Roh Batu:
Semua orang kenal batu. Kalau banyak dipanggil batu batan. Kalau menghampar dipanggil batu hampar. Kalau jauh-jauh, disebut berbatu-batu. Jika letaknya di jari, disebut batu cincin. Kalau benar-benar keras dan berharga mahal, disebut batu permata. Batu itu sebetulnya kejadiannya bagaimana? Ianya pejal. Keras. Biar hanya seketul sebesar gengaman penumbuk kucing, tetap ianya keras pejal. Allah, ada-ada saja yang anih yang tidak kumengerti secara pasti akan bikinanNya. Dari kerak bumi, dari luluhawa yang mengelegak, lalu mencair dan bergerak-gerak berasak-asak secara sesimik, beribu-ribu mungkin ratusan ribu, mungkin juga jutaan tahunan, kian waktu kian tindan bertindan-tindan berpusar-pusar bergumpalan saling menghenyak lalu terkeluar hampir-hampir ke permukaan bumi menjadi batu hampar, sedang sebahagiannya terus melingkari segala macam gunung, gurun dan bahkan pinggir lautan. Sebegitulah kejadiannya batu. Tanpa kerasnya batu, tanpa hadirnya batu, tanpa hampirnya batu di muka bumi, apa akan ada gunung, tasik, sungai dan lautan? Allah MahaPencipta, dan manusia itu ibarat bayanganNya, sebetulnya, waliNya, juga punya upaya mencipta dan menundukkan batu menjadi segala binaan dan menara. Batu juga menjadi punca manusia menjadi serakah sehingga terus bergulat bermati-matian bagai katak lantaran terowong batu menyimpan segala bahan bakar. Allah sebegitulah MahaKasihnya kepada UmatNya. Biar pada batu yang keras itu, tetap ada nikmatNya untuk manusia. Nan pasti, apapun dari batu, tetap keras. Maka, timbullah segala gelaran seperti kepala batu, hati batu, batu api dsb.
(2) Aku berfikir-fikir, kenapa harus sebegitu recam kejadian batu? Kenapa tidak sahaja lewat Kun Faya Kun batu itu terjelma saja terus keras. Haruskah Allah menjadikan segalanya melewati segala macam jalanan yang panjang? Ya, aku bertanya dan terus bertanya. Bukankah Dia MahaBerkuasa? Kenapa segala kejadianNya harus melwati cara yang panjang recam? Tidakkah yang berkuasa, tidak pernah mahu tahu akan jalan kejadian sesuatu kehendaknya? Seorang Raja contohnya, jika dia mahukan pisang, pasti terkejar-kejar segera pisang dihantarakan kepada baginda oleh para dayangnya. Tidak melewati apa-apa galang, hanya minta, pasti terus ada. Kenapa Allah menjadi sebaliknya sedang Dia MahaPencipta? Sedang para Raja, para Perdana Menteri, apa lagi yang dinamakan Presiden dan segala, yang semua adalah bikinan Allah, saat meminta pasti tidak butuhkan biar hanya lima menit, pasti sudah tersedia segala. Kenapa? Apa mungkin lantaran Allah itu MahaPenyabar sedang manusia MahaTamak?
(3) Ternyata yang keras, yang pejal, yang kukuh itu harus lama jalanan pembikinannya. Biar apapun. Biar kepala batu sekali pun. Tidak manusia berkepala batu itu terlahir azalinya sebegitu. Tidak. Berkepala batu bukan akibat zuriat. Berkepala batu adalah akibat perjalanan hidup yang dia lalui. Apa lagi yang dinamakan batu api. Hanya lamanya waktu, hanya recamnya jalanan pembikinan, menjadikan segala keras dan pejal sekeras dan sepejalnya. Utuh, ulet, kekar, tegar. Payah untuk dirobah seringnya.
(4) Aku kebetulan berjalan. Berjalan-jalan, hajatnya mencari-cari teman-teman. Teman-teman seperguruan. Teman-teman suatu ketika dulu, seguru sepermainan. Teman-teman semasa anak-anakku. Sekitar empat abad dulu. Empat puloh tahun dulu. Sekitar empat ratus lapan puloh purnama dulu lamanya. Juga sekitar dua ribu lapan puloh pekan. Harinya, pasti lebih banyak hitungannya iaitu sekitar empat belas ribu, enam ratus dan sepuloh hari. Sebegitulah Hisab lamanya kami tidak pernah ketemu apa lagi ngobrol bermimpi indah-indah bagai anak-anak kecil mengejar pelangi di tengah bendang. Kami telah terpisah. Terpisah bukan kerana apa, lantaran menghambat hidup. Seperguruan, jumlah kami adalah sebanyak tujuh ratus dua puloh nyawa dan badan menjadikan kami adalah tiga ratus enam puloh anak-anak. Kami berguru, untuk mengenal melangkah. Kami belajar bertatih untuk mengerti jalanan hidup. Belajar dan bermain, bagai kamilah budak baru belajar, salah dan silap maafkan saja. Baru belajar sekadar kenal-kenalan, berkawan-kawanan. Teman sepermainan penuh suci tanpa batas pemisah melainkan sedikit kecoh-kecoh lalu bergelut berbantai, namun sepekan dua, pasti kembali lagi bergandingan tangan lalu terus kejar mengejar berusikan lalu bergelut berbantai lagi namun tetap akan bergandingan tangan lagi sepekan dua lagi. Sebegitulah, benih-benih hidup bersahabat tersemai di hati kami, lalu aku berjalan untuk mencari semua untuk bertemu semua. Seperti batu, kejadian kasih persahabatan di antara kami terpintal berpusar-pusar, menjadi kental, lalu kini harus kami pejalkan kembali agar lahir kepala keras, hati batu melangkah menjadi hulu balang hulu balang tersendiri. Aku berjalan menyusur tempat bermain dan tempat jatuh untuk kami In Shaa Allah boleh sekali lagi bermain dan mungkin juga jatuh dalam lain rupanya.
(4) Akankah kutemuikah kepala batu, hati batu di antara kami untuk mengorak langkah kepewiraan membela? Apa mungkin lebih batu api dari hati, kepala batu yang akan aku temui? Aku pasti, ada. Ada lantaran ada di antara kami sudah menunjukkan kepala dan hati batu di saat-saat kami sedang merangkak. Kemiskinan pernah kami tendang. Kepayahan pernah kami terajang. Duka pernah kami henyak pergi. Segala galang pernah kami patah-patahkan. Jalanan menantang yang telah kami lalui, pasti adalah dari kepal dan hai batu untuk menang. Sebetulnya memerdekakan diri. Apa tidak mungkin sifat-sifat itu tidak selari dengan sifat kental keras Muhammad SAW di saat anak-anak dan remajanya yang waktu membuktikan menjadikan dia manusia Muslim teragung? Aku merasa, telah sampai waktunya, untuk aku mencari kepala batu, hati batu di antara kami untuk siap melangkah panjang. Apa tidak mungkin ada di antara kami akan bangkit menjadi Melayu yang membela sekental sekuatnya Melayu yang kian terpinggirkan? Aku yakin ada. Cuma, sepertinya batu terkeras, harus datang dari dasar bumi yang jauh serta lama waktu Allah membikinnya. Itu yang harus aku cari di antara kami. Harus kudongkel jiwa-jiwa sebegitu dari kuburan sebelum matinya mereka.
Manusia Pinggiran:
Makanya aku memutuskan untuk berjalan di Negeri entah berantah ini. Negeri, di bumi di mana aku pernah menangis sendiri-sendiri. Di Negeri, di bumi aku pernah melangkah menongkah takdir sepertinya. Aku berjalan terus. Mencari terus. Di Negeri antah berantah ini, kutumpahkan pencarianku akan sahabat-sahabatku yang mungkinnya ada berkepala dan hati batu. Lantas Allah membawa fikir dan hatiku ke sebuah pinggiran. Pinggiran segala pinggiran. Pinggiran hutan sebetulnya. Nyaman. Sepi. Dingin. Dingin nyaman hijau pinggiran hutan ini. Lalu pinggiran ini, bertembung pula dengan pinggiran sungai. Pasti ini menjadi mengasyikkan lagi. Pinggir hutan di pinggir sungai. Sungai airnya melimpah saat hujannya lebat. Hutan memberi nyawa kepada sungai itu. Lalu nyawa-nyawa lain hidup sehidupnya. Para ikan, labi-labi, kura-kura, sesekali ular sawa melintas menyusur air deras, serta tikus-tikus berpulangan selepas membantai sawah meratah padi-padi nan sedang menguning indah, semuanya seperti menjadikan sungai adalah pentas sempit kehidupan. Segala terpamir di sana. Alam menjadi hidup lantaran kebersamaan sungai dan hutan. Juga anak-anak manusia keceburan mengilai tertawa indah, bermandian, bermainan sepuas-puasnya, sedang para ibu-ibu, bapa-bapa turut riuh bersorak surai tertawa entah segala apa cerita mereka. Namun manusia-manusia ini adalah pinggran jua, biar mereka punya kaki, punya rasa, punya cita-cita. Mereka membatu, meminggir di sini. Cuma, aku bertanya, apakah mereka telah memilih untuk meminggir dan atau terpinggir? Nan pasti, sesunguhnya, manusia-manusia ini, adalah pinggiran di atas segala pinggir. Mereka menjadi manusia-manusia terpinggir. Asalnya mereka meminggir. Waktu berjalan terus, kepanasan hidup mengasak mereka, sepertinya kejadian para batu, lewat waktu, mereka terkapar terhampar menjadi manusia-manusia pinggiran. Mereka menumpang hidup di pinggir hutan, di pinggir sungai, di pinggir sawah ladang yang bukan milik mereka. Hari-hari sebermula ayam jantan berkokok, mereka sudah meniti pinggir hutan, pinggir sungai menyerah tulang menyerah kudrat mengusaha ladang sawah bendang. Biar panas, biar hujan, biar bah, biar kering tandus, mereka harus terus menyerah diri mencari rezeki di sawah bendang dan ladang. Rezeki mereka hanya secupak, namun rezeki yang mereka serahkan kepada empunya sawah bendang dan ladang adalah berkoyan-koyan. Bagian mereka hanya sekelumit biar peluh mereka menyimbah paling basah. Rezeki mereka sekadar melukut di tepi gantang, maka tidak hairan kehidupan mereka adalah ibarat melukut di tepi gantang juga. Mungkin jauh lebih parah, ibarat telur dihujung tanduk. Benar-benar terpinggir. Sudah berapa lama sebegitu? Tidak berjutaan tahunan, juga tidak berpuloh ribuan tahunan, hanya mungkin ribuan tahun dulu, saat adat berRaja dan berMemanda Menteri harus mereka terima.
(2) Mereka, manusia-manusia pinggiran, diam membatu lalu membiak di Kampung pinggiran ini. Biar sekadar mengutip hidup pinggiran, mereka tetap ulet, utuh, keras untuk terus mengusur hidup pinggir-pinggiran. Kehidupan mereka, memang gusar gusur, lantaran cara hidup mereka sedari dulu, sudah entah berapa keturunan, tidak terHisab lagi adalah lewat cara gusar gusur. Hidup mencelah-celah. Lalu, inilah Kampung yang juga terbangun lewat cara gusar gusur. Kampung yang terbangun dari rasa kalah dan menyerah. Mereka hidup di atas sisa-sisa anugerah Tuhan yang sangat luas. Mereka sekadar kebagian sisa dari nikmat seluasnya. Biarlah Kampung ini, kuperkenalkan sebagai Kampung Pinggiran untuk sementara waktu, sebelum kutemukan nama sebenarnya sebentar nanti mungkinnya.
(3) Manusia-manusia Kampung Pinggiran ini, mereka asalnya, beribu tahun dahulu, para moyang mereka digelar hamba rakyat. Siapa yang mengelar mereka sebegitu? Inilah adat. Yang di bawah harus merendahkan diri. Mereka secara rela menghambakan diri. Sedang rakyat adalah panggilan umum juga untuk mereka, namun saat berRaja, sekadar bergelar rakyat belum menanda rasa penuh hormat mereka kepada Raja. Hamba rakyat adalah gantinama perkenalan diri yang jauh lebih terhormat. Itu faham mereka. Itu tujuan mereka. Menghormati Raja. Mereka mengangkat darjat Raja jauh lebih tinggi dari mereka. Pada Raja mereka gelarkan Tuanku. Itu gelaran membeza kehormatan. Namun, sesungguhnya, mereka secara gelap mahukan Raja melindungi mereka, mengepalai mereka, memimpin mereka. Mereka sebelum Islam lagi sudah ada bibit Islam dalam diri mereka. Umat Islam harus ada pemimpin, pelidung, ketua, khalifah. Maka Raja mereka cipta sebagai ketua. Tuanku adalah tahta kepimpinan yang hamba rakyat berikan kepada Raja. Maka, selagi ada rakyat, harus ada Raja. Tiada rakyat, akan adakah Raja? Namun Raja untuk apa? Rakyat pula untuk apa? Apa mungkin rakyat sekadar bagi mengadakan Raja? Setelah Raja ada, rakyat bagaimana? Persoalan-persoalan itu tidak pernah ada dalam kepala mereka. Mereka tidak mahu berfikir berdolak dalik yang akhirnya menjadikan segala menjurus di atas rasa curiga dan prassangka. Mereka hanya tahu, ada rakyat harus ada Raja. Ikhlas, tulus, tujuan mereka. Tulus sebening air mengalir indah di sungai itu. Seperti juga sebuah cinta, pemberi cinta memberi setulus sejernihnya. Tidak ada soal. Diberi, bahkan diserah sebersihnya. Biar kemudian banyak penerima cinta mengkucar-kacir segala. Sebegitulah, MahaHebat Allah mencintai UmatNya, namun UmatNya belum pasti banyak mengerti akan MahaSuci cinta Allah buat mereka. Sebegitulah nasib yang memberi di tangan yang menerima. Yang memberi akhirnya terlentang mati meminta-minta. Maka apa yang aku lihat dan rasa, sepertinya, saat ada Raja, asal keperluan Raja sudah menjadi terbalik dari rasa dan ingin rakyat. Hamba rakyat, yang menyerah diri penuh jujur ikhlas, kian banyak tergeletak mati kufur dilenyet waktu. Kenapa?
(4) Apa sebetulnya Tuanku itu kini sudah mungkin lain maksudnya dari yang hamba rakyat dulunya mengertikan. Hamba itu adalah gantinama bagi aku. Maka Hamba rakyat itu adalah bermaksud sebagai aku rakyat yang lebih sempurnanya adalah aku adalah rakyat. Maka hamba rakyat adalah gantinama terhormat bila rakyat sedang berbicara dengan Raja. Namun kini, hamba itu sudah rasanya dilihat sebagai abdi. Memang benar, boleh juga sebegitu maksudnya. Namun hanya sebegitu saat Raja, telah berlaku adil saksama prihatin kepada rakyat. Atas tanggungjawab terusai sebegitu maka rakyat harus menumpah taat setia kepada Raja. Saat sebegitu hamba itu membawa maksud pengabdian taat setia, namun tetap tidak membawa erti penghambaan. Manusia, jiwanya, sedari dia celek sehingga merem tidak pernah terlepas dari godaan syaitan dan iblis. Maka, hamba dari membawa erti membina, menghormati sering saja ditaksir sebagai kedudukan untuk ditindas.
(5) Namun., atas insaf betapa mereka harus punya Raja, maka rakyat di Kampung Pinggiran ini, yang dari tanyaku, kini kuketahui bernama Kampung Shah Bana, telah memilih seseorang sebagai Raja. Raja itu mereka nobatkan sebagai Raja Shah Bana. Raja bagi Kampung Shah Bana, agar baginda menjadi pemimpin, pelindung, payung kepada hamba rakyat Kampung Shah Bana. Sebegitulah niat mereka. Mereka memberi hormat, merendah diri menjadi hamba rakyat sebagai tukaran kepada Raja pemimpin, payung, pelindung mereka. Mereka berharap agar terpelihara segala sudut kehidupan mereka. Terpelihara. Kata terpelihara itu sangat mudah. Sangat ringkas. Namun apa maksudnya? Jika anak burung, pasti kedua ibu-bapanya yang memelihara. Menjaga. Makan-minumnya terjaga. Keselamatannya terjaga. Memelihara, dan menjaga sama saja maksudnya. Sebegitu juga si bayi dan anak-anak. Lantaran masih bayi dan anak-anak, pasti ibu-bapa juga harus memelihara mereka. Menjaga mereka. Untuk apa, kenapa? Bukan lantaran mereka itu bayi juga anak-anak, lantaran mereka itulah yang menyempurnakan cinta kasih kedua ibu bapa mereka. Tanpa mereka, apa mungkin ibu-bapa mereka bernama dan atau menjadi ibu-bapa? Tanpa mereka, tiada akan ada buah kasih dan tanda korban cinta, Sebegitulah tingginya nilai seorang bayi, anak-anak bagi sepasang kekasih sejati. Mana mungkin ada pasangan dinamakan ibu-bapa, jika mereka tidak punya anak dari darah daging mereka sendiri. Tidak dan tidak. Manusia tidak punya upaya sebegitu, melainkan Adam AS dan Mariam RA. Selain mereka, tidak ada. Tidak mungkin, selagi bernama manusia.
(6) Aku terus berfikir. Berjalan. Di pinggir hutan ini. Di pinggir sungai ini. Di pinggir sawah bendang dan ladang ini. Meniti segala kepinggiran ini. Bagai musafir di gurun gersang rasanya. Tenggoroku haus seperti haus keringnya jiwaku. Kugagahi agar kutemui pelangi di hujung jalan. Paling perih, hatiku luka di tengah-tengah rakyat pinggiran itu. Darah lukaku tidak menetes biar setitikpun, namun lukaku tetap merekah di dalam. Kulihat, Raja mereka Sultan Shah Bana, sudah meminggirkan mereka. Mereka hidup di pinggir hutan. Mereka hidup di pinggir sungai. Mereka hidup di pinggir sawah bendang dan ladang. Mereka hidup dipinggirkan Sultan Shah Bana. Tindan bertindan-tidan mereka dipinggirkan. Menjadilah mereka akhirnya masyarakat pinggiran tulin dan keras. Tulin dan keras sebagai apa? Kepayahan mula menindan. Berkurun-kurun. Terus menindan. Tiada tangan mengangkat duri dari jalanan hidup mereka. Jalanan hidup mereka penuh duri berhamburan. Ke kiri duri. Ke kanan duri. Ke depan duri. Ke belakang duri. Yang mereka tahu berjalan meminggir-minggir segala duri. Allah, sepertinya tersenyum memerhati tingkah mereka terkinja-kinja mengijak duri dan melatah. Allah sepertinya sedang berhibur pada jalan minggirnya mereka. Allah berhibur? Mana mungkin Dia berhibur di atas sengsara UmatNya. Aku bilang Allah berhibur, ada beda dengan berhibur. Sebegitulah aku menduga-duga. Mereka akhirnya terus sahaja berjalan semakin ke pinggir mengelak duri-duri sejauh mungkin. Lantas, lantaran terlalu ke pinggir, mereka kepeleset dalam jurang kemiskinan. Kepayahan menidan kemiskinan. Lalu perit hidup tidak pernah pergi biar sekadar dibawa bah untuk sekejap. Hidup mereka benrgumpal bagai larva gunung berapi payah atas miskin dan perit di atas segala. Hidup mereka menjadi membatu, keras sukar dipecahkan atas satu nama iaitu kemiskinan. Di situ juga Allah sedang memerhatikan. Memerhatikan apa? Apakah Allah sedang tersenyum juga? Senyuman Allah itu apa mungkin manis atau sinis?
(7) Terkusur-kusur aku berjalan. Menyepak-nyepak batu keras. Sesekali kuambil anak-anak batu, lalu kubaling jauh-jauh ke dalam sungai, ke dalam sawah, kulayang sekuatnya ke pinggir hutan. Seperti batu-batu itu ingin kubuang jauh-jauh. Untuk apa? Apa salahnya batu-batu itu maka harus kuperlakukan sebegitu? Apa sebenarnya yang ingin kulemparkan? Kesal. Nyesal. Aku meraba-raba rasa sesal di dasar lubuk hatiku. Apa mungkin rasa sesal itu yang sebetulnya hendak kulemparkan. Mungkin juga dasta Raja Shah Bana yang sedang kubaling-balingkan. Untuk apa? Agar dasta baginda jatuh ke bumi lalu baginda turun merasa menginjak bumi? Mungkin juga kepala batu manusia-manusia Kampung Shah Bana sedang kulontar-lontarkan. Untuk apa? Agar kepala mereka merekah pecah memuntahkan otak lalu meleleh ke bumi? Untuk apa? Kenapa? Hamba rakyat ini, asalnya tidakkah mereka rakyat merdeka berdaulat? Tidakkah segala hutan dan sungai itu dulunya milik mereka? Tanah sawah, tanah ladang itu, asalnya apa? Tidakkah semuanya itu asalnya adalah tanah hutan tempat mereka mengejar segala keperluan hidup sebebas semerdeka sangat berdaulat sekali? Saat mereka merdeka berdaulat, hutan itu tetap hutan. Sungai itu tetap sungai sejadinya. Mereka merdeka berdaulat memperlakukan apa saja sekadar kebutuhan azali mereka. Namun kini, kenapa mereka jadi terpinggir? Dulu tuan, kini penumpang? Saat mereka berpunya Raja Shah Bana, kemerdekaan dan kedaulatan mereka kepada hutan, kepada sungai itu melayang pergi. Kenapa, bagaimana?
(8) Aku menengadah kepada Tuhan. Bertanya. Bertanya untuk mereka. "Saat tiada Raja, mereka adakan Raja. Mereka perlukan Raja untuk berbagi sesaksama nikmat hutan seluas Engkau, Ya Allah ciptakan. Namun, saat mereka berRaja, segala menjadi milik Raja, mereka tersisa hanyalah pinggiran. Tuhan, Ya Allah kenapakah tangan memberi tidak menerima pada jalan saksama, sedang tangan nan menerima mengambil semua?" Aku juga kian berfikir apakah ini tidak hukuman Allah buat mereka yang tidak mahu berfikir? Ini hukuman duniawi Allah. Hukuman bagi yang tidak mahu berfikir, pasti payah hidupnya. Sengsara. Perit hidupnya. Juga, hukuman dan mungkin lebih enak disebut sebagai imbalannya bagi yang mahu berfikir, bekerja keras, lalu serakah jadinya. Yang kuat berfikir, siang malam, menjadikan mereka serakah akhirnya. Semua ingin agar jadi milik mereka, lantaran mereka bistari jalan fikirnya. Lalu aku terus berfikir dan bertanya haruskah berfikir itu demi serakah atau apa? Untuk serakah memuaskan nafsu, apakah perlu berfikir? Sepertinya lembu, apa dia harus berfikir untuk makan dan terus makan? Segala binatang, demi nafsu apa mereka harus berfikir? Tidakkah berfikir itu membuah akal? Tidakkah akal itu demi kebaikan? Tidakkah berfikir dan berakal itu sifat manusia, tidak pada binatang. Lantas, jika manusia berfikir hanya untuk kenyang sendiri, apakah dia berakal atau sekadar bernafsu yang tiada beda dengan binatang? Itu sepertinya adalah polimik hukum duniawi. Namun Allah juga mengadakan Hukuman bagi segala Hukuman di akhirat nanti. Bagaimana itu? Itu urusan Allah pastinya. Aku tidak usah menduga-duga sehingga ke langit sedang yang di bumi belum aku kepikirin semuanya.
(9) Cuma aku kepingin menyoal. Bukankah Raja itu untuk melindungi hamba rakyat. Menjaga hamba rakyat agar hamba rakyat terus teguh bersama Raja? Namun apa yang kutemui Raja sudah tidak bersama hamba rakyat. Katanya, Raja Shah Bana sudah mewakilkan KeRajaan baginda kepada para pembesar Negeri yang baginda panggil Datuk Memanda Menteri, Datuk Wakil-Wakil Rakyat, Datuk Pak Kantor, Datuk Temenggong, Datuk Pengawa, sehinggalah Datuk Kepala Desa. Semuanya ada gelaran agar mudah melindungi hamba rakyat. Raja berbuat sebegitu lantaran Raja dikatakan mempunyai daulat. Apa itu daulat? Daulat adalah kebebasan yang sering dilihat sebagai kebesaran untuk memberi kuasa dan berkuasa. Sebegitulah maksudnya berdaulat. Lantaran berdaulat, maka barulah berdaulah, berKerajaan. Namun siapa yang menganugerahkan daulat kepada Raja? Dari Allah? Bagaimana? Lewat apa? Benar, Raja itu pilihan dari Allah. Tidak sembarangan orang bisa jadi Raja. Raja itu ketentuan Allah juga. Daulat baginda juga dari Allah, namun bagaimana caranya ia datang dari Allah? Apakah ia datang bergoleh terbang melayang sebegitu mudah dari langit? Juga benar, Raja itu punya daulat. Punya kekuasaan. Daulat Raja itu sebetulnya adalah pemberian hamba rakyat, lantaran kedaulatan rakyat terkumpul terhimpun pada Raja demi pertukaran mereka sebagai hamba. Daulat Raja adalah diregut dari tangan rakyat. Maka, Raja itu berdaulat lantaran rakyat sanggup jadi hamba menyerah segala kemerdekaan kedaulatan milik bersama mereka kepada Raja. Allah memberikan, menjadikan Raja berdaulat lewat pengorbanan rakyat. Makanya, ada hamba rakyat, barulah ada Raja. Bukankah sebegitu fahamnya Adam AS betapa baginda harus ada rakyat baru boleh menjadi khalifah, yang memaksa baginda untuk mengadap Allah agar Hawa RA harus tercipta. Juga tidakkah sebegitu maksudnya saat Allah memerintah segala mahlukNya untuk sujud patuh kepada Adam AS, maka semua menyerah kemerdekaan kedaulatan masing-masing kepada baginda, melainkan bagi syaitan. Semua mahluk Allah sujud tunduk kepada Adam AS, lalu menjadilah mereka mahluk di bawah kekuasaan Adam AS. Adam AS atas dirinya, baginda pasti adalah hanya mahluk biasa. Hanay selepas Allah memerintahkan segala mahluk tunduk berserah kepada banginda baru baginda terangkat menjadi khalifah. Sebegitulah asal kejadian kekhalifahan pada manusia. Makanya segala gunung, jika manusia mahu runtuhkan, maka runtuhlah ia. Begitu juga sungai, jika manusia mahu alihkan, maka beralihlah alirannya. Apa lagi dinamakan binatang sembelihan. Saat manusia mahu menyembelih, maka terpaksa akurlah dia, Para jin juga manusia boleh kuasai. Cuma, syaitan manusia tidak akan dapat kuasai lantaran kemerdekaan dan kedaulatan syaitan tidak pernah terlucut. Maka kekuasaan, kedaulatan, kekhalifahan, keRajaan, dan kebesaran semuanya adalah dari Allah. Segalanya adalah pemberian dari Allah. Apakah manusia pernah berfikir tentang maksud pemberian itu? Aku yakin banyak tidak peduli. "Peduli apa" kata mereka. Sebegitulah tangan yang menerima dari yang memberi. "Peduli apa!"
(10) Sesungguhnya, kita, manusia-manusia kita ini, apa lagi bangsa yang kupikul di hati dan fikiranku ini, menjadi kerdil terkurung lantaran telah terlalu banyak kemerdekaan dan kedaulatan milik kita bersama telah kita serah dan paling jijik terjual dipersundalkan kepada yang sedikit. Nafsu dan kelalaian kita menjadikan kita serakah menyerah menyudal banyak dari kemerdekaan dan kedaulatan kita. Di sini, di bumi kupijak ini, di Kampung Shah Bana ini, sebegitulah telah terjadinya. Banyak dari kita dan mereka, sebetulnya sangat sedikit bedanya.
(11) Sesungguhnya, apakah perintah dan kepatuhan untuk bersujud segala mahluk kepada manusia, telah kita mengerti sempurna maksudnya? Untuk apa perlunya segala mahluk harus sujud kepada manusia? Maksud Allah, dan pengertian kita sudah kian menyimpang di jalan yang tidak mungkin akan bertemu di mana-mana. Segalanya harus sujud kepada kita, agar kita membina Syurga di akhirnya hidup kekal kita, namun kita berlumba-lumba membina syurga untuk kehidupan singat di sini, di bumi ini. Allah memberi daulat kepada manusia. Allah serahkan seisi bumi malah alam untuk manusia. Namun manusia sepertinya menyerah daulat kembali lalu menghamba kepada dunia. Anih? Bodoh mungkinnya?
(12) Mengertilah, betapa rakyat harus ada, serta sanggup menyerah kedaulatan mereka secara terkumpul, maka baru Raja ada daulat. Dengan daulat Raja, maka baginda punya kuasa untuk menurunkan KeRajaan baginda kepada segala pembesar Negeri atas apa gelaran sekalipun. Apakah itu sedang manusia-manusia Kampung Shah Bana mengertikan? Saya fikir tidak. Tidak, lantaran mereka tidak berfikir sebegitu saat mereka mendaulatkan Raja Shah Bana. Para pembesar Shah Bana pula sudah menjadi pembesar-pembesar Raja Shah Bana dan bukan pembesar-pembesar untuk manusia-manusia Shah Bana. Taat mereka bukan kepada manusia-manusia Shah Bana, tetapi setia hingga mati mereka adalah kepada Raja Shah Bana. Syahadah mereka, Tiada Tuhan yang kusembah, selain Allah tetap terucap sebegitu sampai mereka mati, namun jalan tuju kedidupan mereka berubah menjadi Hidupku, kesenanganku, kebahagianku adalah kerana Raja Shah Bana, maka kepadaMu Ya Allah aku bertanya "Di mana Kamu Ya Allah" di dalam jalanan hidup ini? Di bibir jelas hanya Kamu, di jalanan ini, Kamu hilang entah ke mana. Inilah yang meneteskan airmataku, lalu membuak darahku.
(13) Manusia betapa Allah saat menjadikan kita, sangat memuliakan kita, Dia menganugerahkan kemerdekaan dan kedaulatan hampir mutlak kepada kita di atas segala mahlukNya. Namun kita jual dan persundalkan kemerdekaan dan kedaulatan kita kepada sesiapa sesembrononya lalu kita kian dipimpin dari memimpin. Kemerdekaan dan kedaulatan kekhalifan kita melayang saat kita sudah mahu dipimpin di atas pimpinan sembrono pilihan kita. Demokrasi kita daulatkan. Namun, kita disundalkan oleh demokrasi. Islam kita pinggirkan. Maka atas itu, di atas kepala kita kian hari tindan bertindan-tindan terlenyet dengan kepayahan dan keperitan asakan kapitalisma menjadikan batu payah dan perit kian membuntal di dalam diri kita. Di Kampung Shah Bana ini, hamba rakyatnya sudah Raja Shah Bana timpa tindan bertindan-tindan kuasa keRajaan baginda lewat para pembesar Negeri. Kuasa-kuasa itu terus tindan bertindan-tindan menghimpit menyusah menyulit dan membatukan kemiskinan manusia-manusia Kampong Shah Bana. Kuasa-kuasa pada para pembesar Negeri dari keRajaan ini telah merampok meregut segala segala yang meninggalkan hanya pinggiran buat mereka.
Penjara-Penjara Cinta
Aku terhenti di suatu pojok. Melepas lelahku sebentar. Lalu di sana, aku mendengar sebuah cerita. Cerita mudah. Cerita cinta mudah. Kampung Shah Bana, rata-rata manusia-manusianya adalah miskin. Kental miskinnya. Tegar sekali. Keras. Lebih keras dari batu paling keras. Tidak akan pecah untuk selama-lamanya. Tiada luluhawa bisa memecahkannya. Di sini, di Kampung ini, cinta hanya tumbuh berputar di alam kemiskinan. Pria tetangga miskin harus hanya tersungkur jatuh mencinta puteri tetangga yang juga miskin. Kudratnya, pasangannya harus miskin sama miskin. Tidak miskin sama si kaya. Si kaya sudah pasti menyingkir terus dari biar hanya ngelihat mereka. Berkurun-kurun sejak adanya Raja Shah Bana dan para pembesar Negeri, sebegitulah jadinya. Si miskin mencintai menikahi lalu membiak banyak lagi yang miskin-miskin tidak pernah terkurangkan kemiskinannya. Sebegitulah kemiskinan tindan bertindan-tindan sehingga membatu membentuk miskin tegar keras abadi di Kampung Shah Bana ini.
(2) Di sini, kutemui temanku. Empat abad dulu sepermainanku. Seperguruanku. Berteman paling jujur. Tiada sedih di wajahnya, lantaran kini kuketahui sememangnya tidak pernah ada ceria dalam hidupnya melainkan duka sejak nadinya telah berdenyut. Baru kusadarai, sebermula sperma dan ovum yang menjadikannya bersatu, seluruh kejadian dan hidupnya adalah berselubung batik-baitk dan pelikat koyak rabak. Nuansa kejadian dan hidupnya penuh hanyir dan lekitan payah perit. Para moyangnya, nenek-datuknya, lalu ibu-bapanya, adalah pengabadi cinta mencintai di kalangan manusia-manusia miskin. Lantaran kemiskinan waris ke waris, membatas kakinya untuk melangkah pergi. Dia tidak pernah keluar dari hidup pinggiran. Hidupnya terus terkurung di antara hutan, sawah dan sungai itu. Dia juga terkurung dalam cinta penuh kemiskinan. Dia pria yang jalannya goyak gayik bagai unta berbulan-bulan kehausan lapar di tengah padang pasir. Tidak mungkin puteri kayangan tergiur pada sekujur tubuh kering yang sepertinya biar gelaran priapun tidak pantas buatnya. Namun, atas fitrah nafsu untuk berakyat pada dirinya lantas dia mengagah diri mengamit cinta puteri sri kandi miskin di sebelah rumah. Cinta mekar dalam diri mereka. Mereka bercita sekadar murah-murahan. Cinta miskin. Sekadar berjengok dari jendela daunnya yang telah berlobang-lobang. Bahkan pertemuan mereka tidak perlu pandang-pandangan keluar jendela bobrok, dinding-dinding rumah merekapun sememangnya tidak berdinding, bobrok di mana-mana. Paling jauh untuk mereka memadu kasih hanyalah di pinggir sungai di belakang rumah. Inilah cinta murahan. Mudah. Ringkas. Cinta sebening sayur bening. Sayur yang sayur-mayurnya paling mudah. Dedaun hijau. Pucuk-pucuk mungkin juga. Kangkong paling mudahnya. Sayur mayur yang dikutip di pinggir sawah, hutan dan sungai itu. Lalu di campur ikan bilis paling murah. Seupil bawang merah. Beberapa potong cabek besar. Mungkin secuil belacan. Lalu sedikit garam. Direbus dengan secangkir air hujan. Itulah resepi sayur bening. Resepinya mudah. Tidak mahal. Murah sekali. Orang pinggiran, Makanan juga dari pinggiran. Cintapun tumbuh di pinggiran. Sebegitulah sebetulnya riwayat cinta berkurun-kurun tindan bertindan-tindan di Kampung Shah Bana ini yang suatu waktu juga diwarisi oleh temanku ini.
(3) Lewat waktu, biar dalam payah biar dalam susah, saat terpancar ke rahim kolam renangnya, sang sperma dari nafsu sang teman ini terus saja mengabdi tugas. Empat ovum dari isterinya saban tahun menjadi janin. Lalu empat bayi setahun setiap satunya keluar menjengah alam biar dalam kesempitan payah rahim, menguak menangis bersyukur kepada Allah. Empat anak terus menindan kehidupan teman ini dan pasangannya. Satu-satu silih berganti, tanpa henti enam tahunan, terus melahirkan, terus pula menyusukan. Sang isteri tetap akur. Si miskin, sepertinya sebegitulah kebahagian sejati pilihan mereka. Sang isteri bagai pohon getah tanpa henti terus saja ditoreh. Ada getah atau tiada getah, terus saja tertoreh. Belum sempat pulih luka torehan lepas sudah siap ditoreh lagi. Teman ini, ilmunya pendek, nafas nafsunya bergelora, terus saja menoreh untuk mengisi kelompangan hati yang perih pada sang isteri yang tidak dia sadari saban hari kian termakan waktu. Lantas, Allah, atas MahaKasihan pada sang isteri Dia ambil pulang agar tidak perlu menangung derita berpanjangan. Dari hari-hari ditoreh dan ditoreh wajar saja dia harus istirehat sepanjangnya. Terkaparlah temanku, tanpa teman tetapi anak-anak berkeliling pinggang tanpa ibu. Sejarah hidupnya yatim piatu berulang dan tindan bertindan-tindan kepada anak-anaknya. Dia dulu juga kematian ibu saat di usia anak-anaknya. Saat sebegini, dia melihat langit penuh kelam. Tuhan dia persoalkan. "Kenapa mereka? Kenapa aku?" soalnya mati sekadar itu. Sesungguhnya untuk menyoal Tuhanpun, dia sudah miskin akal. Inilah saat kemiskinan sudah membatu, untuk berbicara kepada Tuhanpun manusia sudah seperti batu.
(4) Namun syukur, ada Tuhan di hatinya. Dia yakin Tuhan akan tetap ada di sisinya. Dia berusaha membanting tulang sekadar kudratnya yang bertubuh kurus, tanpa ilmu yang bisa mengangkatnya. Ke sana kemari di sawah bendang di kebun ladang, dia menyembah keringat mencari sesuap dua pangganan. Namun, anak-anaknya, bukan sekadar butuh makan dan minum. Mereka butuh banyak. Empat tubuh mereka sudah tidak tertanding oleh tubuh kurusnya. Keperluannya hanya satu, namun keperluan mereka lebih dari empat. Maka beban di pundaknya menjadi jauh lebih besar dari tuntutan lima nyawa. Dia mengHisab segala. MengHisab dan MengHisab. Tindan bertindan-tindan perit hidup membantainya. Waktu berjalan terus. Juga tidurnya sudah semakin payah. Hatinya sudah kian merah berdarah-darah terbakar. Kian bertambah-tambah gusar gusurnya. Lantas, "Tuhan. Aku di sini! Aku di sini!" dia leparkan di saat-saat dada resahnya kian sendat. Sekadar itu dia menangis. Di saat itu, kuduga, seluruh para malaikat melayang turun ke sisinya seperti saat mereka mendengar Yunus AS bertasbih sesal, namun dia, suaranya hanya mati di situ. Para malaikat mungkin sekadar berpaling sesama sendiri bertanya "Apa mahunya dari Allah Tuhan kita dan dia/" Temanku ini, dalam hidupnya, dia tidak pernah menikmati apa yang banyak kita nikmati. Dia tidak kenal apa saja nikmat yang kita kenal. Malah dia tidak kenal apa yang yang dia tidak kenal. Dia tidak tahu apa yang dia mahu, lantaran dia tidak tahu apa-apa. Tahunya hanyalah dirinya. Dia akhirnya sedang beransur-ansur hanya kenal dirinya. Dia kian pudar tentang hadirnya manusia-manusia lain, biar anak-anaknya yang gusar gusur tidur mereka diselaputi gelap malam segelap masa depan mereka. Kenapa sebegitu mulai menjadinya dia?
(5) Temanku, tidak kejadiannya dia itu adalah sia-sia. Dia sengaja mungkin Allah korbankan agar kita mengerti akan pesan Allah berkali-kali dan wasiat agung Muhammad SAW. "Peliharalah anak yatim. Jagalah orang miskin. Bantulah orang susah. Rasakanlah kehidupan mereka. Insafilah lingkungan kehidupan ini." Sesungguhnya Dia menjadinya dia, aku menduga, lantaran aku dan kalian lainnya tidak kenal dan peduli akan dia dan mereka manusia-manusia di Kampung Shah Bana seawalnya. Kini segalanya sudah jauh tindan bertindan-tindan payahnya mereka, maka menjadi tindan bertindan-tindanlah bebanan tanggungan kita. Kenapa? Jangan ditanya ke mana perginya daulat yang pernah nenek moyang manusia-manusia Kampung Shah Bana telah serahkan kepada Raja Shah Bana untuk melindungi mereka. Semua sudah enak dihartamilikkan oleh para hati-hati serakah. Haruskah kita terus tidak sadar?
(6) Di suatu subuh sepi, entah syaitan apa berjaya menerobos ke dalam jantungnya. Dia hilang. Dia pergi. Di saat anak-anak sedang kedinginan dipeluk angin sawah yang lewat menerobos gubuk buruknya, dia merangkak pergi. Ayam kampungpun tidak kerasan kaburnya dia. Bagai kucing senyap-senyap dia menyelinap di celahan dedaun pintu. Dia lari sebetulnya. Lari dari tanggungan derita anak-anaknya yang sebelumnya sangat nikmat dia membikinnya. Manusia, nikmat direngkoh, tanggungjawab dipersetankan. Namun apa benar hukumanku ini? Jika aku adalah dia, apa mungkin tidak akan sama saja? Dia berkelana. Dia berpetualang. Dia mencari-cari. Dia mencari hidup. Syahadahnya hanyalah untuk hidup. Tiada Tuhan lekat di hatinya lagi. Dia sudah menidakkan Tuhan. Dia hanya mahu hidup. Untuk hidup adalah syahadahnya. Tidak lagi untuk Tuhan. Syaitan, mungkin iblis sudah melengkapi daulat mereka ke atasnya. Sempurnalah daulat syaitan dan iblis ke atasnya. Namun apakah itu benar? Tidakkah juga sudah sempurna daulat syaitan dan iblis ke atas Raja Shah Bana dan para pembesar Negeri baginda? Manusia, Allah anugerahkan hampir mutlak kedaulatan dan kemerdekaan semua mahlukNya kepada kita, namun kita alpa lalu tunduk oleh satu kedaulatan milik syaitan dan iblis? Banyak kalah oleh satu? Anih, atau bodoh?
(7) Betapa anak-anak saat mentari sudah becar terbangun mengusap-ngusap meguap mengeliat. Namun suara yang membangunkan hari-hari di pagi hari sudah tidak ada. "Apa bapa sudah mandi ke sungai? Apa bapa sedang menjerang air merebus ubi di dapur? Apa bapa sedang hajat di belakang rumah?". Semua celingak-celinguk bagai memerang siap hendak terjun menganyang ikan di kolam. Tidak pasti. Cuma sang kakak berasa sangi. Seluar bapa sudah tidak tergantung di belakang pintu. Baju bapa sudah tidak tersidai di bibir jendela. Kasut bapa sudah tidak tergeletak di tempat selalunya. Paling jelas, beg galas satu-satunya milik bapa sudah tidak lagi di rak dinding lagi. Pakainan bapa yang hanya setumpuk sudah tidak ada di raknya. Hatinya mulai resah. Dia menguak daun pintu. Sepi. "Bapa sudah pergi dek. Bapa sudah lari". Dia berlari mendapatkan semua adik-adiknya. Dia mendekap semua mereka. Airmatanya berhamburan. Mereka bertangisan. Terasa bumbung gubuk sedang runtuh. Dinding sedang roboh. Lantai-lantai sedang ambrol. Rumah mereka sedang roboh. Sang kakak, satu-satu tubuh kurus adik-adiknya tindan bertindan-tindan rebah menindan tubuh leper keringnya. Mereka menangis. Mereka meraung. Meraung-raung. Tubuh-tubuh bergoncangan. Mengigil-gigil sekuatnya. Terketar-ketar. Seluruh ketakutan membungkus mereka. Ketakutan paling takut.
Kuteteskan Airmata Di Pohon Layu
"Tuhan. Aku di sini! Aku di sini!". Rintih kerdil mulanya kusangkakan. Rupa-rupanya bukan. Tidak. Itu bukan rintih kerdil. Itulah panggilan hati yang sudah membatu. Itulah suara perkhabarannya kepada Tuhannya. "Tuhan. Aku di sini! Aku di sini!". Itulah suara panggilannya kepada Tuhannya. Dia tekad pada satu jalan. Dia tidak meminta apa-apa. Dia hanya berseru, mengkhabar "Tuhan. Aku di sini! Aku di sini!". Bahasanya, adalah bahasa hati yang hanya Allah, Tuhannya yang tahu. Tidak juga para malaikat. Dia menyerah seluruh hidup anak-anaknya kepada Tuhannya. KepadaNya dia berserah segala. Atas keyakinan itu, dia pergi. Dia tidak menoleh lagi. Airmata kering ditahannya kuat. Dia hilang bersama malam yang dingin. Lalu suara hiruk pikuk tangisan di gubuk itu membangun segera sang nenek di rumah sebelah. Dia bingkas keluar rumahnya. Dengan berpintal batik di dada dia bergegas memanjat tiang rumah menantunya yang sudah goyah. Dia mengerutu. "Kalau ya pun tak ada makananan. Janaganlah anak-anak jadi makanan di pagi-pagi buta begini". Namun sesaat mukanya menjengah ke dalam gubuk itu dia benar-benar gugup terketar. "Nenek. Bapa sudah lari. Siapa akan bagi kami makan? Kami belum makan dari malam tadi" separuh berteriak si kakak. Si nenek menangis. Dia menangis tanpa suara. Tertahan jauh ke dalam dadanya tangisnya. Berguncang habis tubuhnya.. "Menantu. Menantu. Oh Tuhan". Dalam ketar mengigil lemah dia mendekap semua cucu-cucunya. "Cucu-cucuku. Yatim Piatulah kalian. Oh Tuhan. Oh Tuhan". Itu saja yang dia mampu ungkapkan. Mungkin sekali lagi para malaikat meluru datang, mahu tahu apa mahunya nenek itu. Namun, semua mereka kemudian saling berpaling lagi. Tidak tahu apa mahunya si nenek. "Mari cucu-cucu nenek. Pindah saja ke rumah nenek. Nenek ada! Nenek ada!". Sehelai sepinggang sepertinya anak-anak itu membuntut nenek ke gubuknya di sebelahan.
(2) Pagi itu, hari itu, mulailah anak-anak itu belajar merenung hari Hari-hari merenung hari. Hari-hari mengharap hari. Mereka tidak berharap kepada bapa mereka. Tiada lagi pengharapan mereka kepadanya. Juga tiada diharap pada nenek yang sudah goyah lututnya. Apa lagi diharap pada datuk, yang sudah tidak bisa memegang pisau toreh lagi. Bahkan mengangkat tubuhpun dia sudah tidak mampu. Mereka sebulat berserah kepada hari. Setidak-tidaknya, pada hari ada siang juga pasti akan datang malamnya. Saat merenung hari, sang kakak menangis lirih di dalam. Duka nestapanya, dia ingin pendamkan kepada malam. Seboleh-bolehnya, bagi dia, biarlah tiada siang. Dia hanya mengharap agar malam adalah sangat panjang agar tidur mereka paling panjang untuk melupakan biar lapar yang menguncangkan. Tuhan. Setidak-tidaknya anak-anak itu punya akal untuk bersyukur biar tidak pada adabnya. Mereka seperti mengerti nikmat pada malam yang Engkau berikan. Malam adalah untuk mengubat segala. Melupa segala. Sesungguhnya, malamMulah yang telah menjadikan mereka Kini, pedihnya Ya Tuhan, siangMu sanhgat mereka takutkan.
(3) Di kesiangan ini, aku menemukan mereka. Dari jendela gubuk nenek mereka, wajah-wajah mereka membikin aku tertegun. Derita tiada. Senyum juga tiada. Polos tidak juga. Hanya bola-bola mata mereka mengiring jalan tubuhku. Kulemparkan sebuah senyum. Tidak berbalas. Kujegilkan mata, juga tidak berbalas. "Assalamualaikum wmwbt" kulemparkan kepada mereka. "Waalaikumsalammmm" jawab mereka serentak. Suara panjang gemalai. "Anak-anak Pak Hatimkan?" soalku ingin pasti. "Ya. Inilah anak-anak Hatim" jawab nenek tua. Aku sudah mendengar cerita mereka. Mereka juga sudah tahu akan kedatanganku. Malah mereka seperti tertunggu-tunggu namun malu-malu. Aku kemari hanya ingin pasti apa benar yang kudengarkan. "Ayuh. Semua kemas-kemas. Pakcik mahu bawa semua ke kota, kita makan-makan" usulku. "Dari pagi-pagi lagi mereka sudah kemas-kemas. Makcik awal-awal pagi lagi sudah suruh mereka siap-siap. Semua ini belum makan pagi lagi." jelas lanjut si nenek. Hari sudah jam 14.00 tengahari. Pasti berkeroncong gila perut anak-anak ini.
(4) Ke Kota Batu kubawa mereka datang. Inilah Kota yang hanya mereka dengar namanya. Rupanya terlalu asing buat mereka. Ke Kota ini, mereka sekarang kudekatkan. Kota Batu, kota mencakar ke langit, jauh lebih tinggi dari capaian pohon-pohon getah di Kampung Shah Bana. Di pohon gedung batu bernama Hotel aku tempatkan mereka diam. Gedung ini, tidak pernah melintas di dalam hidup mereka. Namanya juga payah untuk mereka sebutkan. Tidak pernah ada di mana-mana di sudut mata dan hati mereka. Aku ingin agar mereka sudah tidak asing tentang gedung ini. Di tilam empuk dalam dingin nyaman aku tidurkan mereka. Dingin bukan kerana hujan tengah lebat. Dingin juga bukan lantaran tiupan angin subuh lewat dinding bolong. Empuk tilam bukan lantaran tumpuk-tumpuk gombalan. Semua tersedia rapi terhormat, tidak berantakan seperti di gubuknya mereka. Di sebuah restoran pesan apa saja mereka kuraikan. Bukan nenek yang menyajikan. Bukan di dapur sempit oprak aprik nenek makanan disediakan. Bukan di lantai keras mereka bersila makan. Semua terhidang. Banyak. Tidak usah rebut-rebutan. Makanlah. Berbukalah puasa panjang yang kalian telah lalui lama. Lalu, biarlah di sungai namanya kolam renang mereka bersuka-suka. Berkubanglah di sana. Akan bersih tanpa lumpur keluarnya mereka nantinya. Dalam hatiku, sudah 54 tahun aku hidup merdeka dan terus merdeka, biarlah hari ini kutanamakan mimpi merdeka kepada anak-anak ini. Biarlah di dalam diri mereka ada mimpi tentang masih ada rahmat Tuhan selagi mereka masih punya mimpi dan usaha. Tiada lain yang kuinginkan. Hanya itu. Menghadirkan mimpi. Mimpi besar untuk mereka melangkah gagah nantinya Aku sekadar mahu mereka punya sedetik waktu dalam hidup mereka. Aku mahu mereka merasa merdeka bebas berdaulat dari membatunya perit kemiskinan Kampung Shah Bana. Biar hanya sekejap. Aku yakin sedetik itu pasti tumbuh menjadi benih yang pasti banyak buahnya. Ins Shaa Allah. Mudah-mudahan di dalam diri mereka akan terus ada rasa tumbuh, betapa Allah tetap masih ada bersama mereka. Itulah azimat, bekal mereka untuk menebus segala-gala.
(5) "Tuhan. Aku di sini! Aku di sini!" kupinjam dari suara temanku, bapa mereka, juga untuk aku mengkhabarkan, "Ya Allah, peliharalah mereka sepertinya Engkau telah memelihara aku di saat aku juga seperti mereka dulu-dulunya." Tuhan, Ya Allah. Di pagi ini, di waktu AdhuhaMu ini, aku mengerti dalam-dalam rahmat besarMu kepadaku. Mereka itu, adalah aku, pada waktu sebegitu juga dulu-dulu. Di malam hari, Engkau tidak meninggalkanku. Engkau membungkusku dengan segala kasihMu. Engkau menjadikan aku lupa segala deritaku. MalamMu, rahmat yang tidak pernahku kenal sebelum ini. Kini aku mengerti. Sedang siangnya Engkau hamparkan segala derita cabaran hidupku. Kemiskinan terbentang luas menerjah-nerjah perit bagiku. Sendiri tetap juga aku jalani segalanya. Aku akhirnya bebas merdeka. Engkau anugerahkan itu padaku. Akan kupegang kuat selagi nafasMu dalam tubuhku. Kini, sesungguhnya dari tanganMu, engkau hadirkan aku pada mereka agar aku kembali harus terus berjalan dan berkata-kata. Tuhan, Ya Allah. Aku di sini. Aku di sini. Bantulah aku untuk mereka juga bagi segala sepertinya mereka demi Engkau. Aamiin.
(6) Belum kutemui kawan-kawan berkepala batu, berhati batu namun, biarlah dulu kurintis jalan agar di hati anak-anak ini membatu membulat tekad untuk mereka pecahkan batu kemiskinan di Kampung Shah Bana ini. Aku berharap, jikapun tiada kepala batu, hati batu di antara kami sekawanan-kawanan, biarlah di sini aku mulai menyemai kepala batu, hati batu untuk perjalanan lain di esok-esoknya. Namun tidak aku akan terus berhenti dari berjalan dan berfikir bersuara. In Shaa Allah.
Kuala Krai, Kelantan-Terasi, Pendam, Sarawak
31 August- 6 Sept., 2014
Semua orang kenal batu. Kalau banyak dipanggil batu batan. Kalau menghampar dipanggil batu hampar. Kalau jauh-jauh, disebut berbatu-batu. Jika letaknya di jari, disebut batu cincin. Kalau benar-benar keras dan berharga mahal, disebut batu permata. Batu itu sebetulnya kejadiannya bagaimana? Ianya pejal. Keras. Biar hanya seketul sebesar gengaman penumbuk kucing, tetap ianya keras pejal. Allah, ada-ada saja yang anih yang tidak kumengerti secara pasti akan bikinanNya. Dari kerak bumi, dari luluhawa yang mengelegak, lalu mencair dan bergerak-gerak berasak-asak secara sesimik, beribu-ribu mungkin ratusan ribu, mungkin juga jutaan tahunan, kian waktu kian tindan bertindan-tindan berpusar-pusar bergumpalan saling menghenyak lalu terkeluar hampir-hampir ke permukaan bumi menjadi batu hampar, sedang sebahagiannya terus melingkari segala macam gunung, gurun dan bahkan pinggir lautan. Sebegitulah kejadiannya batu. Tanpa kerasnya batu, tanpa hadirnya batu, tanpa hampirnya batu di muka bumi, apa akan ada gunung, tasik, sungai dan lautan? Allah MahaPencipta, dan manusia itu ibarat bayanganNya, sebetulnya, waliNya, juga punya upaya mencipta dan menundukkan batu menjadi segala binaan dan menara. Batu juga menjadi punca manusia menjadi serakah sehingga terus bergulat bermati-matian bagai katak lantaran terowong batu menyimpan segala bahan bakar. Allah sebegitulah MahaKasihnya kepada UmatNya. Biar pada batu yang keras itu, tetap ada nikmatNya untuk manusia. Nan pasti, apapun dari batu, tetap keras. Maka, timbullah segala gelaran seperti kepala batu, hati batu, batu api dsb.
(2) Aku berfikir-fikir, kenapa harus sebegitu recam kejadian batu? Kenapa tidak sahaja lewat Kun Faya Kun batu itu terjelma saja terus keras. Haruskah Allah menjadikan segalanya melewati segala macam jalanan yang panjang? Ya, aku bertanya dan terus bertanya. Bukankah Dia MahaBerkuasa? Kenapa segala kejadianNya harus melwati cara yang panjang recam? Tidakkah yang berkuasa, tidak pernah mahu tahu akan jalan kejadian sesuatu kehendaknya? Seorang Raja contohnya, jika dia mahukan pisang, pasti terkejar-kejar segera pisang dihantarakan kepada baginda oleh para dayangnya. Tidak melewati apa-apa galang, hanya minta, pasti terus ada. Kenapa Allah menjadi sebaliknya sedang Dia MahaPencipta? Sedang para Raja, para Perdana Menteri, apa lagi yang dinamakan Presiden dan segala, yang semua adalah bikinan Allah, saat meminta pasti tidak butuhkan biar hanya lima menit, pasti sudah tersedia segala. Kenapa? Apa mungkin lantaran Allah itu MahaPenyabar sedang manusia MahaTamak?
(3) Ternyata yang keras, yang pejal, yang kukuh itu harus lama jalanan pembikinannya. Biar apapun. Biar kepala batu sekali pun. Tidak manusia berkepala batu itu terlahir azalinya sebegitu. Tidak. Berkepala batu bukan akibat zuriat. Berkepala batu adalah akibat perjalanan hidup yang dia lalui. Apa lagi yang dinamakan batu api. Hanya lamanya waktu, hanya recamnya jalanan pembikinan, menjadikan segala keras dan pejal sekeras dan sepejalnya. Utuh, ulet, kekar, tegar. Payah untuk dirobah seringnya.
(4) Aku kebetulan berjalan. Berjalan-jalan, hajatnya mencari-cari teman-teman. Teman-teman seperguruan. Teman-teman suatu ketika dulu, seguru sepermainan. Teman-teman semasa anak-anakku. Sekitar empat abad dulu. Empat puloh tahun dulu. Sekitar empat ratus lapan puloh purnama dulu lamanya. Juga sekitar dua ribu lapan puloh pekan. Harinya, pasti lebih banyak hitungannya iaitu sekitar empat belas ribu, enam ratus dan sepuloh hari. Sebegitulah Hisab lamanya kami tidak pernah ketemu apa lagi ngobrol bermimpi indah-indah bagai anak-anak kecil mengejar pelangi di tengah bendang. Kami telah terpisah. Terpisah bukan kerana apa, lantaran menghambat hidup. Seperguruan, jumlah kami adalah sebanyak tujuh ratus dua puloh nyawa dan badan menjadikan kami adalah tiga ratus enam puloh anak-anak. Kami berguru, untuk mengenal melangkah. Kami belajar bertatih untuk mengerti jalanan hidup. Belajar dan bermain, bagai kamilah budak baru belajar, salah dan silap maafkan saja. Baru belajar sekadar kenal-kenalan, berkawan-kawanan. Teman sepermainan penuh suci tanpa batas pemisah melainkan sedikit kecoh-kecoh lalu bergelut berbantai, namun sepekan dua, pasti kembali lagi bergandingan tangan lalu terus kejar mengejar berusikan lalu bergelut berbantai lagi namun tetap akan bergandingan tangan lagi sepekan dua lagi. Sebegitulah, benih-benih hidup bersahabat tersemai di hati kami, lalu aku berjalan untuk mencari semua untuk bertemu semua. Seperti batu, kejadian kasih persahabatan di antara kami terpintal berpusar-pusar, menjadi kental, lalu kini harus kami pejalkan kembali agar lahir kepala keras, hati batu melangkah menjadi hulu balang hulu balang tersendiri. Aku berjalan menyusur tempat bermain dan tempat jatuh untuk kami In Shaa Allah boleh sekali lagi bermain dan mungkin juga jatuh dalam lain rupanya.
(4) Akankah kutemuikah kepala batu, hati batu di antara kami untuk mengorak langkah kepewiraan membela? Apa mungkin lebih batu api dari hati, kepala batu yang akan aku temui? Aku pasti, ada. Ada lantaran ada di antara kami sudah menunjukkan kepala dan hati batu di saat-saat kami sedang merangkak. Kemiskinan pernah kami tendang. Kepayahan pernah kami terajang. Duka pernah kami henyak pergi. Segala galang pernah kami patah-patahkan. Jalanan menantang yang telah kami lalui, pasti adalah dari kepal dan hai batu untuk menang. Sebetulnya memerdekakan diri. Apa tidak mungkin sifat-sifat itu tidak selari dengan sifat kental keras Muhammad SAW di saat anak-anak dan remajanya yang waktu membuktikan menjadikan dia manusia Muslim teragung? Aku merasa, telah sampai waktunya, untuk aku mencari kepala batu, hati batu di antara kami untuk siap melangkah panjang. Apa tidak mungkin ada di antara kami akan bangkit menjadi Melayu yang membela sekental sekuatnya Melayu yang kian terpinggirkan? Aku yakin ada. Cuma, sepertinya batu terkeras, harus datang dari dasar bumi yang jauh serta lama waktu Allah membikinnya. Itu yang harus aku cari di antara kami. Harus kudongkel jiwa-jiwa sebegitu dari kuburan sebelum matinya mereka.
Manusia Pinggiran:
Makanya aku memutuskan untuk berjalan di Negeri entah berantah ini. Negeri, di bumi di mana aku pernah menangis sendiri-sendiri. Di Negeri, di bumi aku pernah melangkah menongkah takdir sepertinya. Aku berjalan terus. Mencari terus. Di Negeri antah berantah ini, kutumpahkan pencarianku akan sahabat-sahabatku yang mungkinnya ada berkepala dan hati batu. Lantas Allah membawa fikir dan hatiku ke sebuah pinggiran. Pinggiran segala pinggiran. Pinggiran hutan sebetulnya. Nyaman. Sepi. Dingin. Dingin nyaman hijau pinggiran hutan ini. Lalu pinggiran ini, bertembung pula dengan pinggiran sungai. Pasti ini menjadi mengasyikkan lagi. Pinggir hutan di pinggir sungai. Sungai airnya melimpah saat hujannya lebat. Hutan memberi nyawa kepada sungai itu. Lalu nyawa-nyawa lain hidup sehidupnya. Para ikan, labi-labi, kura-kura, sesekali ular sawa melintas menyusur air deras, serta tikus-tikus berpulangan selepas membantai sawah meratah padi-padi nan sedang menguning indah, semuanya seperti menjadikan sungai adalah pentas sempit kehidupan. Segala terpamir di sana. Alam menjadi hidup lantaran kebersamaan sungai dan hutan. Juga anak-anak manusia keceburan mengilai tertawa indah, bermandian, bermainan sepuas-puasnya, sedang para ibu-ibu, bapa-bapa turut riuh bersorak surai tertawa entah segala apa cerita mereka. Namun manusia-manusia ini adalah pinggran jua, biar mereka punya kaki, punya rasa, punya cita-cita. Mereka membatu, meminggir di sini. Cuma, aku bertanya, apakah mereka telah memilih untuk meminggir dan atau terpinggir? Nan pasti, sesunguhnya, manusia-manusia ini, adalah pinggiran di atas segala pinggir. Mereka menjadi manusia-manusia terpinggir. Asalnya mereka meminggir. Waktu berjalan terus, kepanasan hidup mengasak mereka, sepertinya kejadian para batu, lewat waktu, mereka terkapar terhampar menjadi manusia-manusia pinggiran. Mereka menumpang hidup di pinggir hutan, di pinggir sungai, di pinggir sawah ladang yang bukan milik mereka. Hari-hari sebermula ayam jantan berkokok, mereka sudah meniti pinggir hutan, pinggir sungai menyerah tulang menyerah kudrat mengusaha ladang sawah bendang. Biar panas, biar hujan, biar bah, biar kering tandus, mereka harus terus menyerah diri mencari rezeki di sawah bendang dan ladang. Rezeki mereka hanya secupak, namun rezeki yang mereka serahkan kepada empunya sawah bendang dan ladang adalah berkoyan-koyan. Bagian mereka hanya sekelumit biar peluh mereka menyimbah paling basah. Rezeki mereka sekadar melukut di tepi gantang, maka tidak hairan kehidupan mereka adalah ibarat melukut di tepi gantang juga. Mungkin jauh lebih parah, ibarat telur dihujung tanduk. Benar-benar terpinggir. Sudah berapa lama sebegitu? Tidak berjutaan tahunan, juga tidak berpuloh ribuan tahunan, hanya mungkin ribuan tahun dulu, saat adat berRaja dan berMemanda Menteri harus mereka terima.
(2) Mereka, manusia-manusia pinggiran, diam membatu lalu membiak di Kampung pinggiran ini. Biar sekadar mengutip hidup pinggiran, mereka tetap ulet, utuh, keras untuk terus mengusur hidup pinggir-pinggiran. Kehidupan mereka, memang gusar gusur, lantaran cara hidup mereka sedari dulu, sudah entah berapa keturunan, tidak terHisab lagi adalah lewat cara gusar gusur. Hidup mencelah-celah. Lalu, inilah Kampung yang juga terbangun lewat cara gusar gusur. Kampung yang terbangun dari rasa kalah dan menyerah. Mereka hidup di atas sisa-sisa anugerah Tuhan yang sangat luas. Mereka sekadar kebagian sisa dari nikmat seluasnya. Biarlah Kampung ini, kuperkenalkan sebagai Kampung Pinggiran untuk sementara waktu, sebelum kutemukan nama sebenarnya sebentar nanti mungkinnya.
(3) Manusia-manusia Kampung Pinggiran ini, mereka asalnya, beribu tahun dahulu, para moyang mereka digelar hamba rakyat. Siapa yang mengelar mereka sebegitu? Inilah adat. Yang di bawah harus merendahkan diri. Mereka secara rela menghambakan diri. Sedang rakyat adalah panggilan umum juga untuk mereka, namun saat berRaja, sekadar bergelar rakyat belum menanda rasa penuh hormat mereka kepada Raja. Hamba rakyat adalah gantinama perkenalan diri yang jauh lebih terhormat. Itu faham mereka. Itu tujuan mereka. Menghormati Raja. Mereka mengangkat darjat Raja jauh lebih tinggi dari mereka. Pada Raja mereka gelarkan Tuanku. Itu gelaran membeza kehormatan. Namun, sesungguhnya, mereka secara gelap mahukan Raja melindungi mereka, mengepalai mereka, memimpin mereka. Mereka sebelum Islam lagi sudah ada bibit Islam dalam diri mereka. Umat Islam harus ada pemimpin, pelidung, ketua, khalifah. Maka Raja mereka cipta sebagai ketua. Tuanku adalah tahta kepimpinan yang hamba rakyat berikan kepada Raja. Maka, selagi ada rakyat, harus ada Raja. Tiada rakyat, akan adakah Raja? Namun Raja untuk apa? Rakyat pula untuk apa? Apa mungkin rakyat sekadar bagi mengadakan Raja? Setelah Raja ada, rakyat bagaimana? Persoalan-persoalan itu tidak pernah ada dalam kepala mereka. Mereka tidak mahu berfikir berdolak dalik yang akhirnya menjadikan segala menjurus di atas rasa curiga dan prassangka. Mereka hanya tahu, ada rakyat harus ada Raja. Ikhlas, tulus, tujuan mereka. Tulus sebening air mengalir indah di sungai itu. Seperti juga sebuah cinta, pemberi cinta memberi setulus sejernihnya. Tidak ada soal. Diberi, bahkan diserah sebersihnya. Biar kemudian banyak penerima cinta mengkucar-kacir segala. Sebegitulah, MahaHebat Allah mencintai UmatNya, namun UmatNya belum pasti banyak mengerti akan MahaSuci cinta Allah buat mereka. Sebegitulah nasib yang memberi di tangan yang menerima. Yang memberi akhirnya terlentang mati meminta-minta. Maka apa yang aku lihat dan rasa, sepertinya, saat ada Raja, asal keperluan Raja sudah menjadi terbalik dari rasa dan ingin rakyat. Hamba rakyat, yang menyerah diri penuh jujur ikhlas, kian banyak tergeletak mati kufur dilenyet waktu. Kenapa?
(4) Apa sebetulnya Tuanku itu kini sudah mungkin lain maksudnya dari yang hamba rakyat dulunya mengertikan. Hamba itu adalah gantinama bagi aku. Maka Hamba rakyat itu adalah bermaksud sebagai aku rakyat yang lebih sempurnanya adalah aku adalah rakyat. Maka hamba rakyat adalah gantinama terhormat bila rakyat sedang berbicara dengan Raja. Namun kini, hamba itu sudah rasanya dilihat sebagai abdi. Memang benar, boleh juga sebegitu maksudnya. Namun hanya sebegitu saat Raja, telah berlaku adil saksama prihatin kepada rakyat. Atas tanggungjawab terusai sebegitu maka rakyat harus menumpah taat setia kepada Raja. Saat sebegitu hamba itu membawa maksud pengabdian taat setia, namun tetap tidak membawa erti penghambaan. Manusia, jiwanya, sedari dia celek sehingga merem tidak pernah terlepas dari godaan syaitan dan iblis. Maka, hamba dari membawa erti membina, menghormati sering saja ditaksir sebagai kedudukan untuk ditindas.
(5) Namun., atas insaf betapa mereka harus punya Raja, maka rakyat di Kampung Pinggiran ini, yang dari tanyaku, kini kuketahui bernama Kampung Shah Bana, telah memilih seseorang sebagai Raja. Raja itu mereka nobatkan sebagai Raja Shah Bana. Raja bagi Kampung Shah Bana, agar baginda menjadi pemimpin, pelindung, payung kepada hamba rakyat Kampung Shah Bana. Sebegitulah niat mereka. Mereka memberi hormat, merendah diri menjadi hamba rakyat sebagai tukaran kepada Raja pemimpin, payung, pelindung mereka. Mereka berharap agar terpelihara segala sudut kehidupan mereka. Terpelihara. Kata terpelihara itu sangat mudah. Sangat ringkas. Namun apa maksudnya? Jika anak burung, pasti kedua ibu-bapanya yang memelihara. Menjaga. Makan-minumnya terjaga. Keselamatannya terjaga. Memelihara, dan menjaga sama saja maksudnya. Sebegitu juga si bayi dan anak-anak. Lantaran masih bayi dan anak-anak, pasti ibu-bapa juga harus memelihara mereka. Menjaga mereka. Untuk apa, kenapa? Bukan lantaran mereka itu bayi juga anak-anak, lantaran mereka itulah yang menyempurnakan cinta kasih kedua ibu bapa mereka. Tanpa mereka, apa mungkin ibu-bapa mereka bernama dan atau menjadi ibu-bapa? Tanpa mereka, tiada akan ada buah kasih dan tanda korban cinta, Sebegitulah tingginya nilai seorang bayi, anak-anak bagi sepasang kekasih sejati. Mana mungkin ada pasangan dinamakan ibu-bapa, jika mereka tidak punya anak dari darah daging mereka sendiri. Tidak dan tidak. Manusia tidak punya upaya sebegitu, melainkan Adam AS dan Mariam RA. Selain mereka, tidak ada. Tidak mungkin, selagi bernama manusia.
(6) Aku terus berfikir. Berjalan. Di pinggir hutan ini. Di pinggir sungai ini. Di pinggir sawah bendang dan ladang ini. Meniti segala kepinggiran ini. Bagai musafir di gurun gersang rasanya. Tenggoroku haus seperti haus keringnya jiwaku. Kugagahi agar kutemui pelangi di hujung jalan. Paling perih, hatiku luka di tengah-tengah rakyat pinggiran itu. Darah lukaku tidak menetes biar setitikpun, namun lukaku tetap merekah di dalam. Kulihat, Raja mereka Sultan Shah Bana, sudah meminggirkan mereka. Mereka hidup di pinggir hutan. Mereka hidup di pinggir sungai. Mereka hidup di pinggir sawah bendang dan ladang. Mereka hidup dipinggirkan Sultan Shah Bana. Tindan bertindan-tidan mereka dipinggirkan. Menjadilah mereka akhirnya masyarakat pinggiran tulin dan keras. Tulin dan keras sebagai apa? Kepayahan mula menindan. Berkurun-kurun. Terus menindan. Tiada tangan mengangkat duri dari jalanan hidup mereka. Jalanan hidup mereka penuh duri berhamburan. Ke kiri duri. Ke kanan duri. Ke depan duri. Ke belakang duri. Yang mereka tahu berjalan meminggir-minggir segala duri. Allah, sepertinya tersenyum memerhati tingkah mereka terkinja-kinja mengijak duri dan melatah. Allah sepertinya sedang berhibur pada jalan minggirnya mereka. Allah berhibur? Mana mungkin Dia berhibur di atas sengsara UmatNya. Aku bilang Allah berhibur, ada beda dengan berhibur. Sebegitulah aku menduga-duga. Mereka akhirnya terus sahaja berjalan semakin ke pinggir mengelak duri-duri sejauh mungkin. Lantas, lantaran terlalu ke pinggir, mereka kepeleset dalam jurang kemiskinan. Kepayahan menidan kemiskinan. Lalu perit hidup tidak pernah pergi biar sekadar dibawa bah untuk sekejap. Hidup mereka benrgumpal bagai larva gunung berapi payah atas miskin dan perit di atas segala. Hidup mereka menjadi membatu, keras sukar dipecahkan atas satu nama iaitu kemiskinan. Di situ juga Allah sedang memerhatikan. Memerhatikan apa? Apakah Allah sedang tersenyum juga? Senyuman Allah itu apa mungkin manis atau sinis?
(7) Terkusur-kusur aku berjalan. Menyepak-nyepak batu keras. Sesekali kuambil anak-anak batu, lalu kubaling jauh-jauh ke dalam sungai, ke dalam sawah, kulayang sekuatnya ke pinggir hutan. Seperti batu-batu itu ingin kubuang jauh-jauh. Untuk apa? Apa salahnya batu-batu itu maka harus kuperlakukan sebegitu? Apa sebenarnya yang ingin kulemparkan? Kesal. Nyesal. Aku meraba-raba rasa sesal di dasar lubuk hatiku. Apa mungkin rasa sesal itu yang sebetulnya hendak kulemparkan. Mungkin juga dasta Raja Shah Bana yang sedang kubaling-balingkan. Untuk apa? Agar dasta baginda jatuh ke bumi lalu baginda turun merasa menginjak bumi? Mungkin juga kepala batu manusia-manusia Kampung Shah Bana sedang kulontar-lontarkan. Untuk apa? Agar kepala mereka merekah pecah memuntahkan otak lalu meleleh ke bumi? Untuk apa? Kenapa? Hamba rakyat ini, asalnya tidakkah mereka rakyat merdeka berdaulat? Tidakkah segala hutan dan sungai itu dulunya milik mereka? Tanah sawah, tanah ladang itu, asalnya apa? Tidakkah semuanya itu asalnya adalah tanah hutan tempat mereka mengejar segala keperluan hidup sebebas semerdeka sangat berdaulat sekali? Saat mereka merdeka berdaulat, hutan itu tetap hutan. Sungai itu tetap sungai sejadinya. Mereka merdeka berdaulat memperlakukan apa saja sekadar kebutuhan azali mereka. Namun kini, kenapa mereka jadi terpinggir? Dulu tuan, kini penumpang? Saat mereka berpunya Raja Shah Bana, kemerdekaan dan kedaulatan mereka kepada hutan, kepada sungai itu melayang pergi. Kenapa, bagaimana?
(8) Aku menengadah kepada Tuhan. Bertanya. Bertanya untuk mereka. "Saat tiada Raja, mereka adakan Raja. Mereka perlukan Raja untuk berbagi sesaksama nikmat hutan seluas Engkau, Ya Allah ciptakan. Namun, saat mereka berRaja, segala menjadi milik Raja, mereka tersisa hanyalah pinggiran. Tuhan, Ya Allah kenapakah tangan memberi tidak menerima pada jalan saksama, sedang tangan nan menerima mengambil semua?" Aku juga kian berfikir apakah ini tidak hukuman Allah buat mereka yang tidak mahu berfikir? Ini hukuman duniawi Allah. Hukuman bagi yang tidak mahu berfikir, pasti payah hidupnya. Sengsara. Perit hidupnya. Juga, hukuman dan mungkin lebih enak disebut sebagai imbalannya bagi yang mahu berfikir, bekerja keras, lalu serakah jadinya. Yang kuat berfikir, siang malam, menjadikan mereka serakah akhirnya. Semua ingin agar jadi milik mereka, lantaran mereka bistari jalan fikirnya. Lalu aku terus berfikir dan bertanya haruskah berfikir itu demi serakah atau apa? Untuk serakah memuaskan nafsu, apakah perlu berfikir? Sepertinya lembu, apa dia harus berfikir untuk makan dan terus makan? Segala binatang, demi nafsu apa mereka harus berfikir? Tidakkah berfikir itu membuah akal? Tidakkah akal itu demi kebaikan? Tidakkah berfikir dan berakal itu sifat manusia, tidak pada binatang. Lantas, jika manusia berfikir hanya untuk kenyang sendiri, apakah dia berakal atau sekadar bernafsu yang tiada beda dengan binatang? Itu sepertinya adalah polimik hukum duniawi. Namun Allah juga mengadakan Hukuman bagi segala Hukuman di akhirat nanti. Bagaimana itu? Itu urusan Allah pastinya. Aku tidak usah menduga-duga sehingga ke langit sedang yang di bumi belum aku kepikirin semuanya.
(9) Cuma aku kepingin menyoal. Bukankah Raja itu untuk melindungi hamba rakyat. Menjaga hamba rakyat agar hamba rakyat terus teguh bersama Raja? Namun apa yang kutemui Raja sudah tidak bersama hamba rakyat. Katanya, Raja Shah Bana sudah mewakilkan KeRajaan baginda kepada para pembesar Negeri yang baginda panggil Datuk Memanda Menteri, Datuk Wakil-Wakil Rakyat, Datuk Pak Kantor, Datuk Temenggong, Datuk Pengawa, sehinggalah Datuk Kepala Desa. Semuanya ada gelaran agar mudah melindungi hamba rakyat. Raja berbuat sebegitu lantaran Raja dikatakan mempunyai daulat. Apa itu daulat? Daulat adalah kebebasan yang sering dilihat sebagai kebesaran untuk memberi kuasa dan berkuasa. Sebegitulah maksudnya berdaulat. Lantaran berdaulat, maka barulah berdaulah, berKerajaan. Namun siapa yang menganugerahkan daulat kepada Raja? Dari Allah? Bagaimana? Lewat apa? Benar, Raja itu pilihan dari Allah. Tidak sembarangan orang bisa jadi Raja. Raja itu ketentuan Allah juga. Daulat baginda juga dari Allah, namun bagaimana caranya ia datang dari Allah? Apakah ia datang bergoleh terbang melayang sebegitu mudah dari langit? Juga benar, Raja itu punya daulat. Punya kekuasaan. Daulat Raja itu sebetulnya adalah pemberian hamba rakyat, lantaran kedaulatan rakyat terkumpul terhimpun pada Raja demi pertukaran mereka sebagai hamba. Daulat Raja adalah diregut dari tangan rakyat. Maka, Raja itu berdaulat lantaran rakyat sanggup jadi hamba menyerah segala kemerdekaan kedaulatan milik bersama mereka kepada Raja. Allah memberikan, menjadikan Raja berdaulat lewat pengorbanan rakyat. Makanya, ada hamba rakyat, barulah ada Raja. Bukankah sebegitu fahamnya Adam AS betapa baginda harus ada rakyat baru boleh menjadi khalifah, yang memaksa baginda untuk mengadap Allah agar Hawa RA harus tercipta. Juga tidakkah sebegitu maksudnya saat Allah memerintah segala mahlukNya untuk sujud patuh kepada Adam AS, maka semua menyerah kemerdekaan kedaulatan masing-masing kepada baginda, melainkan bagi syaitan. Semua mahluk Allah sujud tunduk kepada Adam AS, lalu menjadilah mereka mahluk di bawah kekuasaan Adam AS. Adam AS atas dirinya, baginda pasti adalah hanya mahluk biasa. Hanay selepas Allah memerintahkan segala mahluk tunduk berserah kepada banginda baru baginda terangkat menjadi khalifah. Sebegitulah asal kejadian kekhalifahan pada manusia. Makanya segala gunung, jika manusia mahu runtuhkan, maka runtuhlah ia. Begitu juga sungai, jika manusia mahu alihkan, maka beralihlah alirannya. Apa lagi dinamakan binatang sembelihan. Saat manusia mahu menyembelih, maka terpaksa akurlah dia, Para jin juga manusia boleh kuasai. Cuma, syaitan manusia tidak akan dapat kuasai lantaran kemerdekaan dan kedaulatan syaitan tidak pernah terlucut. Maka kekuasaan, kedaulatan, kekhalifahan, keRajaan, dan kebesaran semuanya adalah dari Allah. Segalanya adalah pemberian dari Allah. Apakah manusia pernah berfikir tentang maksud pemberian itu? Aku yakin banyak tidak peduli. "Peduli apa" kata mereka. Sebegitulah tangan yang menerima dari yang memberi. "Peduli apa!"
(10) Sesungguhnya, kita, manusia-manusia kita ini, apa lagi bangsa yang kupikul di hati dan fikiranku ini, menjadi kerdil terkurung lantaran telah terlalu banyak kemerdekaan dan kedaulatan milik kita bersama telah kita serah dan paling jijik terjual dipersundalkan kepada yang sedikit. Nafsu dan kelalaian kita menjadikan kita serakah menyerah menyudal banyak dari kemerdekaan dan kedaulatan kita. Di sini, di bumi kupijak ini, di Kampung Shah Bana ini, sebegitulah telah terjadinya. Banyak dari kita dan mereka, sebetulnya sangat sedikit bedanya.
(11) Sesungguhnya, apakah perintah dan kepatuhan untuk bersujud segala mahluk kepada manusia, telah kita mengerti sempurna maksudnya? Untuk apa perlunya segala mahluk harus sujud kepada manusia? Maksud Allah, dan pengertian kita sudah kian menyimpang di jalan yang tidak mungkin akan bertemu di mana-mana. Segalanya harus sujud kepada kita, agar kita membina Syurga di akhirnya hidup kekal kita, namun kita berlumba-lumba membina syurga untuk kehidupan singat di sini, di bumi ini. Allah memberi daulat kepada manusia. Allah serahkan seisi bumi malah alam untuk manusia. Namun manusia sepertinya menyerah daulat kembali lalu menghamba kepada dunia. Anih? Bodoh mungkinnya?
(12) Mengertilah, betapa rakyat harus ada, serta sanggup menyerah kedaulatan mereka secara terkumpul, maka baru Raja ada daulat. Dengan daulat Raja, maka baginda punya kuasa untuk menurunkan KeRajaan baginda kepada segala pembesar Negeri atas apa gelaran sekalipun. Apakah itu sedang manusia-manusia Kampung Shah Bana mengertikan? Saya fikir tidak. Tidak, lantaran mereka tidak berfikir sebegitu saat mereka mendaulatkan Raja Shah Bana. Para pembesar Shah Bana pula sudah menjadi pembesar-pembesar Raja Shah Bana dan bukan pembesar-pembesar untuk manusia-manusia Shah Bana. Taat mereka bukan kepada manusia-manusia Shah Bana, tetapi setia hingga mati mereka adalah kepada Raja Shah Bana. Syahadah mereka, Tiada Tuhan yang kusembah, selain Allah tetap terucap sebegitu sampai mereka mati, namun jalan tuju kedidupan mereka berubah menjadi Hidupku, kesenanganku, kebahagianku adalah kerana Raja Shah Bana, maka kepadaMu Ya Allah aku bertanya "Di mana Kamu Ya Allah" di dalam jalanan hidup ini? Di bibir jelas hanya Kamu, di jalanan ini, Kamu hilang entah ke mana. Inilah yang meneteskan airmataku, lalu membuak darahku.
(13) Manusia betapa Allah saat menjadikan kita, sangat memuliakan kita, Dia menganugerahkan kemerdekaan dan kedaulatan hampir mutlak kepada kita di atas segala mahlukNya. Namun kita jual dan persundalkan kemerdekaan dan kedaulatan kita kepada sesiapa sesembrononya lalu kita kian dipimpin dari memimpin. Kemerdekaan dan kedaulatan kekhalifan kita melayang saat kita sudah mahu dipimpin di atas pimpinan sembrono pilihan kita. Demokrasi kita daulatkan. Namun, kita disundalkan oleh demokrasi. Islam kita pinggirkan. Maka atas itu, di atas kepala kita kian hari tindan bertindan-tindan terlenyet dengan kepayahan dan keperitan asakan kapitalisma menjadikan batu payah dan perit kian membuntal di dalam diri kita. Di Kampung Shah Bana ini, hamba rakyatnya sudah Raja Shah Bana timpa tindan bertindan-tindan kuasa keRajaan baginda lewat para pembesar Negeri. Kuasa-kuasa itu terus tindan bertindan-tindan menghimpit menyusah menyulit dan membatukan kemiskinan manusia-manusia Kampong Shah Bana. Kuasa-kuasa pada para pembesar Negeri dari keRajaan ini telah merampok meregut segala segala yang meninggalkan hanya pinggiran buat mereka.
Penjara-Penjara Cinta
Aku terhenti di suatu pojok. Melepas lelahku sebentar. Lalu di sana, aku mendengar sebuah cerita. Cerita mudah. Cerita cinta mudah. Kampung Shah Bana, rata-rata manusia-manusianya adalah miskin. Kental miskinnya. Tegar sekali. Keras. Lebih keras dari batu paling keras. Tidak akan pecah untuk selama-lamanya. Tiada luluhawa bisa memecahkannya. Di sini, di Kampung ini, cinta hanya tumbuh berputar di alam kemiskinan. Pria tetangga miskin harus hanya tersungkur jatuh mencinta puteri tetangga yang juga miskin. Kudratnya, pasangannya harus miskin sama miskin. Tidak miskin sama si kaya. Si kaya sudah pasti menyingkir terus dari biar hanya ngelihat mereka. Berkurun-kurun sejak adanya Raja Shah Bana dan para pembesar Negeri, sebegitulah jadinya. Si miskin mencintai menikahi lalu membiak banyak lagi yang miskin-miskin tidak pernah terkurangkan kemiskinannya. Sebegitulah kemiskinan tindan bertindan-tindan sehingga membatu membentuk miskin tegar keras abadi di Kampung Shah Bana ini.
(2) Di sini, kutemui temanku. Empat abad dulu sepermainanku. Seperguruanku. Berteman paling jujur. Tiada sedih di wajahnya, lantaran kini kuketahui sememangnya tidak pernah ada ceria dalam hidupnya melainkan duka sejak nadinya telah berdenyut. Baru kusadarai, sebermula sperma dan ovum yang menjadikannya bersatu, seluruh kejadian dan hidupnya adalah berselubung batik-baitk dan pelikat koyak rabak. Nuansa kejadian dan hidupnya penuh hanyir dan lekitan payah perit. Para moyangnya, nenek-datuknya, lalu ibu-bapanya, adalah pengabadi cinta mencintai di kalangan manusia-manusia miskin. Lantaran kemiskinan waris ke waris, membatas kakinya untuk melangkah pergi. Dia tidak pernah keluar dari hidup pinggiran. Hidupnya terus terkurung di antara hutan, sawah dan sungai itu. Dia juga terkurung dalam cinta penuh kemiskinan. Dia pria yang jalannya goyak gayik bagai unta berbulan-bulan kehausan lapar di tengah padang pasir. Tidak mungkin puteri kayangan tergiur pada sekujur tubuh kering yang sepertinya biar gelaran priapun tidak pantas buatnya. Namun, atas fitrah nafsu untuk berakyat pada dirinya lantas dia mengagah diri mengamit cinta puteri sri kandi miskin di sebelah rumah. Cinta mekar dalam diri mereka. Mereka bercita sekadar murah-murahan. Cinta miskin. Sekadar berjengok dari jendela daunnya yang telah berlobang-lobang. Bahkan pertemuan mereka tidak perlu pandang-pandangan keluar jendela bobrok, dinding-dinding rumah merekapun sememangnya tidak berdinding, bobrok di mana-mana. Paling jauh untuk mereka memadu kasih hanyalah di pinggir sungai di belakang rumah. Inilah cinta murahan. Mudah. Ringkas. Cinta sebening sayur bening. Sayur yang sayur-mayurnya paling mudah. Dedaun hijau. Pucuk-pucuk mungkin juga. Kangkong paling mudahnya. Sayur mayur yang dikutip di pinggir sawah, hutan dan sungai itu. Lalu di campur ikan bilis paling murah. Seupil bawang merah. Beberapa potong cabek besar. Mungkin secuil belacan. Lalu sedikit garam. Direbus dengan secangkir air hujan. Itulah resepi sayur bening. Resepinya mudah. Tidak mahal. Murah sekali. Orang pinggiran, Makanan juga dari pinggiran. Cintapun tumbuh di pinggiran. Sebegitulah sebetulnya riwayat cinta berkurun-kurun tindan bertindan-tindan di Kampung Shah Bana ini yang suatu waktu juga diwarisi oleh temanku ini.
(3) Lewat waktu, biar dalam payah biar dalam susah, saat terpancar ke rahim kolam renangnya, sang sperma dari nafsu sang teman ini terus saja mengabdi tugas. Empat ovum dari isterinya saban tahun menjadi janin. Lalu empat bayi setahun setiap satunya keluar menjengah alam biar dalam kesempitan payah rahim, menguak menangis bersyukur kepada Allah. Empat anak terus menindan kehidupan teman ini dan pasangannya. Satu-satu silih berganti, tanpa henti enam tahunan, terus melahirkan, terus pula menyusukan. Sang isteri tetap akur. Si miskin, sepertinya sebegitulah kebahagian sejati pilihan mereka. Sang isteri bagai pohon getah tanpa henti terus saja ditoreh. Ada getah atau tiada getah, terus saja tertoreh. Belum sempat pulih luka torehan lepas sudah siap ditoreh lagi. Teman ini, ilmunya pendek, nafas nafsunya bergelora, terus saja menoreh untuk mengisi kelompangan hati yang perih pada sang isteri yang tidak dia sadari saban hari kian termakan waktu. Lantas, Allah, atas MahaKasihan pada sang isteri Dia ambil pulang agar tidak perlu menangung derita berpanjangan. Dari hari-hari ditoreh dan ditoreh wajar saja dia harus istirehat sepanjangnya. Terkaparlah temanku, tanpa teman tetapi anak-anak berkeliling pinggang tanpa ibu. Sejarah hidupnya yatim piatu berulang dan tindan bertindan-tindan kepada anak-anaknya. Dia dulu juga kematian ibu saat di usia anak-anaknya. Saat sebegini, dia melihat langit penuh kelam. Tuhan dia persoalkan. "Kenapa mereka? Kenapa aku?" soalnya mati sekadar itu. Sesungguhnya untuk menyoal Tuhanpun, dia sudah miskin akal. Inilah saat kemiskinan sudah membatu, untuk berbicara kepada Tuhanpun manusia sudah seperti batu.
(4) Namun syukur, ada Tuhan di hatinya. Dia yakin Tuhan akan tetap ada di sisinya. Dia berusaha membanting tulang sekadar kudratnya yang bertubuh kurus, tanpa ilmu yang bisa mengangkatnya. Ke sana kemari di sawah bendang di kebun ladang, dia menyembah keringat mencari sesuap dua pangganan. Namun, anak-anaknya, bukan sekadar butuh makan dan minum. Mereka butuh banyak. Empat tubuh mereka sudah tidak tertanding oleh tubuh kurusnya. Keperluannya hanya satu, namun keperluan mereka lebih dari empat. Maka beban di pundaknya menjadi jauh lebih besar dari tuntutan lima nyawa. Dia mengHisab segala. MengHisab dan MengHisab. Tindan bertindan-tindan perit hidup membantainya. Waktu berjalan terus. Juga tidurnya sudah semakin payah. Hatinya sudah kian merah berdarah-darah terbakar. Kian bertambah-tambah gusar gusurnya. Lantas, "Tuhan. Aku di sini! Aku di sini!" dia leparkan di saat-saat dada resahnya kian sendat. Sekadar itu dia menangis. Di saat itu, kuduga, seluruh para malaikat melayang turun ke sisinya seperti saat mereka mendengar Yunus AS bertasbih sesal, namun dia, suaranya hanya mati di situ. Para malaikat mungkin sekadar berpaling sesama sendiri bertanya "Apa mahunya dari Allah Tuhan kita dan dia/" Temanku ini, dalam hidupnya, dia tidak pernah menikmati apa yang banyak kita nikmati. Dia tidak kenal apa saja nikmat yang kita kenal. Malah dia tidak kenal apa yang yang dia tidak kenal. Dia tidak tahu apa yang dia mahu, lantaran dia tidak tahu apa-apa. Tahunya hanyalah dirinya. Dia akhirnya sedang beransur-ansur hanya kenal dirinya. Dia kian pudar tentang hadirnya manusia-manusia lain, biar anak-anaknya yang gusar gusur tidur mereka diselaputi gelap malam segelap masa depan mereka. Kenapa sebegitu mulai menjadinya dia?
(5) Temanku, tidak kejadiannya dia itu adalah sia-sia. Dia sengaja mungkin Allah korbankan agar kita mengerti akan pesan Allah berkali-kali dan wasiat agung Muhammad SAW. "Peliharalah anak yatim. Jagalah orang miskin. Bantulah orang susah. Rasakanlah kehidupan mereka. Insafilah lingkungan kehidupan ini." Sesungguhnya Dia menjadinya dia, aku menduga, lantaran aku dan kalian lainnya tidak kenal dan peduli akan dia dan mereka manusia-manusia di Kampung Shah Bana seawalnya. Kini segalanya sudah jauh tindan bertindan-tindan payahnya mereka, maka menjadi tindan bertindan-tindanlah bebanan tanggungan kita. Kenapa? Jangan ditanya ke mana perginya daulat yang pernah nenek moyang manusia-manusia Kampung Shah Bana telah serahkan kepada Raja Shah Bana untuk melindungi mereka. Semua sudah enak dihartamilikkan oleh para hati-hati serakah. Haruskah kita terus tidak sadar?
(6) Di suatu subuh sepi, entah syaitan apa berjaya menerobos ke dalam jantungnya. Dia hilang. Dia pergi. Di saat anak-anak sedang kedinginan dipeluk angin sawah yang lewat menerobos gubuk buruknya, dia merangkak pergi. Ayam kampungpun tidak kerasan kaburnya dia. Bagai kucing senyap-senyap dia menyelinap di celahan dedaun pintu. Dia lari sebetulnya. Lari dari tanggungan derita anak-anaknya yang sebelumnya sangat nikmat dia membikinnya. Manusia, nikmat direngkoh, tanggungjawab dipersetankan. Namun apa benar hukumanku ini? Jika aku adalah dia, apa mungkin tidak akan sama saja? Dia berkelana. Dia berpetualang. Dia mencari-cari. Dia mencari hidup. Syahadahnya hanyalah untuk hidup. Tiada Tuhan lekat di hatinya lagi. Dia sudah menidakkan Tuhan. Dia hanya mahu hidup. Untuk hidup adalah syahadahnya. Tidak lagi untuk Tuhan. Syaitan, mungkin iblis sudah melengkapi daulat mereka ke atasnya. Sempurnalah daulat syaitan dan iblis ke atasnya. Namun apakah itu benar? Tidakkah juga sudah sempurna daulat syaitan dan iblis ke atas Raja Shah Bana dan para pembesar Negeri baginda? Manusia, Allah anugerahkan hampir mutlak kedaulatan dan kemerdekaan semua mahlukNya kepada kita, namun kita alpa lalu tunduk oleh satu kedaulatan milik syaitan dan iblis? Banyak kalah oleh satu? Anih, atau bodoh?
(7) Betapa anak-anak saat mentari sudah becar terbangun mengusap-ngusap meguap mengeliat. Namun suara yang membangunkan hari-hari di pagi hari sudah tidak ada. "Apa bapa sudah mandi ke sungai? Apa bapa sedang menjerang air merebus ubi di dapur? Apa bapa sedang hajat di belakang rumah?". Semua celingak-celinguk bagai memerang siap hendak terjun menganyang ikan di kolam. Tidak pasti. Cuma sang kakak berasa sangi. Seluar bapa sudah tidak tergantung di belakang pintu. Baju bapa sudah tidak tersidai di bibir jendela. Kasut bapa sudah tidak tergeletak di tempat selalunya. Paling jelas, beg galas satu-satunya milik bapa sudah tidak lagi di rak dinding lagi. Pakainan bapa yang hanya setumpuk sudah tidak ada di raknya. Hatinya mulai resah. Dia menguak daun pintu. Sepi. "Bapa sudah pergi dek. Bapa sudah lari". Dia berlari mendapatkan semua adik-adiknya. Dia mendekap semua mereka. Airmatanya berhamburan. Mereka bertangisan. Terasa bumbung gubuk sedang runtuh. Dinding sedang roboh. Lantai-lantai sedang ambrol. Rumah mereka sedang roboh. Sang kakak, satu-satu tubuh kurus adik-adiknya tindan bertindan-tindan rebah menindan tubuh leper keringnya. Mereka menangis. Mereka meraung. Meraung-raung. Tubuh-tubuh bergoncangan. Mengigil-gigil sekuatnya. Terketar-ketar. Seluruh ketakutan membungkus mereka. Ketakutan paling takut.
Kuteteskan Airmata Di Pohon Layu
"Tuhan. Aku di sini! Aku di sini!". Rintih kerdil mulanya kusangkakan. Rupa-rupanya bukan. Tidak. Itu bukan rintih kerdil. Itulah panggilan hati yang sudah membatu. Itulah suara perkhabarannya kepada Tuhannya. "Tuhan. Aku di sini! Aku di sini!". Itulah suara panggilannya kepada Tuhannya. Dia tekad pada satu jalan. Dia tidak meminta apa-apa. Dia hanya berseru, mengkhabar "Tuhan. Aku di sini! Aku di sini!". Bahasanya, adalah bahasa hati yang hanya Allah, Tuhannya yang tahu. Tidak juga para malaikat. Dia menyerah seluruh hidup anak-anaknya kepada Tuhannya. KepadaNya dia berserah segala. Atas keyakinan itu, dia pergi. Dia tidak menoleh lagi. Airmata kering ditahannya kuat. Dia hilang bersama malam yang dingin. Lalu suara hiruk pikuk tangisan di gubuk itu membangun segera sang nenek di rumah sebelah. Dia bingkas keluar rumahnya. Dengan berpintal batik di dada dia bergegas memanjat tiang rumah menantunya yang sudah goyah. Dia mengerutu. "Kalau ya pun tak ada makananan. Janaganlah anak-anak jadi makanan di pagi-pagi buta begini". Namun sesaat mukanya menjengah ke dalam gubuk itu dia benar-benar gugup terketar. "Nenek. Bapa sudah lari. Siapa akan bagi kami makan? Kami belum makan dari malam tadi" separuh berteriak si kakak. Si nenek menangis. Dia menangis tanpa suara. Tertahan jauh ke dalam dadanya tangisnya. Berguncang habis tubuhnya.. "Menantu. Menantu. Oh Tuhan". Dalam ketar mengigil lemah dia mendekap semua cucu-cucunya. "Cucu-cucuku. Yatim Piatulah kalian. Oh Tuhan. Oh Tuhan". Itu saja yang dia mampu ungkapkan. Mungkin sekali lagi para malaikat meluru datang, mahu tahu apa mahunya nenek itu. Namun, semua mereka kemudian saling berpaling lagi. Tidak tahu apa mahunya si nenek. "Mari cucu-cucu nenek. Pindah saja ke rumah nenek. Nenek ada! Nenek ada!". Sehelai sepinggang sepertinya anak-anak itu membuntut nenek ke gubuknya di sebelahan.
(2) Pagi itu, hari itu, mulailah anak-anak itu belajar merenung hari Hari-hari merenung hari. Hari-hari mengharap hari. Mereka tidak berharap kepada bapa mereka. Tiada lagi pengharapan mereka kepadanya. Juga tiada diharap pada nenek yang sudah goyah lututnya. Apa lagi diharap pada datuk, yang sudah tidak bisa memegang pisau toreh lagi. Bahkan mengangkat tubuhpun dia sudah tidak mampu. Mereka sebulat berserah kepada hari. Setidak-tidaknya, pada hari ada siang juga pasti akan datang malamnya. Saat merenung hari, sang kakak menangis lirih di dalam. Duka nestapanya, dia ingin pendamkan kepada malam. Seboleh-bolehnya, bagi dia, biarlah tiada siang. Dia hanya mengharap agar malam adalah sangat panjang agar tidur mereka paling panjang untuk melupakan biar lapar yang menguncangkan. Tuhan. Setidak-tidaknya anak-anak itu punya akal untuk bersyukur biar tidak pada adabnya. Mereka seperti mengerti nikmat pada malam yang Engkau berikan. Malam adalah untuk mengubat segala. Melupa segala. Sesungguhnya, malamMulah yang telah menjadikan mereka Kini, pedihnya Ya Tuhan, siangMu sanhgat mereka takutkan.
(3) Di kesiangan ini, aku menemukan mereka. Dari jendela gubuk nenek mereka, wajah-wajah mereka membikin aku tertegun. Derita tiada. Senyum juga tiada. Polos tidak juga. Hanya bola-bola mata mereka mengiring jalan tubuhku. Kulemparkan sebuah senyum. Tidak berbalas. Kujegilkan mata, juga tidak berbalas. "Assalamualaikum wmwbt" kulemparkan kepada mereka. "Waalaikumsalammmm" jawab mereka serentak. Suara panjang gemalai. "Anak-anak Pak Hatimkan?" soalku ingin pasti. "Ya. Inilah anak-anak Hatim" jawab nenek tua. Aku sudah mendengar cerita mereka. Mereka juga sudah tahu akan kedatanganku. Malah mereka seperti tertunggu-tunggu namun malu-malu. Aku kemari hanya ingin pasti apa benar yang kudengarkan. "Ayuh. Semua kemas-kemas. Pakcik mahu bawa semua ke kota, kita makan-makan" usulku. "Dari pagi-pagi lagi mereka sudah kemas-kemas. Makcik awal-awal pagi lagi sudah suruh mereka siap-siap. Semua ini belum makan pagi lagi." jelas lanjut si nenek. Hari sudah jam 14.00 tengahari. Pasti berkeroncong gila perut anak-anak ini.
(4) Ke Kota Batu kubawa mereka datang. Inilah Kota yang hanya mereka dengar namanya. Rupanya terlalu asing buat mereka. Ke Kota ini, mereka sekarang kudekatkan. Kota Batu, kota mencakar ke langit, jauh lebih tinggi dari capaian pohon-pohon getah di Kampung Shah Bana. Di pohon gedung batu bernama Hotel aku tempatkan mereka diam. Gedung ini, tidak pernah melintas di dalam hidup mereka. Namanya juga payah untuk mereka sebutkan. Tidak pernah ada di mana-mana di sudut mata dan hati mereka. Aku ingin agar mereka sudah tidak asing tentang gedung ini. Di tilam empuk dalam dingin nyaman aku tidurkan mereka. Dingin bukan kerana hujan tengah lebat. Dingin juga bukan lantaran tiupan angin subuh lewat dinding bolong. Empuk tilam bukan lantaran tumpuk-tumpuk gombalan. Semua tersedia rapi terhormat, tidak berantakan seperti di gubuknya mereka. Di sebuah restoran pesan apa saja mereka kuraikan. Bukan nenek yang menyajikan. Bukan di dapur sempit oprak aprik nenek makanan disediakan. Bukan di lantai keras mereka bersila makan. Semua terhidang. Banyak. Tidak usah rebut-rebutan. Makanlah. Berbukalah puasa panjang yang kalian telah lalui lama. Lalu, biarlah di sungai namanya kolam renang mereka bersuka-suka. Berkubanglah di sana. Akan bersih tanpa lumpur keluarnya mereka nantinya. Dalam hatiku, sudah 54 tahun aku hidup merdeka dan terus merdeka, biarlah hari ini kutanamakan mimpi merdeka kepada anak-anak ini. Biarlah di dalam diri mereka ada mimpi tentang masih ada rahmat Tuhan selagi mereka masih punya mimpi dan usaha. Tiada lain yang kuinginkan. Hanya itu. Menghadirkan mimpi. Mimpi besar untuk mereka melangkah gagah nantinya Aku sekadar mahu mereka punya sedetik waktu dalam hidup mereka. Aku mahu mereka merasa merdeka bebas berdaulat dari membatunya perit kemiskinan Kampung Shah Bana. Biar hanya sekejap. Aku yakin sedetik itu pasti tumbuh menjadi benih yang pasti banyak buahnya. Ins Shaa Allah. Mudah-mudahan di dalam diri mereka akan terus ada rasa tumbuh, betapa Allah tetap masih ada bersama mereka. Itulah azimat, bekal mereka untuk menebus segala-gala.
(5) "Tuhan. Aku di sini! Aku di sini!" kupinjam dari suara temanku, bapa mereka, juga untuk aku mengkhabarkan, "Ya Allah, peliharalah mereka sepertinya Engkau telah memelihara aku di saat aku juga seperti mereka dulu-dulunya." Tuhan, Ya Allah. Di pagi ini, di waktu AdhuhaMu ini, aku mengerti dalam-dalam rahmat besarMu kepadaku. Mereka itu, adalah aku, pada waktu sebegitu juga dulu-dulu. Di malam hari, Engkau tidak meninggalkanku. Engkau membungkusku dengan segala kasihMu. Engkau menjadikan aku lupa segala deritaku. MalamMu, rahmat yang tidak pernahku kenal sebelum ini. Kini aku mengerti. Sedang siangnya Engkau hamparkan segala derita cabaran hidupku. Kemiskinan terbentang luas menerjah-nerjah perit bagiku. Sendiri tetap juga aku jalani segalanya. Aku akhirnya bebas merdeka. Engkau anugerahkan itu padaku. Akan kupegang kuat selagi nafasMu dalam tubuhku. Kini, sesungguhnya dari tanganMu, engkau hadirkan aku pada mereka agar aku kembali harus terus berjalan dan berkata-kata. Tuhan, Ya Allah. Aku di sini. Aku di sini. Bantulah aku untuk mereka juga bagi segala sepertinya mereka demi Engkau. Aamiin.
(6) Belum kutemui kawan-kawan berkepala batu, berhati batu namun, biarlah dulu kurintis jalan agar di hati anak-anak ini membatu membulat tekad untuk mereka pecahkan batu kemiskinan di Kampung Shah Bana ini. Aku berharap, jikapun tiada kepala batu, hati batu di antara kami sekawanan-kawanan, biarlah di sini aku mulai menyemai kepala batu, hati batu untuk perjalanan lain di esok-esoknya. Namun tidak aku akan terus berhenti dari berjalan dan berfikir bersuara. In Shaa Allah.
Kuala Krai, Kelantan-Terasi, Pendam, Sarawak
31 August- 6 Sept., 2014
0 comments:
Post a Comment