yang sanggup payah dan perit untuk mengerti lafaz Shahhadah....tiada Tuhan yang kusembah melainkan Allah.... Sembah bagi kebanyakan adalah sembahyang tidakpun melihat pada tuntutanNya pada perintahNya' azali fitrah penciptaan manusia sebagai khalifah semesta alam, membina Adeen Islam buat semua, miskin kaya, Muslim kafir, manusia haiwan, tumbuhan bumi, segalanya.
(2) Aku sebetulnya berpetualangan kembara mencari jalan perencanaan dan pelaksanaan, bukan hanya kesadaran. Lewat Evi-Audri-Nana, sedikit kutemui jalannya. Pasti kesadaran adalah asasnya, namun sekadar sadar tanpa langkah pelaksana biar sekecil mana, pasti menjadikan kita terbeban dosa. Khalil Gibrar bermadah: Usaha tanpa asa adalah kepura-puraan, asa tanpa ilmu adalah perabaan, dan ilmu tanpa usaha adalah kejahilan.
(3) Aku sadar, betapa Melayu itu samada di Malaysia, Brunei, Singapura, Indonesia, Pattani, Sulu, Rohingya (Burma), dan Cham (Vietnam, Kambodia dan Laos) keperluan mereka adalah pegangan. Apakah pegangan yang harus mereka miliki? Islam? Syukur jika itu jawaban semua, namun apa jadinya Islam yang sedang kita miliki? Tidak Islam? Tidak sempurna Islam? Di manakah di bumi Allah ini keberadaan Masyarakat Islam yang sempurna? Makkah? Madinah? Basrah? Qom? Bukhara? Al Azhar? Kelantan? Maka pasti kini, baru kalian sadar, kita belum ada Modelnya. Ya, pasti ada yang buta celik berkata, rujuk saja pada Al Quran. Maka soalku, di pesantren, sudah berkurun mereka meneliti Al Quran, sudahkah mereka bangunkan Model Masyarakat Islam sesempurnanya?
(4) Pesantren itu telah mampu mempertahankan kehadiran Islam pada masyarakat lingkungannya. Pesantren Al Jannah di Mojokerto umpamanya mampu mengidupkan Islam di tengah gelombang penjajahan penukaran Jawa jadi Belanda. Begitu juga di CiJinJing, pesantren telah membenteng kuat kemiskinan rakyat dari rasa kecewa yang mematikan. Tanpa Islam mereka pasti sudah kebentur dan rebah dalam pelukan persimpangan yang sebetulnya tengah mengoda mereka kuat. Namun, tidak banyak yang sanggup berfikir dan memerah keringat melangkah lebih jauh dari Pesantren dalam pembentukan Model Masyarakat Islam yang bisa terkembang hebat buat umat sejagat.
(5) Model ini terus kucari dan sedang kubayangi. Pesantren, Madinah, dan Makkah apakah persamaan dan perbedaannya? Di manakah jurang yang telah kita tidak pedulikan? Masjid, surau bagaimana pula? Di sanalah paksi ketemadunan yang telah banyak kita abaikan fabric web yang seharusnya kita bina kembali. Cuma, para ustaz, kiyai, ulama, fikiran mereka di mana? Apa lagi para politikus yang memetik ilmu mereka lewat pemisahan gereja-senet Romawi yang jauh mempersulit segala. Pokoknya, kita belum ada rumusan penyatuan dua ilmu yang bertunjang pada dua alam yang bersimpangan. InsyaAllah lewat wasiatku akanku tulis apa yang kufikir. Semoga Allah akan memberkati jalan fikiranku lalu memberi aku segala kekuatan untuk melukiskannya dengan jelas.
(6) Juga Tuhan, sekehendakMu, jika sakit terpaksa kulewati, akan kupikul sekuatnya, akan kuterima dan kuheret bersama. Sakit itu menjadikan jiwaku kian mendalam dan mengerti luas. PadaMu...setiap sakit, padaMu obatnya..., aku tidak menyerah namun akan melangkah biar hanya sendiri, kerana padaMu akan kuhimpun segalanya nantinya saat waktunya telah Engkau perbolehkan buatku. InsyaAllah. SubhanaAllah.
Kota Bandung, Indonesia-Terasi, Malaysia
29 Jan.,-17 Feb., 2012
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
1 comments:
blog walking : nice blog...
Post a Comment