I: SORE YANG TERUSIK
Dari tadinya hawa membakar, bersama berlalunya waktu, hangat sang mentari kian menrendah. Bayu petang nyaman Selat Bangka menghembus kencang membelah hutan bakau, menderu mengocak kuat barisan pepohon ru, dan melenggang-lenggokkan pepohon kelapa tua berbaris di pinggiran pantai Desa Tualang. Beberapa pasangan helang di kejauhan pinggiran laut melayang-layang di udara mencari-cari peluang menyambar segala mangsa yang lalai. Para seludang kelapa luruh bertaburan. Daun-daun kering melayang-layang, berlenggang-lenggok lalu hinggap bertaburan di laman. Anak-anak simpang siur berteriakan menghambat para ayam dan itik yang sedang berebut cacing dari balik daun-daun bertaburan. Para kambing berbondong-bondong ikut sama memeriahkan halaman. Anak-anak kambing yang pelbagai rupa dan comel menari-nari, berkejaran, melompat-lompat bersama anak-anak yang berlarian girang. Desa Tualang, tampak aman dan girang seperti selalunya. Semua penghuninya sedang santai. Ada yang sedang nyenyak di baringan anjung. Ada yang sedang riuh bercerita, bergurau senda, sambil menikmati sajian petang. Aman dan riang di perdesaan yang seadanya, saban hari berlalu sejak sekian lamanya, begitulah segalanya.
(2) Desa Tualang, telah dibangunkan lebih seratus tahun yang lepas, iaitu sekitar 1880an. Sebuah desa di muara Sg. Palembang. Terbina pada tebing Sg. Palembang yang berpasir, terpisah dari Selat Bangka yang agak bergelora oleh barisan paya bakau yang subur menghijau. Masyarakat di sini adalah nelayan dan juga petani. Selat Bangka dan Sg. Palembang yang kadang-kadang buas adalah padang permainan setia para nelayan Desa Tualang. Sedang sawah-sawah padi hijau kekuningan adalah pemandangan biasa terutama diwaktu hampir hujung tahun, di usahakan di belakang lampung. Di musim panenan, suasana para ibu-ibu berterendak berbondong-bondong bergotong royong menuai padi-padi yang kuningan matang, adalah budaya kerukunan dan keakraban masyarakat yang kekal kukuh biar zaman telah berputar jauh. Berburu di hutan belantara adalah kerjaan sampingan para anak-anak muda yang kian meningkat dewasa. Kijang, pelanduk dan kadang-kadang rusa sering dapat mereka perangkap atau jerat. Hasil tangkapan biasanya akan dikongsi bermai-ramai.
(3) Rumah-rumah mastarakat Desa Tualang tersusun dalam beberapa baris, setiap satunya hampir saja menyerupai yang lain, melainkan besar dan keterampilan ukirannya saja agak berbeda-beda tergantung atas duduk keberadaan keluarga masing-masing. Rumah Pak Dolmat, rumah papan limas beratap rumbia, bertiang cengal, beranjung luas dengan segala pintu dan jendela berukiran asli Melayu Palembang, rumah pusaka almarhum Pak Abdullah, mertuanya Pak Dolmat adalah gambaran bentuk-bentuk senibina Desa Tualang. Kolong rumah ini sengaja dibina agak tinggi sekitar enam kaki, sebagai tempat untuk menyimpan segala sesuatu seperti kisaran padi, lesung, bahkan tempat tidurnya kambing, ayam dan itik. Juga di kolong itulah para ibu dan anak-anak biasanya bersantai. Halaman rumah dihiasi dengan segala kembangan yang berbagai rupa dan menyegarkan: angerek, kemboja, kemuning, melor, seroja, jasmine, mawar, kiantan, tasbih, dsb. Begitu juga pohon-pohon herba seperti kunyit, serai, lengkuas, pandan, entemu, kencur, belimbing besi, dsb pasti dimiliki oleh setiap keluarga. Di busut-busut ditanami segala macam ubian: keladi minyak, keladi lorek, keladi betawi, keladi jembot, ubi itik, keledek serta pelbagi jenis ubi kayu, sebagai sumber makanan sampingan Pohon-pohon kelapa dan segala macam buah-buahan: rambutan, nangka, cempedak, duku, langsat, durian belanda, belimbing, jambu, ciku, pisang, sukun, mangis, dan segalanya semuanya ada ditanam di sekitaran rumah masing-masing, menjadikan setiap laman sebagai sebuah ladang yang serba lengkap untuk kehidupan di desa. Semua ini memberikan haruman dan warna-warni yang paling santai dan menambah nyaman dan dinginnya suasana Desa Tualang khususnya di petang sore. Saban pagi dan lewat sore, akan kedengaran riuh rendah segala jenis burung bersahutan beterbangan dari pohon ke pohon menhisap madu atau menjejaki segala macam serangga yang turut berteduh pada segala pepohon ini. Yang paling akrab di antara semua burung ini adalah burung selasih yang seperti jam asli saban waktu tanpa gagal akan riuh bernyanyi pada seawal jam enam pagi dan lima setengah sore.
(4) Namun petang ini agak berbeda dari segala suasana petang biasanya, khususnya di anjung rumah Pak Dolmat. Panas dan seperti ada kemelut besar. Seluruh kehidupan Desa Tualang, dipetang ini seperti diwarnai oleh ulah Manan, anak muda berbadan tinggi-tegap, berkulit cerah, berambut berombak-ombak, seorang anak muda yang begitu ganteng selain punya daya pimpin yang kian kuat pengaruhnya terutama di kalangan anak-anak muda seangkatannya. Ulah Manan di petag itu resah-gelisah. Tampak payah sungguh untuk dia menerima apa yang didengarnya. Dia seperti anak gila, rusak hati dan rusak fikirannya, mundar mandir dengan langkah keras, menghentak-hentak dengan mata berpinar tajam lagak seperti helang yang sedang lapar mengintai-ngintai mangsanya, sehingga bergegaran seluruh rumah tua itu. Darah amarah mudanya sedang panas. Mukanya berkedut-kedut. Raut wajahnya bagai serigala jelmaan. Seluruh tubuhnya kelihatan sangat keras, tegang. Butiran keringat jantan tumbuh lebat di muka dahinya dan kian berkucuran.
(5) Pak Dolmat, ayahnya si Manan, dalam usia yang hampir seumuran dengan rumah ini, dengan badan yang agak kurus, goyah serta otot-otot yang kian lembek, rambut yang kian kusut-kerinting penuh ubanan, bermata agak besar ke dalam serta raut wajah yang berpulohan garis-garis tua, dan dada yang jelas hanya menampakkan tulang-tulang kurus, suatu susuk badan dan jiwa yang telah bergelumang dengan segala keperitan hidup, terus bertinggung dan berdiam seperti sedang berfikir jauh, sambil memerhati curiga atas gelagat darah panas anak tunggalnya Manan. Dia mengasing diri bersandar di sudut jauh anjung, dengan terhidang secawan kopi dan beberapa ketul gorengan ubi di depannya, dan rokok daun yang tak lekang di bibir tuanya, tahu benar akan gelora jiwa anak jantannya ini.
(6) Sebentar tadi, Osman, teman Manan dari Riau terkejar-kejar, memekik-mekik, berlarian lintang pukang pada mendapatkan Manan. Kerana kekagetan dan ketakutan dengan lagak ribut si Osman, habis ayam-itik sekampungan bertempiaran melarikan diri sembunyi entah ke mana-mana, ibarat ancaman sang helang sedang menyerbu desa damai ini. Anak-anak kecil ada yang bertangisan, dan ada yang belarian bertelanjangan bulat ke dalam pelukan ibu-ibu yang sedang menyapu laman rumah. Ada sehingga menyebabkan para kain kemban ibu-ibu terurai, hampir-hampir saja menelanjangi mereka, lantas menimbulkan suasana keriuhan yang bertambah-tambah: ada yang tertawa terbahak-bahak, ada yang terus marah-marah malu memukuli anak-anak yang menjerit-jerit bagai si Toyol kehausan darah. Sebahagian dari para ibu-ibu pula terpinga-pinga tertanya-tanya sesama sendiri apakah gerangan kegundahan yang sedang melanda Osman, berlarian seperti pelesit tak karuan itu. Para bapa pula melopong kebingungan, berpandangan sesama sendiri, tanpa mengerti. Riuh rendah sekampungan dibuatnya.
(7) Bisikan Osman di telingga Manan, menyebabkan anak muda itu bingkas dan seperti mahu mengamuk tidak kepalang. Wajah Manan, yang tadinya cukup santai, cukup damai, kini berubah menjadi gelora samudera yang sangat ganas. Angin taufan kemarahan sedang melanda samudera darah jantan Manan.
(8) Bisikan Osman, mengkhabarkan dan membenarkan segala angin-angin kecil yang sudah Manan ikuti sejak sekian waktu, bahawa Belanda sedang menyusur pantai Sumatera, mahu menawan sisa bumi raya Indonesia. Perkhabaran ini, telah mengusik kedamaian dan ketenangan Desa Tualang. Kedamaian Desa kecil di Muara Palembang kini sedang disentap dengan kekalutan yang maha dahsyat. Serentak dengan perkhabaran Osman, pukulan kentong dan beduk-beduk di surau-surau saling bersahutan menghebahkan berita menyatakan Kota Medan sudah tumbang. Kota benteng pertahanan Sumatera, bumi Melayu Indonesia sudah tumbang. Anak-anak Medan para menyerah kalah. Belanda sudah merampas Medan dari anak pribumi dan para pedagang rempah India, Arab dan Tionghua. Para anak-anak Medan sedang undur ke desa-desa pedalaman. Penjajahan Belanda tampak kian meluas melewati batas Kepulauan Jawa dan segala pulau ke timurnya. Kini, Belanda sedang bekerja keras mahu menawan seluruh Indonesia. Mereka sedang menapak di Sumatera. Dengan tertawannya Medan, maka penjajah Belanda kini sedang menjadi raja, bahkan sedang bersultan di hati beraja di mata di seluruh Indonesia, dari Kepulauan Maluku merentas ke Sumatera.
(9) Saat ini, di Medan, segala bahtera pedagang India, Arab dan Tionghua yang sarat dengan cengkih dan segala rempah sudah dirampas segala isi muatannya, dan semua jong-jong itu di bakar, tanda amaran kepada seluruh rakyat Medan bahawa Belanda sudah berkuasa, sudah luas kuasanya, hampir lengkap kuasanya, melebarkan terkaman kuasanya ke seluruh bumi Indonesia Raya, dan sesiapa saja yang berani menentang kuasanya orang-orang Belanda ini pasti diganyang lumat. Asap tebal hitam, memenuhi ruang angkasa Medan, meriam-meriam para Belanda sengaja terus diledaki, berdentam dentum menantang sisa-sisa keris, golok dan tombak para hulubalang Melayu Medan. Medan kini kian punah ranah, merata menyembah bumi, sama sepertinya tumbangnya kota-kota lain terdahulunya, Makasar, Surabaya, Betawi, Surakarta, Yogyakarta, dan Bandung seawal majunya penjajahan dan penjarahan bumiraya Indonesia oleh Belanda.
(10) Kini dengan kejatuhan Medan, maka Palembang sedang diambang maut dalam pelukkan tangan-tangan rakus kasar Belanda. Itulah kekhuatiran Manan, tidak rela dia melihat akan tumbangnya Palembang. Dia lebih rela dirinya saja yang tumbang, biar darahnya menyimbah, tidak sekali-kali dia mahu Palembang tumbang menyembah Belanda di depan matanya.
(11) Pada saat ini juga, ribut angin barat sedang bertiup deras melanda Selat Bangka melangsung ke Desa Tualang, mematah-matah segala dahan perpat, meluruhkan segala dedaun, seperti juga sedang mengkhabarkan tentang akan sempurnanya kejatuhan kemerdekaan anak-anak pribumi Indonesia Raya, satu persatu. Hamburan daun-daun kering seperti lambang jatuhnya, satu persatu, para perwira bangsa Medan di muncung senapang para Belanda penjarah itu. Itulah paparan suasana alam sore itu pada mata dan hati Manan. Keriuhan Desa Tualang di sore itu, sudah bukan kedamaian biasa, melainkan paparan tangisan alam, meratap nasib kejatuhan Palembang yang kian hampir.
II: DARAH MERDEKA:
(1) Osman dan Manan terus saja berbisik-bisik. Mereka tampak begitu geram dan marah. Dengan mengenggam tangan, menyinsing lengan, tetiba, Manan, melaung sekuat halilintar: “Bangsat! Kenapa begitu cepat maka pejuang kita cepat mengalah! Bangsat! Di mana semua para maha guru, yang sekian lama tampak maha handal, kenapa semuanya begitu mudah terkecundang”. Manan seperti terlalu payah menerima akan kejatuhan Medan ini. “Akan kafirlah negara kita ini! Akan terjajah, terjarahlah kita nanti!”, terus saja dia mendengus.
(2) “Belanda ini pasti mahunya, hanya menjajah kita, menindas, menjarah segala. Pasti si Belanda ini akan rakus menelanjangi anak bangsa kita, biar terus miskin dan sengsara, agar kita bisa terus tunduk dan menghamba kepada mereka”. Terus saja Manan menghabur rasa kegundahan hatinya. Dia sadar, kini bangsanya seperti sudah akur bahawa Belanda yang berkulit putih, tidak hitam atau kecoklatan hina sebagai mereka, muka memerah, mata mereka yang besar tajam, serta tubuh mereka yang jauh lebih besar dan tegap, adalah modal paling ampuh buat menjadikan bangsa pribumi Indonesia tampak kerdil dan sia-sia. Penyakit ‘takut: kocor” pada bangsa asing sudah mulai meresap ke seluruh jantung hati anak bangsanya, sehingga mereka kini kian menjadi takut dan mudah mengalah. Hati Manan kian luka melihat semua ini.
(3) “Tidak kecukupan hanya Tanah Jawa, kini, Tanah Melayu ini mahu dijarahnya. Besar dan rakus sungguh nafsu bangsa Belanda ini. Ini semua kerana kita terlalu mudah mengalah!”. Terus saja Manan mengerutu memandang tajam pada Osman, kedua orang tuannya, dan semua mereka yang ada di sekelilingnya. Semua mereka tunduk tidak berani melawan nyalaan mata api Manan. Bola matanya membundar kasar, bercahaya tajam mengerikan.
(4) Ungkapan amarah Manan kian terbawa jauh sampai ke hujung desa oleh deruan kencang angin Selat Bangka. Seluruh masyarakat desa Tualang kini telah hilang selera kegembiraan biasa, segala suasana telah berganti rasa curiga dan gementar akan bencana penjajahan yang bakal menimpa. Mereka kini kian berbondong-bondong munjung ke rumah Pak Dolmat. Ada yang hanya berkatok kolor, berkain pelekat perpintal sehingga setengahnya tidak sadar bahawa pintalanya menjadi terlalu singkat, seakan membuka pintu gua memperlihat ‘sang burung angguk’ lalu membuat anak-anak tertawa sembunyi-sembunyi, dan ada yang bersembunyi muka membuat seperti malu-malu.
(5) Tidak kurang yang datang hanya belilitkan tuala lusuh, dengan dada dan badan penuh panau terdedah bulat. Masyarakat desa, tingkahnya, pakaiannya hanyalah seadanya. Wajah mereka hanya sejujur mahu tahu apakah yang menjadi api kemarahan anak muda Manan ini.
(6) Kegundahan dan amarah Manan tentang akibat penjajahan Belanda ke atas bangsanya sememangnya telah lama tersimpan dalam dadanya. Biarpun persekolahannya tidak pernah kemana, namun berkat boleh membaca dan menulis rumi dan romawi, hasil didikan ayahnya Pak Dolmat, Manan telah sejak dari bocahannya meneliti segala kitab-kitab sejarah dan siasah yang dia kadang-kadang perolehi hasil titipan para teman ayahnya dari Tanah Jawa dan Malaya. Di suatu sudut rumahnya, sengaja Pak Dolmat membina sebuah khutubkhanah menyimpan segala buku dan kitab-kitab ilmu buat bacaan sesiapa saja yang mahu di Desa Tualang ini. Himpunan buku-buku dan kitab-kitab ini banyak membuka mata hati Manan.
(7) Melihat akan hadirnya para tetangga yang memenuhi ruang laman rumahnya, dari anjung rumahnya, Manan terus menghamburkan nafas marahnya. Dia berpidato lagak Pak Ketua Suku yang mahu menghayun pedang perang. “Cukup sudah kita dijajah. Sebelumnya oleh tangan kita sendiri yang menjadi boneka kepada segala kuasa asing. Lihatlah anak-anak Jawa, bangsa setanah air kita, yang telah sekian lama terjajah. Lebih 3,000tahun terjajah! Kerana tidak habis-habis dijajah, mereka sudah manut tidak karuan. Taatnya mereka bukan kepalang. Mereka merunduk, tunduk, sampai mereka tiada kuasa mahu mengangkat kepala bila berbicara dengan siapa saja sehingga kepada orang-orang besar mereka sendiripun. Harga diri dan kemerdekaan diri mereka telah dimatikan dengan sifat berkasta yang sangat dalam. Dari sebelum Belanda sampai kini, mereka dan kita ini terus-terusan di abdikan dengan budaya runduk, sujud, menyembah, tidak merdeka. Tidak! Aku tidak rela ini berulang lagi. Kita akan seperti celeng nantinya. Mahu angkat kepalapun sudah tidak berani, malu”.
(8) Manan telah banyak mengkaji sejarah tanah airnya yang mengisahkan bagaimana pengaruh agama-budaya Buddha yang telah membangunkan Kerajaan Sri Wijaya di Tanah Sumatera sejak seawal 3,000 tahun sebelum masehi (BC). Kehadiran pengaruh Buddha ini telah menandai penerapan budaya berkasta dalam kehidupan masyarakat Sumatera. Sedikit demi sedikit, susunatur budaya kasta telah menjadikan bangsanya terbelah kepada rumpun-rumpun yang berbeda-bedakan. Semua kelompok-kelompok ini kemudian kian terasing antara satu sama lain, menjadikan kedudukan darjat masing-masing sebagai benteng pemisah yang sangat tebal.
(9) Pembedaan darjat kemudian menjadi semakin hebat dan tebal, dengan perkembangan pengaruh Hindu dari Timur, yang membangunkan Kerajaan Majapahit di Tanah Jawa pada 2,000BC. Dua agama-budaya yang sememangnya sedang bertentangan hebat di tanah kelahiran mereka, India, telah menjadikan bumi Indonesia sebagai lapangan baru bagi pertarungan pengaruh mereka. Kedua-duanya, adalah sebuah agama-budaya yang kembang subur dan mandiri atas kehidupan berlandaskan kasta. Kedua-duanyan mahu saling mengatasi satu sama lain seperti juga yang sedang terjadi di India. Aturan berkasta mereka lihat sebagai satu corak kehidupan yang paling tertib, dan mesti dipatuhi. Mereka juga tahu, hanya dengan berkasta, pasti kedudukan para pendita agama-budaya mereka tidak akan dipersoalkan. Para pendita agama-budaya Buddha dan Hindu mengerti bahawa mereka perlu menjadi ‘yang paling berkuasa’, namun kuasa ini perlu tidak boleh diperolehi dan diperlihat secara langsung. Mereka perlukan boneka dari kalangan anak-anak pribumi untuk semua ini. Maka demi untuk mengekalkan nafsu penjajahan dan pengaruh masing-masing, lantas aturan berkasta agama-budaya Budhha dan Hindu kian seperti diwajibkan dan diasak terus kepada semua anak pribumi Indonesia.
(10) Kedua-dua para pendeta agama-budaya Buddha dan Hindu seperti telah sepakat bahawa di kalangan anak pribumi perlu dibahagi-bahagi kepada kelas-kelas masyarakat yang turut melambangkan darjat dan kekuasaan mereka: raja, pegawai, pahlawan, rakyat jelata, pekerja bawahan dan hamba. Setiap satu kelas kasta perlu punya tanggungjawap kepada kasta satu lagi, dan seperti kemudian telah tertanam hebat, kasta yang di bawah perlu bertanggungjawap terhadap kasta yang di atas. Maka begitulah akhirnya, raja tetap raja, dan hamba tetap hamba. Hamba mesti patuh, sujud, tunduk kepada raja. Raja tetap raja, dan bebas melakukan apa saja ke atas hambanya.
(11) “Lihat sajalah”, Manan terus-terusan membentak meluahkan apa yang terbuku di dadanya, air matanya kian mengalir deras, sederas peluh jantan yang kian menyimbah tubuhnya, “kita agungkan para Raja, Permaisuri, Putera dan Puteri, kita dewakan mereka, bagaikan Tuhan. Kita agungkan dan kita sujud kepada mereka. Semua titah perintah mereka adalah kata keramat yang tidak bisa dilangkah. Inilah bayangan budaya Buddha dan Hindu yang mahukan kita hanya taat kepada segala kemahuan pendita mereka. Mereka jadikan para raja kita alat penguasaan mereka ke atas kemerdekaan fikiran dan jiwa kita. Para pendita itu, begitu bijak, begitu halus, memperguna para pembesar kita, mengangkat para pembesar kita sebesar-besar kemahuan nafsu mereka, lantas mengikat mereka dengan segala puja-puji yang kononnya keramat. Hakikatnya itu semua adalah pancingan agar mereka terus lupa diri, lantaran dada mereka kian membusung, besar kepala atas segala puja-puji, menjadikan mereka lupa tanggungan sebagai payung rakyat jelata. Para pendita menjadikan mereka seperti dewata keramat. Para Raja kita, para pembesar kita, para kerabat mereka, tanpa sadar telah kita angkat mereka jadi dewata. Sama seperti dewata Buddha dan Hindu yang harus kita takuti akan kekeramatan mereka. Maka para Raja kita telah kita lihat sebegitulah duduknya. Mereka menjadi manusia-dewata yang mesti kita takuti, dan itulah mahunya para pendita itu. Agar kita takut kepada pembesar kita sendiri! Hanya jika kita takut maka mudah kita ditarik seperti kerbau kemana juga semahu mereka! Namun para raja-dewata itu hakikatnya tiadalah mereka sadar, mereka hanyalah boneka, akan jadi manut dibalik kulit kemegahan, keagungan mereka, menurut segala kehendak para pendita candi-candi itu. Pada para Raja inilah para pendita sembunyikan diri. Raja-raja inilah alat bicara mereka. Dari Raja-raja inilah, keluar segala titah yang kita mesti laksanakan. Biar tanpa upah, biar penuh penghambaan. Dan Raja-raja kita adalah boneka hiasan buat penglipur segala lara dan duka nestapa kita, boneka para pendita itu. Para Raja, bukan lagi payung, bukan lagi pelindung akan hak dan kemerdekaan kita”. Manan meluahkan segala jeritan hatinya, penuh kesal, berpidato bagai para siasah yang terus mahu memberontak menumbangkan feudalisma pemerintahan purba.
(12) “Lihatlah, Yogyakarta, kononnya Kota lambang kekuasaan Jawa. Di sana, dulunya terbina Borobodhur yang jauh lebih gagah, lebih agung dari Keraton Raja Jawa. Hakikatnya, Yogjakarta, itulah lambang penjajahan Hindu ke atas akal dan fikiran bangsa Jawa kita di sebalik kulitnya agama. Kebesaran Borobodhur, adalah lambang kebesaran penjajahan akal dan jiwa kita di tangan para pendita itu. Segala Raja Jawa dengan mudah sujud di kaki pendita Borobodhur, lantas, anak-anak Jawapun bukan sekadar sujud, malah terus-terusan menjadi hamba kepada nafsu rakus para pendita bagi membina lebih banyak lagi para candi di seluruh Jawa, bukan untuk agama, hanyalah itu bagi kenikmatan para pendita dan mubaligh-mubaligh yang malas dan tiada upaya mahu ke depan atas usaha sendiri. Memperhambakan kita. Itulah pegangan yang mereka mahu para penganutnya hanya mengabdi diri, sembah sujud kononya kepada para dewata, tidak lain hanya itu, seperti para gondrongan ketagihan candu agar mudah diadu bagai lembu tercucuk hidungnya. Pegangan hidup sujud-runduk sebegitu sudah tertanam menjadi candu yang sudah meresap jauh dalam urat darah kita. Candu itu sudah menguasai fikiran dan jiwa para penagihnya, para nenek moyang kita. Menjadikan mereka dan kita hamba dan abdi yang tidak merdeka. Melalaikan para pengikutnya, melupakan segala tanggungan kemanusiaan sebenar mereka. Itulah budaya ikutan anak bangsa kita sehingga kita menjadi lalai, kita jadi bangsa suruhan di tanah air sendiri. Itulah mulanya budaya sanjungan tanpa fikiran, itulah budaya manutan tanpa persoalan yang tertanam dalam-dalam dalam tubuh setiap anak bangsa kita Indonesia ini”. Syarahan Manan dari anjung rumahnya kini kian panas dan para penduduk Desa Tualang sudah kian ramai berbondong-bondong hadir dan berdiri tegak di laman mengamin akan segala luahan sakit hatinya Manan.
(13) Budaya berkasta ini sebetulnya seperti telah terlalu serasi dan kian sebati dengan aturan kehidupan anak-anak pribumi Indonesia yang asalnya sangat berkait dengan amalan anismisma, yang mana pawang dan dukun kerana keajaiban ilmu perdukunan dan atau hitam mereka kemudian menjadi orang yang ditakuti lantas ada yang mendaki menjadi ketua kepada kelompok-kelompok tertentu, sehingga kemudian kembang menjadi penghulu dan ‘raja’ tersendiri. Kehadiran aturan kasta Buddha dan Hindu seperti merasmikan saja corak kehidupan mereka yang sememangnya telah menjurus kearah sedemikan rupa. Pendeta agama-budaya Buddha dan Hindu hanya merasmikan saja aturan yang sudah sememangnya sebati pada pribumi Indonesia. Mereka mengamin dan memperkukuhkannya saja, demi keutuhan cengkaman mereka di tanah Indonesia.
(14) Sebetulnya, kerana sangat patuh dan kuatnya dokongan anak-anak pribumi Indonesia pada kedua-dua agama-budaya ini, maka kedua-dua Kerajaan Sri Wijya dan Majapahit pada zamannya masing-masing telah menjadi dua kerajaan yang amat besar dengan pengaruh dagang dan kelautannya merentasi dunia Arab, di barat dan Tiong Hua di timur jauh. Kota-kota seperti Medan, Jambi, Palembang, Makasar, Surabaya, Jogyajarkata, Surakarta, Semarang, Bandung dan Betawi tumbuh kerana besarnya kuasa dagang dua kerajaan ini terdahulunya. Namun, hanya lantaran Sri Wijaya tumbang kerana serangan atas rasa cemburu dan curiga Majapahit, biarpun jika keduanya sanggup bergabung, pasti keduanya akan menjadi kuasa dagang dan kelautan yang maha hebat jauh kehadapan dari segala Temadun Barat; maka sudah semacam ada rasa kebangaan bahawa Jawa itu lebih hebat dari Melayu. Kejatuhan Sri Wijaya di tangan Majapahit adalah seperti titik mula penularan aturan kasta yang lebih hebat di Indonesia raya: Jawa duduknya lebih tinggi dari Melayu. Dan inilah sebetulnya detik perpecahan bangsa Indonesia. Darjat Jawa dan Melayu terpisah atas saikologi Buddha-Hindu.
(15) Kini, Manan seperti sedang tersentap, tidakkah nanti dengan pengembangan kuasa Belanda ke Sumatera, akan lebih memisahkan Jawa dan Melayu. Hatinya kian membuak mahu memuntahkan darah khuatir akan musibah perpecahan bangsa yang bakal dilalui negaranya Indonesia.
(16) Bacaan Manan dari Kitab-kitab Sejarah simpanan ayahnya, telah banyak menyadarkan dia tentang bertapa telah khilaf dan lalainya bangsanya. Bangsanya telah terlalu mundah diadu domba oleh kuasa-kuasa asing, sehingga mereka tidak sadar semua itu adalah tangan hitam yang terus-terusan melemahkan bangsanya. Juga kerana, para anak-anak pribumi sejak sekian lama telah terlalu sibuk berkerja untuk hidup yang pendek. Segala kepayahan dan keperitan hidup telah menjadikan mereka tidak ada upaya untuk melihat kehidupan yang lebih jauh. Begitu juga para pembesar bangsa, biar sekecil mana mereka dari Kepala Desa membawa ke Pegawai dan Kepala Negeri masing-masingnya telah seperti buta dan lalai dengan kesengsaraan rakyat jelata, namun sebaliknya hanya mencari keagungan diri lewat segala kemegahan pada kedudukan mereka. Semua bacaannya ini, ditambah dengan perkhabaran tumbangnya Medan di tangan Belanda telah membangkitkan satu kesadaran tentang di mana titik lemahnya bangsanya. Agama nenek moyangnya, sejak dari anisma kepada Buddha, kemudiannya Hindu yang dilandaskan kepada pengaruh takut telah menjadikan jiwa bangsanya menjadi takut, kerdil, lantas fikiran dan akal mereka juga sudah menjadi singkat, pendek! Maka kedatangan Belanda, dengan segala watak ganas, seperti juga yang dahulunya digambarkan pada wajah-wajah gambaran pepatung roh ghaib dan para dewata, telah menjadikan sekali lagi bangsa ini mudah menyerah dan menyembah, bukan kerana apa, hanya kerana takut!
(17) Manan juga mulai sadar, kini, biar Islam sudah tersebar luas, sudah lebih dari separuh kurun menebar ke nusantara, Islam yang sudah memerdekakan bangsanya dari para pendita-pendita Hindu, namun belenggu kasta atas jiwa dan budaya bangsanya masih terlalu ulet untuk terungkai. Islam biar telah mengajak mereka untuk tidak takut kepada apa-apa sekalipun, tidak menyengutu apapun dengan Yang Satu, namun mereka terus leka dipeluk budaya kasta, engan merobah, engan mengerti seruan sebenar Ilahi. Sesungguhnya budaya kasta telah meletakkan sebahagian dari mereka pada kerusi enak, biar kedudukan itu tidak memberikan keenakan pada semua bangsa. Manan mulai sadar amalan Islam bangsanya hanya pada kulitnya, tidak pada isinya. Tidak pada tekad dan keazaman usahanya. Kulit bangsanya ini tampaknya adalah Islam, namun isi dan darahnyanya masih juga budaya kasta warisan pegangan Buddha dan Hindu. Amalan Islam bangsanya telah tebal dibaurkan dengan budaya Buddha dan Hindu. Maka dengan ini, mungkin itulah hikmahnya maka Allah menurunkan musibah penjajahan agar bangsa ini sadar. Namun apakah mereka akan sadar, dan bersatu, memerdekakan diri, memerdekakan diri sejajarnya tuntutan Allah, hanya berlandaskan wahyuNya, tidak pada budaya dalam Buddha dan Hindu yang berkurun-kurun mengurung mereka itu. Semua perhitungan ini membuat air mata Manan mengalir deras. Dia kian meraung mengenang malang nasib bangsanya yang lambat sadar dan lambat bangun. Islam yang telah membawa nur kemerdekaan, namun, nur itu telah tidak dimengertikan dan dimanfaatkan sebaiknya. Terus-terusan dia mendengus, sambil menumbuk-numbuk tiang induk rumah papan itu, membuat Pak Dolmat semakin gusar dan resah akan amarah jiwa anaknya ini.
(18) Seperti halilitar Manan menempik lagi. “Bangsat! Memang bangsat. Mana semua maha guru kita? Mana semua para ahli sihir kita? Kenapa tidak digunakan segala ilmu hitam atau putih itu untuk menghacurkan Belanda penjajah ini? Kenapa semua ilmu-ilmu ini hanya diguna buat pertarungan sesama kita sahaja! Kesal dan geram benar tanjaknya Manan. “Hati kita cukup hitam bila bertarung sesama sendiri, namun kocor, konyol, bila berdepan dengan musuh sebenar. Bangsat! Di mana semua hulubalangnya Imam Bonjol, kenapa tidak di hantar semuanya ke sini, ke Palembang ini, jangan hanya diam di Medan dan Padang! Atau sembunyi menikus di hutan-hutan Medan dan Padang. Semua itu, di mana mereka. Kita mesti terus teguh dan berani. Biar darah membanjiri bumi Palembang ini, kita mesti bangkit menantang, terus menantang tanpa gentar”. Suara memberontak si Manan terus memecah kedamaian keluarga Pak Dolmat, dan seluruh desa Tualang. Temannya, Osman hanya tertunduk bisu mengikuti kata hati keras si Manan. Para lelaki yang sedang tegak berdiri memenuhi laman rumah Pak Dolmat, sudah ada yang turun naik deras ombak dada mereka. Perlahan-lahan Manan sudah mulai membakar jiwa mereka dengan api kata-kata mahu merdekanya.
(19) Di saat ini, di Palembang, tanah sisa kekuatan Jambi, kini sudah terbuka luas sawah padi, kebun-kebunan kelapa, kebun-kebunan buah segala, dan segala ladang rempah. Di sini juga sudah ada usaha untuk meneliti perut bumi bagi mengeluarkan bahan bakar minyak. Emas dan perak sudah mulai diayak dari anak-anak sungai dari gunung-gunung di belantara. Kemewahan di sini, di bumi sisanya keagungan Jambi ini kian kembang jauh lebih pantas dari Tanah Jawa. Pastinya Belanda telah sadar akan kekuatan bumi Melayu Sumatera ini, dan mahukan Palembang, mahukan kekayaannya, juga sebagai tapak bagi mereka melancar perang sesama bangsa Barat lainnya. Inggeris yang sudah sekian lama menghambat keluar Portugis dari Tanah Malaya, dan kini mereka sudah bertapak hebat di Malaya, Singapura, dan Borneo. Kota-kota persisir Malaya: Kelang, Malaka dan Pulau Pinang khususnya sudah kembang begitu hebat. Seluruh Malaya dan Singapura khabarnya sudah jauh lebih aman dan mewah dari bumi Indonesia ini. Pasti Belanda ini kepingin menggunakan Palembang sebagai tapak untuk melancar perang dengan Malaya dan Singapura.
(20) “Bangsat bangsa Belanda rakus ini! Kalau mereka berbunuh sesama Barat, tidak mengapa, ini pasti Melayu di seberang sana dan anak-anak Melayu-Jawa di sini juga yang akan mati katak di tengah-tengah perebutan ini nanti. Akan terus curiga dan berdendam kesumatlah bangsa Melayu Malaya dan Melayu-Jawa kita nanti. Tidak akan pernah damailah nusantara Melayu ini. Bedebah Belanda!” Begitulah gejolak perkiraan jiwa Manan. Darahnya kian menggelegak! Semangat juangnya sudah Merapi!
(21) Pak Dolmat dan Ibu Aishah, ibunya Manan, yang duduk terselimpuh di samping Pak Dolmat, semakin resah. “Ah. Manan ini, tidak habis-habis jiwa merdekanya. Sama seperti kakeknya Abdullah”, bisik hati kecil Ibu Aishah, antara bangga dan resah. Kakeknya Abdullah, dulu-dulunya sanggup dia bertarung dengan segala macam bentuk macan, samada benar atau jelmaan dalam usahanya mendirikan desa ini. Tidak gentar dia berdepan, biar hanya sendirian, dengan apa juga ancaman dalaman dan luaran, demi menegakkan desa ini. Maka kerana keberaniannya itu, banyak teman, mengusulkan agar desa ini di namakan Desa Tualang, atas ingatan bahawa tumbuhnya desa ini adalah kerana keteguhan dan kekuatan pendukongnya menantang segala pertualang yang menghambat terbinanya desa ini.
(22) Ya. Desa Tualang. Kerana matinya para pertualang, segala harimau yang memamah para kambing, sapi dan kerbau dan sesekali teman-teman seperjuangannya kakek Abdullah, juga kalahnya para ahli sihir yang hasad dengki saban malam menjelma menjadi harimau jadian, kini Desa Tualang berdiri gagah dan diimpikan oleh kakek Abdullah agar Desa Tualang adalah pelindung bagi anak cucunya nanti untuk boleh menjadi manusia merdeka dan hidup penuh kesejahteraan sambil terus berbakti kepada Allah subhanahuwatala. Desa Tualang, mimpinya, mesti tumbuh dan gagah juga seperti pohon Tualang dengan banir dan dahan yang tegap-tegap. Itulah gagasan kakek Abdullah, biar kecil namun panjang menjalar, teguh, mengakar sehingga ke anak cucunya, itu amanatnya, dan sering diperkesahkan Pak Dolmat kepada Manan semasa bocahnya. Tualang diabadikan sebagai lambang jiwa yang berani, jiwa yang tidak takut, jiwa merdeka, demi kemandirian rakyatnya, bangsanya. Itulah warisan peninggalan Kakek Abdullah yang mahu diturunkan kepada anak cucu dan bangsanya. Tidak sanggup Manan, mengecewakan sumpahan kakeknya. Itulah keresahan yang kian merusak pertimbangan akal dan jiwanya. Tidak sesekali Manan sanggup melihat tumbangnya Desa Tualang di tangan penjajah. Inilah desa hasil tumpahan keringat dan semangat juang sejati kakeknya. Dia mesti pertahankan Desa Tualang, Desa yang menjegat kemaraan Belanda ke Palembang. Jika tumbang Desa Tualang, maka tumbanglah Palembang. Itu Manan pasti, dan dia tidak sekali-kali mahu itu terjadi. Biarlah Desa Tualang terus merdeka!Biarlah kemerdekaan Desa Tualang terus digalas darah dan lumat tubuhnya, itu mahunya Manan, yang amat meresahkan Pak Dolmat dan Ibu Aishah.
III: KEKHILAFAN
(1) Dalam benak Pak Dolmat, Manan tidak boleh hanya menghunus keris, mecabut golok, dan mencacak tombak dalam menantang gelombang arus kemaraan Bangsa Barat yang hebat menawan seluruh dunia ini. Pak Dolmat telah menyaksikan bagaimana keris, golok dan tombak sudah tidak ampuh menantang kekuatan Belanda ini. Sedang Manan terus mundar mandir, Pak Dolmat berkira-kira dengan Ibu Aishah, untuk mengirim saja Manan ke Malaya. Di sana, di Kelang sudah ramai rakan-rakanya hijrah dan khabarnya mereka sudah agak aman, boleh bertanam padi, kelapa dan karet. Namun dia sadar, tidak mudah untuk menyakinkan Manan untuk berangkat ke Kelang. Dia pasti Manan mahu ke Tanah Jawa, untuk bergabung bersama bala tentara rakyat Indonesia, mengibarkan panji-panji perjuangan, lambang kemerdekaan bangsa Indonesia, yang tengah di perjuangkan namun kini dalam cabaran yang amat dahsyat oleh Belanda ini. Khabarnya sudah tumbuh angkatan anak-anak muda pimpinan Sukarno sudah menyarung peci, tengah berjuang dengan jari dan kepala, bukan sekadar menyinsing lengan dan membuka dada, mahu memerdekakan seluruh Indonesia.
(2) Pak Dolmat dan Ibu Aishah, berkira mereka harus bertindak pantas, sebelum Manan melangkah pergi, mengamuk atau mungkin terkecundang di muncung senapang para tentera Belanda itu, mereka mesti memujuknya supaya hijrah jauh dari kemelut perang Belanda ini. Mereka tidak mahu anak tunggal, wira tunggal, waris tunggal mereka itu terkubur tanpa waris yang boleh berjalan lebih jauh. Berjalan lebih jauh mengheret harga diri bumi tercinta, bangsa tercinta ini. Tinggi, setinggi puncak segala gunung, tingginya pengharapan penyambung waris Pak Dolmat dan Ibu Aishah pada anak mereka si Manan.
(3) Senja kian bertandang. Remang mentari semakin hilang. Angin deras kini sudah bertukar sepoi-sepoi. Para engkerik sudah mulai bernyanyi semakin lama semakin meriah sambil disahut selasih yang berkinja-kinja seperti juga sedang turut mengamin penutup pidato Manan. Para lelaki yang memenuhi ruang laman sudah diarah pulang mengawal rumah masing-masing. Pak Dolmat perlahan-lahan sambil terbongkok-bongkok menghampiri anaknya. Sedang Ibu Aishah, sudah ke dapur sibuk menyediakan makan malam. Manan, seru ayahnya. Ayuh kita mandi. Kita solat maghrib dulu. Dengan seruan itu, Pak Dolmat bisa mematikan seketika hati panas Manan. Perlahan-lahan kedua-dua Manan dan Osman menuju perigi tua di belakang rumah untuk mandi. Dingin air perigi tua, perlahan-lahan menyejukkan darah amarah Manan. Air wudhuk pula kian meresap dalam darah dagingnya dan urat saraf kepalanya. Sebak hatinya sudah usai, dia kian aman. Kini, Manan dan Osman telah bersedia untuk shalat berjemaah bersama ayah, dan ibunya. Kemudian dengan sengaja, Pak Dolmat meminta Manan melaungkan azan dan ikamah. Lantas sekeluarga mereka sujud berbicara denganNya, memohon petunjuk dan restu akan jalan benar dan lurus di depan yang akan mereka lalui.
(4) Usai memberi salam, secara sendiri, dan pada hatinya yang sangat tulus, pada jari-jari tuanya yang halus dan kurus, pada bibirnya yang sudah layu, pada lidahnya yang terketar-ketar, Ibu Aishah memohon kepada Allah yang maha kuasa, agar terpeliharalah sumpah ayahnya Abdullah, agar tanah Tualang akan terus selamat dan makmur. Dia mengadah, menadah, mengalir aliran mata putih bening, memohon dari dalam hatinya, agar jiwa dan fikiran anaknya Manan bisa diatur supaya patuh akan nasihat bapanya. Biar dia hijrah saja, seperti hijrahnya Muhammad atas ancaman musibah Quraish. Mengasing dulu, seperti Ismail dan Hajar, sehingga kemudian menjadi bangsa besar. Merentas Selat Bangka seperti Musa membelah Nile menyelamat bangsa Yahudinya dari bencana memusnahkan Firaun. Hijrah, satu-satunya jalan bagi mengumpul kekuatan, dan begitulah pertunjuk Allah bagi ikutkan umatnya yang sedang dalam musibah yang tak kepalang.
(5) Bagi terus mengamankan suasana, juga atas firasat panjang Pak Dolmat, dicapainya, sebuah Al Quran tua, sambil matanya memberi isyarat pada Ibu Aishah agar menghidang makanan malam, Pak Dolmat perlahan-lahan membaca baris-baris kata Tuhan lalu sedikit-sedikit menyatakan maksud Jawanya akan kata-kata itu. Sudah terencana sejak tadi, Pak Dolmat mengabungkan beberapa ayat dari Surah Yusuf, Musa, Noh, Ibrahim, dan Hijrah Muhamad ke dalam bacaan dan tafsirannya. Di belakangnya, dia tahu Manan dan Osman akan duduk taat meneliti bacaan dan tafsiran ayat-ayat Allah olehnya. Sengaja dia memilih ayat-ayat yang jelas menyatakan kepayahan dan segala dugaan yang terpaksa dilalui para pesuruhNya, sedang semua itu dihadapi mereka dengan penuh ketenangan dan kesabaran dalam menangani segala suasana berat dan sangat mengetirkan.
(6) Sebagai lazimnya, bacaan Al Quran Pak Dolmat akan diikuti dengan Isya dan kali ini Osman dipinta azan dan ikamah, sedang Manan kemudiannya dipinta mengimani shalat. Usai segala munajat padaNya, mereka menikmati bersama hidangan malam yang ringkas namun menyelerakan. Gulai asam sulur lompong, gulai lemak lele panggang, gorengan gerih sepat, dan sedikit lalapan, membuat suasa santapan sekeluarga yang amat bahagia bagi Ibu Aishah. Manan kelihatan berselera seperti biasa. Ibu Aishah memerhati rapat lagak anaknya, lagak sebagai wanita mithali, biar Manan hanyalah seorang anak darjatnya, namun, adat Melayu yang memberi hormat tinggi pada anak lelakinya yang bakal membela keluarga dan bangsanya, dia meladeni Manan dengan penuh hormat dan kasih sayang yang sangat dalam, tiada bedanya dengan ladenannya kepada sang suami Pak Dolmat. Ibu Aishah, sangat ingat akan pesanan arwah ibunya: “ladenilah anak-anak dan suamimu dengan air tanganmu sendiri, kerana itu pasti mereka akan tetap bersama kamu”. Itulah petua, itulah warisan nasihat yang bukan hanya dia sering ingati, tetapi dipatuhi sehingga akhir hayatnya. Dia tahu, air tangannya pasti akan dapat mengikat talian rohani yang kuat antara dia bersama sang suami dan anaknya.
(7) Usai segala, dan dengan hidangan air kopi tubruk pekat, Pak Dolmat sudah menyusun acara untuk berbicara dengan anaknya. Dia tahu air wudhu dan segala ayat yang telah dibacakan tadi sudah jauh mengendurkan segala kepanasan dada anak jagoannya ini. “Manan”, Pak Dolmat memanggil anaknya lembut. “Mari ke sini, bapak sama ibumu mahu bicara dengan kamu. Duduklah di sebelah bapak ini. Mari, bersaksikan pelita ini, biar bapa katakan bahawa, perjuangan pembebasan ini sudah bermula. Dari api semangatmu, ayah pasti gerakkan kemerdekaan kita akan menjalar hebat”, bicara Pak Dolmat secara lembut dan hormat pada anaknya Manan. “Sebentar lagi, anak-anak bangsa kita akan bangkit. Negara kita pastinya akan merdeka lantaran keberanian Angkatan Pemuda Bangsa pimpinanmu dan teman-teman muda lainnya. Namun, kemerdekaan itu, jika dicapai hanya dengan perjuangan lengan dan dada telanjang, pasti akan punah kembali jika tanpa pengisiannya”. Sambil bersila rapat, Pak Dolmat terus berbicara dengan halus dan hati-hati, sambil merenung tajam ke dalam anak-anak mata si Manan. Sedang dalam sanubari Pak Dolmat diwiridkan sebanyak mungkin ayat Kursi dan dihembuskannya nafas Kursi ke muka Manan, agar dengan doa semoga hati anaknya akan patuh dengan segala perhitungan yang beliau akan perkatakan.
(8) “Begini, anakku, sambung Pak Dolmat, engkau pasti tahu, paman-pamanmu di Malaya sering berutusan kemari. Mereka tampaknya sangat berhasil di sana. Ya mereka membuka madrasah, perkampungan baru, bahkan sudah ada jadi pedagang yang berjaya dan sering ulang-alik ke Tanah Jawa dan Palembang ini. Ayah juga dengar, negaranya Malaya itu banyak sekali menjemput para bijak pandai kita ke sana, buat mendidik anak-anak Melayu di sana tentang apa saja ilmunya yang mereka boleh dapati. Sangat tinggi nampaknya akal Melayu Malaya itu, mereka sedang hebat menuntut ilmu, dan mungkin dengan cara itu bisa nanti mereka bersatu tenaga akal bagi mengalahkan Inggeris yang menjajah dan menjarah segala timah, besi, karet, dan segalanya yang ada di sana. Maka, kita mungkin dapat belajar dari akalnya Melayu itu. Sememangnya Malaya itu hanya sebuah negara yang kecil, namun tidak mengapa kita belajar dulu dari yang kecil. Biarpun mereka kecil, namun jika akal dan gaya mereka besar, pasti ada juga kebaikannya kita belajar dari yang kecil-kecil dulu’. Saran Pak Dol kepada anaknya Manan.
(9) “Di negara kita ini, sudah ada gerakkan mahu memerdekakan Negara, para kiai dan ulama kita sedang dengan perlahan-lahan mengumpul kekuatan tenaga bagi mengadu kemerdekaan kita, namun, kita tiada pengisian ilmu yang mantap. Partai Budi Utomo dan Sarekat Islam telahpun berkembang luas. Bapak sadar betapa tidak enaknya kalian melihat betapa biadapanya Belanda, merampas kuasa urusan negara ini dari tangan kita anak-anak pribumi. Juga kita sadar betapa Kraton Sultan Yogyakarta, lambang keagungan pemerintahan bebas kita, kini sudah tumbang, terkubur martabat sultannya. Para sultan itu, suatu waktu adalah payung bangsa kita, kini sudah diperlakukan seperti anak-anak sampah pinggiran jalanan. Bapak sadar, semua ini, kemerdekaan dan harga diri bangsa kita perlu dibina kembali. Maka, kalianlah, anak-anak muda baru Indonesia ini yang harus punya akal yang lebih tajam dan bijaksana bagi memperjuangkan kemerdekaan kita. Keris, golok, dan tombak kita sudah tidak ampuh lagi untuk melestarikan kedaulatan ini. Tumbangnya Makasar, Surabaya, Yogjakarta, Betawi, Bandung dan paling lewat Medan sudah jelas menunjukkan bahawa keris, golok dan tombak sudah kelewatan, sudah tidak ampuh buat mempertahankan kemerdekaan bangsa kita. Semua persenjataan itu biar sehebat mana pemegangnya, sudah tidak mampu mempertahankan bangsa. Maka, perjuangan kedaulatan ini mestinya diperkukuhkan dengan ilmu dan kepintaran. Maka, anakku, wajar bagimu dan semua teman-teman mudamu hijrah dulu ke Malaya, isikan dulu dada kalian dengan segala ilmu yang ada di sana. Kalian bersatu dulu dengan bangsa kita yang telah mengunsi ke sana. Bergabunglah kalian dengan anak-anak Melayu di Malaya sana. Semangat dan keberanian juang kalian harus dijalankan dengan akal yang panjang dan halus. Tidak hanya pada rasa dan gegar suara sahaja. Kalian ke Malaya dulu, undur dulu ke sana. Undur mencari akal dan ilmu yang lebih kuat dari segala semangat dan api rasa. Itulah usul tegas Pak Dolmat pada Manan”. Sedikit keras suaranya. Sangat pasti tegaknya. Matanya merenung tajam kedua mata Manan. Dan Manan pasti, saran ayahnya sudah tidak boleh dibantah. Durhaka jika dibantah. Ini saran bukan untuk merosak, ini saran untuk menang yang panjang. Manan kian sedar. Payah untuk dia membantah. Manan kian kelu, keras tempurung kepalanya kian lembut. Otaknya kian menerima, perlahan-lahan saranan ayahnya.
(10) “Suatu waktu dulu, sebelum datangnya Hindu ke sini, bangsa kita adalah bangsa pelaut. Bangsa kita merantau dari pulau ke pulau. Sebetulnya, asalnya bangsa kita punya jiwa yang sangat berani. Bangsa kita sanggup membelah samudera menguasai seluruh nusantara. Kita tawan semua pulau-pulau di nusantara. Dari sana kita kembang menjadi bangsa pedagang yang hebat. Maka bila Hindu itu datang, dagang kita menjadi kian kembang. Bangsa kita menjadi penghubung antara Arab dan Tionghua. Semasa pemerintahan Sriwijaya dan Majapahit, Surabaya telah menjadi kota dagang yang besar. Perusahaan dagang kita kembang ke timur jauh dan juga ke barat sehingga telah dapat dihidu oleh Christopher Columbus, Vasco Da Gama, dan Cornelius de Houtman. Bangsa kita asalnya adalah bangsa besar. Cuma, kita terus leka dengan keris, golok, dan tombak maka dengan itu tanahair kita terlepas ke tangan penjajah barat. Percayalah, ini sudah bukan zaman kita hanya harus bermain keris, golok dan tombak. Kita mesti boleh mencari dan berbuat lebih dari hanya bersilat, berkeris, bergolok dan bertombak!” Pak Dolmat terus memperkukuh hujahnya.
(11) “Bapak juga telah lama perhatikan”, Pak Dolmat terus menyambung bicara tajamnya. “Kita di sini, sangat kuat menyelami ilmunya agama. Di setiap kampung pasti ada saja madrasah. Anak-anak kita dididik para kiai agar sentiasa berkupiah dan kerundung putih agar putih fikiran dan hati mereka. Itu bagus buat pribadi moral anak bangsa ini. Kita bangga anak-anak kita sudah pada kumpul memenuhi segala ruang sholat di masjid dan surau-surau. Saban sore, kita kagum mendengar suara lunak puteri-puteri kita mengaji Al Quran. Semua ini telah menjadikan anak-anak bangsa kita menjadi seperti sangat taat akan suruhan Allah dan punya hormat diri yang sangat tinggi. Namun kita juga mesti fikirkan tentang lestarinya hidup ini. Rakyat kita kian biak. Kita perlu punya fikiran jauh dari hanya mengasuh tentang keimanan, kita mesti juga mencari ilmu untuk hidup dan mendokong tugas kita sebagai khalifah Allah di bumi ini. Kita sudah tidak boleh, hanya ikut satu jalan, sedang jalan kehidupan yang lebih luas tidak kita lihat dengan fikiran yang lebih tajam. Kita kejari syurga. Kita kian lupa kehidupan di dunia. Kerana kelalaian satu ini maka kita telah khilaf dalam memperkuatkan diri dengan segala kepintaran mengamankan negara dan memakmurkan rakyat. Maka kita, biar saja kuat hatinya, namun lemah tenaganya. Maka dengan itu, biarpun Islam telah memerdekakan kita, namun Belanda, masih boleh meruntuhkan benteng kedaulatan kita. Hanya kita inginkan syurgawi, sedang kita lupa duniawi, samalah seperti yang kita amalkan di zaman pemerintahan Buddha dan Hindu. Tiada bedanya. Syurga kita hambat, dunia kita lupa sehingga kita jadi lemah, sehingga kita tetap jadi hamba. Kita telah khilaf dan kita terus khilaf. Terlalu khilaf, kita telah bangunkan banyak Madrasah, bertaburan, buat menyatukan iman kita. Namun kesatuan iman itu perlukan kekuatan martabat lahiriah. Biarpun iman kita tinggi, jika kehidupan kita lemah, akan goyah juga iman kita, Muhammad, penghulu agung kita telah berpesan tentang itu. Kita mesti siap mempersenjatakan diri dengan Iman dan kelengkapan hidup. Kita tidak boleh tutupi kesengsaraan dan kesempitan hidup ini hanya dengan iman. Rakyat kita kalah di tangan Belanda, kerana mereka rata-rata masih sengsara dan payah hidupnya. Mereka masih terlalu lemah untuk menghidupkan diri. Juga, yang Satu, telah mengingatkan kita, sebaiknya selepas bermunajat kepadaNya, Dia mahu kita mengejar kehidupan. Tidak pernah Dia mahukan kita hanya bermunajat kepadaNya. Tidak pernah ada riwayat tentang Muhammad hanya menghabiskan seharian di Masjid. Tiada suruhan seperti itu. Muhammad, biar dia manusia pilihan, terus saja dia mencari hidup untuk kehidupannya sendiri. Tidak dia hidup dalam ikhsan sesiapapun. Dia hidup pada tangannya sendiri. Manan, anakku, kita telah khilaf akan langkah amalan Islam kita, kita pegang satu, kita lupa yang satu lagi. Tidak mungkin Tuhan akan melihat kita dengan sepenuh kasih sayangNya selagi kita terus-terusan khilaf sebegini”. Inilah kata-kata hikmah yang selama ini telah terpendam lama dalam dada Pak Dolmat. Semuanya kini tercurah, dicurah pada anak tunggalnya. Pak Dolmat seperti hendak membalas dendam, dendam akan masyarakat kiai yang selama ini memandang serong akan fikirannya. Segalanya kini tercurah bersama linangan air mata yang kian mengalir dari kelopak mata Pak Dolmat. Ibu Aishah yang mengerti dalam derita jiwa sang suami tertunduk terus dengan air mata yang telah lama bercucuran.
(12) Antara jelas dan tidak. Dalam sebak dan linangan air mata kesal, Pak Dolmat meneruskan bicara sahdu hatinya. “Cuba kau lihat, anak-anak lelaki yang keluar dari segala Madrasah, memang hebat imannya, memang hebat pidato imannya. Saban malam pasti mereka jadi jaguh bangsa menuntun sembahyang para khariah, menebar segala ilmu rohaniahnya kepada segala makmuman, saban malamnya begitu, namun di siang harinya, apakah mereka bisa menunjuk teladan hidup yang mencari kehidupan yang lebih sempurna, buat keluarga dan bangsa? Lihatlah beberapa mereka yang ada di desa kita ini, setelah sekian lama, kehidupan keluargannya tetap tidak kuat, masih terus sengsara dan sempit. Anak-anak itu, seperti hanya bisa beramal untuk dirinya sahaja, kurang atau tidak ada kebijaksanaannya untuk membangun bangsa. Juga lihat para puteri yang keluar berkerundung rapat, apa ilmu pengurusan keluarga yang telah mereka pelajari. Tahu mereka hanyalah agar terus taat pada perintah Allah dan suami. Sememangnya itu baik, mulia tetapi taat yang sebagaimana? Hanya taat pada yang rohaniah! Bagaimana kebutuhan lahiriah? Begitulah, Manan, betapa kita telah pincang, tentang pengajaran dan pendidikan anak-anak bangsa kita. Kita tampaknya, sudah terikut-ikut gaya pendita Buddha dan Hindu dalam menanamkan ilmu batiniah di dalam darah dan daging bangsa kita. Kita telah khilaf besar!” Begitulah panjangnya hujah Pak Dolmat, sambil matanya telah bertukar merah menyala, menahan air mata kesal akan kekhilafan bangsanya. Sedang Ibu Aishah, sudah beberapa kali ke dapur mencuci mukanya bagi menghilang air mata yang telah lama mengalir deras mendengar akan segala bicara perih sang suami kepada anaknya.
(13) Sejak sama berumahtanga, Ibu Aishah sadar, telah banyak kali, Pak Dolmat bertengang urat dengan para Kiai yang mengurus Madrasah di hujung kampungnya. Pada Pak Dolmat, dia mahu, para anak Madrasah bukan hanya belajar mengaji, menghafal Al Quran, bersembahyang, petah berpidato tentang hukum halal dan haram, dia telah berulang kali, mahu agar para Kiai turut mengajar anak-anak itu tentang ilmu untuk hidup. Ilmu bagi membangun masyarakat supaya terlepas dari hidup hari ini hanya untuk hari ini. Pak Dolmat, dengan tegas mahukan anak-anak itu kental imannya, dan kuat ilmu hidupnya. Dia mahu, biarlah anak-anak itu, bersama kekuatan imannya, dengan penuh kesadaran dan keikhlasan, akan tumbuh menjadi wira yang boleh membebaskan bangsa ini dari segala kepayahan dan kesempitan hidup, agar bangsa ini akan terus tinggi nilai kemanusiaannya. Itu mahunya. Namun, saranannya tidak dipedulikan. Malah fikirannya kian dipandang serong. Pernah dia dikecam sebagai materialis, tersesat menuju kekafiran!
(14) “Manan”, tegas Pak Dolmat menyambung lagi, “pernah kuceritakan kepada kamu akan cerita dari Tanah Melayu di seberang sana, cerita para paman dan teman-teman mereka, betapa Inggeris telah dapat menantang dan mengalahkan Belanda, biar Belanda telah terlebih dahulu keliling dunia, menguasai segala benua. Semua ini, kerana, Inggeris, puak Anglo yang menjadi tunjang bangsanya Inggeris itu, bukan hanya mengamalkan cara hidup kristus mereka, tetapi mereka telah belajar kuat tentang ilmu duniawi, sehingga keduanya digabungkan, menjadikan mereka itu bersatu, bisa menyatukan seluruh Raja-raja Inggeris di bawah payung negara besar dinamakan United Kingdom. Mereka tidak hanya puas di situ, dengan kekuatan duniawi mereka, dengan kesatuan Raja-raja mereka, maka mereka telah dapat mengalahkan bukan hanya Belanda, bahkan Portugis dan Sepanyol. Maka dengan segala tanah taklukan dan jajahan mereka, maka mereka membiak menjadi Great Britain, satu empayer moden, yang setanding dengan segala empayar dulu-dulu yang telah lemah dan punah, lantas menjadi kuasa yang sukar ditandingi bukan saja dari soal kuasa duniawinya, namun mereka juga telah menebar agama Kristus ke serata dada dunia. Nah, coba kau lihat, betapa ilmu duniawi itu amat penting bagi mandirinya pegangan syurgawi kita”, sambil menghembus nafas panjang, Pak Dolmat melihat terus ke dalam mata Manan. Dalam hatinya, Pak Domat berbisik, “anakku kau dengarlah nasihatku ini”, sambil mengembus terus nafas Kursi ke muka Manan.
(15) Begitulah hebatnya akan akal dan petahnya lidah Pak Dolmat dalam usahanya bagi meyakinkan Manan agar mencari kebijaksanaan yang lebih hebat dari hanya keris, golok dan tombak untuk menjadi perwira bangsa.
(16) “Aku tidak mahu kalian terus berada di sini. Sampai waktunya, kita akan kalah juga. Belanda itu sangat kuat tekadnya, semua itu kerana tinggi ilmu hidupnya. Aku tidak mahu melihat nantinya kalian kecundang lantas jadi hamba di kebun karet, kebun cengkeh, atau mati dihujung bionet Belanda itu. Tidak boleh kita jadi begitu. Ke Malaya dulu kalian, jika sudah aman nanti, kalian bisa pulang dan menjadi pendokong agung kemerdekaan ini. Biar ayah dan teman-teman yang lain bertahan di sini buat mengalih dulu mata Belanda ini. Pergilah ke Malaya, belajarlah jadi pedagang, pengkarya, kemudian pulanglah jadi pengerak membina bangsa kita ini. Usah khuatir tentang nasib kami, kami telah dulu tumbuh di sini, biar payah, kami pasti boleh hidup biar hanya sekadar seperti ulat dalam batu”, Pak Dolmat berhujah terus bagi memperkokoh sarannya pada Manan.
(17) Jelas sepanjang bicaranya, dada Pak Dolmat seperti ombak Selat Bangka tika gelora moonson Timur Laut, naik turun dengan kencang. Goncangan kekesalan dan amarahnya, yang tersimpan sekian lama di dalam dadanya kini terhembus semua lewat nafasnya yang juga deras dan panas bagai hembusan angin ribut Selat Bangka. Sedang Ibu Aishah, terus saja mengurut-ngurut belakang kedua manusia jantan di sisinya, sang suami yang telah terlalu lama menahan perih jiwa kekesalannya, dan sang anak yang tengah bergelora mahu menghunus keris, mengenggam golok, menancap tombak mahu menantang Belanda. Dalam diam, Ibu Aishah berdoa kepadaNya, agar kedua-dua lelaki di sisinya itu jangan sampai hilang pertimbangan. Dengan diam juga dia seperti sadar betapa saat ini, dia hanyalah selemah-lemahnya insan, bila berdepan dengan api semarak semangat sebenar kelelakian sang suami dan anak jantannya.
(18) Sambil terus mengusap-ngusap lembut belakang anaknya, Ibu Aishah, menambah, dengan nada sebak tersekat-sekat, dia seperti merayu kepada Manan, “pergilah nak. Ikutilah nasihat ayahmu. Kamu usah khuatir, doa kami akan tetap bersama kamu. Kakek kamu, Abdullah akan turut mengiringimu ke mana saja engkau pergi. Semangat dan rohnya pasti akan sentiasa mengiringi kamu. Dia pasti setuju dengan ayahmu. Percayalah kami akan selamat. Dulu pun para macan lebih ganas dari Belanda, namun kami masih boleh mengalahkan mereka”. Air mata kasih Ibu Aisah kian tumpah deras. Nafasnya kian tersekat-sekat hebat. Dia mengharapkan, air mata kewanitaan dan keibuan, senjata sulit terakhir anugerah Ilahi pada dirinya itu, bisa melembutkan hati Manan agar menuruti akan nasihat ayanya. Dia menatap sayu muka anaknya, sangat mengharap ketaatan dia atas kata-kata dan saranan ayahnya.
(19) Manan mendongak melihat tepat wajah ibu dan ayahnya. Wajah tua, pipi yang penuh dengan sejuta kedutan tanda garis-garis kepayahan yang telah mereka lewati, tubuh yang kian kurus, kian lembut dan longlai, cuma dada mereka masih kuat melepas nafas hebat api perjuangan yang ingin mereka perturunkan kepadanya. Pada usia dan pada perjalanan hidup yang cukup matang, dari bibir mereka terpancul hujah-hujah halus dan tajam yang sukar dia nafikan. Hebat nasihat mereka itu. Jauh menusuk ke dalam hatinya, tentang kebenaran bicara ayahnya. Osman, sesekali memandang Manan, dan perlahan-lahan dia mengangguk-nganguk kepalanya tanda setuju. “Baik, Manan”, tetiba, Osman mengusul. “Biar aku pulang dulu ke Riau. Kau menyusulku kemudian. Aku akan kumpul beberapa teman lagi. Kita berlayar ke Kelang, ke Malaya dalam sepurnama lagi. Akan aku persiapkan semuanya. Usah kau khuatir, ayahku tentu setuju dengan usul ayahmu. Aku akan bicara dengan dia”.
IV: LANGKAH JANTAN
Betawi kota yang kian kembang dengan segala dagang rempah dari segala kepulauan di timur dan barat Jawa yang telah sekian lama bersemarak dagang dengan pedagang India, Arab, dan Tionghua, kini telah sekian lama dikendong kuat kuasa Belanda. Dagang rempah, emas dan beras sudah tidak terjalan secara bebas. Segalanya sudah hanya terbatas. Segalanya harus terjalan dengan segala jenis cukai dagang: pajak yang sukar dimergertikan rakyat. Rakyat biar terus miskin kian terjepit hidup, terpaksa mereka membayar pajak. Pajak sudah dijadikan alat Belanda buat mengcengkam kuat seluruh Indonesia. Namun, hasil segala pajak ini, bukan untuk rakyat, tetapi buat mengisi kantong Belanda segala. Sejalan juga, segala akal, kekuatan senjata hingga ke budaya Belanda sedang dikembang kuat bagi memastikan tanah Jawa khususnya akan terus jadi tanah cengkaman jajahan Belanda. Buminya, budayanya, segalanya Tanah Jawa, mahu di Belandakan. Mereka mahukan bangsa Indonesia itu jadi bangsa Jawa Belanda!
(2) Sedang di sebuah desa di pinggir Betawi, Desa Guntur namanya, adalah sebuah desa tani, dengan segala rakyatnya hanya tahu membanting keringat untuk hidup sekadar hidup, cuma bersawah. Rumah-rumah rakyatnya hanya terbina dari belahan bamboo dan atap rumbia, sebetulnya bukanlah rumah, hanyalah gubuk:pondok sekadar untuk berteduh dari mentari dan hujan. Saban tahun, kian banyak anak-anak perantau dari desa-desa bersesak berebut lahang:ruang untuk mencari hidup di Desa Guntur ini. Kehidupan mereka, bukan hanya miskin, tetapi kian melarat seperti tikus sedang empet-empetan bersarang di rumah-rumah usang ditinggalkan. Jalan-jalan hanyalah batas-batas sawah. Mandian hanyalah di lopak-lopak, ada kalanya berebut bersama kerbau sawah. Penjarahan Belanda, telah secara perlahan-lahan menjadikan Betawi kotaraya kemelaratan, menumbuhkan desa-desa metro yang empet-empetan dengan segala kesengsaraan.
(3) Namun berbeda di pusat Kota Betawi, segala kebesaran Belanda sedang hebat dibangunkan. Gedung, kantor, sekolahan, gereja, rumah-rumah pemerintah, mubaligh dan tentara Belanda semuanya dibangun dengan sempurna. Pusat-pusat dagang juga sudah biak dengan kelab-kelab hiburan yang sangat mengasyikan. Jalan-jalan kota sudah diperluas dan dibangunkan dengan baik. Mobil-mobil sudah mulai datang bergelutan dengan segala kereta lembu, kuda dan beca. Semua ini adalah atas biaya pajak yang dikumpul dari seluruh rantau Indonesia, sedang yang membayar pajak terus saja dipinggirkan. Semua ini dinikmati sepenuhnya oleh orang-orang Belanda, sedang anak-anak asal Betawi dan pribumi lainnya hanya mampu melihat di pinggiran jalan saja, melainkan hanya yang sedikit.
(4) Gelagat para perdagang Tionghua, India dan Arab juga sudah kian berbeda. Dulu mereka cukup harmonis hanya berdagang dengan masyarakat pribumi. Hormat dan setia mereka sudah tampak goyah dengan hadirnya Belanda. Pedagang-pedagang Arab, yang kebetulan hadirnya mereka adalah sebahagiannya mahu menebarkan Islam, kini kian meminggir ke desa-desa dan kota-kota yang lebih kecil untuk lebih hampir dengan anak-anak pribumi Muslim. Sebahagian dari mereka sudah mulai berkeluarga dengan anak-anak pribumi. Sedang para pedagang Tionghua, kerana perantau sifat mereka, sudah mulai terlalu akrab dengan Belanda. Mereka seperti kian mahu memisahkan diri dengan kaum pribumi. Tumpuan mereka adalah berdagang terus dengan Belanda sehingga gaya dan tatacara kehidupan mereka sudah menyerupai Belanda, mulai menyisih dari kehidupan pribumi. Begitu juga pedagang dari India. Belanda, Tionghua dan India sudah seperti tiga kuasa asing yang sepakat kian mencengkam perekonomian pribumi Indonesia.
(5) Bajeng anak muda ganteng yang tumbuh hasil penjajahan panjang Belanda, bukan kepalang jengkelnya. Kesempitan dan kesengsaraan hidup di Desa Guntur, desa tanah tumpah darahnya, serta puasnya dia melihat anak-anak bangsanya yang kini sekian cukup mudah di dagang para Belanda ini, menjadikan jiwanya kian sempit. Dia melihat anak-anak sedarah dagingnya sudah jadi bangsa tempe, yang lemah dan lembek. Bangsa kapok, yang juga lemah dan mudah dipenyet-penyet, melayang-malaynag ke mana saja di bawa arus angin. Sakit hatinya, melihat bangsanya yang sudah mulai hilang segala harga diri! Pengajiannya di madrasah, membuat dia benci melihat prilaku anak-anak Betawi yang kian lalai hanyut dalam kesenangan limpahan Belanda ini, tanpa menyadari suatu hari, itu hanyalah umpanan, agar mereka akan tetap miskin dan sengsara.
(6) Sejak sekian lama, dia sudah melihat, bahawa dalam usrusan dagang, Belanda mahunya hanya membeli apa saja hasil anak pribumi yang bisa didagang dengan harga yang paling murah, kemudian, entah membawanya ke mana, dan pasti terjual dengan harga yang pasti paling mahal dan lumayan. Anak pribumi membanting tulang, hanya mendapat ampas sedang isi dagang dengan mudah di boloti Belanda. Kalau tidak, masakan mereka tampak sebegitu hebat dan mewah sekali. Teganya, pakaiannya, bahteranya, peralatan perangnya semua hebat-hebat belaka. Dari mana mereka dapat biaya untuk semua itu, mereka tampak tiada berusaha, mereka tidak pernah bertani, kerja keras seperti bangsa Indonesia ini, hanya kembara, dan pastinya semua itu adalah hasil peresan atau rampokan dari semua anak jajahan. Begitulah perkiraan dan kesangsian Bajeng pada manusia-manusia Belanda itu, mereka dan para pendita Hindu adalah sama saja, melainkan berbeda caranya, namun tetap sama tujuannya. Inilah musibahnya, bila kuasa mengurus bangsa sudah terjual tergadai ke tangan penjajah!
(7) Mata dan hati Bajeng sudah tidak tertahan dan enggan lagi melihat anak-anak bangsanya dipersundal Belanda keparat itu. Sudah sekian lama bangsanya terjajah budaya dan fikiran. Mereka tampak sudah asyik sama hiburan, menghias anak-anak gadis manis seindahnya lalu berhibur seenaknya, kota-kota sudah dibangun dengan segala rupa yang bisa melekakan. Saban waktu bila melihat kereta kuda dan mobil-mobil para Belanda lewat di jalanan hanyir Betawi, pasti ada tersorok gadis-gadis, anak-anak bangsa yang munggil-munggil, manis-manis pada raut dan darah, manis pada pengertian hidup, masih hijau segala, seperti pucuk paku yang masih paling enak dibuat tumis, kini gadis-gadis ini, dari mana saja, dari Jogyakarta, Surakarta, Bandung, Betawi, atau dari mana saja, jadi hiburan dan hidangan badan, tangan kotor rakus para Belanda itu. Sedang para pemuda bangsa hanya bisa berdiri kaku meleleh air liur melihat puteri-puteri bangsa tergadai tanpa pembelaan. Begitu pilu dan seksanya Bajeng melihat akan bangsanya yang sudah menyerah, sehingga sampai kepada bunga puteri bangsanya kepada para Belanda ini. Sri kandi bangsa kini adalah onar yang mengaibkan! Begitulah, bentak hati Bajeng melihat akan anak-anak gadis yang tengah dipersundal dan menyundal diri. Pilu hatinya bagai ditancap pecahan kaca botol kicap, memikirkan betapa dari tubuh-tubuh puteri-puteri sundalan ini akan tumbuh bangsa baru, bangsa kopi susu, campuran darah dan nafas kotor para Belanda dan hati kotor para puteri ini, dan dari mereka akan tumbuh dan biak, kemudian menjadi manusia yang akan mendokong negara bangsa ini. Alangkah, musibah bakal bertandang menyergah Indonesia, bila mereka ini, bangsa kopi susu yang tumbuh dari segala kotoran ini, memimipin bangsa kebanyakan nanti! Pasti akan kotor juga hasilnya! Menjijikan!
(8) Perih hatinya Bajeng bertambah-tambah, melihat anak-anak Indonesia sudah para belajar menulis, bicara, dan mengikuti gaya Belanda segala. Perlahan-lahan kian bertambah para anak pribumi sudah hadir dan berebut-rebut mencari llmu Belanda. Madrasah kian dilupakan. Kian sepi. Kian meminggir. Pengajian, kalau dulu berbicara terus tentang surga dan neraka, kini telah bertukar bicara tentang hidup duniawi segala. Para anak pribumi sudah berebut-rebut mahu belajar cara Belanda, mereka sudah mimpi mahu ke the Hague, Armsterdam, Rotherdam, kiblat mereka sudah bertukar dari Mekah dan Madinah ke sana ke negara ibunda baru. Belanda kini sudah dilihat sebagai negara ibunda, bukan lagi tanah tumpah darah mereka, Indonesia. Adat dan sopan Betawi sudah kian dilupakan, apa lagi tentang hidup dan rukun keIslaman. Moral Islam sudah kian terpinggir. Belanda telah membuka dunia baru, nafsu baru buat anak pribumi. Islam dan segala adat bangsa sudah dianggap mengongkong. Kapitalis dan kebebasan mutlak sudah jadi agama bangsa baru. Kian hari, kian ramai yang menyanjung the survival of the fittest. Hidup bermasyarakat, bermoral, beradap ketimuran kian terpinggir. Dulu hadrah, marhaban, kini sudah diganti irama Belanda yang sungguh enak didengar dan lihat, namun payah diterima adat. Rumah-rumah dansa dan minum-minum memabukkan sudah kian kembang, bertapak kian banyak mengantikan para surau dan masjid. Inilah surau dan masjid baru, tempat bermunajat baru, biar sehingga ke matahari terbit! Kerana di sini, sudah ada bidari dan puteri-puteri pribumi yang tersedia untuk dinikmati, digauli, diratah puas, tanpa menunggu ke surga! Surga sudah terlahir di Betawi, di tangan Belanda!
(9) Para sekolahan Belanda dan sekolah madrasah sudah punya sikap dan status berbeda. Biar anak-anak itu tetep pesek hidungnya, namun para sekolahan Belanda sudah seperti berhidung tinggi lagaknya. Anak-anak sekolahan Belanda sudah memandang hanya sebelah mata pada anak-anak sekolahan Madrasah. Peci kini sudah bertukar tali leher. Jubah putih dan kain pelekat sudah bertukar kemeja lengan panjang dan celana kapas. Kerudung putih sudah mulai terbang jauh. Sudah seperti ada kemelut antara anak-anak sekolah Belanda dan Madrasah. Kemelut kini kian menular jadi tantangan budaya dan fikiran di dalam bangsa Indonesia. Itulah mahunya para Belanda, biar anak-anak Indonesia ini, perlahan-lahan dari menaruh kebencian pada bangsanya Belanda kepada kebencian sesama sendiri. Biar mereka terus saja nanti bertikam sesama sendiri. Biar mereka terus saling curiga, dan membenci sesama sendiri. Biar tiada kesepakatan, tiada kesatuan di antara mereka. Hebat pemikiran Belanda ini, halus, dan sangat tajam, dan panjang kesannya pada toto kromo budaya anak negeri ini.
(10) Paling menghacurkan hatinya Bajeng, duluan para perdagang Tionghua dan India yang begitu akur tentang adat dan kehidupan anak-anak pribumi, kini mereka sudah perlahan-lahan bergaya Belanda. Mereka sudah mulai secara diam-diam menjadi orang ketiga antara Belanda dan pribumi. Mereka sudah mulai menguasai perekonomian anak-anak Betawi dan masyarakat sekitarnya. Belanda sedang menjadikan mereka pribumi di tanah asing!
(11) Kini, Bajeng merenung apa maksud pengajaran dari kiai Solihin di Madrasah pengajiannya masa anak-anaknya, di mana kiai Solihin mahu, kalau terlihat kemungkaran, jika punya kekuatan maka betulkan saja dengan tangan sendiri, jika enggak kuasa, tegurlah, paling lemah sekalipun, berpaling sajalah dari sana. Dalam benak kepalanya, Bajeng berkira-kira, jika kubunuh Belanda ini, pasti lebih banyak Belanda yang akan datang. Pasti lebih keras penindasan mereka ke atas bangsaku. Jika kutegur prilaku anak-anak muda bangsaku yang kian hanyut, pastinya bangsaku akan menantangku, dan tidak mungkin aku bisa melawan mereka, pastinya perjuangkanku untuk merobah bangsaku akan terkubur tanpa batu nisannya. Ternyata mereka sudah terlalu sesat. Dia juga teringat cerita kiai Solihin, bahawa nabi Muhammad saw, dulupun, seawalnya perjuangannya menegakkan syiar Islam, tidak boleh berbuat apa-apa tentang kekufuran kaumnya di Mekah, lantas dia membawa diri ke Madinah, buat mengumpul tenaga baru, supaya bisa dia bangkit menjadi lebih gagah dan jauh lebih maju. Subhanallah, sangat agung ilmu Tuhan, buat pedoman perjuangan ini, bisik Bajeng. Sengaja Dia payahkan perjalanan Muhammad junjungan hanya buat pedoman ummahnya yang bisa berfikir. Begitu maha bijaksana Yang Satu ini. Teguh dan kental keyakinan Bajeng pada petunjuk Yang Satu.
(12) Bajeng, berkira-kira mahu ikut jalanan Hijrah rasullullah. Namun, dia mahu hijrah ke mana? Dia berkira-kira, kenapa tidak ke Pontianak? Di sana, khabarnya masih suci dari noda si bangsat Belanda yang menghancurkan ini. Di Pontianak, diharapkan, bangsa Indonesia di sana, masih bersih dari pengaruh perampok Belanda atau apa juga bangsa asing yang sama. Atas keyakinan itu, Bajeng lantas mengumpul dua puloh teman-teman sehatinya untuk segera berusaha. Kebetulan, di tebing sungai desanya, tersadai sebuah Jong Dagang Tionghua yang agak lumayan besarnya, namun telah agak usang, lalu dibelinya dan secara sembunyi-sembunyi Bajeng dan rakan-rakannya perbaiki dan perlengkapkan jong itu lagaknya seperti sebuah bahtera nelayan. Beberapa orang dari rakan-rakanya adalah para tukang sampan, pelaut, petani, dan pemain keris yang handal. Semua manusia ini, yang pelbagai ilmunya, disatu dan digembeling tenaga urat, hati dan fikiran mereka pada satu tujuan, Hijrah! Mereka mahu Hijrah, bagi membina dan mengumpul kekuatan bagi membersih Tanah Jawa dari tangan kotor Belanda ini. Juga semua ilmu ini adalah penting buat mereka mengatur hidup dan kehidupan seterusnya.
(13) Tiga purnama lamanya, mereka mengatur dan melaksana rencana dan mempersiapkan diri bagi niat Hijrah mereka. Semua kerja harus dibuat dengan hati-hati. Saban waktu ada saja para pengintip Belanda mendatangi mereka bertanyakan apa tujuan pembikinan bahtera itu. Bagi melindungi niat sebenar mereka, disamping kerja-kerja memperbaiki bahtera, sering Bajeng mengumpul teman-temannya membuat pukat, jala, bubu laut, dan kotak-kotak ikan agar mereka tampak seolah-olah sedang siap untuk menjadi nelayan di lautan luas. Tiada sedikitpun tanda-tanda persenjataan dibangunkan di dalam bahtera itu. Bahkan, bila ternampak saja kalangan yang tidak dikenali dan mencurigakan menghampiri mereka semasa bekerja, sering saja manusia ini dijemput ngopi bersama teman-temannya di dalam bahtera yang sedang dipulihkan itu. Semua ini adalah helah halus Bajeng buat menutup segala rahsia rencana mereka!
(14) Tiba waktu memulai pelayaran, ilmu kelautan Bajeng, mengusul agar pelayaran itu dimulai di waktu matinya bulan. Dikegelapan penuh malam, khususnya bila belayar keluar dari Betawi, akan lebih mudah untuk mengelak dari ketahuan para kapal perang Belanda yang mengawal pantai. Kegelapan malam juga akan menjelmakan para bintang dengan lebih jelas, khususnya bintang sebaris tiga, yang memandu arah Baitullah, dan dari situ, akan dapat mereka menetapkan haluan Bahtera mereka pada tujuan sebenarnya. “Syukurlah, Kau ciptakan para bintang itu, bukan hanya jadi teman kegelapan malam, namun juga jadi petunjuk arah keImanan dan perjalanan kami, dan Kau tetapkanlah iman dan semangat juang kami setetapnya dan secerahnya sirna para bintang itu”. Begitulah doa pelayaran yang dipohon Bajeng dan teman-temannya. Mereka memulakan pelayaran hijrah mereka dengan penuh keyakinan.
(15) Dengan penuh semangat akan kembali semula, ke Tanah Jawa ini, nantinya dengan segala kekuatan bagi memerdekakan anak bangsa mereka. Pada malam itu, dalam suasana yang penuh hitam pekat, dalam angin dingin yang berhembus lembut, sayu, dalam penuh kerahsiaan, bahtera Bajeng dan teman-temannya menyusur sepi ke muara, meninggalkan tanah tumpahnya mereka, berlayar tenang ke dalam perut Laut Jawa. Bila mentari timur mulai bangkit dari tidurnya, dengan sirna matanya yang menyala hawa hangat, seperti mengucap selamat kepada sebuah perjalanan tekad anak-anak Betawi; bahtera mereka sudah jauh meninggalkan pantai dan jauh dari pengawasan rapat para kapal perang Belanda yang berlabuh di muara.
(16) Laut Jawa, yang memisahkan kepulauan Jawa dan Kalimantan adalah sangat luas. Lantaran luasnya, Laut itu akan berubah wajah dengan mudah biar dari arah manapun bila angin bertiup kencang. Maka untuk lebih selamat, Bajeng memutuskan agar mereka menyusur ke barat Tanah Jawa dan seterusnya mengutara persisir Sumatera sehingga ke kepulauan Bangka melewati selat kecil antara Pulau Bangka dan Pulau Belitung. Kerana bahtera mereka hanya dikenderai layar, perjalanan mereka menjadi terbatas dengan hadirnya angin yang agak kuat. Takala angin hanya berhembus sepoi-sepoi, mereka akan melabuhkan pukat bagi menangkap ikan buat makanan. Hasil tangkapan yang berlebihan dijemur dan buat ikan kering atau dipanggang. Semua hasil ini, jika perlu boleh dijadikan hasil tukaran barang terutama bagi makanan seperti air bersih, beras, kopi dan gula. Begitulah keadaan mereka disepanjang perjalanan itu. Saban hari hanya berteman gemburan ombak, hawa membahang mentari dan sekekali lewat melayang camar putih berkawan-kawan.
(17) Setelah sepekan lama belayar, mereka memutuskan untuk memeriksa keadaan bahtera dan mengisi semula segala bekalan baru. Mereka memilih Belitung untuk semua kerja-kerja itu. Di Belitung mereka beristirehat selama dua hari bagi memperbaiki segala kecacatan bathera dan mengisi muatan secukupnya sebelum mula merentasi Selat Karimata ke Ketapang.
(18) Dalam waktu sepanjang pelayaran, pernah mereka digoncang perih gegaran samudera yang perlu dirempuh tekad, ada beberapa hari mereka seakan putus harap, bila dilambung hebat ombak ganas Laut Jawa dan Selat Karimata. Ribut dan panas membakar mentari laut mereka hadapi dengan penuh kesabaran dan kesatuan semangat hati, akal, jasad dan setiakawan. Biar penuh gusar, dengan segala kelesuan dan kelelahan, mereka sudah bersumpah yakin apa juga dugaannya, mereka sudah jelak dengan ulah kafir Belanda di Tanah Jawa, mereka lebih rela menempuh apa juga cabaran yang sedang dan akan mereka lalui. Bajeng berkira, segala apa yang mereka telah dan akan lalui adalah dari Allah yang maha pengasih. Seperti juga Muhammad yang terpaksa merentas gurun meluas dan sepi di kegelapan malam sedang para Quraish sedang hebat memburunya, namun tetap Muhammad cekal dalam hijrahnya. Manan pasti, segala dugaan itu adalah ujianNya, seperti juga kepayahan yang terpaksa Muhammad lalui, dalam membina kekuatan yang mesti mereka tempuhi dalam jalanan perjuang kemerdekaan sebenar. Tidak mungkin Dia akan memalingkan mukaNya dari mereka selagi mereka ikhlas dan berfikiran waras tentang tujuan murni mereka.
(19) Maka atas keyakinan kental dan pasrah Bajeng dan teman-temannya kepada Yang Satu, akhirnya, mereka memudiki Sungai Kapuas, lalu berlabuh di luar Pontianak. Biar penat yang mematikan, riak gembira dan syukur terpancar cerah di setiap pipi Bajeng dan teman-temanya, dan tanpa mahu membuang masa, lantas mereka melangkah mendarat tebing Pontianak. Setelah berjabatan dan berbicara sebentar dengan beberapa pribumi Pontianak yang kebetulan berada dekat tebing pendaratan mereka, dan kerana Pontianak itu masih Kota kecil dan belum membangun besar, maka dengan mudah mereka dapat sepakat dengan masyarakat setempat yang sememangnya amat simpati akan nasib rakyat Tanah Jawa, bagi memulakan kehidupan baru.
(20) Di Pontianak mereka membina perkampungan baru di tebingan Sungai Kapuas, di seberang utara Kota Pontianak. Atas usaha gigih dan kesepakatan kental, hidup mereka kian makmur dan Kota Pontianak, saban harinya kian kembang dengan kebanjiran para pengungsi Tanah Jawa. Saban hari juga, Pontianak sedang didatangi pedagang-pedagang Tionghua yang mengembangkan usaha dagang seperti tumbuhnya jamur di pagi hari selepas hujan. Pontianak kian makmur. Rakyatnya kian biak. Kotanya tumbuh cepat. Genap dua tahun sudah mereka membangunkan perkampungan baru di Pontianak.
(21) Tidak jauh dari Pontianak, di bahagian barat lautnya, dikhabarkan kini sedang tumbuh sebuah Kota baru, Kota Sambas namanya. Di sana sudah tumbuh sebuah pemerintahan Melayu yang amat tersusun. Sebuah Keraton juga sudah didirikan dan pemerintahannya sangat asli dan sedang menuju deras kepada pemerintahan Islam. Mendengarkan berita ini, hati Bajeng sangatlah girang sekali, lantas dia dan beberapa teman lainnya terus saja mahu hijrah lagi. Mereka kepingin sekali mahu membantu Raja Melayu ini membangunkan sebuah Kerajaan Islam yang kuat di Sambas. Mereka percaya, dengan semangat dan kekuatan Islam, pasti segala pengaruh Belanda akan dapat dimatikan semati-matinya.
(22) Cita-cita Bajeng adalah untuk menghidupkan persekolahan Madrasah di Sambas. Di Madrasah ini, akan dibangunkannya, dengan segala ilmu yang ada pada diri dan teman-temannya, satu angkatan anak Indonesia yang bukan hanya putih hati dan fikiran mereka, tetapi luas dan panjang akal dan usaha hidup mereka.
(23) Untuk semua cita-cita ini, biarpun, kehidupan mereka di Pontianak sudah kian senang dan mewah, namun Bajeng terus-terusan mengingatkan para pengikutnya, bahawa itu bukan matlamat asal mereka. Mereka mahu membina kekuatan yang lebih kukuh bagi menghancurkan kekuasaan Belanda di bumi Indonesia. Mereka perlu membina kekuatan perjuangan dan bukan kemakmuran hidup semata-mata. Maka Sambaslah titik mulanya segala kekuatan penuh perjuangan mereka perlu dibangunkan. Hijrah ke Sambas ini adalah penting buat menuju ke arah kebaikan sebenar dan yang lebih mulia buat bangsa kita, kita mesti bangkit bersama Islam yang dilindungi Allah, kita garap kekuatan kita dari kebesaran kekuasaan Allah, melalui Islam. Begitulah hujah tekad Bajeng kepada rakan-rakannya. Biar betapa payah. Kerana dia yakin, tiada yang mudah bagi yang berjaya! Tidak Tuhan menjadikan segalanya tanpa cabaran, tanpa dugaan. Sehingga mahu lahir bebas ke dunia inipun, terpaksa payah dicengkam rahim ibu. Begitulah fahaman Bajeng tentang hidup ini. Kita telah lalui yang lebih payah dilambung ombak Lautan Jawa, maka Ke Sambas, dan membantu membangunkan Kerajaan Islam di Sambas pastinya akan lebih mulia dan berhasil besar. Ya, membangun Kerajaan Islam, menyambung tugas Muhammad, pastinya, akan lebih mulia di sisiNya. Kita akan lebih dekat kepadaNya. Kita akan pasti dirahmatiNya. Itulah pidato nafas keyakinan yang ditanam Bajeng kepada para teman-temanya. Semua teman-temannya akur dan tetap setia pada sumpah janji asal mereka. Tanpa melewat-lewatkan waktu, mereka segera berangkat ke Sambas.
(24) Di sambas, ketemu Bajeng dengan seorang kenalan baru, namanya seakan dia, Bojeng. Bojeng adalah anak jati sambas. Berbadan tegap, namun sedikit gelap, sedang Bajeng, juga cukup tegap namun berkulit cerah. Ketegapan dua tubuh ini, tampaknya punya satu jiwa, iaitu jiwa peneroka yang mahu membina sebuah masyarakat baru yang suci dan utuh. Utuh pada pribadi, utuh pada semangat, dan ulet pada budaya jatinya nenek moyang mereka, yang penuh tertib, sopan, namum tidak mahu diinjak-injak. Mereka mahu jadi pemuda baru yang hidupnya penuh dengan segala ilmu dan kebijaksaan biar hidup dan kehidupan mereka jadi paling ulet, paling bagus, paling besar!
(25) Mereka tidak mahu jadi bangsa tempe, bangsa yang mudah dipijak-pijak kerana lembeknya; bangsa kapok, bangsa yang mudah dikepel-kepal dan disumbat ke mana saja semahunya, dan bangsa kodok, suatu bangsa mudah melompak kemana-mana hanya sekadar untuk hidup! Pokoknya, mereka tidak mahu dipandang kecil, kerdil. Mereka tidak mahu dipandang sebagai bangsa kocor, penakut. Bajeng dan rakan-rakannya sadar itulah pandangan dan gelaran yang selama ini Belanda gunakan ke atas bangsanya, sehingga bangsa ini punya rasa rendah diri yang sangat menjijikan. Rasa rendah diri sehingga hilang harga diri!
(26) Bajeng dan Bojeng kini berganding bahu membina sebuah penempatan baru di pinggir sungai di seberang Kota Sambas bertentangan dengan Keraton. Perkiraan mereka, dari sana mudah bagi mereka, saban waktunya untuk menyeberang ke Kota sambil, jika perlu, untuk ketemu Sultan di Keraton. Desa baru ini dinamakan keduanya, Desa Biak, dengan harapan, Desa ini akan kembang luas dan menumbuhkan angkatan baru yang lebih gagah dan bijaksana. Anak-anak hijrah yang ikut Bajeng ke Sambas, setelah mendapat izin dari Sultan, mulai satu-satu membina pondok seadanya di sana. Sagu, karet, kelapa, padi, jagung, dan segala macam ubian di tanam di Desa Biak. Desa ini, kian makmur dan kembang luas. Anak-anak kian membiak. Sultan Sambas, bukan main girang hatinya melihat anak-anak Jawa ini, sudah sepakat dengan Melayu Sambas dalam membina kehidupan yang lebih maju ke depan.
(27) Bajeng dan Bojeng juga telah mengerakkan untuk membina sebuah Langgar:surau, lengkap dengan balai dan lapangan persilatan. Saban hari, seawal subuh, sudah diadakan acara bagi mengumpul masyarakat pengungsi dan setempat untuk belajar segala ilmu. Dari sembahyang, kepada mengaji, memahami erti Al Quran, bersilat, bertukar-tukar ilmu hidup pertanian, penternakan, dan kelautan, segalanya diusahakan dengan penuh restu dan pengetahuan Sultan.
(28) Kini, anak-anak Melayu Sambas sudah ada ikutan, dari kerajinan dan kecekalan anak-anak Jawa ini. Harapan Sultan, bisa besarlah jajahan pemerintahanya, dan nanti sudah pasti dia juga akan mahu mengembangkan daerah jajahannya ke serantaro Kalimantan. Sudah berangan-angan besar tampaknya Sultan ini. Firasat Bajeng dan Bojeng perlahan-lahan kian tampak akan nafsu Sultan ini. Sekujurnya juga, para keluarga Sultan juga sudah kembang biak. Sudah ada tanda-tanda kerusakkan pada jiwa mereka. Tumbuhnya Sambas, sudah mengalih hati dan fikiran mereka kepada tamak memiliki segala. Anak-anak Sambas dan para pengungsi sudah mulai jadi rebutan mereka.
(29) Lantas kedamaian dan kesejahteraan Desa Biak, tidak bertahan lama. Tidak sampai sedekad dari pengungsian ke Sambas, telah berlaku, tentangan terbuka antara kerabat Sultan mahu menguasai bahagian-bahagian tertentu Sambas. Berlaku pertelingkahan hebat di kalangan mereka, sehingga membawa kepada terbentuknya suku-suku yang enggan duduk semeja dan senyum bersama. Saban hari ada saja sengketa di Kota Sambas. Kalau ngak tarung lengan, pasti ada saja pertengkaran yang meresahkan. Keadaan ini amat mengecewakan Bajeng dan Bojeng. Mereka tidak mahu ikut dalam percaturan ini. Percakaran ini tidak akan membina kekuatan, pasti akan memusnahkan kesatuan. Mereka mengumpul masyarakat Desanya, dan mesyuarah bagi mengatur rencana terbaiknya. Saran beberapa orang anak Desa Biak, agar mereka ke persisir pantai dan membina desa baru di Paloh.
(30) Di sana, pastinya mereka akan lebih jauh dari kuasa kemelut cakaran kerabat Sultan-sultan ini. Mudah-mudahan juga, dengan pengungsian kali ini, akan menyadarkan para keluarga Sultan itu akan buruk akibat ulah tamak mereka. Biar mereka sadar, tanpa keamanan dan kesejahteraan rakyat, Sultan akan turut hilang dasta dan astananya. Akan kembalilah Sambas seasalnya, akan lunturlah kuasa Keraton. Mudah-mudahan itu semua akan kembali memutihkan hati dan fikiran mereka. Itulah harapan Bajeng dan Bojeng akan hikmah langkah mereka ini.
(31) Ditetapkan waktu, kerana anak-anak Desa Biak, semuanya punya perahu, dengan mudah pada suatu malam yang tiada bintang dan bulan, hitam dan kelam, mereka senyap-senyap menghilir Sungai Sambas, menghilangkan diri dalam lebih kurang sepuloh buah perahu semuanya. Ayam, itik dan anjing-anjing buruan di biarkan, tidak di bawa, mereka hanya berbekal beberapa guni lemantak dan ikan bakar buat menyambung nyawa. Dingin sepoi-sepoi bayu, pekat kelam malam, laungan para cengkerik mengiringi kepiluan para penghijrah ini, meninggalkan segala titik peluh, menghilir menjauh dari hati besar dan panas para penghuni Keraton Sambas. Mujur, kerana dingin angin malam, para anak-anak penghijrah terus diam dalam pelukan hangat tubuh ibu-ibu mereka, membuat perjalanan begitu sepi dan licin tanpa ketahuan sesiapapun, sedang seluruh penghuni Sambas lainnya sedang nyenyak di sarung dingin malam.
(32) Selama dua hari mereka berlayar dalam terik panas siang dan berdayung dalam dingin malam, akhirnya mereka menjejak tebing Paloh. Sesampai di Paloh, alangkah kecewanya mereka, bila didapati sebahagian anak-anak desa itu sedang siap-siap mahu belayar ke Sematan, Sarawak. Paloh tidak aman. Tanahnya terbatas. Saban hari bisa banjir kerana limpahan air pasang sungai. Tanaman ngak menjadi. Binatang peliharaan ngak bisa di usahakan. Sempit dan payah hidup di tanah paya bakau ini. Begitulah, gambaran Paloh yang diluahkan oleh mereka yang sedang siap-siap mahu mengungsi ke Sematan.
(33) Lantas, mereka di ajak berangkat sama, dan mereka tidak boleh leka kerana diagakkan bahawa dalam dua tiga hari lagi dijangka ribut Barat-Laut akan bermula. Waktu itu, pastinya laut akan bergelora, untuk setidak-tidaknya empat purnama. Mereka harus belayar sekarang juga. Di khabarkan, di Sematan sudah banyak anak-anak Sambas membina perkampungan baru dan mereka kian kembang. Bajeng dan Bojeng saling melihat antara satu sama lain, dan tidak boleh berbicara panjang, terus mengangguk untuk ikut sama seluruh rombongannya ke Sematan.
(34) Genap tiga hari menyusuri pantai Paloh, kemudian membelok ke utara, mengelilingi Tg. Po, mereka akhirnya mendarat di Sematan. Mereka disambut dengan penuh persaudaraan oleh para penghijrah terdahulu. Ada yang bertangisan, berpelukan, melahirkan perasaan yang amat gembira juga keharuan di atas pertemuan yang tidak terduga ini.
(35) Bajeng dan Bojeng dengan segera mengamati sekelilingnya. Tiada bedanya Desa Biak, Paloh dan tempat baru, Sematan ini. Terlalu banyak yang mesti mereka lakukan sebelum mereka, mungkin untuk dapat berkembang secukupnya. Akhirnya, mereka khuatir, kerana usia yang kian menyembah bumi, apakah mereka akan dapat mengumpul kekuatan dan akhirnya pulang ke pangkuan bangsa sendiri. Tidak mungkin di tempat sekecil ini, mereka beroleh yang paling bermakna dalam jalanan perjuangan mereka. Mereka tekad, mahu terus saja ke Kota Kuching, yang dikhabarkan cuma dua hari pelayaran ke utara melintasi dua sungai besar.
(36) Kota Kuching adalah Kota dagang. Di sana telah kembang Pusat Dagang baru yang khabarnya lebih hebat dari Pontianak dan Sambas. Di sana dikhabarkan sudah tersusun jalan hidup rakyatnya. Pedagang Tionhua dari Tanah Besar China sudah mulai datang. Ini di susuli oleh para pedagang dari India dan sebahagian kecil pendakwah Islam dari Tanah Arab. Dengan perkembangan pesat perekonomian Kuching, maka dalam perkiraan Bajeng dan Bojeng, pasti lebih mudah untuk mereka memulakan penghidupan baru di sana.
(37) Dua hari pelayaran, melintasi kepulauan Sampadi, Satang-satang dan Talang-talangl, dan persisir berpasir, akhirnya mereka sampai ke muara sungai di kaki gunung yang layaknya seperti seorang puteri yang sedang baringan, maka mereka langsung saja menghulu Sungai itu melewati Gunung Santubong nan biru dan indah itu, seharian mudik ke hulu, langsung membelok ke kanan di sebuah persimpangan dan akhirnya, lewat malam yang tenang dan nyaman, mereka akhirnya disambut pelita-pelita malam Desa-desa pinggiran Sungai Sarawak. Mereka berlabuh setentang Gedung Putih di seberang kanan dan bangsal atap panjang di sebelah kirinya Sungai Sarawak.
(38) Bajeng dan Bojeng yakin, pasti inilah Kotanya Kuching, dan pasti Gedung putih itu adalah Keraton Pelayar Inggeris yang telah diangkat menjadi Rajah di Sarawak. Bojeng, kerana sudah mengerti akan betapa kesal dan pedihnya hati Bajeng bila melihat akan Gedung Putih itu, lambang penghambaan dan penjajahan ke atas anak-anak pribumi, menhampiri temannya, menepuk-nepuk bahunya, sambil mengucapkan kata-kata agar mereka harus ada kesabaran yang tinggi. Kang Bajeng, dia menyeru temannya, kita netep saja di sini. Saya udah capek dan ngak mau terus saja belayar dan lari. Ayuh kita bina saja kekuatan kita di sini, dan kita bersatu saja dengan mereka yang mungkin telah ke sini duluannya. Saya kira, Desa-desa Pinggiran Sungai sana itu pasti penduduknya berasal dari Sambas dan Tanah Jawa. Ayuh kita selidiki, kita gabung saja dengan mereka, ajak Bojeng dengan lembut dan tegas pada teman tuanya Bajeng.
(39) Ternyata benar telahan Bojeng, memang banyak kaum terdahulu dari Sambas dan Jawa telah menetap di tebingan Sungai Sarawak, melihat pada nama Desa-desa Gersik, Boyan, Surabaya, Semarang, dsb. Nama-nama itu adalah sama dengan nama-nama desa di Sambas dan Jawa. Bahkan kemudiannya, kedengaran nama pembesar seperti Merpati Jepang, Cik Buyong, dan Panglima Seman, seiras nama-nama yang suatu waktu dulu ada di Tanah Jawa, juga ada di sini. Sangat girang hatinya Bajeng dan Bojeng mengetahui akan semua ini. Keduanya yakin, di sinilah akan mereka menyusun kekuatan bagi mendokong gerakan kemerdekaan Indonesia nanti.
(40) Bojeng yang tumbuhnya dari anak tani, merasa kurang enak untuk menetap di desa-desa pinggiran sungai tersebut. Dia berputus janji dengan Bajeng untuk ke Desa Dahan yang khabarnya ada perusahaan karet milik Inggeris. Dia mahu ngongsi dulu di perusahaan itu dan mudah-mudahan kemudiannya dia mahu bisa buka kebunan karet sendiri. Khabarnya, Tuan Rajah itu amat sayang akan rakyatnya, dan mereka bebas untuk membuka tanah sekuatnya. Begitulah bedanya Inggeris ini, tidak sepertinya Belanda. Rajah ini, lebih halus gaya takluknya. Biar rakyat pribumi bebas membuka segala apa saja perusahaan, biar mereka hidup lebih baik dan mewah, namun kerana dia sudah diangkat jadi Rajah, pasti terus tinggi darjatnya di mata dan hati anak-anak pribumi ini. Pasti akan terus berkuasalah dia sampai entah keketurunan keberapa. Mereka tampak tidak sekali-kali keras, namun perampok juga mungkin akalnya. Itulah kritis firasat Bajeng akan kehalusan dan kebijaksanaan Inggeris.
(41) Di Pasar Chekor, pasar berbentuk bangsal panjang beratap nipah, tempat tumpuan dagang para anak pribumi, para pengungsi, dan para Tionghua, ada juga pedagang dari Tanah India, Bajeng ketemu dengan beberapa orang rakan-rakan dari Tanah Jawa. Dia diajak untuk membuka tanah kebunan di Jalan Arang, Bt 4 Jalan Padang Terbang. Bersama-sama masyarakat Jawa di sana, Bajeng membangun sebuah kebun karet seluas lima ekar di atas tanah paya yang sangat payah untuk tumbuh apa saja yang mahu di usahakan terutama di musim hujan. Tiba musim tengkujuh, tanah ini pastinya kebanjiran dan mati segala yang ditanam. Kerana adanya sekumpulan anak-anak Jawa di sini, yang sebahagianya sudah punya kerjaan tetap dengan pemerintah Rajah Inggeris, maka Bajeng tekad mahu membina kehidupannya di tanah ini. Dia yakin, di sinilah nanti dia akan memulakan mengumpul kekuatan untuk kembali pulang membebaskan bangsanya.
(42) Di Jalan Arang, sedang tumbuh munggil genit, gadis Jawa bernama Nuriah, dan sejak bersua muka beberapa hari selepas di perkenalkan kepada perawan manis ini, Bajeng seperti telah nanar, hatinya telah begitu terpaut pada Nuriah. Sedang Nuriah juga telah sadar bahawa dia sedang diperthatikan rapat oleh dua mata yang baru datang. Tunas cinta Nuriah pada Bajeng juga kian tumbuh bersama tumbuh segala sifat ibu di tubuhnya. Saban waktu, bila mandi di perigi, di belakang rumahnya, yang kebetulan berhadapan dengan tempat diamnya Bajeng, Nuriah pasti pura-pura lama-lama berusaha keras menebar timba mencedok air perigi yang dalam. Bajeng yang udah jauh dewasa, mengerti akan maksud pancingan anak gadis munggil ini, pasti datang membantu dan mengisi gentong penuh buat mandian Nuriah. Olah percintaan dua hati yang begitu mudah dan ringkas ini berlangsung dan diketahui seluruh isi keluarga Nuriah. Kedua orang tua Nuriah, merelakan perlakuan ini, namun dengan perhatian yang sangat rapat.
(43) Setahun setelah menetap di Jalan Arang, Bajeng mengikat tali hidup bersama Nuriah. Pernikahan Bajeng dan Nuriah ibarat kesatuan anak dan ayah. Bajeng yang usianya sudah melewati separuh jalan, sedang Nuriah baru saja pandai dandanan sendiri, namun, kerana kepayahan hidup, ibubapa Nuriah mengizinkan saja pernikahan mereka. Setidak-tidaknya Nuriah sudah ada yang menjaga, memlihara, dan tempat bergantung hidup. Penikahan mereka begitu ringkas sekali. Hanya beberapa teman dekat sahaja yang hadir. Akadnya dilakukan oleh bapa Nuriah sendiri.
(44) Malam pertama hidup bersama Bajeng-Nuriah begitu ringkas. Kamar dua mempelai begitu ringkas saja. Terpisah hanya dengan dinding nipah terhias dengan batik lepasan, dari kamar orang tua mereka, di situlah, pada malam itu, mereka berkasih bagai sang anak dan bapa. Bajeng mendatangi Nuriah dengan penuh kasih dan sayang. Cinta dan curahan hati mereka juga begitu mudah dan ringkas. Malam itu terasa oleh Bajeng tubuh Nuriah yang munggil itu ibarat tanah gambut yang lembut. Sambil melepas benih bangsa pada tanah yang sedang gebu dan subur, Bajeng berdoa semoga Allah merestui malam itu akan menjadi titik mula dia menyemai bibit bangkitnya bangsanya. Tahun silih berganti, Bajeng dan Nuriah sudah dikurniakan dua cahaya mata, dinamakan Bahiyah dan Khartewi. Dua puteri yang lahir selang lima tahun beda antara keduanya. Dua zuriat hasil cinta pinggir telaga, diinginkan akan menyiram subur dan menyambung perjuangan jalanan kemerdekaan seterusnya. Itulah pinta Bajeng, biarpun mereka hanya puteri dan bukan putera, baginya sama saja, pastinya Dia yang berkuasa sudah ada ketetapanNya.
(45) Sedang di Dahan, Bojeng kini, juga telah bernikah dengan Khatijah, gadis campuran kerturunan Sambas dan Brunei. Juga pernikahan perbedaan umur yang amat ketara seperti bambu dan rebung sifatnya. Dari hasil perkongsian hidup ini, Bojeng dikurniakan dua puteri dan tiga putera. Nur Intan, Alauwiah, Yusuf, Suhaili dan Ohek adalah nama-nama yang di berikan kepada sulur-sulurnya Bojeng.
V: RUMPUN YANG KEMBANG BIAK
Di Jalan Arang, Bt 4 Jalan Padang Terbang, Osman dan Sukar sudah berjinak-jinak dengan keluarga Bajeng. Wak Bajeng, yang punya dua pohon seroja yang kian kembang, Khartewi dan Bahiyah kian diintip Osman dan Sukar. Wak Bajeng, sadar akan telatah dua pemuda Riau dan Sunda ini. Dia secara diam membenarkannya. Dia berkira-kira, sekurang-kurangnya, darah Jawa dan anak bangsa Indonesianya akan terus lestari di sini, jika di izinkan Allah mereka bisa bersatu. Seperti pinta manusia, di restui yang Maha Esa, Sukar mengahwini Bahiyah. Tiada lama, hasil hidup Sukar-Bahiyah, lahirlah Remini. Hanya setelah sekian waktu, Osman juga turut menikah dengan Khartewi.
(2) Belum sempat mereka mengecap kebahagian hidup berumah tangga yang hebat, di khabarkan bahawa Singapura sudah digempur manusia samurai yang pendek-pendek dari matahari terbit. Inggeris yang tampak besar dan gagah, sudah hancur berkubur dan sedang undur pulang lewat India. Wira-wira samurai kini, sedang mengempur kuat rantau Pasifik, memaksa semua bangsa hidung tinggi bertempiran tidak karuan. Mereka kini tampak sangat kerdil, kalah di tangan orang-orang pendek bulat berpanjikan matahari terang merah. Mereka sedang berlarian ada bertelanjangan bulat seperti tikus-tikus yang siksa di serang bala tentara semut-semut api. Juga ada seperti coro kudung. Sebilangan seperti keldai, menangis ngek-ngekkan tidak karuan.
(3) Semua ini diikuti dengan penuh tekun oleh Manan. Hatinya sungguh girang, kembang. Bangsa-bangsa Barat itu rupanya saja besar, selama ini yang ditakuti anak pribumi hanyalah kerana besar tubuh dan suara saja. Kini, manusia Jepang yang jauh lebih kerdil itu, bisa mereka menelanjangi manusia bongkak, rakus itu, para penjajah Barat. “Ayuh, kita sama-sama angkat tenaga, mengusir mereka terus dari bumi nusantara ini. Biar kita pribumi ini, di sini jangan diganggu, biar kita belayar sendiri, merempoh segala samudera biar seluas mana”. Yah, Manan melaung seperti hidup selepas mati, melompat setinggi-tingginya, “kita harus merdeka sakarang juga! Kita perangi keparat bangsa Barat ini!”, terjahnya biar dalam suara yang sudah semakin parau.
(4) Namun, tanpa di sadari Manan, si pendek Samurai ini, juga punya angan-angan mahukan seluruh Asia tunduk kepadanya. Dia mahu bikin Asia-Japonika Raya kayaknya. Kini, mereka sudah mendarat di Kuching. Padang terbang sudah musnah diledaki sejak subuh tadi. Para pedagang kian menghulu Sungai Sarawak, mengosongkan Kota Kuching, sebelum tibanya Jepang. Pedagang Tionghua kini berbondong-bondong menghulu ke Lundu dan Bau, menumpang belas kasihan para pribumi Sarawak di sana untuk berlindung dari pedang Samurai Jepang.
(5) Wak Bajeng sudah bukan kepalang gusarnya. Dia sangat khuatir akan keselamatan keluarganya yang baru tumbuh. Dia mengumpul anak-anak dan para cucunya, kita undur dulu ke Dahan dan dari sana kita harus terus ke Sadong. Sukar dan Osman ikut sama perundingan ini. Para Jepang ini, tidak kepingin ke desa-desa jauh ke dalam hutan tropika itu. Di hutan-hutan itu, banyak sekali penyakit tropika yang sangat asing bagi bangsa Jepang. Mereka takut pada malaria. Mereka takut segala penyakit tropika, yang sekiannya sudah menjadi sahabat sebati anak-anak pribumi, maka atas perkiraan itu, seluruh keluarga Wak Bajeng dan Wak Bojeng serta mereka yang mahu ikut sama, mereka berputus mahu undur saja ke Sadong sebelum mendaratnya Jepang. Semua setuju turut undur, kecuali Mahpol yang sudah punya keluarga yang lebih mantap, di Jalan Arang. Dia mahu pasrah saja di Jalan Arang.
(6) Di Dahan, sudah kumpul beberapa keluarga lainnya mahu hijrah sama ke Sadong. Wak Bojeng, Manan, dan Marikan juga sudah punya rencana yang sama, mereka mahu menghilir Batang Samarahan dan seterusnya menjauh ke Sadong. Bila rombongan Wak Bajeng tiba di Dahan, mereka tidak berlengah-lengah terus saja mendapatkan perahu-perahu layar yang sudah tersedia lantas mengilir Batang Samarahan. Mereka harus bergerak di waktu malam, kerana tidak mahu dijejaki pesawat-pesawat Jepang yang sedang ganas meledakkan Kota Kuching. Semalaman belayar dalam dingin malam yang mengigit tajam, sebaik melewati Muara Samarahan, mereka terus menghala ke utara, dan bila remang fajar menyinsing, mereka sudah selamat di telan Muara Sadong. Osman, tetap menjadi kapitan rombongan pelayaran ini, dan kali ini dia cukup hati-hati mengamati tiupan angin dan anak-anak bintang agar tidak tersasar lagi seperti sebelumnya. Wak Bojeng dan Bajeng yang telah sering hilir mudik di Batang Sadong membimbing terus kemudian Osman.
(7) Tidak berapa jauh dari Muara Sadong, mereka singgah di perkampungan nelayan, yang namanya Pendam. Di sana sudah ada anak-anak Jawa dan Bugis membuka kebunan. Kerana tidak mahu rebutan sama masyarakat yang sudah ada, mereka meneruskan perjalan agak ke hulu sedikit. Di selekoh sebuah Tanjung dari Desa Pendam, mereka singgah di sebuah anak sungai bagi mengambil sedikit air tawar buat bekalan seterusnya. Kebetulan, di muara anak Sungai Bundung, namanya, sudah ada penempatan kaum Dayak, yang sangat mesra dan simpati akan kepayahan yang sudah dilalui rombongan Wak Bajeng dan Wak Bojeng ini. Mereka mempelawa, rombongan ini untuk menetap saja di sini, dan membuka kebunan. Kaum Dayak ini mahu belajar hidup dengan masyarakat pengungsi ini, yang mereka dapati punya kepandaian yang jauh lebih tinggi dari mereka.
(8) Tawaran Tuai Dayak, bernama Resat di terima baik oleh Wak Bajeng. Namun mereka telah di agihkan untuk ke hulu sedikit dari kawasan Bentang Sungai Bundung, dan kebetulan di hulu sedikit sudah ada seorang anak muda Bugis, bernama Daeng Tawan sudah mulai membuka kebunan kelapa di sana bersama beberapa orang temannya yang lain. Dengan nasihat dan bantuan Daeng Tawan, Wak Bajeng, telah memutuskan agar keluarganya menetap saja di sini. Baginya, tanah di sini amat subur, bahkan lebih subur dari di Jalan Arang. Mereka pasti bisa lebih makmur di sini, usulnya Wak Bajeng. Osman, Sukar, Marikan, Yos, Bakar, Shapiee, Madi, dan Kurian ikut sama keputusan Wak Bajeng
(9) Wak Bajeng, sanggat syukur atas kebijaksanaannya Allah, di bumi garuda asalnya, tidak pernah dia bermimpi menyatukan anak-anak Jawa, Bugis, Sunda, Riau, dan Sambas dalam satu kandang, di sini di bumi asing ini, di tanahnya Sadong ini, dia meneteskan air mata tentang kebesaran Allah ini. Mudah-mudahan kesatuan ini akan terus kembang dan gagah menjadi satu bangsa baru yang lebih gagah dan besar dari asalnya, Wak Bajeng menadah tangan Isya, sambil di amini semua pengikutnya.
(10) Bojeng mempunyai perkiraan lain. Dia mahu lebih ke hulu lagi. Dia berkira, seandainya dia dan Bajeng berpisah dan bangunkan perkampungan yang berbeda, jika ada kecelakaan apa-apa, mereka boleh saling membantu kemudiannya. Agak kurang selamat, jika semua mereka hanya menetap di Desa yang sama. Manan yang sudah mengintai-ngitai Nur Intan ikut saja saranan Pak Bojeng. Mereka terus menghulu keesokan harinya dan mampir di Desanya Simunjan. Di sana sudah terbina perkampungan Melayu Sambas dan Brunei. Ada juga penghijrah dari Banjarmasin turut sudah menetap di sana. Sudah agak besar Desa ini, dan tampaknya para penduduknya adalah amat mesra dan saling membantu. Jiwa Manan juga sudah bertaut pada Desa ini. Sawah padi dan sungai yang luas dan pastinya banyak ikan, mengingatkannya akan Palembang Kota asalnya. “Kita netep di sini saja Pak Bojeng, saya bisa bikin sawah dan bina keluarga di sini”, usul Manan, sambil mencuri mata Nur Intan. Pak Bojeng senyum manis mengerti maksudnya akan lirikan Manan pada anak sulungnya Nur Intan.
VI: TUMBUHNYA WARISAN WAK BAJENG
Tuai Resat dan Daeng Tawan, banyak membantu Bajeng dalam membangunkan Desa barunya. Daeng Tawan, dengan kerja keras rakan-rakan asalnya dan di bantu oleh rombongan Bajeng telah membuka dan memanjangkan Sungai Bundung sehingga jauh ke dalam hutan. Pembukaan Sungai Bundung ini, membolehkan lebih banyak tanah dapat di buka untuk keperluan perkebunan rakyat yang kian tambah. Tambahan sungai ke utara Sungai Bundung ini di namakan sempena kaum kerabat Deang Tawan, iaitu Sungai Bugis. Siap membangun Sungai Bugis, Bajeng meminta bantuan Daeng Tawan dan anak-anak buahnya membina anak sungai yang melintang ke Timur merentasi sempadan tanah Tuai Resat dan anak-anak buahnya di selatan.
(2) Sedang yang lelaki gigih membuka hutan dan membikin kebunan, para perempuan rombongan Bajeng gigih mencari apa saja dibuat panganan. Paling mereka suka ialah menagang atau menangguk anak-anak udang sewaktu air pasang samada di Muara Sungai Bundung, atau Sungai Bugis, dan dikala itu, kerana air kalinya Sadong sangat di penuhi udang dan segala ikan, hasil tanggukan mereka sentiasa lumayan. Lebihan udang mereka tumbuki lumat jadi terasi biar boleh di simpan dan tahan sangat lama untuk bekalan terutamanya di waktu tengkujuh.
(3) Di musim tengkujuh, terasi bakar sama cabek rewet adalah lauk yang paling enak dan kegemaran istimewa Wak Bajeng. Paling enak jika dibikin sambel ulek, bisa ngucur keringat, biar hanya makan dengan nasi kosong saja. Biarpun kehidupan mereka agak payah, namun dia tetap syukur, kerana di sini anak-anak buahnya bisa nangkap gabus dan lele. Biar tidak punya kelapa tua untuk bikin masak lemak, di bakar dan di makan dengan air garam tumbukan cabek rewet saja sudah cukup untuk menyambung hidup esoknya. Daun-daun pakis, pucuk-pucuk ubi dan segala dedaun hutan sudah cukup buat sayuran. Sesekali mereka akan dapat menangkap rusa, kancil dan kijang.
(4) Begitulah, mulanya hidup Wak Bajeng dalam membina Desa barunya. Rumah-rumah anak buahnya terbina dari anak-anak kayu bulat tersusun rapat buat lantai dan dinding, sedang tingkap dan atap hanyalah dari daun-daun nipah yang dianyam rajin para perempuannya pimpinan Ibu Nuriah, isterinya yang tidak pernah kenal penat dengan seribu dugaan dan kesengsaraan hidup: tetap setia bersama jiwa dan darah hidupnya Wak Bajeng.
(5) Suatu hari, bila dia melihat, bahawa para pengikutnya sudah mulai aman, sudah punya kebunan masing-masing maka Wak Bajeng mengusulkan agar Desa ini harus dipisahkan dari Sungai Bugis dan Sungai Bundung. Masing-masing anak buahnya ingin menamakan dengan nama desa asal mereka. Sambil tersenyum, dia menepelak mereka, “Kalian di sini, selama ini, dihidupkan apa? Cuba kalian harus punya jiwa terima kasih pada yang diinjak, yang jadi teman kalian, yang selama ini bisa buat menyambung nyawa dan kehidupan kalian, kita semua ini. Aku mahu, desa ini di namakan Desa Terasi”, tegas Wak Bajeng. “Wah, Wak, nanti semua orang tertawa jika mereka tahu nama desa kita Desa Terasi. Kok terasi yang mambu, dari tumbukan udang-udang yang mambu, kita namakan Desa ini sempena nama itu. Aduh Wak, cari saja nama lain. Orang di sini bilang, terasi itu belacan, pasti mereka tertawa besar kalau kita namakan desa ini Desa Terasi , Desa Belacan!” “Tidak, sudah terlalu banyak jasanya terasi pada kita, dan kita tetap namakan Desa ini Desa Terasi. Terasi adalah lambang kepayahan kita. Terasi adalah penyambung nyawa kita. Setidak-tidaknya, terasi adalah nama asal bahasa kita. Itu kalian mesti ingat dan mesti pertahankan, biar betapa kuat orang lain mahu tertawakan nama itu”. Mendengar akan kesungguhan Wak Bajeng mempertahankan nama itu, yang lain pelahan-lahan undur, sedang Ibu Nuriah terus saja tunduk, tanda setuju dengan suaminya yang sangat matang dalam firasat hidupnya. Ya, mahunya dia, anak cucunya besok, akan terus ingat dan mahu membongkar di sebalik namanya terasi itu.
(6) Terasi, biar baunya saja busuk, namun segala apa yang ditambahi terasi akan bisa enak. Nasi goreng, sambel-sambelan, gorengan sayur, bahkan apa saja sayuran pasti kurang bisanya jika tidak dibubuhi terasi. “Ya”, dengus Ibu Nuriah, “terasi, tampak jelek, namun jasanya tersimpan terlalu besar”. Begitulah fikirnya, “kita biar jelek, biar payah, namun tidak sekali-kali hidup tidak berjasa!” Terasi adalah lambang kepayahan, perih, dan keazaman. Itulah rakaman waktu buat Wak Bajeng dan Ibu Nuriah pada tanah barunya ini, Desa Terasi.
(7) Sekian waktu, penyatuan Osman dan Khartewi membuahkan sulur-sulur yang kian kembang, Aishah, Embel, Bujang, Sawal, Khartini, dan Khartiman. Wak Bajeng hanya mampu mendengar tangisan singkat Aishah, sebelum sempat menatang cucu tertuanya, dia pergi untuk selamanya.
(8) Sedang, gandingan Sukar dan Bahiyah sudah membuahkan Remini, yang kini sudah meningkat dewasa, maka Ibu Nuriah selepas kembalinya Wak Bajeng, lebih enak untuk hidup bersama dengan anak tuannya ini. Sekurang-kurangnya Rumini boleh menjadi teman setianya di kebunan tinggalan suaminya.
(9) Marikan, yang sudah agak mengunung umurnya, belum juga ada pasangan hidup. Sememangnya agak payah mahu mencari calon isteri di masa itu, apa tah lagi dalam Desa yang baru dibangunkan ini. Anak-anak gadis samada belum tumbuh atau masih terlalu bocahan. Namun, Remini, biar usia masih ubun-ubunan tetapi sudah tampak kedewasaan yang agung. Badannya, sudah sedia untuk jadi ibu. Akalnya, sudah cukup dewasa untuk memikul seribu tanggungan hidup. Maka, terbukalah hati Marikan untuk menyunting Remini. Sebetulnya, usia Marikan tidak berapa jauh dari usianya Osman dan Sukar. Wah, kini, teman-temannya sudah jadi bapa mertua, namun kehendak mahu menyambung zuriat tidak membataskan usia dan persahabatan, kiranya, mungkin itu sudah kudhrat dan boleh membina satu keakraban yang lebih utuh.
(10) Begitulah kembangnya Desa Terasi, dengan Madi, Yos, Shapiee, dan Bakar semuanya ketemu jodoh dari perkampungan-kampungan terdekat dan punya sulur-sulur yang membiak ramai. Cuma Kurian, sudah tekad untuk mahu hidup sendiri, lantaran usia yang sudah mendasari Maghrib. Osman, secara kebetulan agak pemurah orangnya, mengambil Kurian sebagai pembantunya membuka kebunan. Kurian, pastinya sebatang kara, amat seneng dengan sikap Osman, dan beliau menumpah sepenuh taatnya kepada Osman. Osman juga amat gembira, kerana anak-anak lelakinya bisa menuntut apa juga ilmu hidup yang ada pada Kurian. Begitulah, saling bertalinya masyarakat Desa Terasi, hidup dengan penuh kerukunan. Para sahabat, kerana nasib sekapal yang penuh cabaran, telah mengikat mereka seperti sedarah-sedaging, bahkan lebih akrab dari persaudaraan sebenar.
VII: MANAN YANG TERCABAR
Di Simunjan, seisi keluarganya Bojeng dan Manan telah dapat di terima baik oleh masyarakat Sambas dan Brunei di sana. Nur Intan, yang kini sudah tumbuh dewasa, langsung saja di sunting oleh Manan. Bersama-sama adik-adik Nur Intan yang lain, Manan telah membuka sebuah perkampungan baru ke hilir sedikit dari Simunjan. Tempat ini di namakan Sedilo. Nama ini, mengambil sempena nama Sungai Sedilo yang menyalirkan hutan paya di pedalamannya. Pak Bojeng yang sudah menjamah tanah usia dan tenaganya tidak mampu lagi banyak membantu. Kepimpinan keluarga Pak Bojeng kini tertanggung di pundak Manan. Dia seolah-olah memikul sepenuhnya urusan harian keluarga ini, lantaran anak-anak Pak Bojeng yang lainnya masih teramat kecil, dan belum mengerti urusan dunia ini.
(2) Kebetulan, Khatijah yang punya darah Sambas-Brunei, sudah ada susur galurnya hijrah duluan ke Simunjan. Atas talian sungai darah ini, Manan sebagai menantunya Khatijah, tidak sukar untuk menapak di hati para penduduk awalan Simunjan. Beliau dengan sifat lebih banyak diam dari bicara, lebih banyak kerja dari diamnya, lebih banyak berfikir dari bertanya, lebih banyak bertanya dari malu tak karuannya, hatinya lebih banyak berbicara dari lidahnya, lebih banyak kemurahannya dari apa yang diterima, berpanjang akal dalam sagala, dengan mudah di terima dan langsung diangkat jadi ketua pimpinan masyarakat Simunjan.
(3) Nur Intan, seperti camar madu, lincah dan tegas. Sifatnya yang jelas dari hati ke bibir, berkata apa saja atas niat mahukan untuk kemuliaan, teguh hatinya mengalahkan lelaki, mungkin kerana segala onak dan ranjau yang telah dilaluinya, mengajarnya tentang keberanian untuk hidup. Nur Intan, pasangan yang begitu cocok bagi Manan. Keduanya, tampak mewarisi jiwa perkasa yang saling melengkapi. Kini mereka bergandingan, memimpin kaum sejenisnya masing-masing, membina satu bangsa yang kental dan tidak mahu menyerah biar tercabut nyawa dari tubuh mereka.
(4) Manan sadar, tubuh-tubuh manusia Simunjan akan kian kembang. Dia merencanakan agar tanah perkebunan mereka mesti diperluaskan. Sudah setahun dia menetap di Simunjan, kian hari dia melihat banjiran manusia sedang lari dari henyakkan Jepang di kota-kota dan persisiran. Tanah di Simunjan bukan seluas mana bagi menampung tanaman padi. Di pedalaman adalah hutan paya yang hanya bagus ditumbuhi hutan. Apa juga ditanam di sana, pasti ditengelami air bah, pada hujung tahunnya. Kawasan baru perlu di cari dan dibuka buat menampung keperluan bangsa baru ini.
(5) Manan mengumpul beberapa orang anak yang masih hijau tenaga lelakinya. Dia mengajak mereka menghulu Batang Sadong. Di sebuah latong, namanya Pale, mereka menemukan tanah yang amat subur untuk bersawah. Tanah bakau yang ditumbuhi pepohon, ada yang menyebutnya pedada, sebilangnya menyebutnya perpat, mudah saja dikerjakan. Setelah puas dan sah akan suburnya tanah baru ini, Manan mengusulkan dengan segera di bangunkan perkampungan baru di sini. Beberapa penghijrah baru, serta mereka yang mahu memperluaskan tanah kebunan mereka perlu ke sini dan tidak berasakkan di Simunjan sahaja.
(6) Selang beberapa purnama, bermulanya musim kemarau, Manan dan beberapa puloh anak-anak muda, berduyun-duyun ke Pale, berbekal segala parang, kapak, beliong, cangkul dan segalanya memulai menebang hutan, menyediakan tanah lapangan baru. Riuh rendah segala monyet menjerit-jerit kaget melihat para pohon saling bertumbangan. Kini, para monyet ini, sudah pasti, rumah dan hutan mereka kini sudah perlu di kongsi dengan mahluk Tuhan bernama manusia. Selang beberapa pekan kemudian, bila panas telah membakar kering semua dedaun, api dinyala memarak membakar apa saja di lalui. Semua batang, dahan, tunggul-tunggul habis dibakar. Jagung, ubi kayu, keladi, pisang, kelapa, segala macam sayur-sayuran kini mengantikan segala hutan tebal.
(7) Sang monyet yang tadinya, sangat gusar akan punahnya ladang panganan mereka, kini sudah jelas, boleh saja menumpang tuah pada hasil kerja keras sang manusia. Mereka kini sudah punya pilihan, dan seringkali perkongsian makanan ini menjadi keributan perebutan antara mahluk monyet dan manusia.
(8) Dangau-dangau sementara mulai didirikan di sepanjang tebing sungai, berderet-deret, rapat antara satu sama lain. Ibu-ibu dan anak-anak, sudah mulai menemani para bapa, bersama membangun kebunan di tanah baru ini. Kegirangan baru jelas pada anak-anak dan ibu-ibu. Tika air pasang besar, di bulan penuh purnama, para isteri dan anak-anak akan menagang dan memancing di tebingan sungai. Dari waktu air baru mulai pasang sehingga ke paras penuhnya, mereka pasti mendapat perolehan udang dan anak-anak udang dengan banyaknya. Mereka juga menguntip siput-siput buat tambahan lauk. Tampak di sini, di Pale ini, rezeki mereka lebih lumayan dari di Simunjan. Tanah di sini tampak lebih subur dan segala apa saja boleh tumbuh dan dengan mudah membuahkan hasil.
(9) Namun kemakmuran, Desa Pale sedang diperhati curiga oleh masyarakat Dayak yang diam di Sg. Alit, hanya ke hulu, setanjung dari Pale ini. Mereka sudah sekian lama mengidam untuk menguasai tanah baru ini. Pohon pedada yang sangat banyak dan subur itu adalah tempat segala monyet yang sekali-kali mereka akan datang menyumpitnya dan dipanggang buat hidangan bersama. Mereka amat khuatir, dengan penebangan pohon-pohon perpat itu, pasti akan memusnahkan lapangan perburuan mereka. Secara diam, sudah timbul rasa mahu bersengketa antara dua masyarakat ini, cuma belum ketahuan oleh kelompoknya Manan.
(10) Dalam waktu terdekat ini, sebilangan anak-anak muda Dayak ini, sedang memerhati rapat, akan semua pergerakkan para kaum lelaki kelompok Manan ini. Lagaknya, mereka tidak terhenti di Pale sahaja. Mereka sekali-sekala meninjau-ninjau banyak lagi kawasan di hulu Batang Sadong. Sekelompok pemuda Dayak ini, pasti, akan lebih ramai masyarakat laut, satu panggilan orang Dayak bagi masyarakat Melayu ini, akan datang dan membuka lebih banyak lagi kawasan di sekitar Sg. Alit ini. Kini mereka mulai merasa terancam. Kawasan perburuan mereka akan menjadi lebih sempit. Ini tidak boleh dibiarkan. Kemaraan masyarakat Laut ini perlu di sekat.
(11) Secara diam, Abong, ketua segelintir pemuda Dayak ini, merencana membuat onar di Pale, khususnya terhadap para perempuan dan kanak-kanak Laut bila para lelaki mereka sedang pergi berjauhan. Maka suatu hari, sedang para lelaki Laut telah jauh mudik ke hulu, maka Abong melihat ini sebagai peluang terbaik bagi menjalankan rencananya, beliau lalu memimpin dalam kelompok lebih kurang dua puloh orang pemuda Dayak, menghilir dalam lima bangkong, dan mendarat di tebing Pale.
(12) Tengahari itu, perasaan Nur Intan agak tidak enak. Benaknya merasa tersangat gusar tidak karuan. Firasatnya agak meragukan. Tengahari itu, dia mengajak semua para perempuan dan anak-anak berkumpul disekumpulan pohon perpat yang besar-besar yang tumbuh dekat dengan danau buaya. Danau buaya, terletak betul-betul di bawah rimbunan pepohon perpat, dan di dalamnya ada beberapa buaya betina yang sedang mengawal sarangnya. Buaya-buaya betina itu tampak ganas dan pastinya akan menyerang apa saja yang mahu menganggu keselamatan anak-anak mereka. Danau itu agak terlidung oleh tumbuhan perupok yang tinggi dan sangat tajam sulurnya.
(13) Nur Intan, berkira, di keliling pepohon perpat itu adalah tempat yang paling baik untuk berselindung jika ada apa-apa musibah yang akan menjelma. Sepekan yang lalu, dari serambi dangaunya, Nur Intan merasa seperti ada mata-mata mengendap dan memerhatikan para perempuan di Desa Pale ini. Cuma dia kurang pasti dan mengambil sifat diam diri, namun waspada. Firasatnya hari ini, agak lain dan dia pasti akan ada yang tidak baik akan terjadi. Semakin mentari mencondong, semakin betambah gundah hatinya Nur Intan.
(14) Dia mengambil tekad, membawa semua para perempuan dan anak-anak, mendekati rumpunan pepohon pedada itu. Dia meminta semua para perempuan terus saja membawa para anak mereka memanjat pepohon itu dan diam di dahan besar tegap yang paling tinggi. Tiada siapa harus merasa ribut, gusar, terjerit-jerit yang tak keharuan. Semua harus tenang. Dia akan memberikan arahan selanjutnya, yang dia belum pasti. Beberapa bilah parang dan golok di bawanya memanjat sama, di agihkan kepada beberapa perempuan yang kuat-kuat sahaja. Yang lain-lain diarah untuk menenangkan anak-anak supaya tiada berlaku keributan. Anak-anak telah diberi amaran, supaya tidak ribut, supaya tidak menangis, supaya tidak takut, Nur Intan, memberikan amaran barang siapa engkar akan arahannya, akan dicampak ke danau buaya, biar dimakan buaya-buaya itu.
(15) Tiba-tiba dari kejauhan, rumpun-rumpun perupok mulai bergoyang-goyang, seperti keributan sedang diredah sang badak. Nur Intan, dapat melihat, ada beberapa tubuh sedang menaiki beberapa dangau yang sudah tertinggal kosong. Tegak mereka bukan lelaki pimpinan suaminya. Kelihatan mereka seperti mahu mengamok, dengan parang dan tombak dijulang-julang sambil menari-nari bersama gendang perang. Nur Intan tahu, telah nyata kegundahannya. Musibah sedang bertandang sedang para suami dan lelaki mereka tiada di rumah. Lantas seperti halilintar akalnya berjalan, dia mengisyaratkan agar para anak-anak terus diam, sedang dia mulakan menjerit melambai-lambai agar para pengunujung yang tidak diundang mara terus merempuh perupok-perupok menghala ke pepohon perpat tempat perlindungan mereka.
(16) Seperti terduga, pemuda-pemuda Dayak ini, berlarian seperti sang singa kehausan darah, bekerjaran menuju rimbunan pepohon perpat tempat persembunyian para perempuan dan anak-anak mereka. Semakin mereka hampir, semakin kuat dan lantang Nur Intan dan para perempuan itu menjerit-jerit dan mencabar mereka.
(17) Sebentar seperti secepat kilat, seperti sang pahlawan monyet, Nur Intan terjun ke tanah memasang api pada longgokan dedaun kering dan ranting-ranting kayu yang sudah terkumpul di sebelah utara. Asap tebal yang terhasil dari pembakaran pandukan itu boleh menyembunyikan para anak-anak yang sedang sembunyi di sebelah selatannya. Di samping itu, api yang marak dari pandukan ini akan memaksa para penyerang untuk hanya menghampiri mereka dari sebelah selatan. Paling bagus, akalnya si Nur Intan, dengan menyonsong asap tebal, sudah pasti jalan serangan para pemuda Dayak itu, menjadi semakin payah. Nur Intan mahu menjebak mereka untuk terus berlari ke dalam danau penuh berisi buaya-buaya betina yang sedang mengeram. Juga, asap tebal tebal itu, pastinya akan kelihatan oleh para lelaki mereka dari kejauhan, tanda bahana sedang melanda anak-isteri di kebunan.
(18) Kebetulan, Manan telah mengeluarkan arahan agar tiada pembakaran dilakukan pada lewat hari, kerana angin deras biasa terjadi disebelah petang, dan ini boleh mendatangkan bahaya kebakaran yang tidak dapat dikawal. Ini sudah menjadi aturan yang mesti di patuhi oleh semua yang membuka kebunan di Pale.
(19) Seperti terduga, tanpa pemerhatian teliti, para pemuda Dayak it terus saja meluru melalui tanah lumpur danau di sebelah selatan rimbunan perpat, tanpa menyadari buaya-buaya ganas sedang sembunyi dalam air lumpur tersebut. Agak, sudah beberapa orang sampai ke tengah danau, maka buaya-buaya itu baru menampakkan diri lantas menyerang beberapa pemuda yang kaget dan tidak dapat mengundur diri. Beberapa orang dari mereka telah ditangkap dan dihempas, berhaburan darah dan isi perut. Hiruk pikuk perang kini telah bertukar menjadi kecoh dan kebisingan ketakutan dan teriakan keperitan sengsara gigitan buaya-buaya ganas itu. Melihat akan kejadian itu, yang lain seperti tunggul tercegat kekagetan yang tidak kepalang melihat empat dari rakan-rakan mereka telah terkorban. Bau darah hanyir mulai tertebar luas di Desa Pale.
(20) Abong, tanpa berfikir panjang terus saja mengarahkan orang-orangnya untuk lari pulang. Dengan tidak tentu arah jalannya, mereka berlarian mengundur diri ke bangkong-bangkong masing-masing. Tubuh-tubuh mereka yang tiada berbaju, dan hanya bercawat perang, kini menjadi habuan siatan daun-daun perupok yang tajam seperti sembilu, sedang kaki-kaki telanjang mereka tengah tertusuk hebat oleh sulur-sulur perupok yang sangat berbisa. Teriakan kekalutan dan penyesalan teramat jelas pada Abong dan anak-anak buahnya.
(21) Namun, apakah kecelakaan seterusnya, belum pun sempat mereka menaiki bangkong masing-masing, deboran benak, gelombang terhasil pertembungan air pasang dan air surut, sudah menganas menghempas semua bangkong yang tertinggal. Bankong-bangkong itu semuanya pecah berkecai di henyak di batang-batang dan tunggul-tunggul perpat yang membarisi tebingan Desa Pale. Abong terpinga-pinga dan meraung menangis kesal. Bersama pemuda Dayak yang lain, wajah mereka sudah menjadi pucat, sedang seluruh tubuh mereka berlumuran darah akibat luka-luka siatan dedaunan dan tusukan sulur-sulur perupok. Ketakutan mereka bukan amat kepalang. Terbayang betapa hukuman akan dijatuhkan ke atas mereka oleh Tuai Rumah Alit jika perkabaran ini nanti diketahuinya. Pasti Abong dan rakan-rakannya akan di usir keluar Bentang, satu hukuman buang daerah dan pecah keluarga yang pastinya terlalu sukar untuk diterima.
(22) Kini Abog sedang pusing kepala terlalu hebat, di Batang Sadong ini, banyak buaya berteduh di dasar-darasnya, dan di celah-celahan pohon-pohon bakau yang tebal itu, sedang semua bangkong mereka sudah musnah semuanya. Air pasang yang sedang deras, tidak memungkinkan mereka untuk dapat berenang pulang. Sebentar lagi, akan pulanglah para lelaki Laut ini, akan matilah semua mereka dibunuh Laut-laut ini. Fikiran Abong seperti sudah sampai ke hujung dunia. Hanya kematian yang dia nampak.
(23) Sedang asap tebal berkepulan dari pandukan yand dibakar Nur Intan, Manan dan rakan-rakannya sedang berteduh di Lubok Buntin di seberang Sg. Pale. Air dalam lubok itu, mematikan serangan benak yang pada perkiraan Manan adalah paling tinggi kerana, di timur kelihatan bulan purnama penuh sedang perlahan-lahan bangkit dari tidurnya, kian mengambang penuh. Itu tandanya ombak pasang, benak, akan mengulung tinggi di tebing Desa Pale kerana beting tebing Pale yang luas dan jauh ke dasar Batang Sadong, menjadikan bahagian sungai itu di Pale adalah paling cetek. Di kawasan paling cetek ini, benak biasanya akan mengulung tinggi. Kepulan asap, yang kelihatan pada matahari yang sudah jauh condongnya, amat mencurigakan hati Manan. Lewat saja gelombang kepala benak, Manan, mengarahkan anak-anak buahnya berkayuh pantas ke tebing Pale. Dari kejauhan, Manan terus mengamati dangau-dangau di persisiran tebing Pale, tampak kosong, gundahnya bertambah hebat. Dia menempik kuat, “Ayuh kita kayuh kuat-kuat, kita beradu lomba siapa boleh sampai duluan. Hati-hati semua, kita jangan berpecah. Siapkan semua golok dan parang”. Teriakan Manan itu seperti isyarat kepada dua puloh rakan-rakannya akan ada bahana sedang menanti. Mereka pasti, Manan sedang menghidu sesuatu. Mereka tahu, Manan mempunyai gerak hati yang sangat tajam.
(24) Alang-kepalang kagetnya seluruh lelaki Melayu itu, bila saja menginjak kaki keluar dari perahu masing-masing mereka di serbu Abong dan rakan-rakannya yang bertelanjangan dan bertangisan meminta keampunan. Seraya terpinga-pinga, para lelaki pimpinan Manan para menghunus golok, sambil menangkap setiap kepala pemuda Dayak itu, seolah-olah mahu dipenggal saja kepala mereka.
(25) “Ampun tuai, ampun tuai, kami salah, kami ngakon salah”, rayu Adong pada Manan yang sedang keras memerhati keliling takut ini hanya sebagai satu helah perang masyarakat Dayak ini. Sebentar, kedengaran para perempuan dan anak-anak mereka turut meluru menghampiri. Kemudian, terdengar suara Nur Intan, mengarahkan semua pemuda itu ditangkap dan diikat.
(26) Setelah sadar segalanya berjalan aman. Sambil memeluk erat anak sulongnya Muhammad yang masih hanya baru tumbuh dua gigi kapak di gusinya, dia mengarahkan semua pemuda Dayak itu jangan diapa-apakan. Para isteri disuruh pulang dan menyediakan makanan apa seadanya dengan seberapa segera. Sekumpulan lelaki siap dengan golok dan tombak diarah mengawal Adong dan rakan-rakannya.
(27) Selesai makan, dan segala luka di badan Adong dan rakan-rakannya dirawati ala kadarnya, Manan dengan tegas memerintahkan Adong untuk pulang dan menceritakan sepenuhnya apa yang terjadi kepada Tuai Alit. Mereka juga diminta untuk membawa Tuai Alit datang keesokkan paginya ke Pale bagi urusan mayat mereka yang diserang di danau buaya dan semua urusan perdamaian lainnya. Manan meminjamkan dua buah sampan kepada Adong dan rakan-rakannya untuk pulang.
(28) Dalam pertemuan Manan dan Tuai Bentang Alit keesokan harinya, mereka mengerti akan kekhilafan anak-anak buah yang muda-muda itu. Manan, telah meminta supaya tiada persengketaan dan dendam panjang antara masyarakat Dayak dan Laut ini, memohon agar anak-anak muda itu tidak dihukum terlalu berat. Dia merayu ikhsan bagi anak-anak muda yang masih mentah itu. Air mata kelihatan berlinangan pada Adong dan rakan-rakannya, mendengar dan mendapati akan kemulian dan keehsanan hati Manan dan para orang Laut ini. Tuai Bentang Alit lantas mengeluarkan hukum bahawa Laut-laut ini bebas membuka tanah di mana saja mereka suka, biar di Alit sekalipun, mereka tidak boleh diganggu.
(29) Manan sangat berterima kasih kepada hukumnya Tuai Bentang Alit. Dia membalas bahawa, mulai saat ini, mereka adalah bersaudara, sambil terus berpelukan dan berjabat lengan.Ini diikuti oleh Adong dan semua yang lainnya. “Kita akan saling membantu, kita sama-sama bertani, berkebunan, dan sama-sama kita membina bangsa baru di sini, jangan terasing lagi antara Laut dan Dayak”, ucap Manan pada saudara-saudara Dayaknya itu. Tuai Bentang Alit dan Adong mengangguk setuju.
(30) Lantaran musibah yang telah melanda, Manan mengusulkan agar Pale di kosongkan saja. Tidak usah dibina kampong tetap di sini. Cukup hanya untuk tanaman padi dan kebunan jagung sesekali sahaja. Biarpun sudah terikat janji Tuai Bentang Alit, namun, para keluarga yang anak-anaknya mati dihempas buaya, tetap akan ada luka. Manan tidak mahu luka itu terus terbuka dan berdarah, bernanah. Tidak wajar, baginya, masyarakat Melayu dan Dayak ini, yang sama-sama anak-anak hijrahan, biar cuma berbeda waktunya, bertancap bermatian, sedang musuh sebenar sedang mengempur hebat kota-kota Kuching dan lain-lainnya. “Kita perlu kesatuan yang utuh, agar bangsa penjajah, biar siapapun mereka tidak boleh mengembangkan wilayah jarahan mereka sampai ke Sadong ini”. Begitulah Manan, membuat perhitungan pada anak-anak buahnya.
VIII: JEPANG KERDIL BERHATI BESAR
Khabar dari para pedagang Singapura, Jepang kini sudah menguasai sepenuhnya Tanah Melayu. Singapura sudah diambang kejatuhan. Kini, Jepang sedang berperang besar di rantau samudera Pasifik. Negaranya Filipina, sudah tertawan. Kepulauan Papua juga sudah didarati. Kini, Jepang sedang berkira-kira mahu menyeberangi Great Barrier Reef menawan negara Kangaroo. Kepulau Hawaii, negara bahagian ke 51 Amerika Syarikat juga sudah diledak. Di Indonesia, Jepang sudah mengempur Belanda dari dua arah, dari Surabaya di Timur dan Bandung di Barat. Indonesia sudah selingkuh dalam kandang panji-panji Matahari merah. Anak-anak bangsa Indonesia yang sudah kebencian teramat sangat pada Belanda, kini sudah bersatu dengan Jepang menewaskan Belanda.
(2) Sandakan, negeri bahagiannya Sabah sudah didatangi Jepang. Kota Jesselton, kian di hampiri. Begitu juga pengeboman sudah di mulai di Labuan, sebuah pulau di luar Jesellton. Negara bahagiannya Brunei juga sudah diintip pesawat-pesawat peledak Jepang. Semua, seluruh tanah jajahan Inggris, Belanda, Portugis, dan Sepanyol, di rantau sebelah Pasifik sudah hampir semua ditawan Jepang. Begitu hebat bangsa berkulit kuning pisang, berhidung pesek, bermata sepet, dan tubuh pendek ini. Empat bangsa besar Barat sudah tersungkur oleh pedang samurai mereka.
(3) Kini mereka sedang mengalih pandang ke utara, negaranya Burma sedang diidam-idamkan. Begitu juga, Indochina, tanah besar China dan Korea. Begitu hebat Jepang ini, biar kakinya pendek-pendek, namun hati dan fikirannya bulat-bulat seperti bulat perut-perutnya, mereka mahu membentuk Asia-Japonika Raya. Mungkinkah kini, ditubuh mereka itu, amat berbeda dari seluruh bangsa Asia, dari Tanah Arab sehingga Ke Korea, mungkin otak mereka tidak di kepala, tapi di perut gendutnya mereka itu. Maka itu mungkin, nafsu otaknya lebih besar dari tampak tubuhnya. Mungkin kerana besar nafsunya Jepang, pada perkiraan Manan, menjadikan mereka bangsa yang lebih berani dari segala bangsa Asia menantang kekuasaan Barat. Nafsu besar mereka menjadikan mereka bangsa yang berani!
(4) Urusan dagang di Kota Kuching kian lemah. Masyarakat Tionghua di sana, sudah pada mudik ke hulu, ke Bau, ke Lundu, ada yang kian menjauh ke Serian membangun kota-kota baru, jauh dari tangannya Jepang. Kerana peperangan di tanah besar China, Marshall Yamamoto sudah mengeluarkan amaran agar semua bala samurai harus hati-hati sama semua anak-anak Tionghua biar di mana mereka berada. Kebetulan semangat Mao Tze Dung dan Chiang Kai sedang menular hebat ke rantau Asia Tenggara tanda simpati atas dua Gajah China yang sedang bertarung gagah mahu membangun sebuah China yang lebih bersatu hati, satu atas dasar Kebangsaan berpanjikan Jalur Merah Putih, sedang satu lagi atas kesamarataan komunisma yang berlambangkan panji-panji Merah segala. Kedua-duanya sedang mengarap segala kesatuan dan dokongan dari mana saja anak-anak Tionghua agar tercapai segala hasrat mereka.
(5) Jepang amat memerhatikan perkembangan ini. Jepang tidak sekali-kali mahu kuasa barat baik Amerika atau Rusia mencampuri urusan di Asia. Biar Asia, milik Asia dan dipimpin Asia, dan Jepang adalah pilihan tunggal Asia, bukan China, Korea, India, hanya Jepang. Kerana mahunya banyak negara Asia berteduh di bawah payung panji-panji merah, maka itu Yamamoto mengibar panji-panji Matahari Merah sebagai lambang penyatuan Asia. Dalam perkiraan Yamamoto, merah yang mereka cari, merahlah panji-panji pilihan penyatuan samurai. Jika putih yang mereka cari, panji-panji itu juga ada putihnya. Maka panji-panji matahari terbit, adalah pilihan tunggal bagi semua Asia. Di sana ada putih, di sana ada merahnya. Semuanya sempurna.
IX: GRONTOL GANTINYA NASI
Kerana asakan Jepang, kini segala urusan dagang di senantaro nusantara sudah macet. Kehidupan rakyat kian ribut. Hari-hari yang payah kian mengasak. Para tentara Jepang, tiada lain ulahnya, melainkan merampas apa saja yang boleh menguatkan cenkaman mereka. Sesiapa saja, yang menantang pastinya mati katak tertancap bionet terhunus di muncung senapang mereka. Paling tidak, pasti makan tempeleng Jepang, dikeplak dengan dua belah tangan sampai muncerat darah dari mulut, siapa saja yang mahu melawan. Segala apa juga panganan dan hasil tani sudah sukar untuk didagangkan. Rakyat sudah tidak lagi kecukupan beras. Sesiapa yang punya simpanan beras, pasti dirampas diangkut buat simpanan para tentara Jepang. Dagang beras dari China, Indochina, dan Indonesia semuanya sudah macet.
(2) Nur Intan, tidak mahu ketinggalan membantu Manan dalam mencari akal buat menangani kepayahan panganan yang sedang dihadapi masyarakat pimpinannya. Kebetulan, Khartewi, isteri Osman, temannya Manan, juga punya akal memasak yang hebat. Asalnya anak Jawa, yang sudah terbiasa dengan kepayahan sengsara di bawah cengkaman Belanda, Khartewi mengajari Nur Intan agar mencampuri masakan nasi dengan rebusan biji jagung serta di campur sedikit ubi-ubian, paling bagus dengan singkong.
(3) Atau paling-paling kalau tidak ada beras, rebus saja biji-biji jagung di campurkan sama rencetan singkong. Bila sudah masak, diparuti saja kelapa, di campur sedikit garam. Inilah gerontol namanya. Paling enak di makan sama gereh: ikan asin dan air kopi. Begitulah gandingan kepala Nur Intan dan Khartewi dalam menangani keperitan yang sedang melanda, bukan hanya keluarga mereka, namun sudah menular ke mana-mana.
(4) Manan sadar, Simunjan juga tidak jauh dari anginnya sengsara Jepang. Kian hari, kian ramai saudara-saudara baru datang hijrah, datang berduyun-duyun dari Jalan Arang, Dahan, Kolong, apatah lagi yang baru tiba dari Sambas, Pontianak, Brunei, Tanah Jawa, dan Tanah Bugis, semuanya sedang berpusu-pusu memudiki Batang Sadong. Manan dapat merasakan bahawa akan timbul kemelut kurang pangganan yang hebat. Mungkin juga akan ada gelora penyakit yang hebat. Kini dia mulai mengumpul para pengikutnya. Semua pendatang ini harus diurusi dengan baik. Mereka itu anak-anak Tuhan yang sedang payah. Mereka sedang pasrah nyawa dan masa depan ke dalam tangannya. Dia perlu ambil tanggungan memikul sekuat mungkin akan cobaan Allah ini.
(5) Dia segera berhubungan dengan Osman di Terasi. Osman di dapatinya juga sudah dibebani pendatang yang kian banyak. Mereka, atas pengalaman bapa-bapa mertua mereka Bajeng dan Bojeng, kini sekali lagi benganding sepertinya Bajeng-Bojeng melihat semua tempat di mana mereka bisa menghantar semua asakan pendatang ini agar mereka bisa hidup dan memulakan penghidupan baru. Dari seberangnya Terasi, mereka mengarahkan beberapa kelompok untuk membuka beberapa desa baru, Selangkin dengan diketuai Pak Tendero, anak Bugis yang baru datang dua pekan yang lepas, kemudian Tg. Pisang ke tangannya Pak Hj Mersat, anak jati juga dari Bugis, bersama-sama beberapa kumpulan dari Sambas, di seberangnya Simunjan, terbuka desa Tanjung Palas dengan di ketuai oleh Syed Ahmad, seorang darah arab yang sudah bermastautin duluan di Simunjan, ke hulu sedikit dibuka Sg Ba oleh Pak Bojet, seorang Sambas, dan seterusnya paling ke hulu, Lubok Buntin di bawah pimpinan Pak Kederi, juga keturunan Sambas-Brunei.
(6) Simunjan itu sendiri kini sudah terpecah kepada empat buah perkampungan yang berbeda. Kg Nanas di utara, ke pedalaman menghala ke Gunung Ngelik, kini pengembangannya di ketua oleh Pak Derim, yang secara kebetulan adalah sepupu kepada Nur Intan, Kampung Lintang dan Kelaka di bawah kempimpinan Pak Sulong, dan Kampung Saging di bawah kepimpinan Pak Salleh yang juga punya persaudaraan jauh dengan Nur Intan. Hati Manan kini amat senang, kerana sekurang-kurangnya sudah tertebar pembangunan perkampungan di sepanjang Batang Sadong. Dia yakin, semua ini pasti amat berguna buat pertahanan yang amat tersusun bagi menghambat serangan Jepang.
(7) Di muara Sadong, di daerahnya Pendam juga sudah tumbuh banyak perkampungan-perkampungan baru. Iboi, Pelandok, Jaee, Bilis, Rangkang, Sg. Putin, dan Rangawan sudah semuanya terisi dengan segala jenis manusia yang semuanya adalah pengungsi entah dari mana saja. Namum Manan dan Osman, dan seluruh ketua-ketua yang ada melihat semua ini sebagai satu anugerah Allah, atas peluang bagi penyatuan yang maha besar, biar lewat waktu mereka mungkin tidak kesampaian, namun pasti akan diteruskan oleh anak-cucu mereka nanti.
(8) Selepas agak setahun Jepang menapak di Kuching, kini mereka sudah menjejaki perluasan kekayaan baru di persisiran. Beberapa kapal para peninjau Jepang sudah mendarat di Simunjan. Entah bagaimana tajamnya hidung mereka, mereka berpusu-pusu ke Gunung Ngelik, melintasi Kg. Nanas, dan mula mendongkel-dongkel tanah kaki gunung itu. Bukan kepalang kagetnya anak-anak di Simunjan, Jepang sudah menemui perusahaan batu bara: arang batu di kaki Gunung Ngelik. Inilah perusahaan yang telah dibuka oleh Charles Brooke, ponakannya James Brooke, namun telah ditutup pada 1873. Pembukaan semula, perusahaan batu bara ini disambut seperti berita gembira, namun ianya juga adalah berita duka bagi semua para lelaki di Simunjan. Dalam beberapa pekan sahaja, lebih banyak, bukan Jepang biasa, tetapi bala tentara Jepang sudah berkumpul di Simunjan. Para lelaki Simunjan sudah dikumpul segala, kini mereka diambil jadi pelombong batu bara di Gunung Ngelik. Mereka tidak dibenarkan bertani, pada pandangan Jepang itu hanya kerja perempuan, namun sebetulnya, Jepang perlukan buruh buat melombong batu bara. Dan kerana ketidak cukupan tenaga, sebilangan tenaga wanita juga telah diambil sebagai pekerja kayaknya separuh paksa.
(9) Kerana sudah ramai yang tidak boleh bertani, terpaksa kerja separuh paksa di lombong batu bara Jepang, maka hasil tani masyarakat Simunjan kian merosot. Upah yang diberikan juga terlalu sedikit. Manan yang kini dipaksa jadi Mandor diberi upah sebanyak 30 sen sehari. Sedang boroh biasa cuma dapat 20 sen. Upah ini hanya cukup untuk membeli garam, sedikit beras, gula, dan pakaian yang sebetulnya amat payah untuk diperolehi.
(10) Cuma syukur bagi Manan, kerana dia punya Osman, di hilir Sadong, dan tidak diganggui Jepang, dia masih dapat bekalan pangganan yang agak lumayan kiriman Osman. Cuma segala urusan terpaksa dibuat secara sulit. Biasanya Osman akan datang berkunjung pada lewat malam dan pulang se awal subuh. Semua ini agar tidak ketahuan oleh Jepang.
(11) Agaknya kerana sudah terlalu banyak sengsara dan bebanan yang dipikul, Manan semakin hari semakin lemah kesihatannya. Sejak kerja sebagai Mandor di lombong batu bara Jepang, dia sering saja batuk-batuk. Ada kalanya sampai menyembur darah. Dadanya kian sakit. Badannya sudah semakin hilang daging-daging pejal, kini timbul tulang-tulang kurus. Pipinya kian kerepot, matanya kian ke dalam. Namun, bila ditanya Nur Intan, apa dia sakit, disembunyinya segala. Dia tidak mahu keluarganya jadi gusar. Anak-anaknya Muhammad, Noraini, dan Masni semuanya masih kecil-kecil. Paling tua, Muhammad hanya baru lima tahun umurnya, sedang Noraini baru saja berusia dua tahun dan Masni masih lagi bayi yang belum tahu apa-apa. Masih terlalu muda. Dia tidak sanggup melihat mereka jadi gusar.
(12) Suatu hari, bila Osman bertandang mengunjungi dia di rumahnya, dia berbicara sulit dengan Osman, tentang kemungkinan dia terpaksa pergi duluan. Dia, memohon agar, jika dia sudah tiada, anak-isterinya dipertanggungjawapkan pada Osman dan bagi mengikat erat persaudaraan mereka, harus Muhammad di nikahkan dengan anak perempuannya Osman. Manan bagai memberi wasiat terakhirnya pada Osman. Mendengar itu semua, membuat tiada apa yang terkata oleh Osman. Dia tahu sahabatnya itu tidak pernah dusta, dan amat pilu rasanya dia melihat sahabatnya itu sedang begitu sengsara.
(13) “Manan, usah kau khuatir. Sebegitu setiaku padamu diwaktu kita di tanah tumpah darah kita, di samudera, di perantauan, di sini akan tiada bedanya samada kau ada di depan mataku atau sudah tiada. Keluargamu adalah keluargaku juga. Janganlah kau berhiba hati, cobalah banyak bersabar, dan jika perlu istirehat banyak-banyaklah. Aku akan sering kemari bersama anak dan isteriku. InsyaAllah, Aishah anakku yang paling tua, sampai waktunya akan kujodohkan dengan Muhammad. Aku bersumpah atas nama persahabatan kita, itu akan kupatuhi niatmu Kang Manan”, sumpah Osman pada Manan sambil mengegam erat tangan sahabatnya, sedang air matanya sudah mulai menutupi penglihatan jauhnya.
(14) Tiada lama kemudian, enam purnama kemudian, Manan pulang dalam tidur yang amat lena. Di waktu itu, di hari itu, panji-panji Matahari Terbit juga sudah berlabuh turun. Pihak Bersekutu telah menang perang di Pasifik, Marshal Yamamoto sudah menyerah kalah.
(15) Keluarganya Nur Intan, kini berada antara suka dan duka. Gembira kerana sengsara peresan Jepang sudah usai, sedang mereka juga sudah hilang tubuh yang begitu gagah mengasihi dan melindungi mereka dari segala bahana. Paling duka, Muhammad belumpun sempat belajar erti hidup, belumpun sempat mengenali ayahnya secara halus dan dalam. Pada usia semuda itu, ayahnya adalah cuma teman sepermainan, bukan teman perguruan ilmu hidup. Noraini dan Masni bila sudah besar esok, pastinya tidak kenal rupa ayahnya, mereka terlalu kecil untuk ingat dan tahu apa-apa.
(16) Nur Intan kini termanggu, kini dia bukan hanya bapa kepada anak-anaknya, bahkan bapa kepada adik-adiknya Alauyah, Yusuf, Suhaili, dan Ohek, yang belum bergitu dewasa. Dia pasrah, dan tekad akan terus menetap di Sedilo, dan tidak berganjak biar sudah puas Osman dan Khartewi mengajaknya pindah saja ke Terasi. Sukar baginya untuk meninggalkan Sedilo dan Simunjan yang telah banyak menyimbah air mata dan keringat kepayahan suaminya, Manan.
X: INTAN PERMATA DELIMA
Nur Intan, yang usianya baru menjangkau lewat 30an, biarpun belum puas bertemankan seorang suami, kini, berbekal semua perjalanan hidup ayah-ibu dan suaminya, sedang mengatur perjalanan hidup barunya sebagai ketua keluarga. Atas tanggungan barunya, kini dia lebih banyak bersama anak-anak dan adik-adiknya. Muhammad biar usianya baru melepasi lima tahun, adalah anak lincah yang cepat mempelajari apa saja. Dia tahu, ayahnya sudah pergi, kini dia mesti sama memikul beban menghidupkan adik-adiknya.
(2) Nur Intan, membimbing Muhammad akan segala ilmu hidup, bersawah, berkebunan, menangkap ikan, segalanya. Dia memastikan anak itu tumbuh sebagai lelaki yang tegas dan kuat. Saban malam, dia akan mengumpul anak-anak dan adik-adiknya tidur sekelambu, bercerita tentang penghidupan nenek moyang mereka. Kepada Muhammad sering diingatkan bahawa arwah ayahnya Manan mahu dia menjadi lelaki yang berjiwa besar dan pemurah. Dia tidak mahu sekali-kali Muhammad menjadi manusia lalai, dia harus rajin, berani, dan mesti ringan tulang bila ada kesusahan pada orang lain. Dia sering diingat akan sifat-sifat ayahnya. Nur Intan mahu, agar Muhammad terus menjadi Manan yang baru dalam hidupnya. Dia mahu, jiwa dan semangat Manan terus hidup agar dia juga dapat terus bertahan. Perlahan-lahan segala sifat Manan tumbuh subur pada diri Muhammad, dan Nur Intan kian tampak permata delima hatinya, Muhammad kian subur dan dewasa.
XI: GENERASI PASCA MERDEKA
Sekian waktu berlalu, Muhammad sudah menjadi dewasa, begitu juga Aishah. Atas pintanya rakannya Manan, Osman mengajukan kepada Nur Intan agar mereka berdua disatukan bagi mengikat terus kekerabatan Bajeng-Bojeng. Nur Intan, bukan kepalang gembiranya, kecil sawah di ladang, satu Simunjan dia tadahkan bagi menyambut permintaan almarhum suaminya.
(2) Dalam masa yang sama, juga, Nur Intan telah disunting oleh Yunus, seorang duda Banjar yang datang dari Kalimantan Tengah. Dengan segala penyatuan jodoh ini, maka keluarga Nur Intan kembali utuh dan segala bebanan hidupnya kini dapat diurus secara saksama.
(3) Aishah, kerana, agak sukar untuk berpisah dengan ibunya Khartewi, meminta Muhammad untuk sering ulang alik ke Terasi, di mana akhirnya Muhammad memutuskan saja untuk menetap di sana, sedang selang beberapa minggu dia akan terus mengunjungi ibu dan adik-adiknya di Sedilo. Perjalanan berperahu, antara Sedilo-Terasi secara berdayung mengambil masa separuh hari. Pasang, mudik, surut, menghilir. Begitulah keberadaannya di waktu itu.
(4) Di Terasi, Muhammad memajak sebidang tanah, dari seorang rakan Iban bernama Usop. Di tanah tersebut, dia membina sebuah dusun kelapa, buah-buahan, dan menanam padi pada sebahagiannya. Jagung, tembikai, labu, kacang tahu, kacang hijau, dan kacang tanah adalah tanaman giliran di musim kering, semua ini untuk pangganan ayam dan itik, dan simpanan lauk di musim tengkujuh yang biasanya kebanjiran besar. Begitulah kehidupan Muhammad-Aishah di awal kehidupan berumahtanganya mereka. Hidup penuh kepayahan, namun tetap berdikari, berjuang terus dalam menyambung zuriat bangsa. Perjuangan mereka tidaklah sehebat Bajeng-Nuriah dan Bojeng-Khatijah bahkan Manan-Nur Intan dan Osman-Khartewi, namun pastinya, hari muka mereka tetap sama, belum pasti ketentuannya. Biar Jepang sudah lama pergi, namun kesan perang yang begitu dahsyat masih mencengkam ganas keperitan kehidupan masyarakat di mana-mana saja.
(5) Di Kuching, sudah ada ura-ura gerakan kemerdekaan, sebagai ikutan kemerdekaan Malaya pada 1957. Kebetulan, di masa ini, sudah mulai terjual radio-radio berbateri basah, dan berita sudah mulai terpancar dari Suara Singapura dan sekali-sekala di kejauhan malam, pasti juga terdengar suara-suara Malaya. Rosli Dobi juga sudah diberitakan menumpahkan darah Wakil Brooke di Sibu, dan gerakkan kemerdekaan di Sarawak sudah kian pasti.
(6) Muhammad kerana diam dalam sekitaran yang jauh lebih aman dari yang pernah di lalui oleh nenek moyangnya Pak Abdullah, Pak Dolmat, Ibu Aishah, dan Bojeng tidak punyai jiwa kebangsaan yang tebal seperti mereka. Juga lantaran segala kepayahan hidup membuka dan membangunkan segala desa hanya dilaluinya di zaman anak-anaknya, maka tidak banyak yang dia mengertikan tentang gerakan kebangsaan Sarawak, Malaya, dan bahkan Indonesia. Hidup dewasanya kini hanya perlu dipenuhi untuk hidup membina keluarga, membina kekuatan masing-masing. Sama halnya, dengan segala generasi seangkatannya, mereka hanya mahu melepaskan kemelut kehidupan keluarga yang kian membesar dan banyak. Kebetulan di waktu ini, penjajahan Brooke sudah kian lemah. Gangguan penjajahan asing sudah kian berkurangan. Beberapa negara di rantau Asia juga telah mulai bebas dari berlenggu penjajahan. Seperti juga Muhammad, negara-negara ini, kini seperti sedang sibuk untuk membina kekuatan masing-masing sebagai sebuah negera merdeka.
(7) Bila berita Tunku Abdul Rahman mengistiharkan pembentukan Malaysia pada tanggal 16 Septembar, 1963, Muhammad bersama dua anak jaguhnya, Shamsuddin dan Munshi sedang bersila menghadap hidangan kopi malam dan gorengan keladi. Aishah, pula, di bawah pelita yang berjelaga kuat sedang menjahit tangan pakaian anak-anaknya yang kian nakal dan comel, si Sham dan Munshi. Di hati keduanya, Manan dan Aishah, mereka sadar, telah merdeka negara ini, telah bebaslah anak bangsa ini dari belenggu penjajahan. Dalam sanubari mereka berdoa, mudah-mudahan anak-anak mereka akan kembang dan tumbuh bersama kemerdekaan dan kebebasan yang maha agung ini. Semoga segala sengsara dan kepayahan nenek moyang mereka tidak akan pernah terjadi pada diri anak-anak ini. Mudah-mudahan mereka akan terus tumbuh menjadi bangsa yang terus merdeka dan perkasa.
(8) Kian waktu, Sham dan Mushi tumbuh dan membesar bersama tumbuh dan berdiri gagahnya sebuah negara merdeka, Malaysia, biarpun agak terlewat dua belas tahun dari merdekanya bangsa Indonesia yang duluan pada 17 Augustus, 1945, negara nenek moyang mereka. Cuma, sedikit waktu lagi, pasti anak-anak ini akan sadar bahawa Malaysia cuma merdeka siasahnya saja, sedang perekonomian anak-anak pribuminya kian dihimpit atas kelalaian dan kekhilafan perjuangan bangsa Melayu itu sendiri.
17 Mei-28 Nov, 2009
Matang Jaya, Kuching
…………………………………………………………………………………...
Nota: Coretan ini adalah terbuat (dan di olah semula berdasarkan tulisan asal berjudul: Bahtera Membelah Samudra Menelusuri Tunjang)dari perkisahan oleh adinda nenek saya, Yusuf Bojeng (dan rakan-rakan nenda saya Syed Ahmad, Ami Sulong, dan Nenda Derim, sepupu nenek saya, yang sering bertandang ke rumah kami semasa kecilnya saya) selepas saya dan adik-adik siap belajar mengaji di waktu malam hari. Beberapa nama, tempat, watak, kejadian diolah bagi mendramatiskan coretan, namun saya sekuat ingatan mencoba untuk menjitukan coretan ini, namun kejituan sebenar tidak mungkin dapat saya pastikan kerana, kini semua mereka sudah pergi. Mudah-mudahan ada yang lainnya akan dapat memberikan imbasan yang lebih jitu buat ingatan dan teladan anak-anak bangsa di hari muka. Mudah-mudahan dengan izinNya.
2 comments:
subhanallah...maha suci Allah yang membenarkan aku untuk membaca perkisahan nenek moyang ku setelah 31 tahun aku hidup...semoga jerih perih mereka mendapat rahmat dan keredhaan Allah S.W.T...ditempatkan bersama orang2 yang beriman...aminnnnn..
Maha Suci Allah yang lebih mengetahui segala-galanya. Semoga bingkisan berharga ini dapat diketengahkan dengan lebih jayanya untuk tatapan anak cicit keturunan Riau-Sunda-Jawa di bumi bertuah ini.
Post a Comment