Cincin. Tidak pernah diketahui kapan manusia mulai kenal akan cincin. Namun apapun, cincin harus dimengertikan sebagai suatu moment. Ianya adalah suatu yang terindah di mata pengukirnya. Tidak sembarangan orang yang bisa mengukir sebentuk cincin. Kepada pengukir cicin, ilham penciptaannya adalah terhasil dari pemikiran yang tajam dan terindah akan di mana dan untuk apa cincin ukirannya harus berada. Cincin adalah karya terindah pengukirnya. Ianya adalah suatu yang terindah bagi pencintanya. Ianya adalah sesuatu yang terindah bagi pemiliknya. Namun tidak kurang ianya boleh menjadi suatu moment kecelakaan yang harus dibuang jauh-jauh. Sebentuk cicin, berapapun harganya, apapun bahan pembuatannya, pastilah sebagai cicin ianya perlu diperlakukan. Ada yang menggunakannya pada saat-saat paling berharga. Ada yang memakainya, agar dia dikenali sebagai siapa pada darjat apa. Bahkan cincin kukuh pada kedudukannya lantaran maksud keberadaannya juga kukuh. Sebegitu juga, cincin itu tercerai dari kedudukannya lantaran sudah berkecai apa maksud adanya dia pada mulanya. Pada sebentuk cincin, ilham pembikinannya, apa mengertikah kita betapa padanya ada perjalanan hidup kita yang harus kita mengertikan? Di dalam sejarah kebangkitan semula Islam, cincin besar maksudnya. Surat persahabatan Muhammad SAW telah ditolak oleh Maharaja Byzanthium lantaran tidak mempunyai cap mohor. Lalu mohor pertama Islam adalah cincin Muhammad SAW yang bertatahkan Muhammad SAW. Sebelumnya, berakibatkan cincin juga, syaitan dapat memesongkan sebahagian pengikut Sulaiman AS. Syaitan mampu menjadikan cicin Sulaiman AS sebagai landasan syirik yang kini menjadi kegilaan banyak pihak.
(2) Zabur, Taurah, Injil dan Al Quran jelas tentang kejadian manusia. Allah, adalah pencipta manusia. Jika disorot dari agama apapun, tetap semua menunjuk ke Pencipta MahaBerkuasa yang menciptakan apa saja, dan paling istimewa yang dinamakan aku. Maka aku menulis ini, tidak untuk sesiapa, melainkan untuk diriku. Bukan soal aku pelit lokek, sehingga aku harus hanya menulis prihal ini sekadar untuk aku, ini sesungguhnya adalah kerana aku lambat bertanya dan mengerti Kenapa aku hanya mengenal Allah saat segalanya sudah mulai mengundur? Aku tidak kenal Allah sekenal-kenalnya saat aku tajam bisa melihat jauh. Aku tidak mengenal Allah saat jalanku tegap tidak goyah dek apapun. Aku tidak mengenal Allah saat segala kesempatan ada padaku. Kini, aku hanya mulai, dan belum pasti benar-benar kenal dan mengenaliNya di saat segala-gala kian kabur, pudar, lemah dan menghilang. Apakah Allah itu hanya berguna di saat surutnya segala? Kenapa tidak Allah itu kukenali unggul bersama di saat segala kesempatan ada bersamaku?Sesungguhnya, Allah kukenal sekadar Tuhanku, aku belum ikhlas memperakui betapa Dia adalah yang MahaBerkuasa. Aku masih banyak tunduk kepada kuasa-kuasa yang lain-lainya, dan tidak tunduk mutlak kepadaNya yang MahaBerkuasa. Aku masih banyak menduakanNya. Syirik masih tebal membaluti nurani dan fikiranku.
(3) Antara Allah dengan aku, adalah ibarat, si buta di siang hari bolong. Di dalam kecerahan alam maya, aku melihat dan merasa apa saja, namun satupun tidak pernah benar-benar mendekatkan aku kepadaNya. Hanya saat cahaya sudah kian pergi, baru kuamati satu-satu untuk dimegerti akan Dia, sedang kesamaran sudah kian terlalu dekat, maka apakah aku masih bisa dekat kepadaNya. Kenapa begitu telat lambat aku mendekatiNya? Terasa rapuh hidayah yang aku terima. HidayahNya yang ada padaku seperti tidak mendasari jantung hati dan benak fikiranku. Kenapa?
(3) Antara Allah dengan aku, adalah ibarat, si buta di siang hari bolong. Di dalam kecerahan alam maya, aku melihat dan merasa apa saja, namun satupun tidak pernah benar-benar mendekatkan aku kepadaNya. Hanya saat cahaya sudah kian pergi, baru kuamati satu-satu untuk dimegerti akan Dia, sedang kesamaran sudah kian terlalu dekat, maka apakah aku masih bisa dekat kepadaNya. Kenapa begitu telat lambat aku mendekatiNya? Terasa rapuh hidayah yang aku terima. HidayahNya yang ada padaku seperti tidak mendasari jantung hati dan benak fikiranku. Kenapa?
(4) Al Quran, seperti aku mengerti, tercipta untuk aku. Maka, Al Quran, memang aku baca dan sering kubaca. Di saat aku hingusan belum mengerti hiduppun sudah aku mengaji. Paling aku taat sehingga matipun, tetap Al Quran ada paling tidak di sisi dekat perbaringanku. Alhamdullillah, aku sudah kian dekat kepada Al Quran. Dan paling aku taat, setiap kali kalimat Al Quran apapun terloncatkan dari bibirku Bismillah kudahulukan. Namun, sepertinya Bismillah hanya kupakai hormat saat bersama Al Quran, dan bukan dalam segala jalanan hidupku. Saat Al Quran jauh dariku, maka Bismillah juga lanyut menjauh. Aku mulai merasa, saat Bismillah masih sering jauh dariku, maka segala aturan Al Quran, kukira masih bukan jalanan kerasku. Pengsebatian Bismillah dalam semua prilakuku harus menjadi KPI kepada ketaatanku kepada Al Quran dan perakuan mutlakku bahawa Allah adalah yang MahaBerkuasa, tidak ada apa terjadi tanpa restuNya. Tetapi, kenapa aku masih begitu tersengang dari Bismillah? Apakah aku masih ragu dan masih tidak ikhlas mutlak mendaulatkan betapa Allah adalah yang MahaBerkuasa? Tidakkah Bismillah itu adalah perakuan paling mudah untuk aku terus terikat kepada Allah dalam apapun juga? Tidakkah Bismillah adalah pagar kesucian ikhlasku betapa segala perilakuku wajib hanya untuk dan keranaNya.
(5) Biar dalam banyak hal, aku sudah memaksa-maksa agar Bismilah itu harus ada. Tetapi ungkapan Bismillahku masih bersifat terpaksa. Ianya belum terungkap spontan penuh sedar. Kesadaran dan keikhlasan mutlak belum mengiring lafaz Bismillah yang aku ungkapkan. Juga aku lebih banyak lupa untuk mengungkapkannya, biar lantaran kelupaan itu banyak sesal jadinya aku kemudiannya. Kenapakah Bismillah tidak saja menjadi lafaz terbiasa ikhlas bagiku dalam apa juga biar hanya sekadar untuk memulai menyedut nafas panjang? Kenapa? Bismillah tidak dan belum menjadi seluruhnya aku. Contohnya, segala pandanganku tidak bersama Bismillah. Maka saat keghairahan kulihat, maka menjadi onar jalan fikirku. Juga dalam merasa, tidak semuanya kurasakan bersama melekat dengan Bismillah. Segala apapun aku dan perlakuanku, belum juga bersama Bismillah. Bismillah tidak melekat di hatiku. Aku banyak lupa untuk senentiasa bersama Bismillah. Bismillahku terpakai sangat terhad. Tidakkah kelupaan dan kelalaianku untuk sentiasa mengucap Bismillah dalam apapun perbuatanku itu adalah bukti aku masih belum mutlak memperakui betapa Allah adalah yang Mahaberkuasa? Lantaran Bismillah masih tersenggang dari aku, maka aku masih lebih menduakan Allah dari mengungguliNya. Aku belum mengerti maksud MahaBerkuasanya Dia. Dia masih bukan Tuahnku yang mutlak. Banyak yang lain memisahkan aku dengan Dia. Lantaran itu, hidupku masih banyak tersendat-sendat. Astarfirullah. Kenapa sebegitu jadinya aku?
(6) Apa tidak mungkin bahawa kesenggangan aku dengan Bismillah adalah kerana aku tidak mengenali Allah sedekat-dekatnya, paling akrabnya, lantaran aku sebetulnnya tidak mengenali akan diriku sendiri dan hubungan hakikiku dengan Allah? Apa mungkin sebegitu sebabnya? Namaku, aku tahu. Rupaku aku tahu. Segalanya aku aku tahu. Di sudut mana yang aku belum kenal akan diriku? Kemahuanku, aku tahu. Kekuatanku, aku tahu. Bahkan kekuranganku, juga aku tahu. Segalanya aku, aku tahu. Pokoknya aku tahu persis siapanya diriku. Maka di mana lompangnya, biar aku tahu siapa aku, tetapi hatiku, benak fikirku, tidak mengikat aku mutlak kepada Allah dan menyakin diri penuh mutlak betapa segala-gala yang telah dan akan terjadi kepadaku adalah terletak mutlak di bawah kekuasaanNya. Aku masih melihat Ketua Kantorku sebagai pemberi rezeki, pangkat, harta dan kesejahteraan kepadaku. Aku masih melihat Negara sebagai pelidungku dan menjamin segala buatku. Aku masih melihat masyarakat sebagai yang memberi kehormatan kepadaku, dsb. Aku belum dan tidak melihat betapa segala apa juga keperluan, kedudukan, kesenangan, bahkan kecelakaan dsb semuanya datang dari Dia. Lantaran penduaanku terhadap Allah, apakah itu bukan bukti betapa perakuanku Allahuakbar itu masih sekadar ucapan di bibir saja? Aku tidak sebetul-betulnya memperakui Allah itu MahaBerkuasa dan lantaran itu Bismillah harus menjadi budaya hidupku?
(6) Sepertinya sebentuk cincin, ianya boleh saja hanya sekadar sebentuk cincin. Siapa pengukirnya. Apa bahan buatannya. Apa motif senirupa ukirannya. Harganya. Segalanya tentang cincin itu boleh saja dikenali, namun itu belum pasti sangat mendekatkan aku kepada cincin tersebut dan belum pasti aku mengenali cincin itu sekenal-kenalnya, melainkan aku benar-benar mengenali akan pengukirnya. Maka sedalam mana aku mengenali diriku, belum pasti aku mengenali apa lagi mencintai Allah Penciptaku sekuat mungkin. Sesungguhnya, Bismillah hanyalah lambang dalamnya kecintaanku kepada Allah. Saat Bismillah tidak kukuh sebati dalam jiwa ragaku, maka aku masih terlalu jauh dari Allah. Tanpa Bismillah melekat dihati, di benak fikir, terungkap penuh sadar dan ikhlas dalam setiap gerak dan prilaku, maka selagi itu sesungguhnya aku masih banyak meduakan Allah dalam apa saja. Lantaran itu, maka kini, sejauh manakah Imanku sebetulnya. Jika Imanku masih dipsersoalkan, maka taqwaku juga pastinya masih luntur dan kucar kacir. Sesungguhnya, ya Allah, SubhanaAllah, dengan kesadaranku, betapa Bismillah itu adalah prasyarat bagi segala perilakuku, sebagai tanda keikhlasan kesadaranku betapa aku ini tidak lain hanyalah milikMu dan untukMu, maka redhalah agar kunukilkan betapa Bismilllah adalah suatu kewajiban amalan hidupku.
(7) Sesungguhnya, aku ini Allah yang menciptakan. Dari debu dan tanah Dia menciptakan aku. Debu dan tanah adalah bahan kotoran. Siapa mahu dirinya dilitupi debu dan terpalit tanah, bagai kerbau di tengah sawah? Pasti tiada siapa yang mahu, lantaran bahan-bahan itu adalah kotor. Sesungguhnya, tubuhku adalah dari kotoran. Di dalam Injil biar tidak disebut jelas di dalam Al Quran, diperkatakan dalam tempoh penciptaanku, Allah pernah membiarkan aku hanya sebagai patung lompang di taman Firdaus. Pada saat itu, aku adalah kaku. Aku hanyalah ibarat tunggul. Aku bahan mati yang tidak berguna. Malah para iblis berputar-putar bermain-main di dalam tubuh patung lompangku. Aku diperlekeh oleh para iblis sebagai bahan hina. Hanya bila Allah menghembus nafasNya bersama ungkapan Kun Fa Yakun maka menjadilahlah aku sebagai moyang kepada semua umat manusia. Sebegitulah aku, Adam AS kemudiannya menjelma menjadi diriku kini. Dan diriku ini tidak lain hanyalah gumpalan daging dan tulang-tulang dari bersebatian ovum dan sperma yang hanyir busuk, yang juga pasti membusuk kemudiannya. Namun, MahaBerkuasanya Allah menjadikan aku seelok-eloknya aku. Aku bangkit sebagai mahluk Allah paling pinter dan berkuasa. Betapa MahaAgungnya Allah, hanya dari debu, tanah kotoran dan kehanyiran menjadilah aku mahluknya yang paling pinter dan berkuasa. SubhanaAllah.
(8) Sesungguhnya, apakah terlalu payah untuk aku memperakui betapa Allah menentukan segalanya? Tanpa kekuasaan Allah, apakah aku akan wujud sepertinya aku kini? Apa tidak mungkin, tanpa Allah aku sekadar wadah dari runtuhan segala pembusukan, kereputan dan kotoran yang kekal hanya sebagai debu dan tanah, diinjak-injak biar oleh babi dan anjing. Namun dari segala kejijikan maka bangkitnya aku dengan penuh kemuliaan dan kehebatan, kenapa? Allah MahaBijaksana, dari tiada Dia boleh menjadikan ada. Dari hina dina Dia boleh membangkitan aku yang mulia hebat. Itulah tanda-tanda sifat AllahuakbarNya. Namun, tanpa adanya aku, Allah tetap Allah yang tidak luak. Namun, pasti tiadalah aku tanpa adanya Allah. Maka sesungguhnya, penciptaan diriku ini, harus apa kaitannya dengan Allah. Allah tidak membutuhkan aku. Aku juga tidak pernah meminta kepada Allah untuk diciptakan menjadinya aku. Maka penciptaannya aku ini sebetulnya untuk apa dan kenapa? Mungkin lantaran aku belum beroleh jawaban hakiki tentang ini, maka jiwa dan benak fikirku, belum tertusuk betapa Bismillah harus menjadinya pribadiku. Astarfirullah.
(9) Allah menciptakan aku. Tetapi aku tidak pernah meminta Dia ciptakan. Lantaran aku tidak pernah meminta untuk tercipta, maka kenapa aku harus peduli akan Allah? Kebuntuan pada persoalan sebegini bisa saja mengheret aku ke jalan Atheist. Namum Allah telah menciptakan aku dengan akal. Maka pada akal aku harus sandarkan pemikiran kritis selanjutnya. Sesungguhnya, di alam semesta ini, tidak satupun pernah meminta agar Allah menciptakan mereka. Bulan tidak pernah meminta untuk tercipta sebagai bulan. Matahari tidak pernah meminta untuk sekadar menjadi bahan bakar menerangi alam. begitu juga Jupiter tidak pernah meminta terus terapung terasing jauh membeku. Begitu juga air, batu, pohon-pohon, segala haiwan dan segala macam yang dinamakan mahlukNya. Bahkan Neraka dan Syurgapun, aku pasti tidak pernah meminta untuk Allah ciptakan. Maka seandainya, semua mahluk Allah mulai mempersoal sebegitu, maka di situlah akhirnya titik kiamat akan berlaku di mana, segalanya akan Allah musnahkan lantaran semua sudah ingkar akan Dia. Pada saat Kiamat berlaku, segalanyanya kembali sebagai debu-debu yang tiada berguna. Inilah janji Al Quran. Saat aku dan segala setara aku mulai ingkar akan Allah, maka Kiamat akan meletus dan kehancuran akan berlaku. Di saat itu, segalanya sudah tiada bererti melainkan bagi aku dan mereka yang hidup dengan Bismillah. Sesungguhnya, atas sifatnya Allahuakbar dan MahaBijaksana, Allah tidak perlu mendapat permintaan dari siapapun untuk Dia menjelmakan kekuasaanNya. Kemahuan Allah untuk mencipta dan berbuat apa saja, tidak perlu pada kehendak sesiapa dan apapun melainkan atas sifat Mahakuasa dan MahaBijaksanaNya. Maka lantaran aku telah Allah ciptakan, samada kerana aku mahu atau tidak mahu, maka MahaBesarnya sifat Allah harus aku perakui. Sebabnya mudah saja. Dari sebermula aku disenyawakan di dalam rahim ibu, sehingga aku kini sudah menjangkau 56 tahun hidup, sesungguhnya aku telah menggunakan segala nikmat Allah untuk hidup dan terus hidup. Betapa, jika aku tidak pernah mengguna segala nikmat Allah maka sejak dari ovum dan sperma lagi aku sudah kembali, mati sebagai bahan busuk yang tiada ertinya. Natijahnya, aku kini telah dan terus hidup, samada aku rela atau tidak rela, maka aku sudah berhutang kepada Allah. Segala hutangku harus aku bayar agar aku terus hidup sebagai aku yang Allah terus-terus rahmati. Untuk itu aku berkira, Bismillah harus menjadi dasar segala sifat dan prilakuku.
(10) Ya Allah. Jadikan Bismillah sebagai permulaan segala langkah dan tingkahku. Engkau jadikanlah Bismillah sebagai nur yang senentiasa melekat dan mensirna pada hati dan benak fikiranku. Dengan Bismillah aku harus mengaku Engkaulah Penciptaku yang MahaBerkuasa dan MahaBijaksana. Jadikanlah Bismillah sebagai pagar untuk aku tidak takut apa lagi berlaku belot dan aku benar-benar hanya patuh dan berserah kepadaMu dalam apa juga. Ya Allah, Engaku redhailah agar Bismillah membimbing aku di jalan bersih, ikhlas, dan amanah dan hanya kepada Engkau aku bergantung diri sebagai yang menciptakan aku paling pinter dan mulia bair dari bahan kotor dan hanyir yang kemudiannnya kes itu juga aku akhirnya melainkan Bismillah Engaku lekatkan di hati dan fikiranku. SubhanaAllah. Allahuakbar.
Kuching, Sarawak
22 Decembar, 2015
(5) Biar dalam banyak hal, aku sudah memaksa-maksa agar Bismilah itu harus ada. Tetapi ungkapan Bismillahku masih bersifat terpaksa. Ianya belum terungkap spontan penuh sedar. Kesadaran dan keikhlasan mutlak belum mengiring lafaz Bismillah yang aku ungkapkan. Juga aku lebih banyak lupa untuk mengungkapkannya, biar lantaran kelupaan itu banyak sesal jadinya aku kemudiannya. Kenapakah Bismillah tidak saja menjadi lafaz terbiasa ikhlas bagiku dalam apa juga biar hanya sekadar untuk memulai menyedut nafas panjang? Kenapa? Bismillah tidak dan belum menjadi seluruhnya aku. Contohnya, segala pandanganku tidak bersama Bismillah. Maka saat keghairahan kulihat, maka menjadi onar jalan fikirku. Juga dalam merasa, tidak semuanya kurasakan bersama melekat dengan Bismillah. Segala apapun aku dan perlakuanku, belum juga bersama Bismillah. Bismillah tidak melekat di hatiku. Aku banyak lupa untuk senentiasa bersama Bismillah. Bismillahku terpakai sangat terhad. Tidakkah kelupaan dan kelalaianku untuk sentiasa mengucap Bismillah dalam apapun perbuatanku itu adalah bukti aku masih belum mutlak memperakui betapa Allah adalah yang Mahaberkuasa? Lantaran Bismillah masih tersenggang dari aku, maka aku masih lebih menduakan Allah dari mengungguliNya. Aku belum mengerti maksud MahaBerkuasanya Dia. Dia masih bukan Tuahnku yang mutlak. Banyak yang lain memisahkan aku dengan Dia. Lantaran itu, hidupku masih banyak tersendat-sendat. Astarfirullah. Kenapa sebegitu jadinya aku?
(6) Apa tidak mungkin bahawa kesenggangan aku dengan Bismillah adalah kerana aku tidak mengenali Allah sedekat-dekatnya, paling akrabnya, lantaran aku sebetulnnya tidak mengenali akan diriku sendiri dan hubungan hakikiku dengan Allah? Apa mungkin sebegitu sebabnya? Namaku, aku tahu. Rupaku aku tahu. Segalanya aku aku tahu. Di sudut mana yang aku belum kenal akan diriku? Kemahuanku, aku tahu. Kekuatanku, aku tahu. Bahkan kekuranganku, juga aku tahu. Segalanya aku, aku tahu. Pokoknya aku tahu persis siapanya diriku. Maka di mana lompangnya, biar aku tahu siapa aku, tetapi hatiku, benak fikirku, tidak mengikat aku mutlak kepada Allah dan menyakin diri penuh mutlak betapa segala-gala yang telah dan akan terjadi kepadaku adalah terletak mutlak di bawah kekuasaanNya. Aku masih melihat Ketua Kantorku sebagai pemberi rezeki, pangkat, harta dan kesejahteraan kepadaku. Aku masih melihat Negara sebagai pelidungku dan menjamin segala buatku. Aku masih melihat masyarakat sebagai yang memberi kehormatan kepadaku, dsb. Aku belum dan tidak melihat betapa segala apa juga keperluan, kedudukan, kesenangan, bahkan kecelakaan dsb semuanya datang dari Dia. Lantaran penduaanku terhadap Allah, apakah itu bukan bukti betapa perakuanku Allahuakbar itu masih sekadar ucapan di bibir saja? Aku tidak sebetul-betulnya memperakui Allah itu MahaBerkuasa dan lantaran itu Bismillah harus menjadi budaya hidupku?
(6) Sepertinya sebentuk cincin, ianya boleh saja hanya sekadar sebentuk cincin. Siapa pengukirnya. Apa bahan buatannya. Apa motif senirupa ukirannya. Harganya. Segalanya tentang cincin itu boleh saja dikenali, namun itu belum pasti sangat mendekatkan aku kepada cincin tersebut dan belum pasti aku mengenali cincin itu sekenal-kenalnya, melainkan aku benar-benar mengenali akan pengukirnya. Maka sedalam mana aku mengenali diriku, belum pasti aku mengenali apa lagi mencintai Allah Penciptaku sekuat mungkin. Sesungguhnya, Bismillah hanyalah lambang dalamnya kecintaanku kepada Allah. Saat Bismillah tidak kukuh sebati dalam jiwa ragaku, maka aku masih terlalu jauh dari Allah. Tanpa Bismillah melekat dihati, di benak fikir, terungkap penuh sadar dan ikhlas dalam setiap gerak dan prilaku, maka selagi itu sesungguhnya aku masih banyak meduakan Allah dalam apa saja. Lantaran itu, maka kini, sejauh manakah Imanku sebetulnya. Jika Imanku masih dipsersoalkan, maka taqwaku juga pastinya masih luntur dan kucar kacir. Sesungguhnya, ya Allah, SubhanaAllah, dengan kesadaranku, betapa Bismillah itu adalah prasyarat bagi segala perilakuku, sebagai tanda keikhlasan kesadaranku betapa aku ini tidak lain hanyalah milikMu dan untukMu, maka redhalah agar kunukilkan betapa Bismilllah adalah suatu kewajiban amalan hidupku.
(7) Sesungguhnya, aku ini Allah yang menciptakan. Dari debu dan tanah Dia menciptakan aku. Debu dan tanah adalah bahan kotoran. Siapa mahu dirinya dilitupi debu dan terpalit tanah, bagai kerbau di tengah sawah? Pasti tiada siapa yang mahu, lantaran bahan-bahan itu adalah kotor. Sesungguhnya, tubuhku adalah dari kotoran. Di dalam Injil biar tidak disebut jelas di dalam Al Quran, diperkatakan dalam tempoh penciptaanku, Allah pernah membiarkan aku hanya sebagai patung lompang di taman Firdaus. Pada saat itu, aku adalah kaku. Aku hanyalah ibarat tunggul. Aku bahan mati yang tidak berguna. Malah para iblis berputar-putar bermain-main di dalam tubuh patung lompangku. Aku diperlekeh oleh para iblis sebagai bahan hina. Hanya bila Allah menghembus nafasNya bersama ungkapan Kun Fa Yakun maka menjadilahlah aku sebagai moyang kepada semua umat manusia. Sebegitulah aku, Adam AS kemudiannya menjelma menjadi diriku kini. Dan diriku ini tidak lain hanyalah gumpalan daging dan tulang-tulang dari bersebatian ovum dan sperma yang hanyir busuk, yang juga pasti membusuk kemudiannya. Namun, MahaBerkuasanya Allah menjadikan aku seelok-eloknya aku. Aku bangkit sebagai mahluk Allah paling pinter dan berkuasa. Betapa MahaAgungnya Allah, hanya dari debu, tanah kotoran dan kehanyiran menjadilah aku mahluknya yang paling pinter dan berkuasa. SubhanaAllah.
(8) Sesungguhnya, apakah terlalu payah untuk aku memperakui betapa Allah menentukan segalanya? Tanpa kekuasaan Allah, apakah aku akan wujud sepertinya aku kini? Apa tidak mungkin, tanpa Allah aku sekadar wadah dari runtuhan segala pembusukan, kereputan dan kotoran yang kekal hanya sebagai debu dan tanah, diinjak-injak biar oleh babi dan anjing. Namun dari segala kejijikan maka bangkitnya aku dengan penuh kemuliaan dan kehebatan, kenapa? Allah MahaBijaksana, dari tiada Dia boleh menjadikan ada. Dari hina dina Dia boleh membangkitan aku yang mulia hebat. Itulah tanda-tanda sifat AllahuakbarNya. Namun, tanpa adanya aku, Allah tetap Allah yang tidak luak. Namun, pasti tiadalah aku tanpa adanya Allah. Maka sesungguhnya, penciptaan diriku ini, harus apa kaitannya dengan Allah. Allah tidak membutuhkan aku. Aku juga tidak pernah meminta kepada Allah untuk diciptakan menjadinya aku. Maka penciptaannya aku ini sebetulnya untuk apa dan kenapa? Mungkin lantaran aku belum beroleh jawaban hakiki tentang ini, maka jiwa dan benak fikirku, belum tertusuk betapa Bismillah harus menjadinya pribadiku. Astarfirullah.
(9) Allah menciptakan aku. Tetapi aku tidak pernah meminta Dia ciptakan. Lantaran aku tidak pernah meminta untuk tercipta, maka kenapa aku harus peduli akan Allah? Kebuntuan pada persoalan sebegini bisa saja mengheret aku ke jalan Atheist. Namum Allah telah menciptakan aku dengan akal. Maka pada akal aku harus sandarkan pemikiran kritis selanjutnya. Sesungguhnya, di alam semesta ini, tidak satupun pernah meminta agar Allah menciptakan mereka. Bulan tidak pernah meminta untuk tercipta sebagai bulan. Matahari tidak pernah meminta untuk sekadar menjadi bahan bakar menerangi alam. begitu juga Jupiter tidak pernah meminta terus terapung terasing jauh membeku. Begitu juga air, batu, pohon-pohon, segala haiwan dan segala macam yang dinamakan mahlukNya. Bahkan Neraka dan Syurgapun, aku pasti tidak pernah meminta untuk Allah ciptakan. Maka seandainya, semua mahluk Allah mulai mempersoal sebegitu, maka di situlah akhirnya titik kiamat akan berlaku di mana, segalanya akan Allah musnahkan lantaran semua sudah ingkar akan Dia. Pada saat Kiamat berlaku, segalanyanya kembali sebagai debu-debu yang tiada berguna. Inilah janji Al Quran. Saat aku dan segala setara aku mulai ingkar akan Allah, maka Kiamat akan meletus dan kehancuran akan berlaku. Di saat itu, segalanya sudah tiada bererti melainkan bagi aku dan mereka yang hidup dengan Bismillah. Sesungguhnya, atas sifatnya Allahuakbar dan MahaBijaksana, Allah tidak perlu mendapat permintaan dari siapapun untuk Dia menjelmakan kekuasaanNya. Kemahuan Allah untuk mencipta dan berbuat apa saja, tidak perlu pada kehendak sesiapa dan apapun melainkan atas sifat Mahakuasa dan MahaBijaksanaNya. Maka lantaran aku telah Allah ciptakan, samada kerana aku mahu atau tidak mahu, maka MahaBesarnya sifat Allah harus aku perakui. Sebabnya mudah saja. Dari sebermula aku disenyawakan di dalam rahim ibu, sehingga aku kini sudah menjangkau 56 tahun hidup, sesungguhnya aku telah menggunakan segala nikmat Allah untuk hidup dan terus hidup. Betapa, jika aku tidak pernah mengguna segala nikmat Allah maka sejak dari ovum dan sperma lagi aku sudah kembali, mati sebagai bahan busuk yang tiada ertinya. Natijahnya, aku kini telah dan terus hidup, samada aku rela atau tidak rela, maka aku sudah berhutang kepada Allah. Segala hutangku harus aku bayar agar aku terus hidup sebagai aku yang Allah terus-terus rahmati. Untuk itu aku berkira, Bismillah harus menjadi dasar segala sifat dan prilakuku.
(10) Ya Allah. Jadikan Bismillah sebagai permulaan segala langkah dan tingkahku. Engkau jadikanlah Bismillah sebagai nur yang senentiasa melekat dan mensirna pada hati dan benak fikiranku. Dengan Bismillah aku harus mengaku Engkaulah Penciptaku yang MahaBerkuasa dan MahaBijaksana. Jadikanlah Bismillah sebagai pagar untuk aku tidak takut apa lagi berlaku belot dan aku benar-benar hanya patuh dan berserah kepadaMu dalam apa juga. Ya Allah, Engaku redhailah agar Bismillah membimbing aku di jalan bersih, ikhlas, dan amanah dan hanya kepada Engkau aku bergantung diri sebagai yang menciptakan aku paling pinter dan mulia bair dari bahan kotor dan hanyir yang kemudiannnya kes itu juga aku akhirnya melainkan Bismillah Engaku lekatkan di hati dan fikiranku. SubhanaAllah. Allahuakbar.
Kuching, Sarawak
22 Decembar, 2015
1 comments:
Assalamualaikum .
Cincin adalah sebentuk perhiasan yang indah . Ia akan menjadi lebih indah apabila
sesuai di jari pemakainnya . Cincin juga membawa pengertian yang indah pada
sebuah kehidupan dan akan menjadi lebih indah apabila semua impian menjadi
kenyataan .
Di riwayatkan pada zaman SAW , Baginda saw suka berjalan sekitar kota Madinah .
Tujuannya untuk meninjau apa saja yang berlaku sekitar kota itu , selain bertanya
khabar , menziarahi dsb .
Baginda juga suka berehat berhampiran di sebuah telaga Asim .
Satu hari Bagindasaw duduk di tepi telaga itu . Sambil duduk , di tangannya ada sebatang ranting kayu lalu di kuiskan air di dalam telaga itu .
Tidak lama kemudian datang Syaidina Abu Bakar menghampiri dan duduk di sebelah
Baginda . Lalu Bagindasaw mengajukan soalan , " mahukah engkau aku khabarkan siapakah ahli syurga " , ya jawab Sy Abu Bakar . " engkau adalah ahli syurga itu " kata Saw .
Kemudian datang pula Syaidina Umar duduk di kiri Baginda saw .
Soalan yang sama di ajukan oleh Bagindasaw dengan jawaban yang sama dan betapa gembiranya kedua sahabat itu .
Di rawayatkan juga , satu hari cincin SAW telah jatuh ke dalam telaga itu , lalu
para Sahabat telah menimba airnya untuk mendapatkan cincin tersebut .
Rujuk - Sehari dalam hidup Rasulullah saw .
Semuga kita adalah antara khabar gembira yang di bawa oleh Baginda saw .
Salam 24th Rejab 1437 H .
Wassalam .
Post a Comment