.

8/8/14 MEMBURU KASIH DI PADANG SAGU......untuk sahabat yang kuganding lengannya.( up date revision 19.9) (draft)

Posted By: Abdullah Chek Sahamat - August 31, 2014

Share

& Comment

Manusia-Manusia Sagu:

Sedari dulu, entah beberapa dekad dahulu, dan mungkin berkurun lamanya, di desa-desa ini, semua manusianya hidup dan mati kerana sagu. Sejarah hadirnya sagu di sini, tiada siapa yang tahu tepat. Apa mungkinkah ia telah berada di sini sebelumnya mereka atas sifat azalinya dari Allah untuk semua. Mungkin juga ianya didatangkan dari tanah jauh. Jauh, mungkin hampir ke tanah syurga, lantaran hanya di sana dikhabarkan Cenderawasih, burung syurga berada. Manusia-manusia di sini, mereka kelihatan sepertinya damai. Apakah mereka benar-benar damai? Seperti lazim kehidupan manusia, mereka juga pasti pernah bergolak dan terus bergolak. Mereka pernah berteriak dan ada yang akan terus berteriak. Mereka pernah merana dan ada yang mungkin terus merana. Mereka pernah tersiksa dan ada yang terus tersiksa kepayahan. Mereka pernah gundah dan pasti ada yang terus gundah gulana. Mereka mungkin kian tersenyum, namun tetap ada yang belum bisa tersenyum. Mereka mungkin kian boleh tertawa, namun tetap ada yang masih terus menangis. Namun, tidak kurang yang sudah mulai bersuka ria. Dan semuanya tersangkut dengan sagu. Anak-anak mereka tumbuhpun seperti sagu. Satu di atas satu. Sulur sagu muncul saban tiga bulanan. Anak mereka merayap keluar saban tahunnya. Anak-anak mereka meriah ramai sepertinya sulu-sulur sagu, berselangan di antara satu sama lain. Berkelompok-kelompok. Berebut-rebu untuk hidup. Biar bergelut dalam semak belukar, dalam segala kepayahan, tetap mereka menjengah melepas diri menjamah cahaya mentari. Lalu tumbuh membina keluarga. Membina masyarakat. Masyarakat sagu. Terus-menerus sebegitu, tanpa henti berkurun-kurun dari dulu dan mungkin berkelanjutan sehingga aku sendiri tidak akan mengerti kapan berakhirnya. Sehingga kiamat mungkinnya? Namun biarlah, lantaran itu adalah warna-warni mahluk Allah seperti kehendakNya. Dan hadirnya aku, juga mereka, bahkan sesiapa, sekadar sejenak menumpang lalu saja.

(2) Sejenak menumpang lalu? Pasti anih bunyinya. Allah menciptakan dunia ini. Manusia Dia angkat sebagai khalifah, pantas, dunia ini harus menjadi miliknya. Pasti manusia adalah tuan di bumi ini. Maka mana mungkin seseorang khalifah adalah penumpang. Apa pernah ada khalifah menumpang? Bisa saja banyak yang berpolimik tentang ini. Khalifah penumpang berlawan khalifah adalah tuan. Jika benar sekadar penumpang tidakkah wajar harus mengaut segala pada waktu sebegini singkat? Jikapun benar adalah penumpang harusnya berapa banyak yang harus diambil? Apa mungkin juga sebagai penumpang itu harus terus saja bersikap syukur dari segala ikhsan? Namun jika manusia adalah tuan di bumi ini, menjadi tuan selagi layak menjadi tuan  apa pula harus sikap sifatnya? Haruskah segala menjadi miliknya? Haruskah segala tunduk kepadanya? Manusia, Allah telah berikan akal dan naluri. Hanya waktu pasti menghakimkan segala.

(3) Sejak sebermula, sagu dan masyarakat sagu adalah dua ciptaanNya yang terpinggir. Saban hari, sekian lama, sagu hanyalah mainan kecil, segelintir, alat menindas dan menghambakan bagi sebahagian lainnya. Sehingga sagu dan masyarakat sagu sudah sebati menjadi satu pada satu sifat terpinggir. Sagu tumbuh di pinggir sungai dan pinggir sawah. Manusiannya kembang juga di pinggir arus kehidupan lainnya. Tidak pernah kulihat tangan liat, tangan kuat, mencabut derita dari anak-anak sagu, menanamnya bukan di sini lagi tetapi di tanah subur buatnya. Jika ada, itu hanyalah sandiwara, buat melepas batok di tangga. Mungkin juga kerana durinya, atau akarnya yang panjang dan melata, membuat semua malas dan bosan. Semua, sepertinya mahu membiarkan sagu terus jadi sagu. Sagu di situ, hanya di situ, biar di situ. Jangan dipindahkan ke mana-mana. Sedari dulu ianya sudah tumbuh di situ, usah diganggu-ganggu. Biar sahaja ianya sebegitu. Pohonnya, masyarakatnya, terasing, malah terpinggir. Biarkan. Sagu seolah-olah lambang kelesuan. Tumbuhnya terlalu perlahan, tidak seperti kangkung atau ubi kayu, yang tumbuhnya hebat dan cepat, mudah dan tangkas. Sagu tumbuhnya lambat, perlahan, terlalu perlahan. Alam sejadi sagu, menjadikan masyarakatnya, juga kian seperti sagu. Masyarakat lesu. Masyarakat menanti-nanti yang tidak pernah tiba. Membosankan. Maka masyarakat sagu turut saja dilihat, dinilai, dan dianggap sebagai sama saja nilainya dengan sagu. Komoditi murah. Masyarakat yang kian susut, kusut, akan luput.

(3) Kenapa aku, juga sesiapa tidak pernah sungguh-sungguh peduli, tentang sagu dan anak-anak sagu, masyarakat sagu? Sekian waktu mereka menunggu, akan hadir mereka yang perduli, benar-benar peduli, mengerti, namun silih berganti pasang dan surut, purnama benderang dan kelam, tengkujuh dan teduh, sejak sebelum merdeka, sehingga kini, namun hanya sesekali ada riak-riak pembelaan, tapi padam sebelum mentari condong ke barat. Sagu tetap tumbuh, biar perlahan, lalu menua, dan tumbang menjadi sarang larva kumbang badak, siat yang kemudian menjadi panganan dan sumber rezeki manusia-manusia sagu yang juga kian menua. Tuhan, Allah yang MahaBesar, pernah melorong aku ke tanah jauh, tanah jauh hampir ke syurga. Di bumi Seram, sebuah pulau yang sangat terasing, namnya. Aku ingat sebuah wajah kutemukan saat aku tergusur gusar merayap-rayap. Munirah, anak kecil bersama kakek-neneknya juga sedang merayap di padang sagu. Matanya jernih. Pasti hatinya polos bersih. Anugerah Allah, pada pasangan manusia-manusia sagu yang payah dan susah. Pada dia kutanyakan "Mana mama dan papanya, neng?" Dari bibir mungilnya, suara halus terketar menjawap antara takut dan malu-malu "Ngak tauuuu." Panjang dan memilukan. Anak sebegini manis, sebegini comelnya, ngak tahu ke mana hadirnya kasih pada tubuh ibu-bapanya. Tidakkah sesiapa terasa apa-apa?  "Mama dan papanya ke Malaysia Pak. Mencari hidup. Dua tahun sekali baru pulang." Kedengaran suara kakek tua menyambung menjelas. Sepertinya, hidup mereka hambat, namun hidup memisahkan segala. Pedih di telinga, sakit di hati jadinya aku. Terkesima. Tanpa sedar sayu menetes airmataku. Anak ini, kemudian melambai-lambai seperti menyuruh agar aku pulang lekas, kembali ke kampung-kampung sagu yang lebih dekat kepadaku.

(4) Semua ini, membuat aku ligat mengingat rungkai kata-kata Baha Zain, tentang manusia-manusia yang sudah enggan berjabat tangan. Alangkah dhaifnya manusia-manusia ini, biar Allah menjadikan mereka khalifah namun mereka kian enggan menginjak semak, menjamah lumpur, menumpah keringat, menyaksi merasakan semua ini. Cebisan A Samad Said dan Usman Awang, kedua-duanya telah sekian waktu dan terus saja berteriak gila, tentang anak-anak kecil munggil, kurus kering, nan kian dilupakan di desa-desa. Berapa banyak yang masih peduli? Banyak yang sudah punya rasa "peduli apa!". Aku hanya ingin menyambung lontaran tinggalan mereka dalam nada gila. Aku kepingin anak-anak sagu bebas sebebasnya, seperti bebasnya Pramoedya Ananta Toer sebelum hujung waktunya. Jika Ananta terpenjara dalam penjara-penjara batu untuk dapat bersuara, apa mungkin, penjara kemiskinan pada masyarakat sagu boleh menjadikan mereka mampu bersuara? Anak-anak sagu, ibu-bapa sagu, masyarakat sagu, harus bebas, merdeka. Mereka harus merdeka sebelum terjerumus dalam gaung kemelaratan dan kekosongan jiwa. Dan aku terus berjalan, melangkah perlahan, tunduk terdiam. "Bagaimana? Bagaimana? Bagaimana?" Aku terus tunduk bertanya diri seperti terkulainya wajah Munirah yang kutinggalkan pergi. Diam-diam, aku berjanji "Munirah, Om akan kembali menemukan kamu di suatu hari nanti".

Menuntut Pembelaan:

Namun, dalam sedetik diam aku kembali tersadar, suatu waktu, tiga dekad dahulu, berdentum suara pembela sagu. "Sagu adalah emas. Sagu adalah wadah kebangkitan. Kalian anak-anak sagu mesti bangkit. Anak-anak sagu mesti tumbuh perkasa!". Seperti halilintar satu jiwa besar, dari dada besar, bertangan besar, mahu sagu dan anak-anak sagu menjadi kekayaan baru. "Sagu adalah emas!". Aku kagum, akan teriakan sakti itu. Anak-anak sagu mulai ada yang peduli. Peduli dengan sesungguhnya. Dengan sekuat daya, anak-anak sagu mahu dibela. Mudah-mudahan dedaun sagu akan menghijau subur. Pelepah sagu melambai kuat dalam deru angin kencang. Batang sagu berdiri gagah. Kubayangkan, banyak wajah-wajah senyum pada manusia-manusia sagu nantinya. Dan pasti Allah juga akan tersenyum melihat manusia-manusia sagu dan lainnya lantaran sudah sadar betapa tiada apa ciptaanNya tiada gunanya. Mudah-mudahan mereka sadar, membela sagu, membangun masyarakat sagu demi Dia. Demi menghargai ciptaanNya. Mensyukuri nikmatNya. Muhammad SAW, safaatnya pasti terlimpah kepada sesiapa yang  mendekati si miskin, menyayangi yatim piatu, menghulur kepada yang payah meminta lantaran pengertian sejati mereka tentang sayang cinta kasih mereka kepada baginda dan bersyukur seluas sedalamnya.

(2) Kini, aku sedang berjalan di ladang sagu, di desa damai ini. Begitu indah, begitu subur. Hijau di seluruh padang. Segalanya segar. Di kiri kanan jalanan, desa-desa kecil, biar terpinggir, kian berubah. Wajah-wajah payah dan susah, sudah mulai tersenyum ringan-ringan, mulai girang. Semuanya tampak bersemangat. Semuanya tampak yakin. Aku bersiul-siul, menyanyi lagu-lagu Abiet G. Ade, khususnya, Cita-Cita Kecil Si Anak Desa, yang sering kuperdengarkan di HiFi Stereo mobilku tika saja aku mulai terasa malas mahu berjalan, buat menyedarkanku tentang beban di pundakku. Inilah nyayian tentang anak desa miskin kecil yang bercita-cita ingin membangunkan desanya. Nyanyian Freddie Aguilar, Child dan Born in A Ghetto, turut terngiang-ngiang di kepala batuku, suatu waktu dulu, pitanya pernah kuperolehi di Kota Davoa, semasa aku sedang perih melihat dagangan anak-anak kecil dalam kandang pelacuran. Anak-anak kecil ini, mereka, mulanya, setelah kuselidiki adalah masyarakat sagu yang terus terpinggir tertinggal. Ya, semua nyanyian ini, semboyan semangat, membakar jiwa, seperti lakaran Latiff Mohiddin tentang Kehidupan dan Kemiskinan, agar aku terus berjalan dan berjalan. Kepala dan otak kucairkan, mencari akal, membina jalan, untuk sagu dan masyarakat sagu. Nyanyian Zubir Ali, menambah marak citaku dengan Nyanyian Ombaknya. Nyayian perih getir anak-anak nelayan digempur ombak digempur seribu ketakpastian. Tiada siapa sepertinya mahu bersahabat, saat jiwa tidak kental melawan. Sesekali aku berputar-putar bersama Sudirman Hj. Arshad, di atas Basikal Tuanya. Terlalu ingin kubonceng anak-anak sagu, bernyanyi giran keliling desa. Semuanya gambaran girang membelah duka. Kemerdekaan buat masyarakat sagu, tampak apakah akan jelas di penghujung jalanku?

(3) Kini, aku juga mulai sadar, pejalanan hidup ini sudah jauh berbeda, banyak sudah tidak lagi melihat kepayahan dan kesengsaraan yang lain sebagai suatu tanggungjawap untuk dipikul diperbetulkan. Fitrah khalifah yang Allah anugerahkan kepada manusia kian ditafsir semula. Dimengertikan sebagai ketuanan dari tuntutan penghambaan. Segala kian menjadi milik tuan dari tuan sekadar pemeganag amanah. Saban waktu, setiap ketika, jiwa kebanyakan, fikiran kebanyakan, hanyalah diri dulu. Hukum Tuntutan Hidup Maslow terpakai kuat. Tujuan Sebenar Hidup tidak kesadaran awal melainkan bila mati sudah mengamit dekat. Namun jikapun ada yang mengorak langkah membela, pasti banyak galang melintang pukang menyungkurkan. Juga saat tergalang sejenak, mudah saja dia mengundur, mengalah. Apakah dia pengecut, atau apa, akupun tidak mengerti. Terkadang, terngadah aku ke langit biru, bertanyakan Tuhan, apa telah Dia gantikan semua penghiburku, dengan Mawi, Siti Nurhaliza, Agnes Monica, dan sebagainya, yang jelas kudengar dari tingkap-tingkap luas terbuka rumah-rumah masyarakat sagu ini, hanyalah nyanyian kini buat diri sendiri? Sesekali M Naser kudengar berdendang melolong tentang kehidupan dan warna-warni kehidupan abstrak, yang pastinya payah untuk dimengertikan oleh anak-anak sagu yang hijau. Semua itu, biar nyanyiannya adalah tentang payah susah, tetap sekadar penglipur lara. Kuhamparkan kepada kalian teman, betapa:

perjalanan ini terasa sangat menyedihkan
sayangnya engkau tak duduk di sampingku kawan
banyak cerita yang mestinya kau saksikan
di tanah kering berbatuan

tubuhku terguncang dihempas batu jalanan
hati tergetar mendamba kering rerumputan
perjalanan ini seperti jadi saksi
gembala kecil menangis sedih

kawan cuba dengar apa jawapnya
bila kutanya mengapa
bapa ibunya telah lama mati
ditelan bencana tanah ini

sesampainya di laut
kukhabarkan semuanya
kepada karang kepada ombak kepada matahari
tetapi semua diam
tetapi semua bisu
tinggal aku sendiri
termangu mengadah langit

barang kali di sana ada jawapnya
mengapa di tanahku terjadi bencana
mungkin tuhan mulai bosan melihat tingkah kita
yang selalu salah dan bangga dengan dosa-dosa
atau alam sudah enggan bersahabat dengan kita
coba kita bertanya pada rumput yang bergoyang


(4) Aku berharap dan berdoa, kegirangan yang sedang tumbuh dikecapi oleh anak-anak sagu ini, tidak hanya sementara dan bukan momokan. Aku berdoa agar mereka terus kembang bersama sagu, dan supaya mereka tidak akan lupa akan sagu yang telah menghidupkan mereka untuk sekian waktunya. Tiada sagu, tiadalah masyarakat sagu. Keduanya mesti kekal kekar hadir di bumi Tuhan ini.

Panasaran:

Di perjalanan ini, dalam separuh sadar, lantaran mungkin telah lama aku tersasar, di suatu sudut padang sagu, di sana, di suatu dahan, aku melihat hinggap seekor Cenderawasih. Sungguh, indah, sungguh menawan. Dengan bulu-bulu tampak mengeremang lembut, lebat, berwarna-warni berkilauan. Dengan nada siulan yang menakjubkan, "kukuk… kiuuukkk… kukuk….. kiuuukk". Sekilas pandang, aku tertawan. Mataku terpaku. Dadaku kembang kuncup. Berdebar-debar, berdetak, terpahat. "Apakah Nur dari syurga sedang engkau bawa, wahai Cenderawasih, yang sedang menikam jantungku?", aku menggadah menikmati indahnya Cenderawasih ciptaan halus tangan Tuhan. Aku terpana. Membikin aku gila. Jantungku, sudah tidak mahu mengikut kata otakku lagi. Otakku berkata "Jalan", jantungku berkata "Tunggu". Otakku berkata "Terus bernyanyi", jantungku berkata "Diam. Dengar di sana suara Cenderawasih."Tubuhku jadi keliru. Jantungku telah menguasai diriku. Oh Tuhan, perjalananku untuk menebar lagu merdeka untuk anak-anak sagu ini, yang masih banyak hidup dalam perih dan getir, sudah kian berat untuk kulangkahi. Kakiku sudah enggan beranjak. Lidahku sudah enggan bernyanyi. Tidak mungkin dapat kutanggung beban sedahsat ini sendiri. Cenderawasih itu sudah memaku memukauku.

(2) Ya Allah. Aku perlu pendokong setiaku. Peniup semangat tika layunya hatiku. Maka, sekian waktu telah kupohon kepadaMu, agar hadir sebuah azimat buat peganganku. Aku kepingin terus cekal berjalan dan menyanyi, memastikan pohon-pohon sagu itu, dan anak-anak sagu itu terus segar dan kembang. Memberi kehijauan kepada kehidupan umat saguMu. Aku telah sekian lama mengharapkan, agar ada azimat keindahan, yang memakuku di padang sagu ini, bersama mereka selagi mereka akan terus bahagia. Telah sekian lama aku bermunajat, agar Engkau datangkan satu azimat yang boleh kugenggam erat peniup semangat perjalanan baktiku kepadaMu lewat memerdekakan mereka. Ya bersama dingin dan redupnya hari ini, seperti perjalannannya Nabi Ayub yang sentiasa dilindungi awan dingin, Engkau datangkan padaku keindahan ini. Aku sudah jatuh cinta pada Cenderawasih, yang Engkau datangkan entah dari syurga mana. Jantungku, penuh darah merah yang kian segar. Darah bercampur angin segar yang datang dari hembusan dedaunan sagu. Dadaku kian hangat. Semangatku jadi lebih perkasa dan kental. Latas, tanpa kusadari, aku melangkah menghendap-hendap, mendekati pepohon sagu tempat hinggapnya dia, biar payah ditusuk duri-duri sagu. Telapak kakiku mulai berdarah-darah. Tubuhku juga kian berdarah-darah digamit onak-onak tanpa belas. Tidak mengapa. Apa lagi duri sagu, lautan api sekalipun akan kurentasi. Ini Cenderawasih kiriman Tuhanku untukku. Aku akan dapatkannya. Biarpun antara tompokan dedaun sagu mati, pasti ada sang tedung memerhati, bila-bila saja mahu memuntahkan racun berbisanya di kakiku. Aku juga tidak gentar. Aku tidak akan gentar pada apa-apa, biar mati harus menjadi jambatanku. Aku mendambakan Cenderawasih itu. Engkau telah hadirkan ia padaku, aku akan sekerasnya mendapatkannya. Aku menduga dan yakin, Engkau Ya Allah telah datangkan Cenderawasih itu sebagai azimat peganganku.

(3) Tuhan Ya Allah. Panasaran rasa hatiku pada Cenderawasih kirimanMu benar-benar menguasai aku. Cintaku, pada mahluk CenderawasihMu, apakah harus jadi begini? Jauh lebih dalam dan menusuk kalbuku dari cintaku kepadaMu ya Tuhanku. Seharusnya hanya kepada Engkaulah segala kasih cinta harus kutumpah, namun kenapa jadi begini? Telah engkarkah aku pada Syahadahku kepadaMu: "Tiada Tuhan, penguasa diriku melainkan Engkau, Ya Allah"?

(4) Seperti kucing putih, aku merayap, perlahan-lahan. Penuh sopan dengan seribu kelembutan. Tanda aku bukan pemburu, aku adalah pencinta alam yang sangat kepinggin sekali menikmati keindahannya. Cenderawasih, telah lama aku ke sini, mundar madir, sekian waktu. Telah kutemui ratusan dan mungkin ribuan mahluk sebangsamu, tidak pernah aku sepeduli ini. Ya sepeduli ini. Peduli sehebat ini. Tuhanku Tuhanmu telah menghantar engkau untukku. Jika tidak kenapa di sini hinggapmu, tidak di hutan sana, atau di gunung hijau mencecah awan itu. Kenapa di sini? Di tanah paya hutan sagu ini. Di depan mataku. Di muncung hidungku. Aku pasti, Cenderawasih, engkau adalah hadiah untukku, hanya untukku. Tuhan bukankah itu maksudMu? Ya, tidak mengapa duri-duri dan onak-onak itu. Biar bernanah seluruh tubuhku. Biar perih dan sakitnya aku. Tidak mengapa paya nan becak, melemaskan ini. Akan kurentasi, kuredah, kuterjang. Biarpun aku akan separuh mati. Biar tedung membelit dan mematuk hancur tubuhku. Ya, bisanya belum pasti mematikanku. Aku pasti, ini hanyalah cubaanMu. Aku sadar, tidak pernah Kau memberi tanpa dugaan. Tidak ada yang datang padaku, yang mudah-mudah. Sedari dulu. Sedari aku mulai menjengah kepalaku dari rahim ibuku, perit aku mahu keluar dari cengkaman rahimnya ibu, segalanya Engkau duga aku, segalanya dengan payah, aku hadir di sini. Kini, saat Engkau unjukan Cenderawasih ini, tetap juga Engkau mahu aku diduga dahulu. Ya, aku sambut kudhratMu, aku akan menyonsong arus. Tetap sebegitu dalam apa juapun. Bukan aku menderhaka. Aku hanyalah cucu Adam. Bukan juga kepalaku dari batu gunung yang paling keras. Aku hanya mahu hakku. Hakku untuk menikmati Cenderawasih yang Engkau hinggapkan di saat perjalananku ini, yang penuh getir dan keperihan. Aku mahu ia menjadi milikku. Akan kubina syurga di padang sagu ini bersamanya. Tidak puas aku, jika sekadar mahu melihatnya dari kejauhan sahaja. Aku punya kaki, aku punya tangan, aku punya upaya, segalanya, aku siap mahu bertarung dengan cubaanMu. Cenderawasih. Tuhan, Engkau hinggapkan dia di perjalananku. Sengaja. Seperti juga Adam singgah di syurga, biar tampak segala keindahannya, namun tiada juga kepuasannya. Cenderawasih, sebegitu jugalah aku, aku tidak puas sekadar melihat engkau melintas lalu. Lantas, kini biar payah sungguh, aku tetap tekad untuk mendekatimu. Memilikimu.

(4) Cenderawasih. Engkau juga seperti sudah separuh akur tentang suruhan Tuhanmu. Padamu, Dia terus-terusan mahu mengujiku. Saat melihat aku mendekati dalam kepayahan ini, biar otakmu mengarah terbang pergi, namun hati dan jantungmu sudah terbelah dua mahu ikut atau ingkar perintah kepalamu. Kau seperti sudah tertarik padaku. Kukumu tetap mencengkam perlepah sagu, hati dan jantungmu sudah seperti terpaut padaku. Lantas saja, sayapmu kau buka luas, menunjuk-nunjuk padaku, warna kilauan bulu-bulumu kuning keemasan tembaga sepuh. Sengaja engkau membuat aku gila. Menerpa padang sagu dengan semberononya. Dada cintaku kian membakar. Cintaku padamu, Cenderawasih, kian membakar, hangat, merah. Cintaku padamu, lebih merah dari darahku. Aku telah jatuh cinta padamu. Ya, engkau tetap bersiul-siul riang, sambil menari-menari dan melawa, melihat tubuhku dirobek-robek duri-duri sagu. Engkau sungguh senang melihat darah mengalir dari tubuhku. Lihatlah betapa merahnya darahku. Lihatlah, sepuasmu, dan engkau ciumlah, lewat angin sagu ini, hanyirnya akan darahku, kehanyiran itu, kekuatan hanyirnya, adalah lambang kekuatan cintaku padamu. Merah. Terlalu merah. Hanyir. Terlalu hanyir. Dan sebentar nanti segala kuman akan menyelinap ke dalam diriku. Membiak, perlahan-lahan membunuhku. Itu mungkin mahumu.Cenderawasih sambutlah cintaku. Keringatku sudah membanjir padang ini. Turut hanyir. Menambah hanyir padang sagu ini.

(5) Mentari yang membakar. Nafasku yang hangat. Sejat habis cecair tubuhku. Membikin aku dahaga. Bukan kepalang dahaga. Namun dahaga cintaku lebih hebat dari dahaga kerongkongku. Sedang, engkau masih belum dapat kuhampiri. Kian kuhampir, kian engkau beranjak ke pelepah yang lebih jauh. Dan kini, remang sore, kian hampir. Penglihatanku kian kabur, keindahanmu, kian samar. Namun engkau masih terlalu jauh dariku. Engkau sepakat dengan Tuhanmu Tuhanku, terus menghenyak dan mengujiku. Aku tetap tidak mengalah. Engkau tetap akan kuhambat. Aku kepingin puas menikmati keindahanmu, Cenderawasih. Untuk aku. Buat bekalku. Biar kembang jantungku. Mengalir darah merah ke seluruh tubuhku. Biar aku kuat. Biar aku jadi lelaki yang waja jantanku. Lelaki yang lelaki. Namun, kini, apakan lagi mahu memegang, mengusap, membelaimu dengan puas, melihat engkau saja aku sudah penuh payah. Ya. Apa saja mahuku. Payah sekali segalanya untukku. Untuk puas melihat sajapun aku payah. Kau mahu aku jadi apa, Tuhanku? Cenderawasih yang Engkau kirimkan, kini menyeksa, bikin aku keliru tentang janjiMu.

(6) KataMu Ya Allah Ya Tuhanku: "Selagi aku jujur putih, selagi aku tidak menyerah terus sabar, selagi aku pasrah Engkau tidak akan pernah melupakanKu."  Kini aku menjadi benar-benar keliru, jujur bagaimana, kekar bagaimana, pasrah bagaimana seharusnya lagi aku, terlalu payah Cenderawasih itu untuk biar sekadar kudekati?

Hati Nan Kian Membuka:

Tuhanku, sekian waktu aku telah menjadi manusia yang simpati kepada anak-anak bangsa sagu. Aku sangat peduli akan mereka seperti beban yang Engkau pinta aku galaskan Ya Tuhanku. Saban waktu, aku menjaga mereka seperti aku mahu pohon-pohon sagu subur dan kembang biak. Bangsa saguMu, aku tatang, biar subur seperti sagu yang sentiasa kubaja, kurawati. Kutiup semangat bangkit sangkala, biar mereka bangun dan berlari kencang, mengejar kehidupan, kehidupan yang merdeka. Biar mereka juga kembang subur. Subur mengejar mentari sepertinya pohon tegak rimbun sagu. Aku sadar. Mereka adalah ciptaanMu dan Engkau buatkan mereka jadi tanggunganku. Aku akur. Sagu dan manusia sagu, keduanya mahlukMu yang selamanya harus aku pelihara. Telah kutumpahkan pengabdian tugasku buat mereka. Lebih dari aku menjaga diriku sendiri sedang kuberikan buat mereka. Tuhan, telah banyak aku berkorban di sini, di kalangan anak-anak sagu ini. Masa mudaku. Masa rehatku. Masa tidurku. Masa senangku. Semuanya kutumpahkan untuk umat saguMu. Kau tahu semua itu. Namun belum pernah aku memohon apapun untuk diri ini dariMu sebelum ini. Hanya aku mahu saguMu dan bangsa saguMu kembang biak. Tuhan, kali ini, atas waktu yang kian lewat, aku mohon pertimbanganMu. Atas pekerjaanku nan kecil ini, sedang cita-citaku pada bangsa saguMu adalah luas dan panjang, dan kerja pembelaanku belum usai, tidak mampu aku berjalan dan belari sendirian. Tuhan Engkau berilah Cenderawasih ini hanya untukku. Buat pendokong jalanan panjangku.

(2) Kini, lantaran pohon-pohon saguku, kian subur, kian kembang. Tumbuh tinggi-tinggi mengapai awan. Aku kira aku sudah boleh bernyanyi lagi. Gundahku kian susut. Bangsa saguku dan umat saguMu itu, kian mahu berdiri. Aku melihat mereka sudah mulai bertatih. Sebentar lagi akan melangkah berjalan perlahan-lahan dengan pasti. Aku pasti selepas ini, mereka pasti mahu berlari menghambat waktu. Pintu hati mereka kian dibuka waktu. Tuhan inilah bukti, tugasku kian membuah, semoga umat saguMu, ada kesabaran dan ada kecekalan. Cenderawasih, mengertilah juga betapa pintu hati gembiraku, kini juga kian terbuka, menerima hadirmu, bersama waktu. Tuhan, lestarikan girangku ini bersama Cenderawasih syurgaMu. Tuhanku, Cenderwasih, berikanlah aku jawapan pasti. Janganlah kalian ambil waktu terlalu panjang dariku, mungkin sabarku akan menjauh pergi. Janganlah waktu getir emasku untuk bersama mereka, pohon-pohon sagu dan bangsa sagu, bergembira, kalian cabut dariku.

(3) Kini, di ladang sagu ini, cuma aku sendiri. Dari tadi pagi sampai sore, sehingga malam sebegini, menuju subuh yang dingin, aku masih sendiri. Ah. Celaka sungguh engkau Cenderawasih. Sedang aku mahu pulang. Engkau tetap bersiulan kukuk kiukkk kukuk kiuukkk. Kakiku, tetap melangkah menghambat siulannya. Biar jantung dan hatiku sudah terbelah antara mahu pulang atau terus saja mengejar suara siulannya. Otakku sudah tidak berguna. Jantungku telah menguasai tubuhku. Bukan otakku. Tuhan aku hanyalah manusia. Bagaimana harus jadinya aku, agar mudah aku dekati Cenderawasih ini. Apa harus aku menjadi musang, atau kucing, atau pemburu bersenapang gajah. Pasti nantinya matilah Cenderawasih ini kubaham atau kutembak. Akan hancur badannya, bertebaran bulu-bulunya di seluruh ladang sagu ini. Pastinya, aku sendiri akan menyesal. Aku tidak mahu mendapatkannya sebegitu kejam. Aku tidak mahu. Aku tidak mahu kejam, pada Cenderawasih ini. Kerana aku sudah jatuh cinta padanya. Tidak, sekali-kali tidak, aku mahu berlaku kejam padanya.Pintu hatiku kini, kian terbuka untuk menikmati keindahan ini, Cenderawasih yang Engkau kirimkan. Lewat waktu ini, aku terlalu kepingin memiliki keindahannya. Aku sangat mendambakan cintaMu Ya Tuhanku, serahkanlah dia padaku.

(4) Yah, aku telah berusaha sekerasnya, untuk mendapatkannya. Aku telah menggunakan seluruh tenagaku. Tuhan. Kini aku memohon padaMu dengan rasminya.Ya. Kita khalwat. Aku sujud, dan kutadah tanganku, padaMu. Kau tahu pintaku. Kau tahu mahuku. Kau datangkan Cenderawasih ini, dan aku kepingin bertenggek di dahan sagu, bersamanya. Sama-sama, supaya akhirnya aku boleh memadu kasih dengannya Supaya boleh aku terbang, dari pohon ke pohon. Meniti semua pepohon sagu, melihat betapa subur setiap satunya. Aku ingin terbang bersamanya, ke seluruh hutan sagu ini, melihat desa-desa. Melihat anak-anak bangsa saguku. Aku sudah puas merayap berjalan-jalan. Kini aku kepingin terbang, melihat dari awan-awan. Biar aku lebih mengerti. Apakah semua mereka sudah cukup makan? Apakah mereka punya cukup pakaian? Apakah rumah mereka semuanya terbina dari dahan-dahan, kulit-kulit dan daun-daun sagu yang kuat dan bagus? Apakah daging dan tulang mereka sedang tumbuh segar dan besar seperti pepohon sagu ini? Tuhan, aku ingin mereka sempurna, aku pasti, aku tidak mahu melupakan mereka, aku tidak mahu lalai dari bersama mereka. Tuhan hatiku, jiwaku, keperkasaanku akan bertambah hebat jika Cenderawisih ini jadi milikku, melengkapi keindahan hidupku. Aku perlu Cenderawasih ini membantuku dalam jalanan baktiku kepadaMu. Tuhan, Engkau dengarlah. Aku pasti tentang diriku. Saat cintaku tumpah kepada Cenderawasih ini, tidak cintaku kepadaM akan beranjak biar sedikit. Syukurku kepadaMu akan berttambah-tambah. Inilah benih azimat yang kuharap untuk lebih mendekatkanku kepadaMu juga Umat saguMu.

(5) Tuhanku, Cenderawasih hantaranMu ini, cukup nakal. Semakin kuhampiri, semakin dia menjauh pergi. Bijak betul Engkau mengajar dia, atau sememangnya dia Cenderawasih nakal dari syurga, entah dari lapisan ke berapa. Kakiku kian kejang. Terlalu lama sudah aku berjalan Badanku kian hancur, darah merahku kian kering. Luka carik tubuhku kian bernanah.Mataku kian berpinar-pinar. Aku sudah lama tidak pejam dengan sempurna. Kepalaku kian pusing. Tubuhku kian longlai. Aku sudah terlalu letih. Aku sudah terlalu lesu. Jasad, jiwa dan otakku sudah tidak mampu untuk terus berdiri. Jiwaku luluh, tidak mampu bertahan lagi. Tuhan, Cenderawasih, biar aku lena di sini, biar kukumpul kembali sisa-sisa tenagaku, esok akan kuhambat engkau lagi, biar aku bersandar sebentar di pohon sagu ini, bertilamkan paya dan pohon-pohon paku. Tidak mengapa, nyamuk dan pacat. Tadinya pun sudah habis darahku. Biar mereka habiskan semuanya. Jika itu bisa membuat mereka bahagia.

(6) Cenderawasih, jangan engkau terbang lagi. Tidur dulu di situ, sampai aku sadar. Jangan engkau tinggalkan aku, jangan engkau bunuh cintaku yang sedang kembang ini. Ya, berat sungguh mata ini, perlahan-lahan aku mati, lena, tidak sadar diri. Dingin malam mulai menjenguk. Embun jantan sudah menyirami tubuhku. Aku mengulung diri, seperti tenggiling kesejukan. Nafasku kian lemah. Aku tertidur lena, seperti bayi, paling lena. Tidak sadar. Mati. Seperti batang kayu. Atau batu gunung. Kaku. Letih dan mati. Nafasku hanyut. Jauh-jauh, sayu, kian sayup, bagai sang punggok memuji bulan, sebegitulah suara tidurku memuji mu Cenderawasih, mengiring matiku, di sepanjang lenaku.

(7) Tiba-tiba anak-anak mataku berputar-putar. Otakku separuh sadar. Berputar semakin deras, ganas. Badanku berpusing sesekali ke kanan, sesekali ke kiri. Kakiku menerjah-nerjah. Mulutku tercungap-cungap. Ya. Wah! Aduh! Indahnya! Ya, Tuhan! Aku sedang bangkit. Bulu-bulu kian tumbuh di seluruh tubuhku. Ya, tangan ku menjadi sayap! Sayapku, aku bersayap! Aku kini, ya Allah, adalah seekor Cenderawasih Jantan. Syukur! Kau makbulkan permohonanku! Wah! Hebat! Aku jadi lebih hebat dari Cenderawasih hantaranMu. Oh tuhan! Terima kasih! Syukur Ya Allah. Ya. Aku boleh terbang. Aku boleh bersamanya sekarang. Ya. Aku sudah boleh bernyanyi. Kauk kauk kauk. Ya, aku melaung suara merdeka Kauk kauk kauk kauk. Hah, tidak lagi nyanyian Abiet, bukan juga Freddie. Hahh, malas aku mahu bersenandung lagu Sudirman lagi mendayu-dayu. Aku mahu menjerit sekuat Ela menyanyikan lagu merdeka, melaungkan kata hatiku. Kauk kauk kauk. Ekorku kian mekar. Kepakku penuh kemerahan. Sungguh lawa. Suara kauk kauk kaukku, sungguh merdu. Ya. Aku Cenderawasih Jantan yang hebat. Yah, aku ingat, di alam manusiaku, ada seorang puteri manis, namanya, Siti Nurhaliza. Aduh, merdu suaranya dia itu. Nyanyian kauk kauk kaukku, kini kuubah menjadi senandung Cintaku Hanya Untukmu, seperti nyanyiannya dia Siti. Ya Cenderawasih Permaisuriku, itu namamu, nama barumu, namamu bila bersamaku, kini aku boleh bersamamu. Aku persembahkan Cintaku Hanya Untukmu. Bukan sekadar nyanyian. Setulus cinta, sejati, sebenarnya. Itulah kata-kata hatiku, itulah maksudku. Bukan sekadar titipan. Bukan titipan. Tidak sekali-kali hanya titipan. Yah. Kau tersenyum dan diam. Apakah itu tanda-tanda kau terima atau, sengaja kau mahu terus membuatku binggung, sendiri!

Merdeka:

Kini kita boleh menjerit semahunya. Bersama kita telah merdeka. Kita boleh ke bulan. "Ke Matahari?" Jangan bercanda. Jangan, tidak usah kita ke matahari, nanti kita terbakar hangus. Kita boleh terbang bebas membelah lautan. Merentas segala pulau dan benua. Pada duniamu, engkau hanya melompat dari belentara ke belentara di duniamu. Dengan adanya aku, kini kita boleh ke mana saja. Alam ini, telah Tuhan serahkan kepada kita. Kita burung dari syurga, yang lainnya belum pernah ke sana, apa lagi punya nama seperti kita. Kita burung hebat. Cenderawasih. Itulah nama hebatnya kita. Darjat kita adalah burung dari syurga. Kekal sebegitulah seharusnya darjat kita. "Tidakkah kamu sudah lupa akan asal usul kamu. Apakah kamu sudah tidak mulai riak takbur?" Oh Cenderawasih Permaisuriku. Soalan apa harusnya engkau lontarkan kepadaku. Jangan sebegitu bicaramu kepadaku. Apa engkau lupa, betapa siksanya aku sebelum bisa duduk bersamamu. Apa aku tiada hak untuk menikmati spenuhnya apa yang Tuhanmu dan Tuhanku datangkan kepadaku. Tidak engkau kudapatkan dengan sebegitu manis melainkan banyak tangis dan darah yang mengalir. Biarkan aku melupakan sengsaraku. Biarlah aku sebahagianya bersama kamu.

(2) Sayangku, mulai saat ini engkau adalah aku, dan aku adalah engkau. Kita harus segera bersatu. Apa engkau setuju? "Kekanda Rajaku." Aduh manis dan mengetarkan panggilanmu untukku. Akulah Cenderawasih Rajamu. "Kekanda, aku di sini sekadar sementara. Sampai waktu Tuhanku dan Tuhanmu, akan memanggil aku pulang. Mungkin sebelum laungan Azan Subuh aku harus pulang. Maka seharusnya, bersedialah kandaku Cenderwasih Rajaku." Tidak Cenderawasih Permaisuriku. Tidak mungkin. Tidak mungkin Tuhan menghukumku sebegitu kejam. Luka di tubuhku belum sembuh. Darahku belum kering. Mana mungkin kamu akan Dia panggil pulang. Aku kepingin bahagia sebahagianya bersamamu. Engkaulah kebahagiannku. "Kanda Cenderwasih Rajaku, kebahagian itu dari Allah. Dia yang membagi, dia juga pasti melenyapkannya. Dinda datang hanya sebentar." Dinda Cenderwasih Permaisuriku janganlah kanda diingat tentang itu. Kanda tidak mahu mendengar semua itu."Kanda Cenderwasih Rajaku, lihatlah sekujur tubuh di bawah sana itu. Itulah jasad manusia kanda. Saat siang menjelma, akan bangunlah jasad itu. Kanda sebagai roh jelmaan Cenderawasih Rajaku akan berpulang ke jasad itu. Maka, biar dinda juga kanda, perpisahan tetap akan berlaku menjelang bangkitnya mentari" Lupakan semua itu. Ayuh kita raikan sepuasnya kebersamaan ini. Tidak mengapa biarpun hanya seketika.

(3) Kita terbang menjauh. Jauh-jauh agar kanda tidak perlu kembali lagi ke  jasad itu. Biarkan jasad itu tidur di situ untuk selama-lamnya. "Kekanda Cenderawasih Rajaku, jangan kudrat Allah kanda tantang." Tidak mengapa. Biarkan aku sepertinya aku. Segala arus harus kutongkah. Ayuh, aku ingin membawa engkau melihat hutan-hutan baru. Hutan-hiutan jauh di seberang lautan sana. Aku kepingin engkau mengerti siapa aku. Mudah-mudahan ada ruang di hatimu siapa aku. Di sana, aku pernah bersama manusia-manusia yang tidurnya cukup panjang dan lena. Panjang dan lena lantaran tiada buru-buru. Hidup mereka tidak pernah buru-buru. Segalanya berjalan perlahan-lahan. Segalanya berjalan pada langkah terhitung. Malamnya panjang. Siangnya lama. Tiada apa yang harus dihambat segera. Hari-hari sebegitu. Itulah rentak tari kehidupan di sana. Ayuh, ke sana segera. Terbanglah engkau dekat di sisiku. Jauh tidak jauh, selagi asa di dada kita. Lama tidak lama, selagi kemahuan kita tebalkan. Kelelahan tidak akan pernah ada selagi fikiran kita belum mati. Lihatlah. Kita sudah sampai di hutan lipurlara tempat permainanku dulu-dulu. Sg Tekali, Hulu Langat, apa saja namanya. Kita istirehat sebentar di sini. Aku senang dengan deruman air gunung. Dari gunung airnya terjun, mengalir turun berseliratan membentuk aliran jernih enak. Ayuh, mudah-mudahan di sini, akan kita temui sebuah kenangan yang boleh kita paparkan kepada segala burung buat ingatan selamanya. Awas. Kita harus terbang perlahan-lahan. Awas sayap mu. Jangan engkau pamirkan sepertinya engkau mengoda aku tadinya. Aku khuatir akan bangkit kegilaan manusia padamu. Mereka punya kaki yang kuat, memanjat bukit ini sesukanya. Pasti mereka akan mengejar dan mahu menangkap kita. Baik saja kita terbang dan meniti dari dahan ke dahan. Diam-diam, perlahan-lahan, tiodak terkesan oleh mereka. Lihat, itulah air terjun permandianku dulu-dulu. Bersih, putih, sejuk, segar. Dulu-dulunya, aku sering bercanda di sini. Bersama teman-teman manusiaku. Lihatlah masih banyak manusia di sini. Lihatlah para gadis dan teruna, berkasih-kasihan. Paling akrab rasanya saat berkasih-kasihan sepertinya itu. Dinda Cenderawsih Permaisuriku, aku kepingin sepertinya mereka itu bersamamu. "Kanda Cenderwasih Rajaku, tunggu dulu." Belum yakin rupanya engkau padaku. Bilakah hatimu akan percaya padaku? "Kanda Cenberawasih Rajaku. Bercinta sebegitu adalah atas godaan nafsu. Saat nafsu sudah memuncak, segala kelompangan tertutup saja. Tampak saja segalanya indah demi nafsu. Namun saat nafsu sudah terusai, pasti terbuka segala gaung dan jurang. Namun saat mengundur pasti sudah tidak kepilih" Tidak mengapa. Sabarku masih ada.

(4) Ayuh. Kita terus saja ke desa tempat permainanku dulu-dulu. Lihat hamparan hijau melambai-lambai membelai itu, dulu itu semua adalah sawah padi meluas. Saat hijau menghijau. Saat kuning, melaut kuningnya. Namun dalam indah banyak gundah. Pipit, tikus, ribut, bah dan kemarau semuanya menjadi ciptaan kegundahan. Di sini telah aku temui manusia menyumpah-nyumpah mahluk Tuhan lainnya. Namaun kini sudah bertukar wajah, menjadi ladang sawit semua. Manusia tua-tua, kerbau tua-tua, sudah tidak lagi perlu membajak. Di sini aku, masa manusia mudaku, berpidato dengan mereka. Pidato tentang hari tua mereka yang akan ditinggalkan anak-cucu, yang kian lari ke kota-kota, mencari entah apa-apa. Aku bekerja keras mengajak mereka berubah. Jangan lagi sawah terus menjadi sawah. Jangan pula kerbau terus tersiksa menengala di tengah panas membakar. Segala harus berubah sebelum matinya mereka. Biarlah ada kesenangan dan keselesaan sebelum berpulangnya mereka. Syukur, pidatoku terawal dari waktunya, kini aku senang melihat mereka masih ada kehidupan baru yang mampu menumbuhkan senyum panjang dan puas. Lihatlah jalan itu, yang berliku-liku, dulu penuh dengan tompokan najis-najis lembu. Jalan itu dulu adalah gambaran kehidupan masa lalu mereka, berliku-liku juga penuh tumpuk-yumpuk kepayahan dan perit yang hanyir. Kini bersih dan luas. Itul;ah harapanku, kejidupan mereka kini juga lurus dan betul. Cuma, hairan, di mana lembu-lembu mereka? Apa manusia di sini sudah tidak bersahabat dengan para lembu lagi? Atau mereka sudah mulai bosan bergaduh, bermasam muka kerana lembu-lembu itu? Kasihan sang lembu, kerana manusia, dunia ini sudah jadi neraka buat mereka.

(5) Kau lihat di sana, di rumah unggu itu. kelihatan anih, namun tenang dalam nuansa desa penuh hijau. Pasti itu warna pilihan, dulu-dulunya, adikku, si Lina namanya. Engkau lihat sepasang suami-isteri itu. Yang berdiri di laman itu. Mereka adalah ayah-ibu tumpanganku. Ya itulah Mak Yah dan Pak Latif. Aku pernah tidur dan bangun di situ. Mereka sangat hormat dan sayang padaku. Mereka seakan-akan ibu dan ayahku sendiri. Ayuh kita terbang melintas halaman rumah mereka. Biar mereka terlihat kecantikan kita. Yah. Mereka melihat kita. Lihat wajah mereka. Mulutnya melopong. Melambai-lambai. Menuding-nuding. Yah. Mereka sedang kagum tentang cantiknya kita. Syukur, kita boleh membuat jiwa mereka, biar hanya sejenak ini, cukup gembira. Biar mereka lupa akan anak cucu mereka yang sudah pergi. Engkau lihat, bibir mereka terkumat kamit, mungkin tengah berdoa, agar kita bersatu, punya banyak anak-cucu, dan boleh terus menghibur mereka. Begitu suci dan tulus doa mereka. Aku menanti jawabanmu. Aku, sangat perlukan itu. Janganlah engkau terus diam. Berikanlah aku sedikit kepastian. Kalau engkau mahu, kita boleh menyelinap terbang ke dapur mereka. Aku tahu benar selok belok dapur itu. Kita boleh curi makan, pastinya, ada lauk ayam masak lemak cili api. Apa engkau boleh makan nasi dan lauk yang pedas-pedas? "Cenderawasih Rajaku, kita ini burung, bukan kucing. Mana mungkin kita makan makanan sebegitu". Ya. Aku bercanda sahaja. Cenderawasih Permaisuriku, inilah Kampung Pauh, Batu Kikir, Jambatan Besi, dulu-dulu buatan Jepun, kini sudah runtuh kesan kemerdekaan Melayu. Setidak-tidaknya, Melayu di sini berani menantang zaman. Kini mereka menyonsong zaman demi masa depan yang jauh lebih perit dugaannya. Aku bersyukur, punya kesempatan berkongsi denganmu di atas kejayaan ini. Di sinilah lahirnya permulaan cintaku, kepada ummah Tuhan kita, sejak empat dekad dahulu, inilah fitrah kejadianku. Satu persatu sedangku telanjangi padamu, supaya engkau tahu siapa aku. Cita-cita dan cintaku pada bangsa ini, tanahair ini. Agar engkau mengerti, siapanya aku. Biar engkau burung dari syurga. Biar aku kekasihmu juga terjadi seperti terjadinya dari syurga, tidak akan kulupa siapa mereka yang Allah, Tuhan kita telah tanggungkan digalas di pundakku. Cintaku padamu adalah buah cintaku kepadaNya untuk mereka.

(6) Ayuh Cenderawasih Permaisuriku. Kita jangan berlama-lama di sini. Kita tinggal dulu desa ini. Mereka sudah aman. Mereka sudah damai. Mereka sudah kembali merdeka. Biarlah mereka mengisi kemerdekaan mereka tanpa aku harus bersama mereka lagi. Kita terbang jauh-jauh bersama. Ke mana saja kita suka. Usah khuatir. Aku, biar menyerupai kamu, namun otakku, akalku, seluruh ingatanku, dan cita rasaku masih manusia. Sudah puas kita di belantara. Ayuh kita terbang ke sana. Tidak mengapa jauh sedikit. Kita harus melihat ombak. Kita harus melihat pantai. Pantai ini, namanya Tg. Tuan. Cuba lihat, bedanya. Tadi di Kampung Pauh, adalah desa yang damai sepi. Lihat di sini, segalanyta hiruk pikuk.  Cenderawsih Permaisuriku, usah khuatir. Kita pesta bersama manusia-manusia itu di sini. Aku kenal tempat ini. Semua manusia memanggilnya Port Dickson. Biarpun buminya Melayu, namun rohnya masih Barat. Tidak mungkin akan kita ketemui, nama tempat ini di panggil Tanjung Pak Hassan. Di sinilah dulu, Pak Hassan bersama masyarakat Melayunya cuba berdagang, belajar dari para Tiong Hua membuat arang kayu dari hutan bakau yang banyak. Arang kayu juga banyak didatangkan dari Tanah Seberang sana. Di kepulauan Rhiau, juga banayk oarang menghasilkan arang kayu buat perdagangan ke Negara Tong San. Lantaran perdagangan arang kayu kian menjadi, maka banyak pedagang luar lalu singgah di sini, termasuklah yang di namakan Tuan John Frederick Dickson yang telah dengan licik menguasa segala sehingga ke Tuan Besar juga terkandang di dalam serakah penguasaannya. Kekayaan bumi inilah yang telah menjadikan para pribumi di sini juga di Tanah Seberang dalam kecelakaan terjajah.

(7) Jasa Pak Hassan tidak mungkin akan terkenang. Tidak mungkin sejarahnya akan terbongkar kembali. Bahkan aku mengira, anak-anak Melayu sendiri tidak akan mahu membongkar dan menobatkan sejarah Pak Hassan saudagar kayu arang di sini dulunya. Tuan JF Dickson yang sebetulnya penjajah Melayu lantaran liciknya kelihatan sebagai pembawa kemajuan kepada Melayu terus dikenang sampai kapanpun. Juga harus engkau mengerti, dulu, sengaja tempat ini jadi pilihan pendukung Barat, menjadi tapak melatih anak bangsa Melayu menjadi tentera. Di sini, sebetulnya terlalu banyak bumi ini di sebelah sini telah mengaut keringat anak-anak Melayu untuk menjadi perwira, namun tetap jasa mereka sepertinya Pak Hassan tidak akan pernah terabadi gah. Di sinilah dari dulu sehingga kini anak-anak Melayu terus diperah keringatnya untuk jadi berani mati demi tanah air ini. Cenderawasih Permaisuriku, pada akal licik Barat, bahawa orang Melayu di sini sengaja mahu diadu domba sesama Melayu di tanah seberang sana, sarangnya Garuda. Di Tanjung ini, adalah titik paling dekat dengan Tanah Seberang. Tepik Melayu di sini sebetulnya lantang kedengaran dari seberang sana. Sengaja Tuan JF Dickson dan segala tali barut serupanya mempamirkan kekuatan Melayu di seberang sini, agar ada cemburu pada Melayu di seberang sana. Semua ini adalah lakunan biar Melayu, di mana juga mereka berada, tidak bersatu, saling mencurigai. Begitulah bibit curiga, dengki, cemburu, tertanam dalam dada anak-anak Melayu itu. Sekian lama, sukar untuk disucikan, sehingga kini. Bijak sungguh bangsa kulit balau itu. Kebijaksanaan yang penuh kebusukan, otak dan hati mereka, busuk, lebih busuk dari bangkai terbusuk. Ingatlah itu, Cenderawasih Permaisuriku. Itulah manusia. Tidak seperti kita. Kemana saja, asal saja hutan, maka belantaralah namanya. Makanya, mereka cukup mahu jadi burung, seperti kita. Bebas. Merdeka.

(8) Jiwa perjuangan kemerdekaan manusiaku seperti telah melalaikan aku, yang aku sedang bersamamu Cenderawasih Permaisuriku. Maafkan aku. Mafkan aku. Maafkan aku. "Usah dipohon maaf bertalu-talu. Seharusnya sebegitulah kamu Cenderawasih Rajaku. Sebagai manusia lelaki, kamu harus terus-terus menjadi khalifah. Itulah sumpah kejadian kamu". Sungguh aku berbesar hati atas mengertinya kamu. Biar aku lafaz seikhlasnya, bahawa pintu hatiku kian terbuka untukmu, aku ingin melepaskan rasa cinta yang telah lama kutekan hanya untukmu. Sekian waktu, sekian lama, dengan batu paling berat kutekankan rasa cintaku dari melonjak hinggap di mana-mana. Hatiku sewaktu-waktu itu, tidak lain hanya kupaksakan demi bangsaku. Kini, rasa cintaku telah kubebaskan. Kepingin kuhinggapinya di hatimu. Aku cinta padamu. Namun aku tetap mahu cinta kita terbina atas kesedaran untuk membela manusia Melayu, di sana, di merata-rata, biarpun kita hanya bangsa burung, namun kita mesti ingat, kita burung dari syurga. Kita bukan burung sembarangan. Kita adalah burung utusan khas Tuhan kita ke dunia ini. Bantulah aku, bersamalah aku dalam perjalanan ini, membela bangsa ini. Ayuh pegang sayapku. "Bercanda apa kamu hai Cenrerawasih Rajaku. Mana bisa kamu pimpin sayapku. Pasti nanti kita tidak boleh terbang. Hanya manusia boleh sebegitu. Berpimpinan tangan."  Wah! Untung kalau kita jadi manusia ya. Boleh kita sambil terbang berpegang tangan. Ah! Kita ini burung. Tidak boleh kita seperti itu. Tidak mengapa. Kita terbang menyusur pantai sahaja. Lihat sejoli di sana itu. Bayangkan saja, mereka adalah kita. Girang sungguh mereka. Tengah bercerita tentang apa mereka? Pasti mereka bercerita tentang mahu jadi burung. Ah. Manusia. Mahu jadi burung? Kita burung mahu jadi manuisa. Tuhan apa sudah jadi dengan kejadianMu ini? Anih sekali rasa syukurnya. Pastinya, kerana kita kurang mengerti, maka otak kitapun jadi banyak yang tidak pasti apakah kita sedang bersyukur dan atau bernafsu tidak pernah henti-henti.

(9) Pantai putih itu. Apa ada di syurga? Deru ombak, hantaran angin Jawa-Sumatera, mungkin angin kipasan sayap sang Garuda. Sungguh enak. Cuba lihat anak-anak itu. Kakak dan adiknya. Bersiram. Saling ketawa. Hebat sungguh manusia. Nanti, bila kita sudah punya sarang, kita juga boleh menetaskan anak-anak cenderawasih yang comel-comel. Kecilnya nanti anak-anak kita namakan saja Cenderasari. Kenapa engkau diam saja? Apa engkau sudah lapar? Kita tidak boleh makan seperti manusia-manusia itu. Tidak mengapa, aku punya akal. Engkau lihat pohon-pohon kelapa yang membaris pantai di sana itu. Di bawahnya, di situ manusia-manusia sedang makan enak-enak. Wah, mereka itu seperti aku pernah kenali, apa benarkah ini? Itu semua sepertinya sahabat akrab manusiaku, bersama keluarganya. Engkau lihat itu, anak-anaknya sudah tumbuh besar. Yang paling kecilpun, dulunya bukan main dia, sungguh manja, comel, lihat sudah jadi anak manis dia. Cuba lihat di samping keluarga itu, sepasang anak dan ibu. Mereka itu juga teman akrabku. Cuma kasihan, sang ibu sedang bertarung hidup sangat getir.  Mereka terpaksa menyabung hidup di perantauan ini. Ayahnya si anak itu sudah lama pergi. Mereka aku kenali dalam perantauanku di Dunia Baru, dua dekad dahulu.Belum lagi anak itu yatim piatu, masih ada ibunya, namun sengsara hidup tetap meranap mereka. Sebegitulah, nasib si bapa. Semasa hidupnya, jarang sekali terharga. Saat tiadanya dia, baru mengerti dia adalah jaminan syurga di dunia ini. Cenderwasih Permaisuriku, pasti engkau mulai sadar ke mana saja aku pergi, pasti ada sahaja sahabat-sahabat manusiaku di mana-mana. Sebegitulah, di saat kita tidak pernah lupa akan mahluk tanggungan kita, di mana juga pasti ada saja sahabat kita. Inilah kebenaran pesan Allah, Tuhan kita betapa kemurahan sedikit kita, pasti Dia balas dengan banyaknya.

(10) Sudah senja rupanya. Ayuh kita cari dahan selamat untuk tidur. Kita tidur asing-asing dulu. Biar dekat tetap terasing. Aku juga khuatir, nanti Tuhan marahkan kita, jangan tidur bersama, sebelum waktunya.......bersambung. In Shaa Alla

Kota Bharu, Kelantan
31 August, 2014

#Abdullah Chek Sahamat

Writing that complies Bizarre, Odd, Strange, Out of box facts about the stuff going around my world which you may find hard to believe and understand

1 comments:

balqiswilson said...


Assalamualaikum , Sdra ABC semuga sihat sejahtera ...

Saya telah selesai membaca tulisan Sdra beberapa kali walaupun ia masih belum tiba kepenghujungnya , Burulah kasih Dipadang Sagu dan Cenderawasih.....

Dua tulisan yang hampir sama...dengan tajuk yang sedikit berbeda ,namun mungkin mempunyai maksud yang hampir sama hanya diolah mengikut kesesuaian waktu dan keadaan.

Menaruh sepenuh harapan kebahagiaan kepada anak - anak penanam sagu ,mungkin begitu dari pandangan saya ..dan juga mempunyai dua maksud pengharapan yang berlainan, agak sukar untuk ditafsirkan...

Semuga anak - anak sagu itu akan kembang mekar dan bahagia kerana mereka harus mendapat perhatian yang sewajarnya...
Maafkan saya jika pandangan ini agak kurang tepat...tq...

Copyright © 2010 abc sadong™ is a registered trademark.

Designed by Access. Hosted on Blogger Platform.