Satu baris kata-kata, benar-benar menikam saya saat menanti untuk ketemuNya di subuh tadi. Pada wajah sebuah buku terungkai: "Dulu, manusia merasa di balik yang terlihat, kini manusia hanya melihat apa yang di depan". Kebetulan, semalam saya cuba mendidik seorang teman untuk dapat berfikir ke depan. Saya menunjukkan kepada beliau tentang sebuah potret di mana di sebuah jalan di Hanoi, Vietnam seorang membonceng seekor sapi dengan speda motornya. Saya cuba mendidik beliau untuk merasa di balik kaca hidup.
(2) Saat potret itu saya tunjuk pada beliau, sebagai terduga beliau tertawa melihat kelucuan rakaman itu. Sang sapi dengan terengkuh dalam sekeping guni, dengan hidungnya agak luas, mata terkebil-kebil, kelihatan amat anih dan unique. Melucukan.
(3) Saya katakan kepada beliau: "Itu yang kita lihat. Apa tidak mungkin ada yang tidak kita rasa?"
(4) Seperti potret tertera di atas. Yang kita lihat adalah wajah-wajah ayu. Juga ada melihat peha yang terselak. Ada yang melihat sayuran segar menghijau. Ada yang melihat indahnya keseragaman. Cuma apa mungkin ada yang merasa: Tidakkah ini semua adalah sebuah lukisan hidup yang payah dan susah? Tidakkah ini gambaran, tentang tugas kita yang belum tuntas: usai, siap?
(5) Orang Melayu dulu-dulu sering betrkata: Sekilas ikan di air sudah tahu jantan betinanya?. Itu sebetulnya adalah bahasa hati, bukan bahasa lidah. Orang dulu-dulu mereka sering mencari pengertian disebalik apa yang mereka lihat. Cuba perhatikan watak sesorang yang sedang makan umpamanya. Yang kita lihat adalah makanan. Enak atau tidak. Banyak atau sedikit. Pedas atau sejuk. Semuannya yang tampak. Kita lupa, watak semasa makan adalah gambaran pribadi seseorang.
(6) Contohnya, jika cara makannya lambat sekali, tidakkah itu melambangkan akan cara kerjanya. Jika dia makan secara gelojoh, berhamburan, tidakkah itu juga menunjukkan tingkah lainnya? Jika dia makan, terus tunduk tidak peduli biar sang babi lewat lalu sekalipun, apakah itu tidak mungkin melambang sifat legai, tak pedulinya? Banyak lagi dapat kita fikir dan rasakan hanya dengan memerhati adab makan seseorang. Maka dengan sebab itulah, orang Melayu dulu-dulu, kalau kita bertandang ke rumah mereka, pasti mereka akan mengajak makan. Apa lagi jika yang bertandang ada anak dara dan bujang. Pasti mereka jadi perhatian. Dari situ mereka tahu: Ikan di air, kilasnya, kita tahu jantan betinanya. Bila tamu sudah pulang, pasti ada ulasan:Bagus anak-anak itu jadi menantu kita. Atau kurang asam lauk itu tadi biar sebetulnya, tiada lauk asam pedas yang terhidang! Saya juga gemar mengajak teman-teman makan, dari situ saya kenal siapa mereka.
(7) Masyarakat dulu, mereka banyak belajar dari alam. Mereka cuba mentafsir banyak perkara dari alam. Mereka belajar dari fitrahnya alam. Alam menunjuk jalan bagi kehidupan mereka. Untuk itu, semua itu melatih mereka untuk berfikir di luar dari apa yang mereka dapat lihat. Kini proses ini di sebut sebagai Thinking Outside The Box. Mereka dapat merenung di balik kebiasaan.
(8) Sajak yang saya nukilkan hasil dari tulisan Astha Brta Pakubuwono III adalah gambaran jika kita dapat memetik akan tugas sebagai seorang pemimpin. Pemimipin adalah matahari, bulan, bintang, bumi, air, api, angin dan samudra. Peranan pemimpin, adalah segala peranan yang di mainkan oleh semua tabii alam itu.
(9) Dalam dunia sekarang ini, apa yang saya perkatakan adalah sama dengan apa yang sering diutarakan oleh penulis Barat sebagai Body Language, Social Intelligent, Emotional Intelligent, dsb. Cuma saya berkira, dengan kita terutamanya masyarakat Melayu kian melupai kekuatan budaya kita, budaya firasat kita, maka kita menjadi manusia yang kian kaku yang kian kurang arif tentang sekitaran kita. Our sensitivity is no more for others, but all is about our personal or group interest. What a pitty? We have much neglected our thinking process to the interpretation of the Law of Nature. The Malays, watch your steps!.
Wisma Satok, Kuching
18 August, 2011
0 comments:
Post a Comment