.

3/8/11 YANG KULIHAT DAN AKU BERTANYA?

Posted By: Abdullah Chek Sahamat - August 04, 2011

Share

& Comment



Aku tidak bisa berbicara lagi bertantang denganmu. Bola mata kita sudah kian enggan bersatu. Sinar matamu hanyalah kebencian yang mematikan aku. Curigamu sudah sampai ke puncak yang aku sendiri sudah merasa perit bahang tikamannya. Cukup rasanya, agar engkau mengerti, kesah yang dalam tersembunyi dalam dadaku, aku ceritakan, lewat garis-garis ini, agar kau baca saat aku berpergi.

(2) Aku tidak berwasiat. Ajalku mungkin masih jauh, sekurang-kurangnya sebegitu kata akal dan naluriku. Yang pasti, aku mesti melangkah pergi. Pergiku, mungkin tanpa jejak tanpa sadar. Maka sebelum itu terjadi, aku hanya ingin mengukir mimpi, bagai pelukis mengaris-garis warna-warni pada kanvas buat tatapan di dinding kamar tidur, buat mu yang kugarap pasti sedang berusaha untuk jadi wira dan sri kandi bangsa ini. Mudah-mudahan padamu akan kutemui adanya roh Jose Rizal, Soekarno, Kartini, Inggit lantas jika setidaknya Mahathir. Syukur jika nanti ada padamu kebijaksanaan Umar Ibn Khatab jika tidak pemberani Ali Abi Thalib.

(3) Sememangnya, jalanan keanak-anakan dan kedewasaan kita amat berbeda. Itu sering jadi tembok pemisah kita. Cuma, saat gembira pasti kita lupa segala, namun akan datang waktu susahnya, maka dengan pasti siapa yang telah teruji dan siapa yang kental akan terus bisa menyambung hidup. Aku anak yang ke sekolah tanpa sepatu, dan engkau anak sekolahan punya supir:berpemandu. Aku dewasa dengan Air Hujan, engkau dewasa bersama Starbuck. namun, biarlah aku bercerita sebagini saja:

Suatu waktu, nenek moyang kita berjalan bebas di bumi nusantara ini. Tiada sekat. Tiada batas. Mereka dan semua berbicara dalam satu suara dan budaya yang saling mengikat, namanya rumpun Melayu. Berdiri sama tinggi dalam bangsa yang tulin ini. Dudukku juga sama rendah saat sedang riuh bernyanyi dan tertawa. Cuma, sering mereka berselingkuh:beda yang akhirnya, datang manusia Muka Merah-Putih lalu menjerat bangsa ini dalam kemelut sendiri yang tidak berkesudahan. Merdeka bangsa tercabut mati. Pattani jadi Siam. Champa jadi Kemboja. Tanah Melayu jadi Malaya. Temasik jadi Singapore. Bugis-Jawa-Riau terkurung dalam sangkar Inlander. Bumi ini, paling awal terkoprat dalam kekuasaan East Indian Company, di mana CEOnya, James Brooke, mengangkat diri menjadi Gabnur.

Astananya sengaja terbangun di atas bukit di pinggir tebing, agar sehingga kini kita akan tetap menatapnya. Ada yang merasa indah akan berdirinya Astana Putih itu. Namun, aku pedih melihat ianya di situ. Perit. Terconteng arang di muka ini, betapa Astana itu adalah lambang kita pernah terabdi. Tertampar kulit babi berdarah memual rasanya di pipi ini. Namun, kita seperti tidur lena dalam khayal keindahan Astana Putih sedang itulah parut luka yang menjijikan. Kita juga telah lupa sepertinya, kengerian dalam Tembok Penjara dan Kubu yang telah banyak menyiksa dan mematikan anak-anak bangsa yang memberontak mahu memerdekakan bangsa, yang turut berdiri bersama Astana itu. Kita juga tetap kagum pada Gedung Kantor gah di seklilingnya. Kantor itu adalah lambang perampokan:rompakan khazanah tanah air kita. Sebetulnya, semua itu besar sebesarnya, terbangun agar kita terus merasa kecil dan masih budak hingusan yang belum bisa berjalan sendiri!

Sejarah kita, hakikat yang pasti tercatat lekat di Oxford, Cambridge, Cornell dan bahkan di Burkingham Palace. Anak cucu kita sampai kapanpun akan terus di asak untuk mengakui itu. Sudah terpahat di sana betapa bangsa Anglo telah menjajah bangsa besar di timur jauh:Melayu. Anglo mampu mengkerdilkan Melayu. Maka, anak cucu cicit kita di gelar our subjects, the colonial subjects:hamba rakyat. Hati kita jadi kecut, jiwa kita jadi kerdil, fikiran kita tumpul mendengar gelaran sebegitu. Maka sampai kapanpun kita tetap melihat lesung batu di Harrod lebih indah dan bermutu dari lesung batu jualan di Batang Ai! Kita tetap merasa rendah diri biar banyak Mat Salleh dan Mem sebetulnya banyak yang jauh lebih kemetot dari kita!

Secara khusus, beratus tahun dahulu, telah terbangun temaddun kita sendiri di tebing sungai ini. Darul Hana terbina di Tebing Sungai Sarawak oleh nenek moyang kita. Itulah asal nama penempatan Melayu, Kerajaan Melayu sebetulnya, yang di bina oleh para pengungsi:penghijrah dari segala pelusuk nusantara, khususnya orang Sambas. Sebetulnya bukan penghijrah, mereka asalnya adalah pelaut, pelaut dari Brunei, Pulo, Boyan, Semarang, Spinang, Gersik, dsb. Cuma istilah yang kita gunakan adalah pelaut, kecil, inferior bunyinya berbanding dengan merchant, maritime, sailors, traders, etc yang gah gengsi:tegaknya maka dunia tidak mengenali kita sebagai sepatutnya. Itulah harga rendah-murah hati kita, menjadikan kita kecil di mata bangsa lainnya.

Kini apa ada bedanya pada kita? Bebas, merdeka, sejahtera, makmur? Aku berkira kita sedang menuju kesempitan panjang. Rumah kita kian empet-empetan:asak-asakan tanpa atur, tanpa ruang bebas buat anak-anak memerdekakan diri. Bagaimana seharusnya sikap kita? Sudah 50 tahun kita merdeka, apa kita terus mahu diam dan menerima? Menerima dan menyerah? Atau diam dan menunggu saja? Menunggu siapa? Menunggu apa?

Apa ngak mungkin kita kembali gah? Gah kita itu seharusnya bagaimana? Cukup jika kita jadi TYT, Ketua Menteri, Menteri, dan Pegawai Tinggi serta apa juga gelaran yang termampu kita cipta buat menghias dada? Aku kian sangsi, kerana semua itu sudah kita miliki, namun tetap kita banyaknya masih kuli. Kita masih kuli di gedung besar, rumah besar, ladang besar, kapal besar, projek besar, segalanya. Pokoknya pada yang besar-besar tetap kita sekadar kuli. Kita kesah di warung kecil, berjaja di pinggir jalan, berebut tebingan sungai, bertikam sesama sendiri berebut harta sekakang kera.

Aku kian mengheran, kesal dan sakit, pada kerusi empuk terpesorok banyak tubuh yang hanya menghitung gaji. Gaji untuk apa? Gaji untuk sendiri? Sekadar untuk anak dan isteri? Gaji untuk kerja? Kerjanya apa? Kerja sekadar ribut kalut apa hasilnya?Kerjanya untuk siapa? Pokoknya, kita sudah tidak bisa melihat awam hitam kian mendatang yang pasti akan menabur goncangan taufan. Aku khuatir saat itu, bangsa kita pasti lemas membangkai.

Bertikam adalah adat kita yang terus subur dan berevolusi. Kita biasa bertikam keris. Kita biasa bertikam lidah. Kita biasa bertikam periuk belanga. Kini, sebagahagian kita gian bertikam nombor. Kita juga sudah hebat bertikam belakang. Benci dan dendam menjadikan kita bertikam fail, membakul sampah segalanya. Cuma aku sudah perit untuk bertikam mata denganmu.

Aku kian melihat sudah banyak antara kita hanya menadah, berserah. Lagaknya, Allah itu Maha Pengasih, maka wajar kita berIman dan menyerah diri atas Maha PengasihNya. Sempit jadinya sudah kewarasan kita. Sesat sudah rasanya kebijaksanaan kita. Mati rasanya sudah jiwa juang kita. Kita seperti sudah mati sebelum mati. Ngeri.

Kita juga sedang berebutkan sekolah tinggi-tinggi. Untuk apa? Untuk agar kita lebih tinggi? Tinggi apa? Nafsu atau demi darjat bangsa? Aku gemes: marah terpendam.


(4) Sejarahnya kita adalah bangsa besar. Kini kita sudah sekolahan ke serata dunia. Kita juga sudah berkauasa dari DYMM, PM, KM, sampai ke jaga dan tukang kebun. Semuanya ada pada kita. Otak kita sebetulnya sangat hebat. Cuma kentalnya hati kita masih lemah. Lemah lantaran kita seperti hanya mahu memerdekakan diri dan bukan memerdekakan bangsa.

(5) Aku mengajak, kau yang telah bersama aku, biar kita sudah ngak sehati, namun tetap kita punya satu kesadaran, betapa kita perlu bersama membina kembali martabat bangsa kita, maka ayuh sejarah kita, kita bina semula. Buktikan, sejarah bangsa yang gah yang termusnah, mampu kita bina kembali, dirikan kembali. Kita perlu kental. Kita bisa, kita boleh, kita mampu, jika kita mahu. Kita mesti mahu, agar ianya terjadi. Kita mesti mahukan ianya terjadi. Kita mesti mahu berusaha dan bertahan biar sakit sebagaimana sekalipun.

(6) Ingtlah pesan Tuah:Di atas runtuhnya tembok Melaka, kita bina cinta pada bangsa ini

(7) Pada dinding kamarmu teman, biar aku lukiskan Astana dan segala kota lambang peruntuh bangsa kita dan di kanannya, di kanannya tersangkut, lukisanku Darul Hana yang mesti kita bina semula, Darul Hana yang Melayu, agar darinya akan bangkit titik mula kebangkitan pembinaan martabat Melayu kita. Renunglah lukisanku ini, saat aku telah pergi. Apa saja, kau perbualah semahumu.

Wisma satok, Kuching
5 August, 2011

#Abdullah Chek Sahamat

Writing that complies Bizarre, Odd, Strange, Out of box facts about the stuff going around my world which you may find hard to believe and understand

0 comments:

Copyright © 2010 abc sadong™ is a registered trademark.

Designed by Access. Hosted on Blogger Platform.