.

12/1/12 YANG MENEGUH KEMBALIKU....

Posted By: Abdullah Chek Sahamat - January 17, 2012

Share

& Comment


Desanya CiJinJing. Di kawasan bukit-bukit di Barat Kota Bandung. Kacamatan Gununghalu. Jalan ke sini, teduh pengkang pengkol, berliku-liku, namun mengasyikan menghijau, biar aduh, tulang pinggul, punggong tergoncang bisa boleh tercabut sendi dari tempurungnya. Tempatnya Pesantren CiJinJing.


(2) Sekilas gambar, indah kata wisata pengunjung sepertiku. Sanggup membayar seberapapun harga sepatutnya untuk aroma indah dan lembut sebegini. Di Puncak Kota Bandung, pasti bisa ternilai Rp4,500,000 atau RM1,500.00 semalaman. Di sini, segalanya tiada nilai, segalanya gratis, percuma hadiah Ilahi untuk warganya yang ngak mampu membayar. Inilah yang dikatakan keindahan dan kekayaan dalam kemiskinan.

(3) Di sini anginnya sering bertiup basa-basa, nyaman, lembut. Dingin. Di awal pagi, awan diam-diam saling berpisah. Mentaripun, menghadirkan diri di celahan pintu awan, girang menghangatkan. Segar dan berseri segalanya. Burung-burung paling riang lagaknya. Desa CiJinJing, warganya penuh tekun melangkah menyambut damainya alam.

(4) Saat seruan fardhu sembahyang di panggil, seluruh alam bergema dengan suara azan yang berkumandang dari segenap pelbagai desa yang berdekatan. Mushola dan Masjid sepertinya saling berpanggilan kepada para Jemaah untuk hadir memakmurkan tempat-tempat ini. Paling sayu di subuh sekitar jam 0430, aluan ngajian dan azan dari corong-corong pembesar suara menerawang bersama titik-titik kabut subuh, meresap mengetuk setiap telinga, biar ada sebahagian pasti menarik selimut dengan lebih kemas.

Kasihku Tumpah Di Jalanan

Seperti selalu, saban pagi dan sore, aku duduk di bangku plastik merah, di anjung depan wah katanya rumah, sebetulnya gubuk, sekadar tempat berteduh, asal tidur ngak ketiban hujan juga sepertinya. Rumah tempat kudiam, duduknya di atas bukit, dan di depannya sebuah Masjid lama sedang diubahsuai. Di kelam malam pekat, dari teritisan tirisan dinding, pasti boleh kita hitung seluruh bintang nan berkerdipan, bertaburan. CiJinJing, saat mentari diam penuh, dinginnya mengigit jauh ke dalam tulang benulang bagai kemiskinan dan kepayahan hidup mencengkam perih tengorok leher seisi warganya.

(2) Di samping sebelah kiri rumah kudiam, ada sebuah lagi rumah panggung duduk di atas tanah. Di situ, anak kecil, bangun paginya aku tunggui penuh sabar. Namanya An-An, seusia tiga tahunan. Nanti pasti ibunya akan mendukung dia ke pinggir kolam, mencuci punggungnya yang tadi malam basah ompolan pada pancuran air gunung, di depan rumahnya. Manis, comel, matanya bundar hitam pekat, sering saja melirik kepadaku, saat namanya akan kupanggil. Dan ibunya, pasti menuding: ”Mau main sama om ya?”. Tubuhnya putih bersih. Rambutnya disingkat ke bahu, halus, melambai-lambai dan tangannya dengan jari-jari halus, sering saja menyibak, menguak rambutnya ke belakang saat dihembus angin lewat wajahnya yang memanggil-manggil. Sepatunya warna unggu. Dia gemar berbaju unggu muda. Jalannya bertatih-tatih, namun tertap lincah. Ngomelnya, banyak aku ngak ngerti, bahasanya anak-anak Sunda. Sudah sepuloh hari aku memancing, menyapa dia, hanya dengan milky chocolate baru dia malu-malu menghampiriku. Aku secepatnya akan merengkuh dia, dan dia berusaha sekerasnya merengek dan melepaskan diri.

(3) Lantas, rumah itu, kupanggil saja rumah keluarganya si An-An, yang di dalamnya terhuni bapanya, ibunya, datuk, dan bibiknya. Dindingnya separuh dari bata dan separuh dari anyaman bamboo. Atapnya dari genting tanah liat sawah di bakar masak. Kalau nakal, pasti saja bisa nginjen, mengintai dari lobang-lobang jaringan anyaman bamboo. Apa lagi kalau mahu mencuri. Cuma, apa mahu di intai dan di curi?

(4) Di depannya ada tiga kolam ikan. Saban pagi, bibiknya si An-An, akan menabur ricihan dedaun buat pangganan ikan-ikan nila, tilapia hitam. Berebut-rebut ikan itu menyambar ricihan-ricihan daun-daun, sebetulnya hanya irisan-irisan rumput-rumput berdaun lembut. Ikan-ikan itu, seperti kerbau layaknya. Makannya rumput. Hari-hari rumput. Hanya entah kehidupan apa yang berbaur lumpur di dasar kolam yang menjadi makanan lanjutannya. Hari-hari bergulat di lumpur berebut seadanya untuk terus hadir dan hidup. Rasanya, ikan-ikan itu sekadar ngak mahu mati terpaksa hidup sebelum matinya di wajan, kuali goreng menjadi juadah panganan si An-An sekeluarga. Hari-hari tercungap-cungap, menghirup nafas, lelah bagai An-An, saat dia kurengkoh kuat ngak mahu kulepas. Atau apa mungkin ikan-ikan itu sedang melafas doa kepada Ilahi, meminta kehidupan mereka dilimpahi barakah buat nikmat manusia-manusia payah di sekelilingnya An-An?

(5) Di pinggir kiri ke bawah sedikit bukit, terbentang sawah bertingkat-tingkat. Padi-padi mulai menguning. Ada yang masih hijau baru mengurai, membunting. Di kejauhan, segalanya hijau membiru. Lunak sekali buat santapan mata di awal bangunnya hari dan saat mentari mulai pejam. Kabut dari turunan awam merentas bukit-bukit dan lembah, menyamar dan mengindahkan hamparan alam ini. Dalam tiupan angin, tangkai padi kuning berisi meliuk-liuk, melintuk bagai meratip bertasbih kepada Ilahi. Padi, kuhemat, sifat syukurnya, mengatasi rasa syukur semua ciptaan lainNya. Tidak pernah ia membantah atas apapun kejadiannnya. Bah, panas, angin, manusia, tikus, burung, serangga, ulat, apa saja, semua yang mahu menjadikan dirinya panganan tetap saja dia terima penuh syukurnya. Cuma, petani resahnya hidup bersama padi jarang terubat. Sahabat padi selain dirinya, tetap musuh manusia. Manusia, hidupnya atas permusuhan sedang padi, resminya: Semakin berisi, semakin tunduk, menampung hidup segala.

(6) Di depan rumahnya si An-An, bangun menjengah menyaksi seluruh isi desa, rumahnya Shanda. Shanda adalah sepupunya si An-An. Kedua ibu mereka adalah adik beradik, anak Kiai Pengusaha Pesantren CiJinJing. Shanda, anak umuran empat tahun. Sering saja hadir mengaji, berkerudung manis. Ada masa-masanya, dia membimbing An-An, berdua, dan menemani aku duduk-duduk santai di anjung. Cuma, korbannya, aku harus menyediakan coklat snicker yang sememangnya sentiasa kusimpan buat umpanan keduanya. Aku, Shandra dan An-An, kami sudah mulai ngobrol, bercerita, cuma rasanya seperti itik ngomong sama ayam. Aku lebih banyak mengungkapkan Oh Ya dan Apa Itu? dari mengerti apa maksud keduanya dalam setiap bicara mereka.

(7) Hari ini adalah hari paling bahagia dapat aku rasakan. Tengah hari tadinya, aku ngak tahu bagaimana mulanya, Shanda tiba-tiba mahu ikut aku melihat kerja-kerja ubahsuaian Masjid yang sedang berjalan. Kami berbimbing tangan. Dia mengikut ke mana saja aku pergi. Sampai, kami berjalan ke jalan besar, untuk jajan beli parmen gula-gula buat aku terus mengikat dia agar terus saja rapat padaku. Di tengah jalan, hujan turun dan manusia berhati belas menghulur payung buat kami berdua. Tetangga yang kami lewati, semua seperti tertegun. Kami bagai kekasih yang engan terpisah. Jiwaku benar-benar bersatu pada anak cilik ini. Ilahi, betapa agungnya Engkau, saat aku sebetulnya sedang kering kasih, masih tetap Engkau datangkan yang menerima kasihku tanpa soal. Apakah ertinya ini? Apa aku harus saja terus memberi dari menerima?, soalku diam. Namun, hatiku tetap kembang segar, benih kutabur, kembang tetap hadir biar sekadar sekejap kuhirup harumnya.

(8) Paling menguncangkanku, Shanda dan An-An manut mahu saja bila kuajak makan sore bersama. Tanpa banyak bicara, keduanya mengambil piring lantas di berikan sekeping telur goring seorang dan nasi. Mereka duduk tersimpuh penuh hormat di sebelahku. Bila kutawarkan sayur dan gulai daging, mereka ngak mahu, cukup sekadar nasi dan telur. Tiba-tiba saat aku mencapai Sos ABC Cili-Bawang Putih kedua-dua mereka juga mahukan sos tersebut. Amat berselera sekali keduanya makan bersama sos. Cuma Shanda sedikit kepedasan lalu mencapai saja gelas air kepunyaanku. Benar-benar mereka berdua makan dengan sesungguhnya. Aku amat terasa melas melihat keduanya sebegitu enak dan berselera makan. Mereka benar-benar makan sesungguhnya. Di rumah, aku pasti mereka hanya makan nasi, sama kicap dan ikan masin. Saban tengahari dan sore aku menghidu bau gorengan ikan masin dari rumah-rumah di sebelah rumah kudiam.

(9) Selepas makan, aku mengajak keduannya untuk bersama mengembalikan payung yang dipinjamkan tetanga tadi. Anih, dan amat menyentuh. Keduanya mahu berpimpin tangan bersama aku menuruni bukit menuju ke rumah tetanga tadi. Melewati rumah-rumah di sekelingnya semua tersenyum dan menegur: ”Wah Mas sudah punya anak di sini? Comel bener ya? Cewek lagi itu! Shanda sama An-An, apa mahu ikut om ke Malaysia?”. Aku hanya bisa melempar senyuman atas semua teguran itu. Shanda dan An-An seperti mahu bercerita kepadaku, namun terlalu sedikit yang aku mengerti. Sesekali kami terpaksa minggir bagi memberi laluan motorsikal berlalu.

(10) Malamnya saat aku sujud, airmataku berderai tanpa diundang. Kedua wajah anak-anak itu hadir di sejadah sujudku. Aku benar-benar menangis, betapa aku jadi sangat tersentuh melihat gelagat keduannya. Betapa kemiskinan dan kepayahan hidup kedua ibu bapa mereka belum mereka sadari. Paling menyentuh, betapa mereka sangat menghargai kasih secebis dan sementara yang dapat kukongsikan.

(11) Terlintas di fikiranku, betapa aku telah memenangi hati anak-anak ini lewat umpanan: ”Apa harus aku merasuah anak-anak ini? Rasuahkah namanya ini? Apa niatku? Mahu bersahabat atau rasa seorang ayah yang melas, kasihan melihat anak-anak sebegitu terpaksa hidup tercungap-cungap bersama keluarga yang payah dan resah?. Aku sangat berharap anak-anak ini nanti saat dewasa mereka, jangan mudah terumpan sebagaimana yang berlaku saat sebegini. Indonesia, tanahair mereka sangat payah hanya kerana bapak-bapak mereka mudah saja mahu diumpan tanpa ada rasa sesal akan kecelakaan yang ditanggung oleh bangsa mereka.

(12) An-An dan Shanda, keduanya, adalah hiburan bagiku dalam sepi-sepi di kejauhan sebegini. Pada keduanya, aku cuba melihat caranya, bangsaku apakah mereka siap siaga untuk merangkak, bertatih, berjalan atau berlari? Atau tidakkah mungkin banyak dari mereka akan terus saja termanggu seperti aku, menikam lihat ke kejauahan saat An-An dan Shanda tiada bersama. Dan dalam benakku, semua rasa itu, ke manakah akan aku hanyun tubuhku nantinya?

(13) Buat An-An dan Shanda, aku berdoa, semoga di Amin segala padi dan ikan, semoga kalian mendapat rahmat dari kehadiranku. Semoga kalian akan aku ketemui dalam jayanya nanti ”Ya Ilahi, piliharalah ummahMu ini. Jangan mereka terus saja susah dan payah. Tiada mereka mengerti akan segala ujian dariMu. Aku takut mereka kebentur dan kalah!”.

Hijau dan Merah

Maslow berbicara dengan tegar. Betapa manusia itu harus dulu dipenuhi kebutuhan keperluan asas lahiriah hidupnya. Kemudian baru terfikir langkah bagi kepuasan lainnya. Namun di sini, Maslow pasti tercengang. Tidak sebegitu hukum sosialnya. Kaki seperti di atas, kepala di bawah. Terbalik dari apa yang Maslow hujahkan.

(2) Nyantri, mondok dalam bahasa Melayu Kelantan, adalah proses di mana seorang anak-anak sekitar 3-18 tahun diserahkan ke sebuah Pusat Pengajian milik seorang ilmuan Islam, di sini disebut Pesantren, di Kelantan adalah Pondok, di Pattani adalah Madrasah, khusus untuk belajar soal-soal batiniah keIslaman. Anak-anak ini, juga akan turut menghadiri sekolah awam yang berdekatan jika mereka mahu.

(3) Anak-anak santri, kebutuhan batiniah jiwa mereka terlebih dahulu diasah kental. Dari segenap desa dekat dan jauh, mereka merelakan diri merempuh kehidupan sekadarnya. Kamarnya kecil, supek. Tidur tiada berkasur tilam, apa lagi dinamakan ranjang katil. Hanya beralas tikar yang sudah lusuh dan berlobang-lobang.Tidak ada selimut yang menghangatkan. Makan sekadarnya, selalunya hanya nasi dan ikan masin. Beralas daun pisang dan dikongsi bersama. Tiada langsung kesempurnaan. Segalanya di kerjakan sendiri. Kecil atau besar, anak-anak santri diuji,diasak untuk tahan susah, kental kepada kepayahan. Dunia mereka sepertinya tidak hadir di bumi. Mereka belajar membaca dan menghafal Al Quran, bertasbih, meratip, berzikir, mentelaah segala tafsir Al Quran dan Hadith serta meneliti segala kitab tulisan para ulama silam berkait dengan segala hokum hakam Islam, tertunduk-tunduk bagai bangau mematok ikan, saban hari dari subuh membawa ke malam.

(4) Muka mereka pucat. Tubuh mereka kurus. Sungguh tidak terurus. Suruh apa saja, pasti mereka akan kerjakan tanpa berfikir tentang upah atau ganjaran. Mereka dididik untuk tidak meminta. Mereka sepertinya, lebih memberi dari menerima. Paling ketara, para santri puteri, sikap manut mereka paling mengkagumkan. Mereka dididik untuk menerima, jangan meminta. Isteri solehan jadi akhirnya. Wajah syukur dan rela mereka, sukar untukku mengerti. Sepertinya, segala tuntutan nafsu ditundukkan dengan hebat. Cuma, apa erti solehah mereka jika tetap banyak urusan lahairiah masih terlalu tipis untuk mereka mengerti?

(5) Juga aku paling pilu, kenapa hanya mereka yang miskin, hanya mereka yang tidak mampu untuk melanjutkan pelajaran diasuh sebegini rupa? Batiniah mereka dibersihkan. Kesabaran, kesyukuran, dan keikhlasan mereka dibina dan dikentalkan. Dunia mereka lain dari yang didepani. Kemahiran mereka untuk mendepani akhirat menggunung tinggi, namun kebijaksanaan untuk mereka hidup dan menyuburkan masyarakat menjadi kelam dan padam. Kehadiran mereka di dalam masyarakat tidak ubah bagai rusa masuk kampong. Mungkin kebingungan melihat dan merasa masyarakat yang lain dari yang mereka pelajari dan mengerti. Pasti kelainan dan keterasingan mendekati mereka. Kebersihan, kesabaran, kesyukuran dan keikhlasan mereka menjadi hanya asset pribadi tidak tertebar kepada masyarakat. Masyarakat mengasing, mereka terasing. Hanya kematian menyatukan mereka, dalam tangis sedar yang terlambat! Mereka dipedulikan saat musibah kecelakaan menerpa, untuk berdoa. Sempit sekali erti hadirnya mereka!

(6) Sedang yang mampu, berada, dan bakal mentadbir masyarakat dan Negara, batiniah mereka tidakpun di bentuk sebegitu rupa. Jiwa mereka adalah terdidik dalam alam persaingan. Profesional katanya. Perhitungan mereka adalah kemenangan dan terus menang, lantas pasti ada yang kalah dan parah. Hasad dan kedengkian menyubur kuat. Dendam membara. Bunuh-membunuh dalam pelbagai cara dan rupa menjelma menghantu meresahkan. Kendiri akhir jadinya. Masyarakat entah ke mana. Cuma kematian juga daya penyatu, biar hanya pura-pura!

(7) Kita sepertinya sedang membina dua kelompok manusia hijau dan merah. Dulu aku berfikir tentang hitam dan putih, tidak, sekarang aku sadar kita sebetulnya sedang membina kelompok hijau dan merah. Kelompok yang terus berjalan, biar lampunya hijau-merah atau merah-hijau. Kita tidak membina manusia-manusia putih iaitu Muslimin Profesional atau mungkin sebahagian enak mengatakan sebagai Muslimin sejati. Muslim sejati itu, tidak pernah kita bicarakan dan manualkan. Kita cukup sekadar berkata:”Pada Muhammad SAW itu adalah Islam!”. Tidak terungkai sampai kita mengerti dan mendasari pribadi Muslim Sejati: Bertaqwa kepada Allah (Ali Imran:102); Islami kaffah, menyeluruh-penuh (Al Baqarah: 208); Shibghah, menjalani hidup pada jalanan hukum ilahi (Baqarah: 138); Istiqamah, keteguhan dalam jalanan niat yang suci (Al Ahqaaf:13); dan Tawazun, kesimbangan hidup antara ukrawi dan duniawi (A Qashash:77)

(8) Di sinilah khilafnya kita, yang berjiwa bersih, sangat terbiar, sedang yang hanya kenal duniawi, terus berkuasa menjadi khalifah. Bagaimana hasilnya?

(9) Telungkupkan kedua belah tangan, pasti agak gelap warnanya. Cuba telentangkan telapak tangan, pasti lebih putih dan bersih warnanya. Saat kita berdoa, kita disyaratkan menadah kedua telapak tangan. Kita tidak diharuskan menelungkupan keduanya. Apa ertinya? Ternyata bila meminta dan menerima, kita harus bersih dan putih. Apa kiasnya? Pernahkah kita terfikir dalam? Saat meminta kita merintih dengan penuh kesungguhan. Putihnya belum pasti. Saat menerima, kita mahu yang terbaiknya. Namun, dipersoalkan, adakah itu seputihnya?

(10) Namun di saat kita berTahhiyat, kedua tangan kita telungkupkan di atas dengkol lutut. Bukankah warna kulit yang agak gelap juga kita hadapkan kepada Ilahi? Apa maksudnya? Apa kiasnya? Kalau Ilahi hanya mahukan yang putih, pasti rambut kita juga tidak akan ada hitamnya. Maka, pasti Allah itu mahu kita berfikir, gelap dan putih, ada kegunaannya, Cuma waktunya kapan dan caranya bagaimana harus kita pergunakan keduanya? Juga, kita harus sedar, telapak tangan dan belakang tangan adalah pada satu tangan yang sama. Maka, adakah kita berfikir tentangnya? Adanya putih kerana hadirnya hitam. Datangnya hitam, kerana hadirnya putih. Iblis dan malaikat, tetap hadir di mana-mana!

(11 Kita meminta, menerima, dan memberi harus lewat melalui telapak tangan yang cerah berbanding dengan mengakui keesaan Ilahi (Tahiyyat) lewat telapak tangan yang terlungkup lebih gelap. Pasti di sini, ada mistrinya Allah menuntut sebegitu, cuma pernahkah kita berfikir panjang dan mendalam untuk mengertikannya? Dalam fikiranku, biarlah kita senentiasa memberi dan menerima dengan penuh keputihan, dan siapapun kita, keesaan Ilahi mesti kita perakui agar kita akan terus menjadi putih. Memberi mesti yang putih dan dengan penuh keputihan, ikhlas dan bersih. Menerima, juga mestilah hanya yang putih, yang bersih dan barakah.

(12) Attahiyat, di situlah kita mengakui keesaannya. Pada telungkup tapak tangan, Pada hitam tangannnya kita. Di situ kita menerima Dia adalah satu. Di situ, kita sebetulnya menuding, atas hitam dan putih, ada amaran yang harus kita fikirkan dalam. Kita menuding satu keDia, kita memperingati empat pada diri kita. Hitam masih boleh jadi putih, dan putih kemabli hitam! Ya Allah, dengan restuMu, mudah-mudahkan apa yang kufukirkan adalah benar: Pada kita, tetap ada hitamnya. namujn tetap ada putihnya. Tidak ada bumi tidak ditimpa hujan. Tidak pernah ada lidah tidak tergigit. Cuma saolnya, kapankah kita sedar dan sanggup melangkah?

(13) Persoalannya, kita sememangnya mahu membina manusia itu putih, namun cara kita hanya boleh membina manusia hijau dan merah. Inilah kepincangan yang terus memincangkan kita. Inilah dua persimpangan yang aku kian temanggu, ke kiri, sendiri, ke kanan juga sendiri? Kapan dan bagaimana caranya bisa kita sama-sama menjadi teguh dan berkat, sebagai Muslimin putih yang mengerti akan hadir hitamnya kita.

(15) Anak-anak santri, aku melas perih lirih melihat kalian yang seperti permata dalam lautan pecahan kaca. Harga kalian, hanya ternilai saat musibah dan kematian menjelma. Sedang waktu yang lain enak, kalian hanya pengap di mushola usang. Hadir kalian adalah untuk berdoa: ”Memang beruntung berkupiah putih, kumat-kamit saja, bisa dapat makan enak!” Sedang yang memperlakukan mereka, dada mereka lapang saat santri mengamin mengaum doa. Tidakkah mungkin mereka hanya perasan sendiri?

(16) Para kiai, hadirnya mereka ada manafaatnya. Merekalah penyambung melestari kesedaran ketuhanan. Merekalah pembina dan mengekal jalanan terang keagamaan. Namun, hadirnyanya mereka ada banyak juga pincangnya. Teladan yang mereka tunjukkan sentiasa ke kanan, sehingga banyak yang doyong condong dan rebah ke kanan, sedang jalan kirinya samar dimengerti sehingga yang ke kiri, terus saja ke kiri lantaran tarikan ke kanannya payah dan susah dimengertikan.

(17) Pada diri kita, ada kanan dan kirinya. Gugur salah satunya, maka pincanglah kita. Kita juga tahu, keduanya tercantum pada satu badan. Cuma kita hanya menerima itu sebagai suatu yang azali, terima dan terima saja, tanpa memikir apa mistri di sebalik kejadian Ilahi sebegitu? Yang ke kanan memandang jelek jika manusia hanya ke kiri, yang mengiri memandang sinis kepada yang hanya mahu ke kanan. Akhirnya kita tidak bersatu sebagai angota kiri dan kanan pada satu tubuh sebagai mana kejadian diri kita. Akhirnya kita tidak terus ke depan, kita hanya undur-maju, maju-undur, lalu kaku bagai bongkah batu di pinggir kali, kian hari kian terhakis dan berderai!

(18) CiJinJing, desa sekitarnya hanyalah sekangkang kera jaraknya. Katak sekali melompat sudah bisa melepasi desa di sebelahnya. Namun, setiap satunya punya mushola atau masjid tersendiri sedang kariahnya tidak pernah memenuhi tempat ibadat masing-masing. Sedang, jalan menghubung dari satu desa ke satu desa, hanya ayam dan anjing saja enak berjalan di batas-batas yang sempit, licin, bengkang bengkok. Anak-anak sekolah, orang-orang tua, bergetar sekali jiwaku memandang kepayahan mereka. Apakah sengaja hidup mereka sebegitu agar mudah dan biasa nantinya mereka meniti jambatan siratulmustakim?

(19) Dan akupun bersoal: Ismail adalah anak kesayangan Ibrahim. Dia lalu Allah pinta korbankan. Saat keikhlasan mahu tertunai, kibas menggantikan Ismail!. Apa maksudnya? Tertafsirlah sejak zaman berzaman, betapa Allah menghargai keikhlasan dan ketundukkan. Memang benar. Itulah falsafah di sebalik korban Ismail-Ibrahim. Namun, dari segi penzahirannya, wajibkah korban terus-terusan sebagaimana Ibrahim pada asalnya lakukan? Zaman berubah, kita tetap sama. Apakah yang Melayu katakan: ”Sekali air bah, sekali tebing berubah?”. Para ulama dan cendikiawan Islam kita, mungkin terlalu terbalut oleh beratnya serban maka seenaknya hanya memekak di muka TV, mereka out of touch tentang kepayahan masyarakat, lalu mereka pun bagai tunggul dimakan anai-anai!

(20) Saat Korban, mungkin setara 3.00-3.50 juta ekor kibas di korbankan di Mekah. Tetapi jika di hitung di seluruh dunia, terdapat 1.20 billion umat Islam selurunya, jika dihitung pada tumbuhan kasar penduduk pada 2.0 peratus setahun dan 5.0 peratus adalah keluarga mampu, apa tidak mungkin setara 30-50 juta ekor kibas terkorban dalam waktu yang serentak? Cuba berikan nilai harganya? Pasti, saya kira antara RM900,000,000.00-RM1,500,000,000 dengan mengambil harga RM300/ekor. Namun di Malaysia, seekor kambing sudah menjangkau RM500-1,000.00/ekor. Bukankah angka ini sangat besar? Sangat bermakna? Kerana kita hanya melihat ke kanan, nilai ini tidak pernah kita perhitungkan. Maka manusia-manusia kiri akan melihat nilai itu, lalu mencemuh golongan kanan!

(21) Jika manusia kanan, kental dengan korbannya dan manusia kiri teguh dengan kesan pengorbanan, tidakkah keduanya boleh bersatu berkira: wajar korban punya kesan yang besar kepada ummah. Bagaimana?

(22) Aku berbahas dengan Ilmuan Islam, jika Ismail boleh digantikan dengan kibas, maka apa maksudnya? Juga, di Malaysia dan di mana-mana, wang boleh diganti dengan sapi, kerbau, kambing, biri-biri, dan unta, sebagai korban, maka tidakkah boleh korban itu kita mulai perhitungkan dengan jalan, sekolah, masjid, mushola (surau), hospital, atau apa juga kemudahan-kemudahan sosial atau bagi membangun perusahaan yang boleh mendatangkan dana bagi kepentingan yang tidak berkemampuan atau masyarakat seluruhnya? Coba fikirkan. Kambing dikorban, daging disedekahkan agar yang miskin gembira sama. Maka, jika wang kita kumpulkan pada nisab korban setiap seorangnya, lalu si miskin yang ngak punya rumah atau gubuknya tengah usang, kita bangun dari kumpulan wang itu. Tidakkah si miskin akan juga merasa bahagia? Tidakkah korban dan kebahagian tetap kita capai sama? Kenapa kita tidak pernah cuba melihat kebahagian dan melepasi sesiapapun ummah ini dari kepayahan adalah juga korban dan membahagiakan ummah susah dan memerlukan adalah juga burak kenderaan yang kita impikan di akhirat nanti?

(23) Kuperhatikan dalam jalanan pencarianku ke Pattani, Kemboja, Laos, Vietnam, Indonesia, Filipina dan bahkan di Malaysia, saban tahun kita berkorban, daging di agihkan, namun apakah keberkatan kekalnya? Korban agar kita di akhirat nanti ada kenderaan tunggangan, namun berapa banyak binatang tunggangan yang harus kita ada? Tidak cukup satu? Juga, daging yang kita agihkan, selama mana nikmatnya kepada yang miskin? Sehari, dua hari, pastinya tidak akan sampai seminggu, apa lagi sebulan atau setahun. Juga, perhatikan, kini telah payah bagi Kerajaan saudi, mengagih sekitar 150,000,000-200,000,000 juta kilo daging yang terkorban serentak! Apa ertinya ini? Zaman telah berubah, kita masih dilubang telaga mati! ”Ya Ilahi, berilah pertunjukMu, agar aku antara yang bisa mengerti, dan berjalan dan menyirna pada jalan kemanusian insani madani”

Tetap Lelah

Seusai subuh, sang isteri sudah riuh bermasak siap untuk seisi keluarga. Saat matahari mengimbau ufuk, mereka sudah bertebar di muka bumi. Ada ke sawah. Ada ke kolam ikan. Ada ke kandang lembu, kambing, itik atau ayam. Ada berjalan mendaki bukit ke hutan mencari kayu. Itulah petani desa.

(2) Tanah sekangkang kera dikerjakan. Padi berganti jagung. Jagung bersulam ubi. Ubi berganti sayuran. Rumput habis diangkut ke kandang kambing. Lopak di batasi jadi kolam. Ubi dicincang jadi makanan ikan.

(3) Anak-anak berduyun-duyun meniti batas siratulmustakim saban harinya. Bila hujan, tanah becak dirempuh juga. Saat kemarau debu-debu dihirup segar. Niat agar bisa berjaya, nantinya bisa membela orang tua. Ada yang lebih berani, katanya, membela bangsa dan agama. Namun, saat sampai waktunya: ”Ah hidupku sendiri ngak karuan payah susahnya. Masak bodoh!”.

(4) Isteri yang gebu jadi kerepot. Suami yang ganteng jadi kecut. Rumah dulu yang gagah, kian dirayap anai-anai. Saat hujan teritis tembus ke bumi. Saat panas, benderang semua rekahan kebocoran. Anak-anak di asuh jadi pinter lalu kabur meninggal ibu-bapa situa hanya bisa berdoa: ”Ya Allah, rahmatilah anak-anak kami. Peliharalah keselamatan dan kesihatan mereka. Kami bersyukur di atas kejayaan mereka”. Telapak tangan terketar-ketar menadah restu kepada Ilahi. Sedang anak-anak, harus membayar keringat pedih ibu bapa, mereka tersenyummelarat di kota-kota. Hutang rumah, hutang kereta, hutang segala macam hutang, hari-hari pusing, pening, serban di kepala jadi usapan kaki, kupiah putih jadi tadahan abu rokok, kerudung jadi kain lapan selepas menjual diri. Aku mungkin keterlaluan dalam gambaranku, namun, itulah yang sedang menjadi. Berjaya dalam fikiran orang tua mereka! Sengsara juga tetap menyelubung mereka! Ke manapun, mereka tetap lelah, susah, payah!

(5) Inilah lagenda desa-kota yang sedang kusaksi dan rasakan. Bangsaku, kita miskin dalam kekayaan. Kita payah dalam kesenangan. Semuanya, kerana kita sudah biasa dengan susah dan kita terima susah sabagai ujian Ilahi. Takdir. Terima sajalah. MasyaAllah, sempitnya pandangan hidup kita! Kejamkah Allah?

Kerusi Empuk

Mulanya ngopi dulu jika ngak teh tarik. Lihat jam di tangan, ngak gampang, usah buru-buru, baru jam 0830. Bos belum ada! Lalu ”Apa beritanya hari ini?. Terjengkang koran, akhbar di depan dada. Yah, sudah jam 0900. Bos sudah sampai. Selamat pagi bos. Alhadulillah. Pagi selamat. Bos dan karyawan laknat mencuri terus! Siang, tengahari juga sama. Pulang jam 1230 kembali jam 1430. Sore, jam 1630 sudah siap sapu lipstick, dandan tubuh, harum mewangi. Turun lift jam 1650. Mencuri terus.

(2) Siapa mereka? Pegawai negeri, penjawat awam. Tidak semua sebegitu. Jangan kerana nila setitik habis susu sebelangga. Jangan kerana kerbau seekor membawa lumpur terpalit semua. Tidak adil lalu pesimistik! Soalnya, adakah nilanya hanya setitik, dan kerbaunya hanya seekor? Banyak pastinya! Pergilah ke warung kopi, kedai makan, restaurant, café, berapa banyak yang sesak dan berapa banyak terus kembang menjadi Indek Ekonomi Baru Negara? Malaysia, Ingonesia, dan Brunei, Indek Pertumbuhan Negara sudah tidak sesuai diukur dengan GDP, lebih baik diukur dengan Kadar Pertumbuhan Kedai Kopi dan Café serta Warung Koran!

(3) Bila kerusinya empuk, kereta rasminya mewah, pakaiannya harus koprat, biar kerjanya tetap keparat. Jika tidak kenapa perlu Pak Perdana Menteri perlu menyingsing lengan, berpeluh di dahi, merah bibirnya melaung-laung Rakyat Di dahulukan, pencapaian Di Utamakan. Bukankan ketiadaannya rakyat didalulukan, pencapaian diutamakan maka lagu tempang itu terpaksa dinyanyikan? Kenapa? Semuanya, adalah, inilah anak-anak bangsa yang sudah berjaya harus enak menikmati kerusi empuk. Ibu-bapa, nenek-datuk, tidak pernah duduk muter-muter sebegini enak, kenapa tidak kita? Mereka sudah puas susah, mereka mahu kita berjaya, maka inilah kita pegawai negeri yang berjaya. Auzubillah!

(4) Anak-anak di Kampung yang masih payah, biarkan mereka belajar tentang kepayahan. Jika tanpa melewati kepayahan, aku juga tidak akan pernah bisa duduk berputar-putar di kerusi empuk.

(5) Saat waktunya mereka sadar, jika mereka sadar, Kampung sudah tergadai. Bangsa sudah terjengkang. Puteri-puteri kekang mengangkang. Putera-putera sudah masuk longkang tunggang langgang. Cis Tuah, laksamana apa gerangannya engkau. Kau kata “Tidak Melayu Akan Hilang Di Dunia”, kini Melayu banyak di “penjara!”

Kembalikah Aku?

Aku siapalah aku? Jalan singkat cuba mengerti semua? Tidak mungkin. Tidak mungkin malaikat jadinya aku. Tidak mungkin kuasa Ilahi ada padaku. Aku hanyalah sekujur yang cuba mengerti dan melaungkan secebis. Putih atau hitam, waktu akan menentukkannya.

(2) Namun aku mengerti. Hujan tidak terus ribut. Renyai juga duluannya. Terbakar tidak terus marak asalnya. Sekelip api juga mulanya. Bah tidak terus meruah, mengalir perlahan juga mulanya. Ombak tidak terus menggunung, riak-riak juga mulanya. Aku tidak terlahir terus berkuda melainkan bayi juga awal tangisku.

(3) Aku akan kembali, biar payah biar susah. Biar bangun biar rebah, biar berjalan, biar merangkak, maju juga tetap kugarap. Biar berteman biar sendiri, aku tetap mengerti, sendiri juga akhirnya. Di atas hitam akan kulukis putih, di atas putih akan kujelaskannya dengan adanya hitam.

(4) Aku yakin, tidak Muhammad diratip panjang, jika belum perginya juga. Tidak air menjadi nikmat kedahagaan saat ia melimpah ruah. Kembang segarnya terasa, saat layu menjemputnya pulang. Aku, ingin terkubur tanpa nama, tanpa apa, biar tercari-cari semua akhirnya. Pada sumpah Chairil Anwar aku mengerti:

saban sore ia lalu depan rumahku
dalam baju tebal abu-abu

dalam jerih memikul. banyak menangkis pukul

bungkuk jalannya-lesu
pucat mukanya-lesu

orang menyebut satu nama jaya
mengingat kerjanya dan jasa

melecut supaya terus ini padanya

tapi mereka memalin. ia begitu kurang tenaga

pekik di angkasa. perwira muda
pagi ini menyinar lain masa

nanti, kau dinanti-dimengerti!



CiJinJing-Kota Bandung.
17-24 Jan., 2012

#Abdullah Chek Sahamat

Writing that complies Bizarre, Odd, Strange, Out of box facts about the stuff going around my world which you may find hard to believe and understand

1 comments:

Anonymous said...

penggunaan bahasa yang menarik.teruskan menulis saudara.

Copyright © 2010 abc sadong™ is a registered trademark.

Designed by Access. Hosted on Blogger Platform.