Acaranya adalah sebuah pesta, sebetulnya fiesta sarkas zaman berzaman. Di namakan fiesta kerana pestanya benar-benar gemilang, 'real fierce', ganas tetapi mengasyikkan. Badutnya, sang kerdil. Namun, dia manusia hebat. Tidak kerdil di hati. Kerdil di mata saja. Paling hebat. Paling gagah perkasa, jika dilihat dari susuk tubuhnya yang kemetot namun bisa saja dia menundukan sesiapa dan apa saja. Sedang Penguasa yang dinamakan Tuan Besar Empunya sarkas perlu digiring para pengawal pengiring berotot-otot, namun kerjanya cuma enak duduk dikerusi menonton dan para pengiringnya pula hanya mampu mengiring dia. Ada di antara para pengiring itu, dadanya, aduh waduh waduh bisa lupa lali sakit gigi melihatnya, ngeliurkan. Apa lagi jika dilihat otot di pinggul mereka, kakekpun mahu ikut goyang dadanya. Tugas mereka hanya mengiring mengipas-ngipas meleret senyum nan belum pasti ikhlasnya di mana. Namun, tidak buat Badut. Dia tanpa pengawal. Dia tanpa pengiring, malah ngak mahu di giring-giring apa lagi di kawal-kawal. Dia pemain. Dia lincah. Aksinya bukan sekadar tersendiri, malah kesendiri unik mengasyikan dan berani, shrewd. Dia tunjang segala. Tanpa dia, empunya sarkas bisa bangkrut golong seluar dalam, bukan sekadar tikar.
(2) Pejamkan mata. Tarik nafas panjang-panjang. Bayangkan nuansanya. Harus jangan pandang-pandang. Juga jangan pegang-pegang. Nahhhhhh. Tersenyum jadinya bukan? Menghiburkan. Sarkas ya sarkas. Mana mungkin di sarkas, kita harus mengalir air mata, melainkan kerana tertawa tergila-gila ngelihat telatah Badut sama teman-temannya.
(3) Teman mainnya Badut, coba teka? Kucing! Wah, ini bukan Badut anak-anakan. Harimau, Ya Si Pak Belang, Si Machan "Malaya" paling kurang. Harimau, biar betina atau jantanpun tunduk, manut ikut segala telunjuknya. Singa. Ya Sang Raja Hutan. Saat mengaum, aduh bisa modot kecut kandulnya. Apa itu? Loh, Bahasa sendiripun ngak tau! Kalau ngak punya kandul bagaimana? Hahahhaha bisa aja kecing berlari! Dalam celana deh...periitt periiit! Awas loh, jangan blue! Sang Raja Hutan, si Badut buat kissing-kissing. Usah khuatir, pasti Sang Raja udah gosok giginya. Dia ngak makan petai atau jengkol kegilaan Tuan Besar Empunya Sarkas. Cuma, harus diperhatikan saat segala perintah akan dimulakan juga usai dilakukan, pasti Badut mengosok-gosok pipi Pak Belang dan Sang Raja. Bukan bermanja. Juga ngak saja-saja. Harus ada yang perlu di kasi deh. Upahnya. Masakan puas beraksi, gratis percuma melulu? Cacing dalam perutnya pasti ngamuk nanti.
(4) Sang Gajah, Pak Belalai, Sang Kelembai, enteng. Pasti ada. Tanpa Pak Belalai pasti anak-anak ngak kepuasan. Badut bikin apa pada Pak Belalai. Hebat. Dijewer tarik telinga sama hidung Pak Belalai. Pak Belalai ikut saja, tidak membantah. Coba tarik telinga sama hidung sesiapa, apa jadi? Biar cewek sendiripun pasti mbekos marah-marah tapi mau! Jangan bilang di kamar tidur, itu ditarik apapun ngak apa-apa, malah silakan!. Cuma, jangan ditarik belalainya (apa itu?), ya jangan, nanti pedot tanggal! Kalau ngak ngerti, ya udah, jangan blue. Cuma, selepas segala, ya Pak Belalang, jangan sampai dia ngamuk, pasti geger ribut seluruh sarkas. Harus ada tebu, atau batang pisang atau paling ngak lo buah pisang. Bagus dikasi pisang tanduk, jangan rastali, terlalu kecil.
(5) Apa lagi ya. Harimau Bintang. Boleh. Ngak jadi soal. Badut hebat, apa saja pasti dia tundukkan segala. Cuma sering akhirnya, Badut naik speda berbasikal keliling di hambat anjing. Bukan seekor. Bukan anjing kampung. German Shepard. Ya anjing ya anjing, kerjanya apa? Menjeguk mengejar sambil menyalak-nyalak. Badut ngak main sama anjing bisu. Semakin banyak upah susu segar Badut berikan, semakin galaklah anjingnya. Sebegitulah saban waktu. Saban tahun. Zaman berzaman. Semua puas. Semua bergumbira. Tuan Besar Empunya Sarkas, kantongnya penuh, cuma kandulnya aja sering kempes kecut, bukan takutkan Sang Raja Rimba, tetapi diicipi tukang giring suka main pijet-pijet. Mau pijet kantong Tuan Besar Empunya Sarkas, harus kempeskan kandulnya dulu. Badut. Dia cuma mbong pes, kembong kempes tercunggap-cunggap keletihan. Tempuk sorak. Tawa hilai. Itulah kebahagiannnya. Sedang Harimau, Singa, Gajah, Harimau Bintang Anjing German Shepard, aman pulang dalam kurungan istirehat dan kenyang tenang-tenang.
(6) Cuma. Aku duduk berfikir di pinggir danau. Musimnya kemarau. Saban saat air menyejat, bergumpal, menghitam namun ngak menurunkan hujan. Halilintar sememangnya sambung menyambung. Guntur silat menyilat. Semua sekadar gegak gempita. Harapn ada, zahirnya plong kosong. Apa yang kufikir, nakal kayak sepertinya. Ya, Badut juga nakal. Jika ngak nakal, mana mungkin tawa penontonnya mengalah ngauman Sang Raja Rimba. Ya, aku memikirkan, pada suatu hari, hari yang lain dari hari-hari sejak zaman-berzamannya, atas lalai, atas khilaf juga mungkin atas sombong takbur bongkak, jadi begini:
"Sarkas tetap main. Tuan Besar Empunya Sarkas sudah siap di bangku depan. Anak-anak sudah bersorak ngak betah. Badut, kerana telah berzaman, kian melendut lemah tidak segagah dulu-dulu lagi. Sudah bukan "Aku Yang Dulu", namun hatinya tetap "Tegar". Saat mula bermain tiba, pintu kandang automatis terbuka. Pak Belang masuk. Hanya dia dan Pak Belang di sana. Wah, Badut baru tersadar, "daging upah" dia lupa bawakan, ketinggalan jauh di kandang satu kilometer ke belakang, sebetulnya sudah kehabisan. Bagaimana? Ya, jinak sememangnya jinak Pak Belang. Jinak saat ada yang dikunyah. Sekarang, aduh-aduh, Badut bingung sendiri, apa yang mahu dikasikan?. Kalau dia mengundur, Pak Belang pasti menerkam. Sudah tabii, ketentuan Ilahi, saat menerkam, yang diterkam pasti tengorok lehernya. Mati. Maut di tangan Badut sendiri sepertinya. Ngeri. Penonton semua gelisah. Tetapi Badut, selintas akal mendatang. Dia menyua lengannya. Penonton bertepuk gemuruh. Pak Belang, paling girang. Dapat daging segar. Lengan Badut dia terkam hempas patahkan. Tidak mengapa fikir Badut, dari mati lebih baik kudung. Kemudian Sang Raja Rimba juga masuk. Aduh. Inilah akibatnya bila segala adalah automatis. Juga dari mati, wajar kudung. Lalu lengan sebelah dia kasi Sang Raja Rimba. Penonton ngak ngerti apa-apa. Dikira Badut melawak gila-gila. Biarin. Soalnya, semua harus puas. Kemudian, Pak Belalai juga masuk mendatang. Aduh-aduh. Mau dikasi apa lagi. Masakan disorong peha biar kelihatan seperti batang pisang. Mana boleh. Tangan sudah kudung. Masa kaki juga harus dikorbankan. Ya, Badut terus bernasib baik. Celananya melorot. "Pisang"nya tersembul. Pak Belalang sudah biasa, saat memulakan permainan, Badut pasti ngasi dia pisang, maka "psiang" Badut dia pedot sentap. Apa jadi. Badut sudah tidak ingat dunia. Dia pengsan, sedang penonton terus bersorak. Inilah sarkas paling lucu paling berani dari Badut ini. Tanpa membuang masa, German Shepard juga berlari menerpa. Darah merah di lengan dan kandul "pisang" Badut mereka jilat bagai susu upah sebelum permaian. Melihat Badut, tidak bergerak-gerak baru semua sadar, Badut bukan bermain sarkas, dia sudah jadi korban sarkas. Lalu semua terbirit-birit lari membawa diri, hilang tawa, hilang sorak sorai, berganti kegemparan. Ke mana mereka berlarian?
(7) Aku. Kakiku berjuntai di sebatang pohon tumbang. Menguis-nguis air yang kian mengering di hujung jari-jariku. Pohon, tumbangnya engkau masih ada ertinya. Setidak-tidak aku bisa nongkrong di atasmu. Tumbangnya Badut, akan amankah penonton dari Harimau, Singa, Gajah dan German Shepard?. Teman, tega kalian membiarkan aku pecah kepala sendiri?
nota:
Semua gambar hiasan adalah capaian dari Inetrnet. Terima kasih kepada yang berkongsi gambar-gambar tersebut
Kuching, Sarawak
10 Okt., 2013
(4) Sang Gajah, Pak Belalai, Sang Kelembai, enteng. Pasti ada. Tanpa Pak Belalai pasti anak-anak ngak kepuasan. Badut bikin apa pada Pak Belalai. Hebat. Dijewer tarik telinga sama hidung Pak Belalai. Pak Belalai ikut saja, tidak membantah. Coba tarik telinga sama hidung sesiapa, apa jadi? Biar cewek sendiripun pasti mbekos marah-marah tapi mau! Jangan bilang di kamar tidur, itu ditarik apapun ngak apa-apa, malah silakan!. Cuma, jangan ditarik belalainya (apa itu?), ya jangan, nanti pedot tanggal! Kalau ngak ngerti, ya udah, jangan blue. Cuma, selepas segala, ya Pak Belalang, jangan sampai dia ngamuk, pasti geger ribut seluruh sarkas. Harus ada tebu, atau batang pisang atau paling ngak lo buah pisang. Bagus dikasi pisang tanduk, jangan rastali, terlalu kecil.
(5) Apa lagi ya. Harimau Bintang. Boleh. Ngak jadi soal. Badut hebat, apa saja pasti dia tundukkan segala. Cuma sering akhirnya, Badut naik speda berbasikal keliling di hambat anjing. Bukan seekor. Bukan anjing kampung. German Shepard. Ya anjing ya anjing, kerjanya apa? Menjeguk mengejar sambil menyalak-nyalak. Badut ngak main sama anjing bisu. Semakin banyak upah susu segar Badut berikan, semakin galaklah anjingnya. Sebegitulah saban waktu. Saban tahun. Zaman berzaman. Semua puas. Semua bergumbira. Tuan Besar Empunya Sarkas, kantongnya penuh, cuma kandulnya aja sering kempes kecut, bukan takutkan Sang Raja Rimba, tetapi diicipi tukang giring suka main pijet-pijet. Mau pijet kantong Tuan Besar Empunya Sarkas, harus kempeskan kandulnya dulu. Badut. Dia cuma mbong pes, kembong kempes tercunggap-cunggap keletihan. Tempuk sorak. Tawa hilai. Itulah kebahagiannnya. Sedang Harimau, Singa, Gajah, Harimau Bintang Anjing German Shepard, aman pulang dalam kurungan istirehat dan kenyang tenang-tenang.
(6) Cuma. Aku duduk berfikir di pinggir danau. Musimnya kemarau. Saban saat air menyejat, bergumpal, menghitam namun ngak menurunkan hujan. Halilintar sememangnya sambung menyambung. Guntur silat menyilat. Semua sekadar gegak gempita. Harapn ada, zahirnya plong kosong. Apa yang kufikir, nakal kayak sepertinya. Ya, Badut juga nakal. Jika ngak nakal, mana mungkin tawa penontonnya mengalah ngauman Sang Raja Rimba. Ya, aku memikirkan, pada suatu hari, hari yang lain dari hari-hari sejak zaman-berzamannya, atas lalai, atas khilaf juga mungkin atas sombong takbur bongkak, jadi begini:
"Sarkas tetap main. Tuan Besar Empunya Sarkas sudah siap di bangku depan. Anak-anak sudah bersorak ngak betah. Badut, kerana telah berzaman, kian melendut lemah tidak segagah dulu-dulu lagi. Sudah bukan "Aku Yang Dulu", namun hatinya tetap "Tegar". Saat mula bermain tiba, pintu kandang automatis terbuka. Pak Belang masuk. Hanya dia dan Pak Belang di sana. Wah, Badut baru tersadar, "daging upah" dia lupa bawakan, ketinggalan jauh di kandang satu kilometer ke belakang, sebetulnya sudah kehabisan. Bagaimana? Ya, jinak sememangnya jinak Pak Belang. Jinak saat ada yang dikunyah. Sekarang, aduh-aduh, Badut bingung sendiri, apa yang mahu dikasikan?. Kalau dia mengundur, Pak Belang pasti menerkam. Sudah tabii, ketentuan Ilahi, saat menerkam, yang diterkam pasti tengorok lehernya. Mati. Maut di tangan Badut sendiri sepertinya. Ngeri. Penonton semua gelisah. Tetapi Badut, selintas akal mendatang. Dia menyua lengannya. Penonton bertepuk gemuruh. Pak Belang, paling girang. Dapat daging segar. Lengan Badut dia terkam hempas patahkan. Tidak mengapa fikir Badut, dari mati lebih baik kudung. Kemudian Sang Raja Rimba juga masuk. Aduh. Inilah akibatnya bila segala adalah automatis. Juga dari mati, wajar kudung. Lalu lengan sebelah dia kasi Sang Raja Rimba. Penonton ngak ngerti apa-apa. Dikira Badut melawak gila-gila. Biarin. Soalnya, semua harus puas. Kemudian, Pak Belalai juga masuk mendatang. Aduh-aduh. Mau dikasi apa lagi. Masakan disorong peha biar kelihatan seperti batang pisang. Mana boleh. Tangan sudah kudung. Masa kaki juga harus dikorbankan. Ya, Badut terus bernasib baik. Celananya melorot. "Pisang"nya tersembul. Pak Belalang sudah biasa, saat memulakan permainan, Badut pasti ngasi dia pisang, maka "psiang" Badut dia pedot sentap. Apa jadi. Badut sudah tidak ingat dunia. Dia pengsan, sedang penonton terus bersorak. Inilah sarkas paling lucu paling berani dari Badut ini. Tanpa membuang masa, German Shepard juga berlari menerpa. Darah merah di lengan dan kandul "pisang" Badut mereka jilat bagai susu upah sebelum permaian. Melihat Badut, tidak bergerak-gerak baru semua sadar, Badut bukan bermain sarkas, dia sudah jadi korban sarkas. Lalu semua terbirit-birit lari membawa diri, hilang tawa, hilang sorak sorai, berganti kegemparan. Ke mana mereka berlarian?
(7) Aku. Kakiku berjuntai di sebatang pohon tumbang. Menguis-nguis air yang kian mengering di hujung jari-jariku. Pohon, tumbangnya engkau masih ada ertinya. Setidak-tidak aku bisa nongkrong di atasmu. Tumbangnya Badut, akan amankah penonton dari Harimau, Singa, Gajah dan German Shepard?. Teman, tega kalian membiarkan aku pecah kepala sendiri?
nota:
Semua gambar hiasan adalah capaian dari Inetrnet. Terima kasih kepada yang berkongsi gambar-gambar tersebut
Kuching, Sarawak
10 Okt., 2013
0 comments:
Post a Comment