.

16/7/09 NO MORE TUAN...

Posted By: Abdullah Chek Sahamat - July 18, 2009

Share

& Comment


Sometimes ago, when friends called me Tuan, I passed back a statement (with sarcastic look in fact), why? Do you want me to chain you (seperti anjing dan tuannya)! My feeling about such a called infact is very uneasy. I feel, if there is a Tuan, surely there is a hamba. Equally irritating, for me, with the culture of Tuan, it seem that we are still in the colonize era? Not merdeka yet! Couple of days back, the DCM talked about the need for civil servant not to act like Tuan. There is no more Tuan, he said! What is the basis for this call?

(2) Surely some would feel there is nothing wrong with the call, Tuan. These group of people, throw (take) such call as a matter of respect. Probably only a few feel otherwise, due to the word Tuan, is sort of an ego massaging term. Doesn't matter how one would feel about the subject, most important is the effect for such a call. If the word Tuan, make one feet hanging high up in the sky, then such call must never be accorded. If it makes one, be more humble, honored and be much more meaningful to the society, thus there is nothing wrong for such term, even we must honored such a person even greater!

(3) Unfortunately, most of us, when being accorded with some sort of social recognition (including such term as Haji, Datuk, etc), our ego seem to superceed our good thought. Slowly, over time, we tend not to have our feet strongly behold to the ground! The deco that being awarded to us seem to put a full stop to our struggle for the betterment of our people, rather we become complacent and sometime focusing fully on our personal course!

(4) In this regard, I wonder why? I'm just guessing, probably, an extract of part of the Novel that I'm improving: Bahtera Membelah Samudra....as stated hereafter might be able to answer to my wonder.

"Lihat sajalah, hati Manan terus-terusan membentak, air matanya kian mengalir deras, sederas peluh jantan yang kian menyimbah tubuhnya, kita agungkan para Raja, Permaisuri, Putera dan Puteri, kita dewakan mereka, bagaikan Tuhan. Kita agungkan dan kita sujud kepada mereka. Semua titah perintah mereka adalah kata keramat yang tidak bisa dilangkah. Inilah bayangan budaya candi Hindu dan Buddha yang mahukan kita hanya taat kepada mereka. Mereka jadikan para raja kita alat penguasaan mereka ke atas kemerdekaan fikiran dan jiwa kita.

Para dewata ini, begitu bijak, begitu halus, memperguna para pembesar kita, mengangkat para pembesar kita sebesar-besar kemahuan nafsu mereka, lantas mengikat mereka dengan segala puja-puji keramat, buat mereka membusung dada, besar kepala. Hakikatnya itu semua adalah pancingan agar mereka terus lupa diri, lupa tanggungan sebagai payung rakyat jelata, mereka akan jadi manut dibalik kulit kemegahan mereka, menurut segala kehendak para dewata candi-candi ini. Pada para Raja inilah para pendita sembunyikan diri. Raja-raja inilah alat bicara mereka. Dari Raja-raja inilah, keluar segala titah yang kita mesti laksanakan. Biar tanpa upah, biar penuh penghambaan. Dan Raja-raja kita adalah boneka hiasan buat penglipur segala lara dan duka nestapa kita, boneka para pendeta ini. Para Raja, bukan lagi payung, bukan lagi pelindung akan hak dan kemerdekaan kita. Manan meluahkan segala jeritan hatinya, penuh kesal, seperti pidato para siasah yang mahu memberontak menumbangkan feudalisma kerajaan.

Lihatlah, Yogyakarta, kononnya Kota lambang kekuasaan Jawa. Di sana, dulunya terbina Borobodhur yang jauh lebih gagah, lebih agung dari Keraton Raja Jawa. Hakikatnya, Yogjakarta, itulah lambang penjajahan Hindu ke atas akal dan fikiran bangsa Jawa kita di sebalik kulitnya agama. Kebesaran Borobodhur, adalah lambang kebesaran penjajahan akal dan jiwa kita di tangan para pendita itu. Segala Raja Jawa dengan mudah sujud di kaki dewata Borobodhur, lantas, anak-anak Jawapun bukan sekadar sujud, malah terus-terusan menjadi hamba kepada nafsu rakus para pendita bagi membina banyak lagi para candi di seluruh Jawa, bukan untuk agama, hanyalah itu bagi kenikmatan para pendita dan mubaligh-mubaligh yang malas dan tiada upaya mahu ke depan atas usaha sendiri. Itulah pegangan yang mereka mahu para penganutnya hanya mengabdi diri, sembah sujud pada para dewatanya, tidak lain hanya itu, seperti para gondrongan ketagihan candu agar mudah diadu bagai lembu tercucuk hidungnya. Pegangan sebegitu sudah tertanam menjadi candu yang sudah meresap jauh dalam urat darah kita. Candu itu sudah menguasai fikiran dan jiwa para penagihnya, para nenek moyang kita. Menjadikan mereka dan kita hamba dan abdi yang tidak merdeka. Melalaikan para pengikutnya, melupakan segala tanggungan kemanusiaan sebenar mereka.

Itulah budaya ikutan anak bangsa kita sehingga kita jadi lalai, kita jadi bangsa suruhan di tanah air sendiri. Itulah mulanya budaya sanjungan tanpa fikiran, itulah budaya manutan tanpa persoalan yang tertanam dalam-dalam dalam tubuh setiap anak bangsa kita Indonesia ini.

Kini, biar Islam sudah tersebar luas, Islam yang sudah memerdekakan kita dari para dewata dan pendita-pendita candi Hindu dan Buddha, namun belenggu kasta atas jiwa dan budaya kita terlalu ulet untuk terungkai. Kita terus leka dipeluk budaya kasta, engan merobah, engan mengerti seruan sebenar Ilahi. Islam kita hanya pada kulitnya, tidak pada isinya.

Kulitnya kita ini Islam, namun isinya kita ini masih juga budaya kasta warisan pegangan Hindu. Manan, mulai berkira-kira nakal, yah, mungkin, amalan Islam kita juga telah dicampur adukkan dengan budaya Hindu yang tebal pada diri kita ini. Maka dengan ini, Allah menurunkan musibah penjajahan agar kita sadar. Namun apakah kita akan sadar, dan bersatu, memerdekakan diri, memerdekakan diri sejajarnya tuntutan Allah, hanya berlandaskan wahyuNya, tidak pada budaya dalam Hindu yang berkurun-kurun mengurung kita ini. Terus-terus mendengus Manan, sambil menumbuk-numbuk tiang induk rumah bambu itu, membuat Pak Dolmat semakin gusar dan resah akan amarah jiwa anaknya ini"

(5) Personally, I love just to be called by my name. Sure as a Malay, the term Che (rather than Tuan) is equally honourable to me. Let keep thing simple, and make our life forever simple! I love that way! You agreed with that George?

Sibu, Sarawak
19 July, 2009

#Abdullah Chek Sahamat

Writing that complies Bizarre, Odd, Strange, Out of box facts about the stuff going around my world which you may find hard to believe and understand

5 comments:

Bayu Senja said...

Panggilan tuan kerana hormat tiada salahnya. Jgn diremehkan perkara yang tulus, terutamanya yang datang dari kampung.Itu sifat mereka, bukan untuk membodek sesiapa.

2.Begitu juga dengan gelaran Haji, Dato, Datu. Datuk dan sebagainya. Itu penghormatan yang diberi,maka terimalah seadanya. Sdra Abdullah pun satu hari akan bergelar Dato, tiada salahnya sekiranya di hati tuan tiada perassan angkuh atau takbur. Kadangkala kita terlalu banyak menyoal atau memikir yang tidak perlu. Yang penting, hati yang tulus dan ikhlas.

Abdullah Chek Sahamat said...

Bila gelaran (dan darjat) sudah melupakan kita akan diri kita, paling dahsyat (saya kira) melalaikan kita tentang nasib bangsa kita, atau menjadikan kita tiada lain hanya untuk segala gelaran yang kita inginkan, saya kira itu bukan perkara tak perlu...itu sudah menjadi sebahagian dari pokok kemunduran kita.

(2) Kita tidak boleh hanya memandang rendah akan hadir dan akibat setitik nila, bahkan seekor lembu nan berlumpur!

DANH said...

Agree... panggilan hormat boleh diterima... panggilan kerana kedudukan dalam kerja juga boleh diterima tetapi jangan bongkak dan angkuh kerana ada seseorang memanggil kita dengan sesuatu gelaran... semua itu boleh hilang jua suatu masa jika kita lalai

Anonymous said...

Asalkan jangan menadah tangan 'mudah-mudahan' atau mudah saja @ bisa saja. refresh. (Make this thing simple.)-Andalusia-

Anonymous said...

...haha..mcm urg kita di kpg2, asal cina jak ditunggahnya taukeh, apa urg bumi sik dpt jadi taukeh juak kah...toke cino yo..katanya...

Copyright © 2010 abc sadong™ is a registered trademark.

Designed by Access. Hosted on Blogger Platform.