Sebelumnya, fikiran dan jiwaku sangat resah. Maka, aku mencari-cari apa sebab dan maksudnya. Apa lagi setelah kutoleh ke belakang, ngak banyak yang telah kuperbuat atas cita-cita yang selamanya kuhambat. Sebagai selalu, merantau memungkinkan aku untuk menemui apa yang sedang mengusarkan aku. Lalu, aku mengambil keputusan menjadikan 1 Ogos, hari Isnin, hari pertama Ramadhan 2011 sebagai saat aku harus melangkah keluar. Hari Isnin, adalah hari pertama bilamana asalnya puasa telah difardhukan kepada umat Islam. Hari Isnin, juga adalah hari di mana banyak peristiwa penting telah berlaku dalam sejarah dakwah Muhammad. Aku ingin mendapat berkat kembara pada hari ini.
(2) Tidurku pada malam Ahad agak kurang enak. Setelah membaca buku:The Revealation akhirnya aku lelap sekitar jam 2400. Namun pada jam 0200 aku terbangun. Setelah mengambil minuman panas madu Yaman, aku kembali tidur dan kembali bangkit untuk sahur sekitar jam 1600. Sahurku ringkas sahaja: telur goreng gaul bilis. Air madu panas menjadi kewajiban serta sedikit buah-buahan.
(3) Jam 0445 aku pergi menjemput teman Mas Kris yang akan bersamaku. Jam 0630 kami berlepas ke KLIA. Di sepanjang perjalanan, kepalaku berdenyut kuat. Dadaku terasa amat sesak. Aku berusaha untuk lelap, namun payah. Akhirnya bahuku terasa sengal dan akhirnya merembet: merebak ke leher. Aku bertahan sekuatnya.
(4) Jam 0945 kami berangkat ke Bandung. Kami tiba di Bandung tepat jam 1045 waktu Bandung atau jam 1145 Malaysia. Dari Bandara Husein Sastranegara, terus menuju Kota Bandung dan nginepchek-in di Hotel Aston di Chiampelas, sebuah kawasan wisata: perlancungan utama, sepertinya Bukit Bintang Kuala Lumpur. Kerana Uztaz Jajang yang akan menemani kami untuk ke Pesantren Cisijilin agak kelewatan kerana dia didatangkan dari Jakarta, maka kami mengambil kesempatan untuk tidur sebentar.
(5) Sekitar jam 1400, aku berjalan-jalan sekitar Chiampelas. Jalan ini, sepertinya di bangun ala Danang di Vietnam atau ala Early Vegas dengan watak-watak Rambo, Vietnam War dsb yang memelikkan. Cuma, jalannya sempit, tidak punya lorong pejalan kaki yang baik. Lopak dan rekahan di sana-sini. Kalau di musim hujan pasti habis pejalan kaki kena semprot:percikan air. Melihat segala jualan, memanglah di sini jadi syurga buat kaum Hawa dan muda-mudi. Namun, tiada bedanya dengan Silom Street atau Patpong, Bangkok buatku.
(6) Sekitar jam 1600, kami bertiga berangkat menuju Cisijilin. Melewati banyak perkampungan dalam lingkaran jalan yang berbelit-belit, sempit, dan berlobang-lobang, namun dalam suasa udara yang sangat menyegarkan, dingin bagai waktu berangin di kala Summer di Rocky Mountain, Colorado. Saya berkira suhu sekitaran adalah dalam lingkungan 23-24'C.
(7) Gambaran kepayahan menmang jelas di sepanjang jalanan. Susunan rumah yang tidak ketentuan. Para pedagang kecil berebut-rebut ruang untuk hidup. Rakyat sepertinya, hanya berebut untuk sekadar hidup. Kesejahteraan, kemakmuran sangat jauh dari telah mampir.
(8) Melihat segala itu, Mas Jajang sering saja memperingatiku: "Mas inilah wajah-wajah Indonesia". Di sepanjang perjalanan kritik Uztaz Jajang sangat berat dan tertumpu pada keresahannya tentang bangsa Indonesia yang kian kepayahan biar telah merdeka sejak 1945. Dia seperti lebih rela di jajah kembali, kerana dengan itu dia pasti kepayahan dan kemiskinan bangsanya ada sebab yang nyata, ie terjajah. Sedang selepas merdeka, mereka masih rata-rata payah dan miskin biarpun berada dalam pemerintahan sendiri, di tangan sendiri, yang sepatutnya tidak menjadi alasan untuk mereka terus payah dan miskin. Sepertinya, Uztaz Jajang yang kupanggil Mas Jajang atas usianya yang jauh lebih muda sedang menyesal untuk merdeka dan hidup sebagai bangsa merdeka. Ada resah yang sangat dalam pada dirinya.
(9) Soal politik dan pembangunan sememangnya minat mendalamku. Aku secara kebetulan banyak membaca tulisan-tulisan para pejuang kemerdekaan dan sastrawan Indonesia. Aku cuba mengusul: "Mungkin bangsa Indonesia perlukan satu tubuh di mana padanya ada suara Pak Karno (Sukarno) serta otot dan tulang Pak Harto (Suharto)". Ku gelar manusia itu Karto (Sukarno+Suharto). Kedua Mas Kris dan Jajang merasa sangat ingin tahu kenapa aku mengusul sebegitu. Jawabku: "Suara Bung Karno adalah suara membakar rakyat. Membakar hati rakyat bisa menyatukan mereka untuk satu tujuan jelas. Merdeka dan Sejahtera. Namun, lidah Bung Karno hanyalah getaran suara. Beliau tidak bisa mengerakkan urat dan tulang-tulang bangsa Indonesia untuk bekerja. Maka, di sanalah hati dan kepala Pak Harto paling berguna. InsyaAllah, mungklin 10 tahun lagi, atas sengsara yang kian menghambat bangsa Indonesia, dari pesantren-pesantren akan terlahir manusia sebegitu, Bung Karto!".
(10) Asyik ngobrol biar lelah, ngantuk, lapar, dahaga, pusing serta dingin suasana yang semakin menusuk tulang, tiba-tiba di suatu tempat, kelihatan sekumpulan pejalan kaki berlima orang. Berjalan agak anih. Saat kereta kami mendekati, kami terpegun. Anak-anak dengan pakaian compang camping mengiring seorang lelaki yang juga comot, berpakaian compang campeng, berjalan terhinjut-hinjut mendukung anak. Alang ke palang, terpegunya kami, di bahu lelaki itu dua orang anak perempuan kecil sedang dipikul di bahunya, ditumpuk di atas satu sama lain, benar-benar ditumpuk bagai mayat. Dua anak perempuan, hanya berbaju kotor, koyak-koyak, masyaAllah separuh bogel sebenarnya. Kemeringet berpeluh, berminyak. Tubuh mereka tipis: kurus kering. Leher dan lengan berliuk-liuk dalam hayunan henjut-henjut langkah si bapa mungkinnya. Si bapa berjalan berkaki ayam. Anak-anak berempat, megriring di belakang, berjalan tunduk, berkaki ayam, juga kotor, lelah, sepi.
(11) Kami benar-benar jadi diam. Kami melewat lalu perlahan. Meluncur perlahan. Melihat dekat. Mengamati dekat. Benara-benar dekat. Kami diam, benar benar diam. Bisu. Tertegun. Kelu. Terpana. Tergamam sebetulnya. Aku, yang sering berbicara tentang sengsara dan kepayahan yang harus dipedulikan, Mas Kris, seorang dosen, pensyarah, Mas Jajang, seorang lulusan Pesantren, seorang dosen juga sebetulnya, kami tidak terkata apa-apa, hanya lewat dan melihat.
(12) Paling anih, aku yang sentiasa siap dengan kameraku, hanya terpaku, kaku, tidak terangkat, tidak terfikir menembak, ngecepret, mengambil foto. Benar-benar kaku dan bisu. Hatiku berat, kepalaku penggap untuk berkata kepada tanganku:"Hey ambil gambar, ini peluang terbesar untuk menang anugerah National Geography. Hadiah lumayan". Tidak. Perintah itu tidak terkeluar. Aku benar-benar diam, pengap, kaku.
(13) Entah berapa lama, saat kami seperti kembali sadar, kami masing-masing menyoal:" Kenapa kita tidak berhenti? Kenapa kita tidak membantu? Kenapa kita diam? Kenapa kita tidak belikan mereka makanan? Kenapa kita tidak tumpangi mereka? Kenapa Mas ngak nyepret fotonya? Di mana rasa dan fikiran prihatin kita? Benar-benar Allah menguji kita? Kita gagal mengerti ujian ini!"
(14) Pendeknya: Kenapa kami hanya tega melihat dan tidak terbuat apa-apa, biar hanya sekadar bertanya khabar?. Aku jadi menyesal sepanjang jalan. Kerana memulai jalan agak lewat, serta jalan yang kurang selamat, akhirnya kami hanya singgah di sebuah warung berjual buah untuk membeli limau manis, air mineral dan keropok kulit sapi. Kami berbuka puasa di tengah jalanan. Enak rasnya keropok kulit sapi. Enak kerana kami terlalu lapar dan dahaga. Pasti apa yang kami nikmati adalah hamparan hidangan syurga buat anak-anak susah itu tadinya!
(15) Tiba di rumah Mas Jajang betul-betul bila azam Isya sedang berkumnadang. Sangat indah alunan azan bila berkmundang dari pelbagai surau dan masjid berhampiran. pantulan suara gunung serta resapa hutan dan hawa dingin awal malam menambah keasyikan. Sambil menanti ibu mertua Mas Jajang masak, kami sempat diperkenalkan kepada keluarga kampung jauh di pergunungan ini. Keluarga tani kecil. Punya sepuloh gawan sawah. Setiap satu seluas 400 meter persegi atau kira-kira 0.04 hektar atau 0.1 ekar. Bayangkan, cuma stu ekar seluruhnya. Inilah sawah yang mengempani: menyara hidup keluarga Sunda ini. Untuk mendapat be;lanja lebih, terpaksa memotong kaky buat jualan. Begitulah kehidupan yang terperok jauh di pergunungan.
(16) Mas Jajang punya adik yang baru seusia 16 tahun. Anak gadis sekolahan sebetulnya. Sangat pemalu orangnya. Pendiam sebetulnya. Anak kampung yang bersih. Aku tanyai anak itu:"Punya cita-cita apa?". Dia hanya diam. Dia tiada mimpi rasanya. Mimpinya mungkin hanya ingin selimut yang enak buat bungkusan menantang dingin angin gunung. Adat di sini, kerana biaya sekolah yang agak tinggi ie sekitar RM1.00 sehari buat membayar pelbagai yuran, selalunya, seusia sebegitu, anak ini akan dikahwankan saja dengan sesiapa saja yang mahu. Semua itu kerana tidak mampu untuk dapatkan biaya RM1.00 sehari!
(17) Usai urusan di rumah Mas Jajang di Rongga, kami kembali pulang dan sampai ke Kota Bandung sekitar jam 0200. Aku ngak bisa melelap mata. Kami hanya melewati Pesantren Cisijilin. Juga rumah Kiyai pengurus Pesantren hanya kami lewati tanpa mampir. Sudah kelewatan banget. Di perbaringan, fikiranku terus melekat rasa kesal yang teramat sangat. Pilu. Pedih. Perit.
(18) Jam 0400, aku turun untuk sahur. Saat ingin mengunyah roti, tiba-tiba air mataku berkucuran. Aku seperti merasakan betapa anak-nak itu sedang lapar. Aku terasa anak-anak itu tersangat lapar dan dahaga yang mematikan. Kehausan kelaparan yang tiada apa di tangan buat melepaskannya. Aku menangis. Aku kesal lantas segera kembali ke kamar. Aku sujud dan menangis sekuatnya di sajadah. Bergoncang kuat. Kesal atas sikapku yang hanya melihat sengsara itu. Aku benar-benar menangis. Menangis sedalam-dalamnya. Aku kesal kerana aku hanya mampu melihat sengsara itu tanpa aku terbuat apa, biar hanya berhenti dan bertanya khabar:"Mas ngak apa-apa?"
(16) Biar urusanku di Bandung belum usai sepenuhnya, aku memutus kembali segera ke Jakarta. Aku kepingin ke Gramedia. berkunjung ke Gedung Buku Gramedia adalah menjadi tradisiku bila ke Indonesia. Aku tidak menjumpai Gramedia di Bandung. Aku percaya, di Gramedia pasti akan kutemui buku-buku yang dapat memecahkan kegusaranku yang semangkin bertambah-tambah kerana melihat kesengsaraan itu.
(17) Sebagai terduga, sememangnya di Gramedia aku temui beberapa buah buku berkait dengan Ekonomi Islam. Banyak kritik tentang pemasalahan negara adalah kerana pengurusan perekonomian yang tidak merata. Kesannya, pasti wujud peminggiran dan keciciran. Apa yang aku lihat adalah Dasar Pembangunan Negara yang kian pincang yang berlandaskan sistem ekonomi Merchantile yang menjurus kepada Kapitalis monopolistik.
(18) persoalannya sekarang adalah bagaimana harus aku menimbul dan membangkitkan kesadaran agar kita jadi pemikir yang dapat mengerak dan merombak apa yang sedang kita lalukan ini, yang sekian lama masih bersifat Conventional: ikut-ikutan Barat samada di sektor awam dan atau koprat. Aku sedang mencari perananku yang baru. Aku sedang menyemak peranan Syahrir dan Tan Malaya dalam perjuangan mereka bersama Sukarno dalam gerakan memerdekakan Indonesia. Aku berharap dalam sedikit masa lagi, akan kutemui peranan baruku.
Banteng, Jakarta Pusat
3 August, 2011
0 comments:
Post a Comment