(Monyet juga sudah mengerti akan maknanya lelah dan bosan. Apa lagi si pejalan yang tidak berkeputusan!)
Kg Datu, Sibu; Kg Sebiew, Kg Datu, Kg Masjid dan Kg Jabai, Bintulu dan Sekuau, Sibu sepertinya adalah tugas-tugas terakhir yang mesti saya usaikan secepatnya. Pertamanya, penduduk di sini sudah kian bosan dengan janji hidup serta kekhilafan lepas yang melemaskan. Celaka badan, sepertinya, kini saya seperti disumpah masa, terpaksa menahan segala cerca dan asakan agar terus berdiri dan berjalan tegap tegas sedang maghrib sudah menjemput mampir. Ditoleh ke kiri, polos; celinguk ke kanan, kosong; melihat ke depan, samar; toleh ke belakang, hanya duri-duri berhamburan. Benar-benar rasanya, biarlah saja badan ini ditelan bumi terkambus, tanpa tanda, tanpa ada menyadari. Plong pergi, hilang. Namun melas:kasihan merenung nasib bangsa lalu terasa tidak punya masa untuk menangis dan menjerit:"Inilah bangsa yang akan saya tinggalkan, bangsa yang banyak teman sebangsa tidak pedulikan lantaran harus mengendut lampung:perut sendiri duluan. Ya Tuhan, Ya Rabbi, sekedar bisa mengucap sebegitukah akhirnya, aku ini?"
(2) Kg Datu, Sibu; jerit mereka, saban tidur malam digegar ombak. Terasa goyah saat malam mendatang. Dalam kegelapan ada saja bayang-bayang kecelakaaan. Saat hujan deras, saat Btg Rajang meruap, segala lantin hayutan balak, melangar tiang rumah, bisa ambruk:roboh menyembah bah, hanyut tak ketentuan terdamparnya kapan dan di mana? Anak-anak, berlarian di titian, saat celaka menjemput pasti nyawa jadi serahan. Hanyir sudah biasa. Kebakaran malapetaka ada kala menjengah tiba. Meranap berketurunan keringat dan lelah. Kehidupan kian sempit. Mereka kian menjeri-jerit. Tetap saja bagai cinta gogrok: terlepas di daun keladi, tiada terkesan. Yang ada cuma suara-suara tumpang menjerit. Yang mahu berkeringat, entah ke mana sembunyinya?
(3) Kg. Sibiew, Kg. Masjid, Kg. Datu dan Kg., jabai Bintulu adalah sedang berlumba-lumba mahu SCORE. Cuma, mungkin sepakan seringnya ke jaring sendiri, lalu mengalahkan sendiri.
(4) Sekuau, jeritnya terlalu lama sehingga hampir lelah. Terlalu banyak yang diam. Terlalu banyak yang melupakan. Terlalu lama yang banyak terus saja berbicara dari berusaha keras menitiskan keringat. Saat tergugat, semua menculat melompat bagai monyet digempur ombak. Inilah teman sebangsa yang menjadi benteng saat getir digempur durjana negara. Saat negara merdeka, saat semua bahagia, mereka tetap sebegitu, minggir ke sudut sepi tanpa kata-kata puitis yang menyegarkan.
(5) Saat duduk tersandar di kerusi pesawat, saya terdiam, menitis air mata dalam tangis yang sangat dalam. "Sir, would you like a drink? Juice or water?' suara lembut gemalai sang pramugari tidak saya hiraukan. Saya terus saja tundiuk menyembunyikan wajah yang sudah basah dilimpah air garam dari kelopak mata: "Ya Rabbi, berikan aku pedoman yang bakal kutinggalkan buat ikutan mereka dalam memerdekakan bangsaku ini", saya hanya bersendiri sehingga menjamah bumi.
(6) Di Baram, Berawan-Kenyah-Kayan pula menjadi tatapan. Berebut hidup pada tanah yang 'milik dan bukan milik mereka'. Dari sudut mana kita melihat, pasti binggung jadinya. Ke kirti duri, ke kanan onak. Ke belakang ranjau, ke depan mine field. Benar-benar ingin muntah lalu rebah dan diam saja di ICU lalu melupakan segalanya.
(7) Tuhan itu Maha Besar. Syukur, mungkin begini saja: "Dalam sebuah acara pesta. Mulanya duduklah tetamu biasa pada settee empuk enak. Dalam hawa dingin menyegarkan. Aman. Santai. Membahagiakan. Saat waktunya tiba. Negarawan munjung. Jari-jari menuding pada dia. Dia mengalah diri. Lalu duduk di bangku kayu keras. Bercahaya matahari. Berhawa panas kemeringat. Hanya dari kejauhan melihat Negarawan duduk enak, tertawa, bahagia. Negarawan melihat dia hanya dari kerling tidak tepat pada anak matanya"
(8) Dari lakunan sandiwara sebegitu, saya menarik nafas panjang;"Pantaskah: wajarkah sebegitu?". Aturan dunia, pada free market nan kian bobrok:hancur tetap juga kita seperti mahu bertahan. New York, London, Athen, Canbera, dan Wellington, semuanya sudah menunjuk tanda, betapa kerakusan kapitalis kian meranap diri, maka kita belum juga seperti sadar? Untuk apa kemakmuran (kekayaan) JIKKA (istilah Matematik) dengannya tiada kesejahteraan (tiada kata setanding dalam bahasa Inggeris)?
Nota:
JIKKA bermaksud: Jika dan Hanya Jika (If and Only If).
Sibu-Bintulu-Miri, Sarawak
15-16 Sept,, 2011
0 comments:
Post a Comment