9/6/11 SAAT GETIR, AKU HANYA MELIHAT.....kalian apa bedanya?

Sekian waktu aku duduk di sini sendiri, pada batu hampar di tebing tinggi, lalu wajah siang kian bertandang. Perlahan-lahan warna-warna perak bangkit di ufuk timur. Deru dingin malam kian menjadi hangat. Pagi merayap datang. Kicau unggas bagai senandung ucap selamat siang pada alam. Aku merayakan semuanya.

(2) Di depanku, sepohon acasia tua sedang mati merangas. Pada sebatang lengan tuanya, rupanya ada sepasang ketitir yang telah menemaniku sepanjang malam. Kicau kasih mesra mereka tadi malam menjadikan aku leka untuk terus duduk di sini.

(3) Saat siang sudah hadir semuanya, seekor sawa merayap naik. Perlahan dan cermat. Tanpa bunyi. Tanpa getar. Menghampiri ketitir yang terus berpadu kasih mungkinnya. Romantika mereka berdua mengasyikan. Saling merapat. Saling menyikat bulu-bulu halus. Saling meminyak bulu-bulu sayap. Saling membuang hama-hama yang melekat. Bercumbu juga layaknya.

(4) Tetiba, ketitir jantan kaget gila, sang permaisuri, ketitir betina lenyap dalam mulut gua sawa. Dia terbang berputar-putar. Kepaknya berkipas pantas. Pantas sebagai deras degup jantungnya yang gawat:resah. Dia hinggap tak ketentuan di dahan mana. Nyanyian suaranya tidak lagi semerdu semalam. Suara gundah mungkinnya. Memanggil-memanggil sang permaisuri mungkin juga. Merintih mungkin juga.

(5) Sang sawa diam tenang. Tubuhnya sedikit kembang. Sisiknya menguning keemasan. Buntutnya bergetar cepat, tanda mungkin ada kepuasan. Permaisuri ketitir telah menjadi suapan. Kini mungkin dia sedang senyum biar hanya sedikit habuan.

(6) Fikiranku berputar. Sepantas kibasan sayap ketitir jantan. Mencari-cari jawapan, atas keajaiban di depan mata. Dalam longlai melangkah pulang, aku sayu memandang pada ketir jantan, dan hatiku berkata kepadanya:"Teman, saat indah semuanya bernyanyi sama. Saat getir, yang ada hanya mampu melihat dan mendengar saja".

Matang Jaya, Kuching.
21 June, 2011