.

9/12/12 KAWAN SAYANG KAU TIDAKI DI SAMPINGKU.....friend(s) where are you?

Posted By: Abdullah Chek Sahamat - December 28, 2012

Share

& Comment

Saat saya masih anak-anak, saya sering tidak punya banyak teman. Bahkan saya tidak punya teman akrab. Sebabnya, saya lebih banyak menghabiskan masa samaada membantu orang tua di sawah ladang, atau mengambil kayu api, atau mengangkut air dari perigi buat mandian ibu. Jika lapangpun saya banyak menghabis masa melukis, yang takdirnya mungkin akhirnya seperti Allah itu sedang melorongkan saya untuk melakar kehidupan. Apakah kehidupan yang akan saya lakar akhirnya? Atau sifat suka melukis saya itu adalah sekadar melakar sebuah pemburuan bayang-bayang kekosongan atau sebetulnya adalah sebuah cita-cita tentang kehidupan Umarak Ummah? Atau mungkin kedua-duanya? Inilah persoalan tujuan hidup saya yang sering saya henyakkan kepada diri ini.

In my kid days, I used not to have real buddies. I used to be a lonely boy whom on my tiny shoulder loaded with all sort of domestic responsibilities. In those days, I would spent most of my time giving my hands to my dad in tendering to our farm, or collecting fire woods, or caring for my handicap mum. Even if I have lots of free times, I used most to sharpen my painting skill. In those days I love to paint the folks' lives and to this day I have been figuring was it due to the deep emptiness that I then went through with the departure of my mum or I was painting the future of my people? Or both? My conclusion is vital in shaping my life course.

(2) Kini, sebegitulah diri saya. Tetap enak sendiri. Merdeka dan berdaulat rasanya. Membaca dan menulis. Menulis dan membaca. Menulis apa? Membaca apa? Tentang kehidupan diri ini atau tentang kehidupan bangsa?

(2b) To this day I just remain the same. Not to subscribe to Sigmund Freud philosophy of Childhood Factor but now I spent more time Reading and Writing, Writing and Reading. Reading of what? Writing of what? About my self life or the lives of the Malays?

(3)Sejak beberapa minggu yang sudah saya bersama dua orang teman lainnya pusing keliling di sekitar Asajaya, sebuah kawasan persisir di Samarahan, Sarawak. Bertemu kelompok-kelompok masyarakat berulang-ulang kali di Tambirat, Naie Baru-Lama, Bangka-Semong, Sg. Mata, Sebandi Hulu-Matang, dan Ulu Moyan. Banyak lagi akan dilakukan kemudiannya. Siangnya memeriksa tanah-tanah milik mereka. Malamnya dari jam 2030-2300 kami berbincang dan bertukar-tukar fikiran tentang bagaimana harta sekangkang kera mereka dapat digembelingkan ke dalam Sistem KopRakyat samada di surau, balairaya, dan rumah-rumah Ketua Kampung atau Penghulu. Saya menciptakan istilah KopRakyat bersandarkan agar harta rakyat dibangunkan secara koprat dan koprat yang bertanggungjawap harus bersifat mesra rakyat. Untuk itu, bukan sekadar saya perlu mengetahui kelemahan peganagan aset mereka, bahkan cuba menyelami rasa dan fikiran mereka. Ini bukanlah kerja mudah berlatar belakangkan sinario semasa yang berbaur prejudis kemelut politik dan kapitalisma serakah. Sepertinya, kerja-kerja yang 26 tahun dahulu kini terpaksa saya ulang kembali. Cuma bedanya, dulu saya menjaja Kerajaan kini saya menjaja Kerajaan-Koprat.

(3b) Couple of weeks ago, myself with two other friends had been going around in Asajaya, a coastal district of Samarahan, Sarawak. We met with the villagers representatives. We have to meet them many rounds. We visited Tambirat, Naie Baru-Lama, Bangka-Semong, Sg Mata, Sebandi Ulu-Matang and Moyan Ulu. Lots more are on the waiting list. On the day time, we visited their farm lands, while at night from 2030 to 2300 hours we will be spending our time meeting them at their respective surau, community hall or even private home to explore on the idea of how to organize their fragmented and uneconomical land asset on the CorPeople way. I purposely created the term CorPeople to signify that those population land assets must be developed on the Corporate way along side the need for People Friendly Corporate governance. For this purpose, under the present political uncertainty as well as the deep prejudice of the wolves hunger capitalism, the job is not plain sailing. It seem I have to repeat my last 26 years works to this day. But the only different, in the past, I would just have to talk about the best choice of the government yet today I need to portray the idealism of Public-Private corporation.

(4) Bila hartanah mereka hanyalah sekangkang kera, untuk meyakinkan agar mereka melepaskan hartanah-hartanah tersebut ke tangan Koprat sepertinya mendaki Gunung Kinabalu dalam gegap gempita ribut di tengah malam. Bagi orang Melayu, tanah adalah nyawa mereka. Namun, biar bertanah, nyawa yang terjana hanyalah sekadar nyawa-nyawa ikan. Akhirnya, saat si tuan-tua masuk ke liang lahad, anak cucu bertikam tidak henti-henti lalu tanah terbiar atau terjual tanpa erti. Contoh paling jelas adalah Kg. Jemukan dengan penduduk sekitar 2,000 orang dan Semera dengan penduduk sekitar 8,000 orang. Mereka pingit bertengek di tebing sungai yang kian menyempit.

(5)Apalagi bila bercakap tentang Pengurusan Koprat. Bagaimanakah rupa bentuk bahasa Kampung yang boleh dirungkai dari segolong ijazah Pengurusan Perniagaan biar dari Harvard sekalipun? Syukur, suatu ketika saat saya di depan Baitullah, saya tidak henti-henti menangis berkeringat memohon agar Allah memberikan saya mata, telinga, lidah, hati, otak dan tangan emas. Dalam gaya dan bahasa yang banyak rasa kasar dan biadap, saya mampu mengukir senyum serta anggukan jelas di akhir setiap pembicaraan saya. Saya berbicara yang mencabar jiwa dan fikiran mereka. Saya berbicara bahasa yang mengimbau masa silam mereka. Saya membangkitkan kecut di hati mereka. Saya memberikan mereka sinar masa depan yang harus diperjuangkan digapai. Al Quran, sebegitulah banyak dari cara bicaraNya. Mereka mengerti sebegitu!

(6) Paling berat, saat Kapitalisma ternganga luas, biar Islam dan Al Quran melaknati Yahudi penciptanya, namun teman-teman seIslam payah untuk mengerti betapa segalanya adalah pinjaman buat Umarak Ummah. Saya mengeleng kepala, pada banyak yang bersandar enak di kamar dingin di kantor indah. Turun mereka bermain di padang becak, pasti sudah kejijikan. Saya terkial-kial memaksakan, berilah sebanyaknya kepada bangsa yang sedang kepayahan. Sayang teman. Sangat banyak yang bacul untuk berdiri. Mengertikah betapa mudahnya mengapai Syurga?

(7) Bila saya memandu pulang sendiri, dalam gelap, dalam sepi, keletihan, saya sering menangis dan bertanya: di mana kawan, di mana teman, yang sama mengerti dan sanggup mati demi menguak kabut dari menutupi wajah-wajah bangsa. Umar, Othman, Ali mati sahid di mata pedang, kenapa kini kita gentar mati sahid memerah otak membanting tulang membela bangsa? Selalu SubhannaAllah Walaillah Haila WallahuAkbar mengiring sepi membina lapang di dada sambil ingat tasbih Yunus saat terkecewa: Lailla Hailla Anta Subhanaka Inni Kuntub Minnazolimin. Memperingat diri ini, bangsa ini tidak menjadi diri dan bangsa yang menyerah terlentang dilindes-lindes dipenyet-penyet. Mudah-mudahan. InsyaAllah.

Kuching, Sarawak
28 Disembar, 2012

#Abdullah Chek Sahamat

Writing that complies Bizarre, Odd, Strange, Out of box facts about the stuff going around my world which you may find hard to believe and understand

1 comments:

Anonymous said...

u've got to take the good with the bad, smile with the sad, love what u've got, + remember what u had. always forgive but never forget.learn from mistakes,
but never regret....

Copyright © 2010 abc sadong™ is a registered trademark.

Designed by Access. Hosted on Blogger Platform.