.

12/6/11 SUMINAH

Posted By: Abdullah Chek Sahamat - June 27, 2011

Share

& Comment


Saat pramugari tercegat di pintu masuk, para penumpang yang tadinya aman duduk santai, bingkas berpusu-pusu mengatur diri berbaris. Lagaknya bagai para soldadu yang sedang latihan terkejar-kejar ke tengah balapan saat saja kopral meneriak: ”Baris!. Ada yang sarat membopong: mengendong anak-anak. Ada yang terkial-kial memaksa ibu dan bapa yang sudah lemah langkah kaki mereka agar segera berebut ruang. Ada yang kelelahan mengheret segala macam beg, bungkusan dan barang jajanan: belian yang bermacam–macam rupanya. Barisnya panjang. Semua sepertinya tidak punya sabar. Mata sekaliannya menumpu pada pintu kaca yang masih juga tertutup, biar pramugari sudah habis memeriksa tiket-tiket dan pengenalan semua penumpang. Mereka terus seperti terhukum berdiri, berbaris, menanti.

Pramugari: Manis Di Awan Hambar Di Bumi:

Aku tetap duduk. Kaki kuselunjur panjang. Bahu kuputar-putar agar segala otot yang mencengkam keras mengendur dan menjadikan aku agak selesa. Segala otot-ototku yang kejang kuatur agar sedikit lembut. Aku menarik nafas panjang. Aku ingin santai dari segala kelelahan.

(2)Di antara baris-baris manusia di depanku, ada seorang perawan: gadis, sedang sugul dan diam. Matanya terpaku ke lantai. Tubuhnya layu. Rambutnya ngak: tidak keurusan, masai, belum mandi sepertinya. Bajunya lusuh. Celana: seluar jeannya seperti lalatpun enggan hinggap, lusuh dan compang camping: koyak dan kotor. Dia sedang sendiri. Mataku tidak lari dari mengikutinya.

(3)Saat pintu kaca terbuka luas. Semua yang tadi berdiri dengan resah, melempar senyum lega. Anak-anak berkejaran duluan membuntuti pramugari yang melenggok bagai burung flamingo yang sedang berahi. Aku berfikir nakal: ”Mungkin dia adalah flamingo yang terjelma manjadi manusia pelayan. Bajunya merah, sama sepertinya flamingo perawan yang sedang ranum. Betis dan lengannya yang putih dan gebu, pipi dan dadanya yang mengasak pejal, seperti sedang mengamit agar flamingo jantan menjadi resah mengila”.

(4) Saat semua sudah jauh, aku bangkit mengalas beg dan menuju pintu kaca yang
sudah mahu ditutup. Kenapa tadi tidak berbaris dan berjalan sama?” sergah pramugari yang enggan senyum. Matanya juga enggan melihat padaku. Tiketku disambar dan dikembalikan bagai kertas tisu jamban terbuang. “Apa harus segalanya mesti sama? Apa bedanya, sedang pesawatnya tetap masih di sana, dan para bapa dan ibu yang sudah tua itu masih kepayahan mengheret segala, dan belum jejak melabuh diri?”, tanyaku tegas.

(5) Matanya melotot: menjegil. Keayuannya hilang. Lembut perawannya terbang. Kemanusiaanya sedang kusoal kuat. Dari gaya flamingo, kini rupanya sudah menjadi burung hantu. Mungkin dia harus mengerti bisik hatiku:”Let me point this clearly to you, myself, and those who are rushing to board, who pay for your salary. We take this plane on no free ride. We pay for it, then treat us to our right!”, kulempar keras ke mukanya. Matanya kubalas dengan tikaman api pelototan: renungan yang tajam setajam sembilu bambu kuning.

(6) Dia menjadi kaku. Bungkam. Tersentap. Wajah gundah melekat di pipinya. Matanya meliar seperti sang harimau sedang hadir di depannya. Aku bersangka: “Anih. Anak bumi Malaysia, lahir dan dewasa di Malaysia. Bumi yang penuh segala adat kesopanan. Mengertinya hanya bila kata-kata penjajah disempuratkan: semburkan ke muka mereka”. Aku hanya melintas pantas. Kubiarkan dia. Langkah kucepatkan, lalu menghambat, membontot perawan tadi yang sebentar hilang dari tangkapan mataku. Kakinya seperti enggan melangkah.

Suminah Namanya:

Tak terduga kami duduk bersandingan: bersebelahan. Aku berusaha keras mahu bersahabat. Banyak senyuman kuhulurkan. Namun tetap wajah polos: kosong yang kuterima. Sering kali aku melirik untuk melihat anak matanya. Dia tetap kaku keras enggan peduli. Dalam hati aku berkata: ”Ada apa denganmu? Apa mungkin dalam kepala, di bahu dan dadaku, adalah jauh lebih enteng: ringan dari yang kau tanggung?”. Sebentar, kulihat jari-jarinya mengeletar. Nafasnya menjadi deras menghembus, melepas kehanyiran yang rasanya menguncang keras tekak dan perutku.

(2)Tanpa sedar, kugengam dan guncang bahunya: ”Apa kamu sakit? Biar saya bantu.”, tanyaku biar tanpa jawabannya. Aku lalu memesan secawan mocha panas dan pai. ”Minumlah, dan makan sedikit.”, seruku. Melas: sedih kasihan sekali aku merenung matanya yang sudah berkaca-kaca. Ternyata, airmata sedang membaluti kelopaknya. Dia seperti sedang menahan laungan hati yang maha hasyat lagaknya. Anak matanya pudar, gelap dan jauh ke dalam. Bibirnya kering merekah-rekah. Kulit pipinya terbakar bersisik-sisik. ”Pasti parah jiwa perawan ini” , bisik hatiku. “Saya Munsyi”, kenalku padanya. Dia menghulur tangan, dan kami berjabat. ”Saya Suminah, mahu pulang ke Jakarta”, balasnya.

(3) Sekali lagi nafas panasnya mengambur bau yang jijik meloyakan tekakku. Apakah mungkin jantungnya sedang membusuk atau ada suatu kematian yang tersimpan jauh di dasar kerongkong dan hatinya? Aku tertanya-tanya antara terus mahu berbicara dengannya atau diam tak peduli agar terlepas dari bau nafas yang memualkan. Tiba-tiba: “Baik kalau Suminah ke kamar kecil, cucikan mukanya. Biar tampak segar. Juga coba basahkan rambutnya, dan ambillah sisir ini, dandani rambutnya. Mungkin itu membantu”, usulku tanpa berfikir panjang. Dia seperti manut: ikut saja dan berlalu pergi sambil menjinjing: membimbit tas: beg kecilnya”
.

(4)”Terima kasih Pak. Sebetulnya sudah dua hari saya ngak makan. Wang saya kehabisan.” ucap Suminah perlahan antara dengar dan tidak, saat dia melabuh diri di sampingku lagi. “Saya juga lapar. Tadi siang: tengahari belum sempat makan. Saya sudah pesan nasi lemak dan teh tarik buat kita. Kita makan lagi”, usulku. Dia mengukir senyum. Masih hambar. Bibirnya ternyata tiada darah. Matanya masih ada kesan-kesan luka berkaca. Namun, syukur, nafas mayat membusuknya sudah hilang. Pasti dia sadar betapa aku sengsara menahan muntah saat dia menghela nafas panjangnya dari tadinya.

(5) Masa-masa seterusnya aku hanya ingin diam. Senaskah novel yang dari tadi belum kubuka kini menjadi pemisah antara kami. Aku diam. Dia diam. Cuma sesekali bertukar senyuman. Aku terhibur meniti setiap watak dalam novel Bumi Manusia cetusan sengsara Pramoedya Anantra Toer. Suminah terlena, menyandar di bahuku. Saat lena yang dalam, aku mencuri lihat pada wajahnya. Benar-benar ada kaca-kaca pecah dan duri-duri nibong menusuk dalam bernanah di jantung-hatinya.

Masjid Senayan Berkubah Hijau:

Saat pesawat sudah berlabuh. Kami sama-sama jalan beriringan. Langkahnya sudah agak panjang dan cepat. Matanya sudah bening dan tajam. Bibirnya sudah ada darah mengalir panas. Senyumnya sudah manis. Namun tetap masih ada bayang-bayang awan tebal di fikirannya.

(2)”Apa ada yang jemput?”, tanyaku padanya. “ Saya belum bikin keputusan Pak. Saya juga ngak tahu, apa mahu terus pulang atau gi: bagaimana?”, balasnya. ”Loh, jadi gi mana?, soalku terus. Ngak tahu Pak. Saya binggung. Saya benar-benar binggung”. balasnya. ”Kalau begitu, biar ke hotel bersama saya dulu. Nanti kita bicara di sana” , usulku cuba membantu. Dia hanya diam dan tetap membuntut: ikut.

(3)Merayap dari Bandara Sukarno-Hatta ke Jakarta Pusat terasa amat lesu dan payah. Jalanan mobil: kenderaan bagai darah mengalir dalam pembuluh yang tersumbat-sumbat. Segalanya berasak-asak. Segalanya tersekat-sekat. Segalanya seperti keributan anak-anak ikan dalam kolam yang sesak. Manusianya seperti tercungap-cungap berebut hidup dan ruang. Dalam kesempatan yang macet: tersekat, ada saja wajah-wajah menagih hidup dalam segala bentuk semampu mereka. Menjerik-jerit: “ Koran: surat khabar Pak; Kerupuk Pak; Minuman Pak; Rokok Pak....” Mereka adalah anak-anak, ibu-ibu, bapak-bapak yang kurus cengkung, lelaki dan perempuan-perempuan yang, sukar untuk sebarang kata menjelaskannya, setepatnya apa sengsara yang sedang merundung mereka.

(4)Inilah sambutan selamat datang dari kotanya Jakartaraya. Kota yang siangnya menyediakan hidup buat lima belas juta nyawa sedang di malamnya menanggung tidur sepuloh juta manusia. Pastinya, saban waktu tidak kurang lima juta manusia merayap keluar masuk Jakarta dari segala kota-kota kecil di pinggirnya. Bagai semut mudik di awal pagi, dan menghulu di sore: petangnya. Sebegitulah kata singkat yang mungkin dapat menjelaskannya.

(5)”Saya hanya pesan satu kamar. Dua katil. Kita lihat bagaimana nantinya. Mungkin kamu perlu mandi dan istirehat sebentar. Biar sedikit tenang, baru kita bicara selanjutnya”, ajuku kepadanya. Dia hanya memandang tanpa jawap. Terus saja membuntutku menaiki lift ke tingkat 15. Tadinya, sengaja aku meminta kamar yang menghadap hijau Padang Sukan Senayan, juga masjid berkubah hijau Senayan.

(6)Suatu waktu dulu, aku pernah menjadi tamu pada dua tempat ini. Juga masjid berkubah hijau Senayan inilah, yang telah mengembalikan aku sepertinya aku saat aku juga dulu pernah nanar terbuang hidup. Aku berharap, kali inipun masjid ini akan memberikan kehijauan kepada Suminah.

(6)Suatu waktu dulu, aku pernah menjadi tamu pada dua tempat ini. Juga masjid berkubah hijau Senayan inilah, yang telah mengembalikan aku sepertinya aku saat aku juga dulu pernah nanar terbuang hidup. Aku berharap, kali inipun masjid ini akan memberikan kehijauan kepada Suminah.

(7)Suminah kubiarkan sendiri di kamar. Dia harus mandi. Dia harus tidur seenak, setenangnya. Dia harus sendiri dulu. Aku ke lobi. Aku ke Cafe. Aku memesan kopi tubruk dan singkong godok: kopi kampung dan ubi rebus. Aku terus melayari Bumi Manusia berkelana bersama Toer dalam payah sengsaranya. Sesekali nona-nona manis melempar senyum padaku. Sesekali mereka mampir: mendekat bertanya khabar:”Bapak asyik sekali membaca. Suka sama karyanya Pak Toer.”. Pertanyaan hanya kubalas dengan senyuman dan anggukan kepala. Aku lega, biar sesak dalam hidup, setidak-tidaknya Jakarta masih ada manusia-manusia yang jiwanya manusia. Peduli. Ingin peduli. Mahu peduli, biar hanya sekadar senyum dan kata. Sekurang-kurangnya masih tetap adanya manusia.

(8)Aku ke kamar. Mengetuk pintu. Segera dibuka Suminah. Dia seperti baru saja bangkit dari tidur yang dalam. Garis-garis sembam jelas kelihatan pada pipi dan lelehrnya. “Ayuh, mandi. Kita jalan-jalan di Taman Senayan. Kelihatannya agak redup dan pasti nyaman.” usulku. Dia melangkah ke kamar kecil. Aku menghempas diri ke katilku. Kupejamkan mata. Aku ingin lelap sebentar. Aku hilang.

(9)Di taman Senayan, aku memilih untuk duduk dibangku papan di bawah pohon semarak yang rendang. ”Di sini, dua tahun dulu saya pernah tiduran sampe: hingga subuh. Saat itu, saya kehancuran jiwa. Jiwa yang subur berkembang tiba-tiba mati dan hancur, lantas saya sengoyoran: berkelana terhuyung hayang, tanpa tujuan dan pengertian”, jelasku pada Suminah yang duduk rapat padaku. Dia seperti ingin menyandarkan tubuhnya padaku. Kubiarkan saja. ”Maaf ya Pak. Apa bapak bukan orang Jakarta? Maksud saya, bukan orang Indonesia?”, soalnya perlahan. ”Suminah, siapa dan dari manapun saya, ngak penting. Sekarang yang paling penting, siapa dan mahu ke mana kamu?” balasku tegas.

(10)Kata-kata Tuhan sedang berkumandang dari Masjid berkubah Hijau. Sayu namun jelas. Dahan-dahan bergoyang-goyang sepertinya mengamini. Burung-burung hinggap dan saling bersahutan bagai menyambung kesyukuran. Aku menatap wajah Suminah. Mata kami bertembung tajam. Ada sirna terpancar dari anak matanya. Dia menghela nafas panjang. Kucapai jari-jarinya. Kugengam erat tangannya. Aku tarik tubuhnya untuk berdiri dan berjalan menyeberangi jalan, perlahan-lahan melangkah ke Masjid berkubah Hijau. Kami berdiri dan duduk di sana. Aku meminta:” Berikanlah kepadanya, sepertinya yang telah Engkau berikan kepadaku sehingga aku tetapnya aku, sebagaimananya aku”.

(11) Usai segala kami nyeberang kembali ke hotel Senayan lalu ke gedung di sampingnya. ”Biar kita shopping dulu. Mungkin kamu perlu pakaian dan celana baru. Nanti yang kotor, kasi: beri saja biar dicuci di hotel.”, usulku kepada Suminah kerana aku dapati dia tetap memakai jean tadinya yang sangat kotor dan compang camping.

Suminah, Dia Kalah:.

Malam itu, aku telah membuat satu keputusan tekad. Aku ingin melihat kehebatan syaitan dan malaikat. Dan aku, aku kepingin melihat ke mana doyong: condongnya aku. Apa mungkin aku terheret syaitan berlidah meler: terjeler atau aku menjadi malaikat yang diam? Namun aku pasti, bersamaku, bersama kami, aku dan Suminah, sekamar ini, ada syaitan juga malaikat. Aku ingin beradu bersama mereka. Aku dan Suminah, kami apa bisa bertahan sepertinya kami saat kami belum ketemu sebegini? Aku mencuba.

(2)Suminah bisu di katil sebelah. Dia baring. Sekejap tubuhnya mereng: senget ke kiri. Sekali mereng ke kanan. Sekali terlentang. Matanya seperti berkelip-kelip kegusaran. Sekali dia menyelimuti diri. Sekali dia menendang selimut lalu membuka dada. Aku diam saja. Terus saja asyik belayar bersama Bumi Manusia. Aku cuba enggan peduli. Namun dalam benak:”Apa akan jadi dengan perawan ini? Esok apa terus dia harus bersama aku?”, akhirnya aku juga turut jadi resah.

(3) “Suminah, bisa kamu jelaskan makanya kamu jadi begini?”, pintaku sambil bangkit mereng menghadap dia. “ Dua tahun dulu, saya ikut pacar saya ke Pulau Pinang. Dia kerja kontrak. Saya jadi pembantu di restauran Tiong Hua. Kami diam serumah. Kami seperti suami isteri. Kami cukup bahagia”. jawapnya sambil telentang. Dadanya berombak. Nafasnya kencang. Matanya tajam menatap lelangit. Kemudian dia mereng. Kami berdepan. Aku hanya ingin diam mendengar. “Segalanya baik seketika. Saya dengan senang membantu keluarga di kampung hasil kerjaan saya. Saat berlalu, kami jadi hanyut dalam rona-rona Pulau Pinang. Kebahagian kami meledak melewat batas yang lebih panas. Kami kenal segala rupa keindahan, minum-minum, mulanya main-main saja. Lalu datang rokok. Lalu datang nakobar: dadah. Kami hanyut sehingga saya jadi tidak peduli pasal kerja. Benar-benar hanyut. Kemudian pacar saya jadi curang. Saya ditinggalkan”, bicaranya terus biar dalam payah yang teramat sangat kelihatannya.

(4)Kerana saya sudah akhirnya ngak punya wang, saya jadi pengemis di antara teman-teman. Saya sering beralih tempat tinggal. Saya akhirnya menjebak diri dalam kerja-kerja yang mendatang hasil yang lumayan mudah. Meniti dari tubuh ke tubuh. Wang datang dengan mudah. Hilangnya juga mudah. Saya mengadai diri lantaran kekecewaan yang terlalu berat. Saya sudah jadi tidak peduli tentang ke mana arah hidup saya. Saya menjadi hanyut dan terdampar. Saya ngak ada pilihan. Saya mahu pulang, tetapi ngak kecukupan upaya. Juga saya takut, takut sama orang tua saya. Saya takut mereka tidak bisa menerima saya kembali. Rasanya lebih baik saya mati.”

(5) Suminah mulai menangis. Dia meraung. Di menghempas-hempas dirinya. Tanpa sedar, aku menghampirinya. Mengusap rambut dan dahinya. Dia kuperlakukan sebagai anak cilik: kecil. Dia merelakan. Dia benar-benar menangis, sekuatnya, semahunya. ”Saya kecundang Pak. Saya sudah tidak bisa berdepan sama orang tua saya. Mereka mengharap bantuan saya. Namun kini, bukan saja saya ngak bisa membantu, bahkan diri saya pasti akan jadi beban hidup mereka. Dulu saya pergi menanggung hutang. Semuanya belum terlunas. Pasti orang tua saya yang miskin dan payah akan bertambah sengsara. Adik-adik khabarnya sudah diberhentikan sekolah. Semuanya kerana saya yang sudah lupa diri. ”.

(5) Suminah lantas bangkit, lalu merangkul tubuhku. Dia membenam sepenuhnya mukanya ke dadaku. Dia benar-benar menangis. Meraung sekuatnya. Aku terus saja mengusap rambutnya, dan mendakap dia rapat. Dadaku basah dengan airmatanya. Telinggaku tersumbat oleh segala desah hatinya yang lebur. Jantungku jadi berat. Hatiku tergetar kuat. “Apa harus kubuat? Apa besok aku harus saja pergi dan tinggalkan dia?”

(6) Tanpa Suminah, rencananya aku mahu menjejak Taman Ismail Marzuki. Di sana, rencanaku, biar aku berkelana dalam pentas para karyawan hasil otak dan hati mereka yang halus dan menjerit. Buku-buku langka: lama pasti menghiburku dan melarikan aku dari segala yang terbiasa dalam fikiranku. Aku kepingin mencari darah yang tengah mengalir deras dalam tubuhku. Aku kepingin menjejaki siapanya aku. Aku kepingin menjadinya aku, seasalnya aku.

(7) Kini, Suminah hadir sebegini, apa benar parahnya? Tidakkah ini mungkinnya hanya sandiwara di pentas Taman Ismail Marzuki? Bagaimana mungkin harus aku mengetahuinya? Kenapa pula pribadinya dia, harus jadi pedulinya aku? banyak persoalan timbul mendadak. Dalam perhitungan yang sebegitu berat, serta tubuh sayu yang terus merangkul aku, dapatku rasakan, betapa syaitan sedang mengasak agar aku jangan jadi manusia. Anih, betapapun para malaikat yang juga ada bersamaku, ke mana mereka? Apakah mereka hanya diam? Diam, melepaskan segalanya pada aku? Ya, mungkinkah kerana taatnya mereka, yang sudah tertakdir menjadikan manusia ketua mereka, maka aku juga tetap menjadi ketua mereka? Kerana aku ketua, maka, mereka biarkan saja apa saja prilakuku? ”Malaikat, adanya kamu, hanya membiarkan aku semahunya aku,” begitulah akhirnya tanggapku pada mereka.

(8) Tubuhku rebah. Suminah enggan melepas. Kami sama-sama rebah. Bersanding. Rangkulan jadi dekapan erat. Tubuhnya terasa hangat. Kepalanya beralih ke leherku. Nafas hangatnya mendengus kuat ke cuping telingaku. Hati jantungku bagai hanyut dalam segala kelembutan. Rasa itu, aku bersoal, apakah terjadinya dengan kuasa syaitan? Pasti para malaikat sudah kabur: menjauh malu melihat. Atau sebegitukah manusia, saat kecundang, maka ada saja yang di salahkan?

(9) Aku mendekap Suminah erat. Menepuk-nepuk bahunya. Mengusap-ngusap rambut dan kepalanya. Berbisik ke telinganya:”Besok, kita ke kebun Jeruk. Kita ketemu orang tua kamu. Bilang: katakan kepada mereka, bahawa saya adalah majikan kamu. Kamu adalah pembantu di rumah saya. Kamu pulang untuk melihat mereka sebentar dan akan ke Malaysia semula nantinya. Saya ke sini untuk libur: cuti. Kamu temani saya”..

(10) Suminah diam. Nafasnya mulai kendur. Sesekali dia menarik nafas panjang. “Pak, apa pasti?”, dia bangkit menatap aku. Matanya terasa tajam. Mengukir senyum. Senyumnya terasa manis. Airmatanya menitis ke mukaku, bukan hangat tapi dingin. Dia seperti mahu tertawa. Hatinya, seperti sekilas kilat bertukar gelap jadi terang. ”Kamu tidak yakin sama saya?”, balasku sungguh. ”Bapak, syukur. Saya ngak bisa bilang apa lagi. Sekarang ini, terasa saya mahu menyerah saja segalanya kepada bapak” sahutnya dalam seribu kelembutan dan pasrah.

(11) ”Kita tidur saja. Saya bener-bener capek: letih. Saya ingin istirehat”, usulku. Dia merebahkan dirinya di sampingku. Kupaut kepalanya ke dadaku. Lenganku merangkul rapat tubuhnya. Kami tiduran sekujurnya.

Hidup payah di Kebun Jeruk:

Puas pusing keliling pada lorong-lorong sempit, di barisi rumah-rumah bertingkat-tingkat tanpa aturan yang jelas, berhempetan: himpitan berebut-rebut antara speda: motorsikal, beca dan basikal, apa lagi sekali sekala anak-anak berlarian berkejaran menerpa secara tiba-tiba, menjadikan jalanan terhenjut-henjut bagai bagau berawas dipaya lumpur, di hujung jalan mobil sewaan kami berhenti. Anak-anak pada menghulur leher panjang, menjengah-jengah. Ibu-ibu yang berkemban dan bertudung batik, saling memaling. Semua mata sepertinya kepingin membuka pintu mobil, mungkin mahu tahu siapa di dalamnya, dan apa gerangannya?

(2)”Itu rumah saya Pak. Gubuk sebetulnya. Ibu sedang duduk di tangga. Ayah saya yang disampingnya” jelas Suminah sambil menuding pada sebuah rumah biru usang bertingkat. Sepasang perempuan dan lelaki tua sedang santai duduk bertingkat di muka pintu. Rumah itu kecil saja. Tangganya dari kayu. Atapnya dari zink yang sudah berkarat dan robek: rusak di sana-sini, bertampal-tampal.

(3)Aku terus memerhati setiap yang dapat kupandang. Segalanya sama saja. Kesesakan. Berhimpit-himpit. Seribu satu kekurangan. Ketidak ada susunan jelas. Segalanya seperti membayangkan betapa di mana saja dalam segala kepayahan, yang ada hanyalah kehidupan yang melelahkan. Bangsa in sudah merdeka. Kerananya sudah tidak ada lagi suara memperjuangkan kemerdekaan. Kemerdekaan sepertinya sedang dinikmati dengan segala nyanyian kepayahan, kegetiran. ”Merdekakah itu?”, hatiku bertanyan keras.

(4)”Min, apa benar kamu Min?” seru perempuan separuh umur yang tadinya tenang duduk di tangga. ”Pak, anak kita si Min, dia pulang Pak!” dia seperti menjerit menyedarkan sang suami yang masih melopong. ”Ya bu, Suminah ini bu, pak” balas Suminah lalu berlari mendapat kedua orang tuanya. Mereka saling berpelukan. Mereka seperti tertawa dalam menangis. Pipi, wajah Suminah diciumi ibunya. Rambut Suminah diusap-usap kasar. Tubuhnya dipaut di peluk keras. Sang ibu dan anak melepas rindu sepuasnya. Rindu mereka seperti terurai dengan tangis yang bercucuran. Si bapa hanya menonton. Aku juga jadi penonton. Tentangga juga menonton. Anak-anak sudah mengelilingiku, terlongok-longok: kehariaran bagai memerang mahu terjun ke kolam mencuri ikan.

(5)”Oh, maaf Pak, hampir terlupa saya. Bu, ini Pak Munsyi, dia majikan saya di Malaysia. Dia sedang libur ke Jakarta dan saya dipinta temani dia. Dia datang untuk kenalan sama ibu dan bapak jelas Suminah saat dia sadar bahawa aku ada di sana. Dia buru-buru mendapatkan aku, tanpa malu mengheret aku untuk ketemu kedua orang tuannya. Kami bersalaman dan tunduk hormat. ”Monggo: silakan naik Pak. Sudi ke gubuk kami!” ajak bapaknya Suminah. ”Pasti rumah bapak di Malaysia sangat mewah. Ngak seperti gubuk kami ini. Syukur harinya ngak panas, kalau ngak gawat Pak dalam gubuk yang berhempet-hempetan ini, panas”, sambungnya terus.

(6)”Usah ngomong terlalu merendah diri Pak. Biar kecil, biar besar, biar gagah, biar usang, tetap rumah juga namanya. Syukur saja punya rumah.” balasku dengan hormat, lalu bersila di lantai yang berlapik tikar plastik. ”Maaf Pak, ngak punya satee sebagaimana rumah Bapak. Kami cuma ada meja makan kecil di dapur”, sambung Suminah lantas berlalu ke dapur.

(7) Dari dalam dapur yang hanya terpisah oleh dinding plywood yang tipis, si ibu masih tetap mahu melepaskan kerinduan dan ingin tahunya. ”Kamu kok kelihatnya kurus. Apa kamu sakit? soalnya antara dengar dan tidak, namun dapat kutangkap. Sebentar, kedua si anak dan ibu ngampiri: datang membawa sedulang minuman. Aku dapat merasakan, pasti si Suminah sedang payah untuk menjelaskan kepada kedua orang tuanya tentang keadaan dirinya. Aku terus saja mencari akal: ”Syukur bu-pak, si Suminah udah kambuh: sembuh dari sakit beratnya. Dia jatuh sakit untuk beberapa bulan yang lepas, maka tubuhnya agak kurus. Lalu kini, saya kasi:berikan dia libur sementara, biar dia istirehat saja di kampung dulu”, celahku. Mataku dengan cepat menatap wajah Suminah. Dia kaget, namun tetap mengukir senyum. Ibu-bapanya mengangguk-ngangguk mengerti. Melihat semua itu, aku lega. Suminah seperti menarik nafas panjang.

(8)”Terima kasih Pak. Kami pasti tidak dapat membalas jasa Bapak. Kami serahkan saja segalanya, agar Allah memberkati hidup Bapak” sambut bapa si Suminah. ”Kami sangat butuhkan:perlukan bantuan si Suminah Pak. Sejak beberapa bulan lalu, kerana keputusan: terhentinya kiriman dari dia, payah bener rasanya hidup kami. Suami saya sering saja sakitan. Dia udah ngak bisa kerja keras seperti dulu. Saya sendiri, ya udah tua, cuma bisa bantu jual jamu keliling kampung. Saya udah ngak bisa jalan jauh-jauh lagi. Adik dia, terpaksa kerja untuk cari belanja buat ke sekolah. Dia sedang di SMA. Belanjanya cukup besar Pak” jelas si ibu tentang hidup mereka, tanpa aku pinta. Aku mengangkat cangkir, meneguk, membasah tengkorok yang kering. Kering bukan kerana dahaga, namun kering menelan segala cerita kepayahan yang baru kudengar dan sedang terhidang di depanku. Suminah tunduk. Dapat kulihat tetes-tetes airmata gugur ke lengannya. Dia diam membantu. Aku khuatir dia meraung lagi.

(9)”Begini, bu-pak, saya harus kembali ke hotel. Kalau lama-lama nanti Pak Supir: pemandu kereta sewanya jengkel: marah. Besok saya akan ke Makasar. Saya ada sedikit pekerjaan di sana. Minggu depan saya akan kembali ke Jakarta. Jadi, nanti saya kembali lagi. Kalau Suminah udah seger: segar bener, saya akan bawa dia kembali ke Malaysia. Itu kalau ibu dan bapak izinkan” usulku. Sekilas dapat kutangkap mata Suminah memancar kekagetan. Dia seperti mahu nanar menyoal. Kuberi isyarat agar dia diam.

(10)”Ini Suminah, buat belanja sementara kamu di kampung. Mudah-mudahan itu dapat sedikit membantu” lalu kuhulur sebuah envelop buatnya. Tambah kaget kelihatanya dia. Mulutnya bergetar mahu berbicara. Aku terus saja mengisyaratkan agar dia diam. Air matanya terus berlinangan.

(11)Aku lantas memohon pamitan: undur diri. Aku bersalaman dengan kedua orang tuanya. Suminah meluru menjabat tanganku. Tunduk mencium kedua tanganku. Terasa airmatanya luluh membasahi jari-jariku. Aku sepantas kilat menarik diri dan melangkah pergi. ”Datang lagi Pak. Pasti ya!” tegas Suminah menatap mataku keras mahu kepastian. ”Ya, InsyaAllah”, balasku.

Hanya Warkah Kutitipkan.

”Bapak perhatikan bener-bener rumah itu, dan ingat jalan ke mari, pintaku pada supir kereta sewaku. Baik Pak, saya juga diam sekitar sini. Saya tahu, itu rumah besar di depan itu adalah rumah Kepala Desa. Saya tahu bener akan dia. Kapan saja bapak mahu ke mari hubungi saja saya, dan saya akan anterkan bapak kemari”, balasnya. Aku kemudiannya hanya diam. Dalam kepalaku mencari jalan. Suminah harus boleh berjalan sendiri. Aku mahu dia kembali sebagai sebermulanya.

(2)Di kamar, di hotel, di katil bekas tidurnya Suminah aku terlentang. Bumi Manusia kudekap erat. Kepalaku mulai mengarang. Aku mencari-cari jalan. Sukar rasanya. Mana mungkin aku bisa menentukan hidupnya manusia lain. Aku cuma kenal dia hanya sedetik dari seluruh perjalanan hidupnya. Aku bukan Tuhan yang mengerti segalanya, jelas atau tersembunyi. Biar saja aku pejamkan mata. Biar saja aku lena dalam dan panjang. Usah aku fikiri si Suminah. Apa ada pada dia? Apa untungnya aku nantinya?

(3)Biar keras mahu kupejam mata. Biar sekental mana rasanya aku mahu melupakan saja Suminah, namun aku tetap gelisah. Aku enggan diam, kepalaku tetap berputar. Aku jadi resah. Kenapa aku harus ketemu dia? Kenapa tidak aku diam dan jangan pedulikan dia? Busukkah? Matikah? Celakakah? Kenapa aku harus peduli? Biawak hidup seperti tergalas di pundakku!

(4)Semua dalam diriku seperti memberontak. Semua seperti mengancam aku. Semua seperti menahan aku dari pedulikan Suminah. Semua seperti tidak mengizinkan aku jadi manusia. Mahu jadi apakah aku? Manusia yang tidak pedulikan manusia? Atau manusia yang bukan manusia? Syaitan? Wah, bukan hanya bila Suminah bersamaku maka syaitan tetap bersamaku, saat aku sendiri sebeginipun, tetap para syaitan mahu mempersetankan aku. Yah, dasarnya syaitan. Tetap juga syaitan di mana-mana dan kapan juga. Godanya tidak memilih tempat dan saatnya. ”Tidakkah mungkin, aku sebetulnya sedang kalah sendiri. Syaitan itu hanyalah pelarian di atas kekalahanku?”, aku cuba mengasak, mempersoal diri sendiri.

(5)Aku bingkas. Aku mandi. Aku ke lobi. Aku keluar berjalan di Taman Senayan. Tadi hujan renyai membasah dan menyejukan alam. Alam begitu segar. Jakarta jadi segar. Aku melangkah secepatnya. Ke mana tujunya aku. Ya Allah. Nyasar: nanar jadinya aku. Suminah, kenapa hadir dirimu menjadikan aku yang nyasar. Penasaran, ah apa bedanya. Resah gundah juga rasanya.

(5) “Pak anter saya ke Tugu Monas” pintaku pada Pak Beca yang ngangur: rehat di sudut jalan. Dia seperti enggan. ”Lumayan jauh itu Pak. Udah jauh malam sebegini. Udah sepi di sana. Air pancurnya udah padam”, jelasnya dia bersungguh-sungguh. “Kalau gitu, kita muter-muter: pusing keliling saja ke mana saja kaki bapak betah ngayuh”. Dia setuju. Dia mengayuh perlahaan. Dia bersiulan. Dia menoleh padaku. ”Apa bapak ngak bisa tidur ya? Gawat ya?”, dia cuba mengusik. ”Saya ketemu cewek. Gawatnya dia. Kini, gawat itu berpindah pada saya”, balasku kesal. ”Anih ya Pak. Gi mana gawatnya dia bisa tertanggung pada bapak” soalnya. Aku tidak menjawap. Aku membisukan diri. Menutup diri sebetulnya. Aku pejamkan mata. Aku dapat rasakan Pak Beca sedang dalam rasa keanihan tentang dirinya aku. Aku tidak peduli. Aklu cuba belajar jadi tidak peduli. Namun, dia juga terus hanya bersiulan sendiri.

(6) “Pak hantar saja saya kembali ke hotel” pintaku. Saat sampai ke kamar, aku menghadap komputer. Aku menulis. Menulis buat Suminah:

.......

25 June, 2011

#Abdullah Chek Sahamat

Writing that complies Bizarre, Odd, Strange, Out of box facts about the stuff going around my world which you may find hard to believe and understand

0 comments:

Copyright © 2010 abc sadong™ is a registered trademark.

Designed by Access. Hosted on Blogger Platform.