6/10/11 SADONG SEPERTINYA CINTA ABIET DI YOGYAKARTA

Sekian lama sudah rasanya saya pendamkan. Sejak tahun 1972, bila mulai melangkah keluar dari Wilayah Sadong, saya seperti berdendam untuk mengumpul asa, agar suatu hari nanti saya bisa membina kekuatan di Wilayah Sadong ini. Inilah Wilayah yang telah menyatukan segala moyang saya dari Palembang, Rhiau, Jakarta, dan Brunei-Sambas menjadi sebuah keluarga yang mahu merdeka dari segala penjajahan. Namun, gelora politik seperti menghantui, merentang hambatan yang sukar dipecahkan.

(2) Entah apa takdirnya, saat sampai ke penghujung jalan terpancar sirna akal dan berkat, kini mudah-mudahan FELDA dan sebuah badan swasta akan bergabung membangunkan bukan hanya lahang tersia-sia tetapi juga kota yang agar darinya nanti anak cucu semua yang tersisa akan terus merdeka dan mempertahankan kemerdekaan yang terhasil dari air mata, keringat dan darah yang tidak sedikit tumpah mengalir pekat di Batang Sadong.

(3) Jika saya tidak kesempatan untuk mengotakan hajat, maka biarlah akan ada yang masih ingat dan mahu mengatur langkah agar jejak tinggalan akan ada ikutan.

(4) Untuk itu, saya sisipkan laungan Abiet G Ade, yang kebetulan seirama nada dan suara para moyang, orang tua dan diri saya sendri dalam kepingin membawa Sadong terus bersenandung.

seperti debu tajam menerpa mata
aku tersentak dari lamuman
ketika kubuka tirai jendela
sperti angin lembut menyusup jiwa
aku terpejam
kuhirup nafas dalam di gerbang
kotaku yogjakarta

hari ini aku pulang
hari ini aku datang
bawa rindu bawa haru
bawa harap-harap cemas
masihkah debu jalanan
menyapa akrab langkahku
masihkah suara cemara
mengiringi nyanyianku

seperti bintang diam menunggu fajar
aku berfikir untuk membangunkanmu
bergumul dengan gelora nafasmu
di sini aku diterpa
di sini aku dibesarkan
semangatku keberadaankupun terbentuk

masih aku pelihara kerinduan yang dalam
setiap sudutmu menyimpan langkahku yogjakarta
setiap sudutmu menyimpan langkaku yogjakarta

terasi, simunjan
8 Oct., 2011