(Pagar kemiskinan dan kesengsaraan atau terpagar miskin dan sengsara?)
Hari ini saya didatangi seorang teman. Dia bercerita soal kerja. Kerjanya adalah untuk membantu pengurusan sebuah syarikat. Sebagai pembantu, pastinya dia punya orang atasan. Namun, orang atasan ini, dia kira suka mengambil enteng dalam semua perkara. Orang atasannya payah sekali untuk membuat keputusan atau memberi pandangan bila timbul sesuatu permasalahan. Permasalahan yang ditimbulkan adalah berat dan dia seperti kesendirian untuk memikulnya.
(2) Sebagai seorang yang tidak begitu akrab dengan teman ini, saya tidak gemar menjejer membincang atau mencari kelemahan orang atasan beliau. Saya menasihati beliau, jika kita menghadapi masalah, usah difikirkan sangat tentang siapa yang mendatangkan permasalahn tersebut, tumpukan saja kepada persoalan yang dihadapi. Cungkillah akar kepada persoalan yang sedang dihadapi. Hanya dengan cara ini, fikiran dan nurani kita akan meneroka, aktif, kreatif. Pastinya Allah akan membantu mendatangkan ilham bagaimana kita boleh mengatasi persoalan yang sedang dihadapi. Lantas saya cuba mencungkil tentang pokok persoalan yang sedang dia hadapi. Di dalam sesuatu syarikat atau perusahaan, selalunya masalah yang dihadapi adalah masalah kewangan. Bagi mereka yang baru atau masih kecil dalam segala perusahaan atau perdaganan, soal wang, soal modal adalah seperti persoalan hidup mati. Beliau atau syarikatnya sedang menghadapi masalah kewangan yang sangat meruncing, sehingga mahu membayar gaji para pekerjapun agak payah.
(3) Namun bila saya menanyakan apakah sebab utama kepada permasalahan kewangan mereka. Beliau seperti tampak tidak jelas kepada puncanya. Maka saya mengusulkan agar beliau membuat satu proses bedah siasat yang menyeluruh dan mendalam tentang bagaimana ‘kewangan’ boleh menjadi masalah getir kepada syarikatnya. Saya yakin, kewangan kadang-kadang bukanlah masalah pokok, ianya mungkin hanya dari akibat permasalahan lain. Sekali lagi saya usul, coba buat analisa menyeluruh dan mendalam.
(4) Beliau kemudian menyatakan, pasti itu sangat payah dan lama. Kenapa tidak saja, para pelabur atau Shareholder buat suntikan modal tambahan. Itukan lebih mudah, usul beliau. Soalnya, kenapa kita sering mengelak membuat kerja yang susah dan sedikit mengambil waktu jika perkara sebegitu akan membantu kita mencari jalan penyelesaian sebenar.
(5) Jawap beliau lagi, bahawa beliau hendak bercuti dan ke umrah. Kalau begitu, saya lantas menyatakan bahawa tidaklah syarikat ini benar-benar menghadapi masalah kewangan yang getir. Saya percaya Pengurusan: Ketiadaan Sistem, Kekurangan Rasa Bertanggungjawap: Iltizam-Pengorbanan-Disiplin, dan Ketiadaan Gerak Kerja Berpasukan adalah punca utama kepada permasalahaan. Namun, beliau dengan agak seperti mahu marah dan kecewa, terus menjawap bahawa, sememangnya permasalahan kewangan syarikat adalah getir. Mereka mungkin tidak dapat membayar gaji para pekerja pada bulan depan, dan kemungkinan sebahagian dari mereka terpaksa diberhentikan. Puluhan pekerja akan diberhentikan. Biarpun sebegitu akibatnya, dia masih boleh bercuti dan ke umrah! Saya jadi hairan. Saat pekerja dalam kepayahan akan kehilangan nafkah hidup, kenapa pula kita bercuti dan berbuat 'ibadah?' Saya benggong juga memikirkan apakah keberhasilan ibadah seperti ini?
(6) Pertemuan ini, mengimbau saya kepada sebuah buku, lalu saya imbaskan kepada beliau: Mengakar Ke Bumi, Mengapai ke Langit yang berupa Himpunan Puisi Taufiq Ismail 1953-2008 terbitan Majalah Harison, dan ingin saya sisipkan karya beliau yang berjudul Enam Ratus Ribu Jemaah Haji:
(I)
Kisah ini bermula dari Abdullah Mubarak Al Juhari’
Bermukin dia di Damshik, dia ahli hadith dan sufi,
Ibunya dari Farsi dan ayahnya orang Turki,
Simaklah (ikutilah) dia menceritakan kisah berikut ini.
Dia baru selesai melakukan serangkaian ibadah
Tawaf, Sa’i, Wukuf dan Melontar Jumrah
Sekujur badannya terasa luar biasa lelah
Rihatlah dia di lantai Masjidil Haram berbaring istirah
Tidurnya puas di bawah langit malam yang berbintang
Malam makin larut ketika suasana dalam (hening) dan tenang
Ketika itu di atas sana dua malikat melayang-layang
Terdengar percakapan mereka walau suara tidak lantang
“Berapa orang jemaah tahun ini”, tanya malaikat yang satu
Jawap temannya, “Jumlah mereka enam ratus ribu”
“Berapa yang diterima ibadahnya”
“Kabarnya cuma enam orang saja”
Abdullah Mubarak terkejut sangat dalam mimpi itu
Hanya enam orang dari enam ratus ribu?
Gusar, kecewa dan pilu bercampur jadi satu
Mendengar berita yang mengejutkan itu
Beratus ribu ummat datang memenuhi panggilanNya
Dari pangkal dunia dan dari ujung dunia
Lewat darat, sungai, gurun dan samudera
Berminggu-minggu bahkan berbulan-bulan lamanya
Termasuk pula dia seorang di antaranya
Masakan semua jerih perih payah itu percuma
Tiba-tiba dialog malaikat berdua itu ada lanjutannya
“Ibadah dari yang enam orang itu rupanya
Melimpah kepada seluruh jamaah barokahnya
Sehingga tidak ada yang terbuang percuma”
“Dan dari yang enam orang itu satu luar biasa
Seorang tukang sepatu dari Damshik kotanya
Ali bin Muwaffaq itulah namanya
Walaupun diditerima ibadah hajinya
Tapi naik haji tiada pergi dia”
Abdullah Mubarak tersentak dia dari tidurnya
Keluar dari mimpi yang begitu anehnya
Sesudah dia merenungkan hikmah dan makna
Tak habis-habis rasa penasarannya (kehairanannya)
“Aku mesti pergi ke Damshik mencari itu lelaki
Yang ceritanya tidak pergi berhaji
Tapi aneh, justru diterima ibadah hajinya
Aku akan cari dia sampai berjumpa
Agar rasa heranku terjawap dengan semestinya”
Bin Mubarak di Damshik, di negeri Syam itu tibalah
Mengarungi lautan pasir bergelombang ikut kafilah
Pinggang dan punggungnya kaku, badanya lelah
Tetapi dia tidak memikirkan perlunya istirah (rehat)
Kerana tak ada RT dan RW tempat bertanya
Yang terbaik tentu pergi ke pasar saja
Kemudian diteriaknya nama Ali di sana
Siapa tahu yang dicari itu sedang berbelanja (membeli belah)
Di tengah pasar Abdullah Mubarak kemudia berteriak
“Ya Ali, ya Ali, Ya Ali,” sampai suaranya serak
Kerumunan orang berjual-beli itu menolehkan kepala
Kemudian 14 orang bernama Ali datang padanya
Kata mereka, “Ana Ali, ana Ali, ana Ali, ayyi Ali?”
Ali yang mana, itulah maksudnya
Kata Bin Mubarak, “Ali bin Muwaffaq”’
“Aaa, Ali tukang sepatu, rumahnya itu di sebelah situ”
14 orang Ali menunjuk ke satu arah, dan bersama berkata
“Di tikung (sudut) sana belok ke kiri, lalu ke kanan lurus saja
Ke kiri lagi, serong ke kanan, lurus, ke kiri turun 3 tangga
Begitu tampak (kelihatan)pohon kurma, nah, di sebelah itulah rumahnya”,
Kini lihatlah Bin Mubarak mengetuk pintu rumah Ali Muwaffaq
Dia lantang mengucapkan salam
Dan segera dijawap dari dalam
“Wa’alaikum salaam”
“Andakah Ali Bin Muwaffaq tukang sepatu?”
“Ya betul itu. Aaa, wajah tuan bagi saya baru
Pasti tuan pertama kali datang ke sini
Kehormatan melimpah di rumah saya pagi ini
Tafaddal, silakan duduk, tuan minum kahwah atau syaaai?
Tuan mencari terompah atau sepatu, untuk perempuan atau lelaki
Mau memesan untuk dibuatkan atau beli yang sudah jadi
Saya akan keluarkan contoh untuk tuan pilih sendiri”
Abdullah Mubarak terduduk di atas tikar yang tua
Mendengar tuan rumah bicara tak henti-hentinya
Lalu kalimat Ali segera dipotongnya saja
“Ya akhi, anda tidak jadi naik haji kemarin ini, kenapa?”
Ali Muwaffaq terkejut mendengar kata tamu tak dikenal ini
Bagaimana dia bisa tahu bahwa Ali tidak jadi naik haji
Apakah itu urusannya datang ke rumahnya pagi begini
Rupanya sang tamu tak memncari sepatu untuk dibeli
“Ya Ali, saya mendapat berita tentang anda melalui mimpi
Ada malaikat menyebut namamu dalam sebuah panel diskusi
Nah ini, saya datang ke sini pagi-pagi, menggali informasi
Cerita sumber pertama sangat mustahak untuk klarifikasi”
(IV)
Ali bin Muwaffaq berkisahlah pada tamunya
Mengenai dirinya sekeluarga
“Anak saya lima, isteri saya satu, saya tukang sepatu
Sebagai tukang sepatu, hidup saya berhemat selalu.”
“Saya ingin naik haji dan sudah menabung 20 tahun lamanya
Tahun ini sudah cukuplah rasanya jumlahnya
Untuk ongkos perjalanan berdua dengan isteri saya
Padahal dalam kenyataan sebenarnya 21 tahun yang lalu kami berdua sudah pergi berhaji
Dan walaupun yang wajib cuma sekali
Tapi kami ingin pergi lagi
“Nah, Soraya isteri saya ‘kan mengandung lagi
Kemudian pada suatu tengah hari
Tercium olehnya asap harum dari dapur tetangga
Bumbu sup daging tersebar aromanya
Sifat mengidamnya lalu terjaga
Dan Soraya merengek-renmgek kepada saya.”
“Pergi ketuk pintu ke rumah sebelah sana
Mintakan yang dimasak kak Aisyah semangkuk saja
Supnya itu harum tercium asapnya
Aku ingin betul mencicipi (merasakan) masakannya.”
“Sebagai suami penurut kehendak isteri yang mengidam
Saya berangkat ke sebelah, mengetuk pintu tetangga
Berdiri di sana, menjelaskan maksud Soraya isteri saya
Tiba-tiba tetangga kami itu mencucur air mata.”
“Anak-anak saya sudah tiga hari lamanya
Tidak makan suatu apa
Tepung gandum tak sanggup saya membelinya
Susu kambing, kacang merah dan juga halwa
Bahkan garam di dapur juga tak ada
Maklumlah kami keputusan rezeki sudah lama
Sejak bapak anak-anak sudah tiada
Nah, tadi pagi saya lihat ada keledai baru mati
Di tepi jalan yang buntu tergeletak (terbaring) sendiri
Saya lihat ke kanan dan ke kiri
Kebetulan jalan itu memang sepi
Yang sempat terpotong cuma sebelah kaki
Gementar saya bungkus dengan kerudung (selendang)
Takut kalau-kalau ketahuan orang kampung
Sampai di rumah kumasak sup kaki keledai
Yang sebenarnya berasal dari bangkai
“Ya Ali, daging bangkai tidak baik untuk Soraya
Sebenarnya tidak baik untuk kita semua
Tapi tiga hari sudah kami tak makan suatu apa
Cuma air yang masuk ke perut anak-anak saya….”
(VI)
Terpotonglah perbicaraan Aisyah, keluarga miskin sang janda
Yang tidak memperaga-ragakan kesengsaraan hidupnya
Ali segera pulang berlari menjinjing mangkuk kosongnya
Bercerita pada isterinya tentang derita tetangga
Yang tersembunyi dan selama ini tak diketahui mereka
Soraya menitis air mata, Ali menangis pula
Soraya mengambil kantung berisi tabungan mereka
Yang berisi uang 350 dirham jumlahnya
“Kita 21 tahun yang lalu sudah pernah naik haji
Naik haji itu wajib cuma sekali
Tapi tetangga sengsara kelaparan hampir mati
Membantunya dengan sedekah, wajib tak henti-henti”
Ali dan Soraya pergilah ke tetangga di rumah sebelah
Soraya memeluk Aisyah, mata mereka berdua basah
Kini kantung tabungan itu berpindah tempatnya
Ke tempat yang paling berhak memakainya.
(VII)
Setelah mendengar kisah si tukang sepatu
Menjadi jelaslah bagi Abdullah Mubarak makna mimpi itu
Mimpi yang mengandungi teka-teki
Percakapan dua mailakat yang berisi mistri
Tentang 600,000 jemaah haji tahun ini
Tentang Ali dan isteri yang tidak jadi naik haji
Tapi justru diterima sedekah mereka sebagai ibadah haji
Serta seluruh dosa habis diampuni
Demikianlah keluhuran budi seorang tukang sepatu
Dia bukan orang berharta, tak berbangsa, tanpa ilmu
Dibatalkan niat haji kedua kali sebagai ibadah
Kerana suami-isteri itu lebih mementingkan sedekah
Lebih mementingkan sedekah
Untuk tetangga yang hidupnya payah
Sebagai suami isteri miskin
Menyantuni (membantu) tentangganya yang lagi lebih miskin
Mereka tidak serakah mengharap barokah
Mereka tidak menghitung akuntansi ibadah pribadi
Mereka tidak menimbun-nimbun pahala diri sendiri
Kerana lebih penting menyantuni tetangga yang sengsara
Daripada naik haji kedua kali
Dan menyumbang pada penganggur miskin sesama bangsa
Daripada naik haji ketiga kalinya
Lebih gawat membantu keluraga dekat yang sakit dan melarat
Daripada naik haji keempat kalinya
Dan menyantuni korban bencana alam serta perang saudara
Daripada naik haji kelima kalinya
Membiayai yatim piatu dan anak-anak berkeliran putus sekolahnya
Daripada naik haji berkali-kalinya
Wajib naik haji
Semumur hidup satu kali
Wajib menyantuni saudara yang sengsara
Seumur hidup setiap hari
Wahai suami isteri tukang sepatu
Kisahmu sampai pada kami dari masa berapa abad yang lalu
Dapatkah bangsaku meniru cahaya cemerlang ahlakmu
Menyerahkan kantung tabungan haji kedua
Kepada sesama bangsa bertahun ditimpa bencana sangat menderita
Banyak hutang, putus sekolah, pengangguran, penyakit
Di dunia
(7) Mudah-mudahan karya Taufiq Ismail ini, dapat mendatangkan ilham kepada kita, saat sebegini, saya kira peluang yang terbaik bagi kita merenung diri dalam mengisi hakitat sebenar tentang kejadian kita ini. InsyaAllah, muda-mudahan.
Kuching, Sarawak
5 June, 2010
1 comments:
Ya MasyaAllah, sungguh mulia hati tukang sepatu..semuga tulisan ini memberi iktibar dan peringatan kpd kita, bukan sekadar mengejar kekayaan dunia malah keredhaan di akhirat.
Terima kasih pd penulis krn sanggup berkongsi Himpunan puisi ini..semuga dirahmati
:-0-:BP
Post a Comment